12. Maukah kau tetap bersamaku?
Bel masuk kelas berbunyi lantang, menarik kerumunan siswa yang masih berada di luar kelas bergegas masuk. Beberapa tampak lari tegopoh-gopoh dari pintu gerbang, yang kelasnya ada dalam jangkauan berjalan lebih santai, ada yang senyum sumringah sambil menenteng buku-buku paket, bahkan juga yang mengeluh secara terang-terangan tetapi tetap pergi menuju kelas dengan langkah super berat. Ya, tipikal pemandangan yang lumayan umum ditemukan saat pagi hari di sekolah, tidak bisa dikatakan monoton juga, tapi memang selalu terjadi.
Soobin masih bertahan di pintu utama, bersandar pada pilar sambil melipat tangan di depan dada. Menengok ke belakang sebentar, sekadar ingin tahu ada berapa orang yang tersisa di luar ruangan dan mendapati tinggal sekitar lima sampai tujuh orang yang masih berusaha mengejar waktu sampai kelas, lalu ia kembali berbalik menghadap gerbang, menunggu Choi Yeonjun yang terbiasa telat dengan sabar.
Bermenit-menit kemudian sosok Yeonjun muncul, berjalan dengan sangat malas tanpa peduli arah jarum jam yang sudah bergeser jauh melewati angka delapan. Ia menguap lebar sebelum tersadar ada seseorang yang tengah bersandar di teras sambil mengamati segala gerak geriknya. Yeonjun nyaris ingin putar balik tapi ketika berpikir tak ada tempat untuk melarikan diri dan harga dirinya akan jatuh jika melakukannya, ia akhirnya tetap memantapkan langkah walau agak lebih lambat dari sebelumnya.
"Pagi." Sapa Soobin ketika Yeonjun sudah dekat.
Yeonjun berniat mengabaikannya, hanya melirik sekilas lalu melenggang tak acuh. Namun setelah lewat selangkah dari Soobin, tangannya tiba-tiba diraih. Yeonjun terpaksa berhenti lalu segera mengiriminya tatapan malas.
"Jangan masuk." Ucap Soobin, raut wajahnya agak ganjil pagi ini. "Hari ini temani aku, ya?"
Yeonjun bukan tipe orang yang peka tetapi ia dengan cepat merasa ada yang tidak beres dari penampilan Soobin. "Ada apa?"
Tak ada jawaban. Soobin tampak menimang-nimang sesaat, memiringkan kepala untuk mengintip ke koridor panjang di belakang Yeonjun. Sudah sepi, semua orang berada dalam kelas sekarang dan pelajaran sudah lama di mulai.
Tak lama kemudian Soobin berkata. "Kita sudah terlambat, pergi ke kelas hanya akan dapat masalah, lebih baik sekalian saja bolos hari ini."
Nada bicara Soobin tidak seperti biasanya membuat Yeonjun agak tertegun. Kali ini suaranya tak begitu lugas, tak ada binar di matanya yang agak malas, jelasnya hari ini Soobin tidak punya semangat. Well, perbedaan ini, walau kecil dan mungkin sengaja ditutupi, Yeonjun masih bisa merasakannya dengan jelas. Mungkin karena belakangan sering terlibat bersama jadi apapun itu dari Soobin sudah dia hafal di luar kepala sehingga perbedaan kecil membuatnya sangat mencolok.
Melihat Soobin hari ini rasanya seperti sedang berkaca. Biasanya Yeonjun yang sering terjebak dalam mood yang buruk di pagi hari. Kali ini ketika melihat Soobin, Yeonjun benar-benar merasa tidak biasa.
Tak segera menerima jawaban, Soobin mengira Yeonjun akan menolak mentah-mentah ajakannya. Karena dia tak berniat memaksa Yeonjun untuk menurut, jadi dia tidak berusaha lagi. Perlahan genggaman tangannya mengendur dan dengan berat hati dilepas, memberikan kesempatan pada Yeonjun untuk pergi.
"Tidak apa kalau kau tidak mau, Yeonjun. Masuklah." Soobin mengulas senyum tipis, jelas sekali dibuat dengan paksa. Ia menunggu sebentar, ingin melihat Yeonjun masuk sebelum pergi. Tetapi kemudian Yeonjun masih tetap berdiri ditempatnya berpijak sambil mengerjap-ngerjap.
Tiba-tiba komite kedisiplinan muncul dari ujung koridor dan berteriak pada keduanya. Yeonjun sudah menduga hal itu akan terjadi, hanya menghela napas pelan sedangkan Soobin sempat mengeluarkan suara 'ups' sebelum menyeret Yeonjun lari melewati gerbang sekolah.
Ini adalah adegan kesekian kali mereka melarikan diri bersama-sama.
Sambil terus memacu melangkah menjauh dari sekolah, Yeonjun diam-diam mengamati punggung Soobin di depan, agak merasa bersalah karena lagi-lagi Soobin terjebak bersamanya.
"Soobin..." yang dipanggil menoleh. Yeonjun sendiri tidak tahu memanggil Soobin untuk apa, hanya tergerak mengikuti hatinya untuk menyebut nama itu, hanya ingin. Melihat Soobin masih menunggunya melanjutkan, akhirnya Yeonjun asal bicara saja.
"Semalam aku mengerjakan tiga tugas untuk hari ini, tapi semuanya berakhir sia-sia sekarang."
Suara kekehan Soobin terdengar hangat walau senyumnya masih tampak setengah hati. "Jangan khawatir, aku akan ganti rugi."
Yeonjun mendengus, lalu keduanya tertawa bersama.
.
Suasana di sekolah pagi itu dilanda kegemparan. Hampir semua orang di sepanjang koridor membicarakan satu topik yang sama. Ketika masuk ke dalam kelas, baik laki-laki maupun perempuan semua berkumpul menjadi satu, membentuk kelompok-kelompok yang ricuh, saling adu argumen, tapi pada akhirnya segala pendapat yang berbeda akan bermuara pada simpulan negatif.
Beomgyu mengeraskan rahangnya sepanjang jalan ketika telinganya tak ada habisnya mendengar gunjingan orang-orang. Ia tak peduli bagaimana perlahan obrolan orang-orang itu mulai beganti topik tentang dirinya ketika ia mulai menyobek kembali kertas-kertas laknat yang ia temukan di papan mading dengan marah. Meski pandangan ganjil kini berjatuhan padanya, Beomgyu tak merasa ciut sedikitpun, malah kian murka menyobek kertas ditanganya, seolah mengingatkan pada siapapun yang berani cari masalah dengannya akan berakhir menyedihkan seperti itu.
Ketika ia masih sibuk menyobek kertas yang kesekian, seseorang diam-diam berdiri di sebelahnya. Beomgyu merasa ia tidak perlu menoleh untuk tahu.
"Hm... apa kau pikir dengan menyobek semua selembaran ini dari papan mading akan menghentikan beritanya menyebar? Pernah dengar kata-kata ini? Gosip menyebar seperti kebakaran hutan, satu titik padam, sepuluh titik lain terbakar."
Gerakan tangan Beomgyu terhenti. Ia menggeretakan gigi sebelum berbalik dan disambut seringai Woojin yang menjengkelkan. Ia lantas menyipitkan mata curiga pada Woojin dan senyum mengejeknya itu.
Nadanya tajam saat bertanya. "Kau yang melakukannya?"
Mendengar tuduhan itu, Woojin tak berusaha untuk menyembunyikan tawa. "Oh, yang benar saja, kau menuduhku tanpa bukti, Gyu."
Tapi Beomgyu mana bisa langsung percaya. "Kau tidak menyukai Soobin, kan?"
Woojin memegang wajahnya sendiri dengan main-main. "Apa jelas sekali? Ah, aku sangat bodoh dalam berekspresi, tapi sebenarnya aku juga tidak berniat pura-pura baik, sih." Beomgyu masih tak sepenuhnya yakin pada kata-katanya dan Woojin segera angkat satu tangannya membentuk simbol damai. "Kali ini serius bukan aku yang melakukan. Siapa yang menduga akan ada orang lain yang lebih membencinya dari pada aku? Andai saja aku tau siapa orang itu, aku mungkin akan berterima kasih dan melempar beberapa uang karena dia telah membuat tanganku tetap bersih."
Mendengar kalimat Woojin dan ekspresi wajahnya yang tidak berbohong, Beomgyu tidak bisa lagi menyalahkannya meski dalam hati ingin meremas wajah tengil itu. Ia lanjut menyobek sisa kertas di mading walau perlahan mulai menyadari bahwa segala usahanya memang akan berakhir percuma.
Seringai Woojin secara bertahap hilang dari wajahnya. Yang tersisa kini hanya tatapannya yang tidak jelas pada Beomgyu.
"Bukankah kejadian ini agak familiar?"
Beomgyu masih pura-pura tenggelam dalam kegiatannya. Diam-diam mengantisipasi kelanjutan dari kata-kata Woojin.
Tangan-tangan Woojin bergerak di sebelahnya, memisahkan rekatan lem pada kertas-kertas menyedihkan itu dengan papan mading. Geraknya lambat seolah tak ingin menimbulkan sedikit pun kerutan pada lembar kertas itu.
"Aku pernah menyobek selembaran seperti ini dulu dan kau hanya menonton sambil berpura-pura tak tau apa-apa."
Beomgyu menelan ludah dengan usaha keras, mendadak lidahnya kelu, dan hatinya merasa pahit.
Siapa bilang dia hanya menonton waktu itu?
Woojin hanya tidak tau bahwa ia juga ikut menyobek kertas-kertas di papan mading tetapi kemudian ia sadar semua orang sudah melihatnya, jadi dia memilih berhenti.
Sekarang sudah tidak ada gunanya jika ia mengatakan kebenarannya pada Woojin. Kejadian itu sudah lama, dan kesalahpahamannya sudah menjadi endapan keras di dasar yang gelap.
"Kalau diingat lagi, aku benar-benar kesal." Meski kata-katanya demikian tetapi bibirnya tetap membentuk senyum. "Sekarang melihatmu begini aku jadi merasa lucu."
Woojin merentangkan selembaran di tangannya, memandangnya sebentar lalu tertawa kecil sebelum memberikannya pada Beomgyu. "Well, apa dengan merobek selembaran ini Soobin akan berterima kasih padamu?" Senyum mengejeknya kembali muncul. "Dia bahkan sudah tidak peduli padamu."
Sudut alis Beomgyu berkedut, darahnya naik ke ubun-ubun, keinginan untuk berkelahinya kembali muncul. Jika itu orang lain, Woojin pasti sudah menerima tonjokannya. Sayangnya selain tau bahwa Woojin bukan lawan yang sepadan, Beomgyu juga tak bisa asal memukulnya karena beberapa alasan.
Sebelum pergi Woojin sempat menepuk bahunya seolah memberi semangat. "Lanjutkan pekerjaanmu sampai selesai."
Kesabarannya sudah meluap habis. Akhirnya Beomgyu meremas kertas menjadi bola lalu melemparnya tepat ke kepala Woojin. Tapi itu hanya kumpulan kertas yang ringan, sebesar apapun ia menuangkan energi pada lemparannya tetap saja tidak akan mampu menyakiti Woojin. Dan Beomgyu semakin kesal karena itu.
Sepanjang hari Beomgyu berpikir dan tiba-tiba teringat sesuatu. Dalam hati berseru mampus pada diri sendiri lalu dengan perasaan waswas ia meraih ponsel, agak bimbang sebelum memencet kontak Wooseok sambil mengumpat untuk mengenyahkan keseganannya.
Siapa duga panggilannya akan sangat cepat diangkat seolah jari Wooseok telah lama bersiap di depan layar.
'Eo? Beomgyu, bagaimana beritanya? Tolong pastikan agar semua orang tau.'
Bajingan tengik! Kotoran anjing! Aku berharap umurmu pendek, sialan!
Jadi benar orang ini! Sampai di sini Beomgyu berusaha keras menahan segala umpatan di tenggorokan. Bukan karena ingin bersikap sopan, hanya sadar dengan siapa ia bicara sekarang.
Beomgyu berusaha menekan nada suaranya. "Mengapa kau melakukan ini?"
Terdengar suara tawa di seberang telepon. Hari ini setiap mendengar orang tertawa Beomgyu benar-benar ingin memukul.
'Sederhana saja. Dia memprovokasiku maka aku akan menindasnya.'
Jelas masalah sederhana tidak akan berakhir sederhana di tangan Wooseok. Singkatnya ini akhir untuk Soobin. Panjangnya, sekali Wooseok ingin menindas, ia tidak akan berhenti bermain sampai puas, hingga lawannya remuk di bawah alas kakinya sendiri, baru setelah itu dia bisa tenang.
Wooseok ini benar-benar orang yang tidak pernah menggunakan hati, dia kejam dan keji, seperti orang yang sakit jiwa. Beomgyu sendiri ragu apakah dia masih waras atau tidak, dan bertanya-tanya mengapa keluarganya yang kaya raya itu tidak coba membawanya pergi berobat.
Sekarang ia memikirkan nasib Soobin. Pilihan terbaik menghadapi Wooseok adalah dengan mengalah. Masalahkanya adalah apa Soobin akan dengan mudah dibujuk untuk mundur? Meski lelaki itu terlihat seperti lelaki yang baik hati dan lembut, Beomgyu tau ada kekeraskepalaan yang sangat sulit diatasi dari dalam diri Soobin.
Terlebih ini bukan sekadar konflik dua orang yang berlawanan, ada Yeonjun di antara keduanya yang jadi bahan perlombaan. Masalah ini tidak akan kelar jika salah satunya tidak mengalah atau kalah.
Jari-jari Beomgyu mengetuk meja dengan gelisah. "Kau hanya perlu fokus dengan Yeonjun, urusan Soobin biar aku yang tangani. Sekarang bagaimana aku bisa mengatasi kekacauan ini? Ini sangat tidak adil."
'Choi Beomgyu, aku tidak tertarik untuk membuat kesepakatan denganmu. Lagipula ini bukan cuma karena aku menginginkan Yeonjun, sejak awal aku sudah tidak suka pada Soobin. Seandainya saja dia mau menurut padaku, ini semua juga tidak perlu terjadi. Aku sudah cukup baik dengan memberinya penawaran tetapi dia sendiri yang sangat sombong. Aku benar-benar tidak tahan lagi. Apa dia pikir aku hanya main-main? Kali ini anggap saja aku memberinya kesempatan untuk belajar. Lihat apakah di masa depan dia masih punya wajah untuk berhadapan denganku. Omong-omong apa Yeonjun bersamamu? Aku penasaran dengan reaksinya.'
Beomgyu sudah cukup mendengarkan dan tidak ingin terjebak obrolan lebih panjang lagi. Ia segera menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu bicara dengan suara keras tepat di depan layar ponselnya. "Apa aku harus peduli?" Kemudian posel dibanting ke atas meja, panggilan ditutup sepihak.
Beomgyu tau lagi-lagi dirinya telah menjadi bahan gunjingan. Persetan! biar sekalian orang-orang tau kalau dia sedang marah sekarang, supaya tidak ada yang berani dekat-dekat karena Beomgyu ingin sekali memukul orang.
Beberapa menit berselang, ponsel yang sempat dibanting kembali di raih. Nada sambung terdengar nyaring di telinga Beomgyu yang tidak sabaran.
'Ada apa Beomgyu?'
Sialan, batin Beomgyu. Kepalanya panas, telinganya panas, tangannya juga panas ingin memukul orang tapi Soobin dengan santai masih bisa bertanya ada apa? Hey! Aku mengkhawatirkanmu, Choi bodoh Soobin.
Pelan-pelan Beomgyu menekan emosinya, sadar Soobin tidak sepenuhnya salah di sini, lagipula mungkin dia belum tau tentang apa yang sedang terjadi di sekolah.
Beomgyu menghela napas pelan. "Di mana kau sekarang?"
'Aku?' Kekehan Soobin membuat Beomgyu mengeluh dalam hati. 'Sedang melarikan diri.'
Beomgyu tertegun sesaat. "Heh? Kau...kau sudah tau?"
'Ya, makanya aku kabur.' Jawab Soobin dengan santai seolah yang terjadi padanya bukanlah suatu hal yang besar.
Beomgyu berpikir sebentar sebelum bertanya. "Apa Yeonjun bersamamu?"
'En.'
Baiklah, terjawab sudah.
"Bagaimana kau bisa sesantai ini? Kau tau apa yang akan terjadi padamu nanti?"
'Antara tau dan tidak tau. Aku sudah pernah mengalaminya sekali. Kali ini aku tidak akan kabur lagi.'
"Ini namanya kau bunuh diri." Beomgyu merasa tak berdaya.
'Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja.'
Meski hanya lewat sambungan telepon, Beomgyu dapat merasakan senyum pada kata-kata Soobin.
.
Yeonjun duduk sendirian di atas rumput sambil menjatuhkan atensi pada sungai yang jauh di depan dengan tatapan menerawang. Sesekali kembali menengok ke arah perginya Soobin beberapa saat yang lalu, berharap lelaki itu segera muncul. Ia sebenarnya tak pernah suka ditinggal sendirian, apa lagi kalau ingat Soobin pernah meninggalkannya lalu Wooseok datang. Itu tidak membuatnya sampai trauma, sih, cuma khawatir akan terulang lagi.
Matahari perlahan mulai naik ke puncak kepala, Yeonjun menggeser pantatnya mundur dengan malas ketika bayang-bayang pohon yang menaunginya menipis, membuat kakinya yang menjulur mulai terpanggang panas matahari. Ia menoleh sekali lagi, kali ini pandangannya menangkap sosok Soobin dengan sekantong belanjaan di tangannya. Tak butuh waktu lama untuk pandangan mereka saling bertemu. Yeonjun tak memberi banyak reaksi walau hatinya sedang merasa sangat senang, sedangkan Soobin segera mengulas senyum simpul sambil melambai dan melebarkan langkahnya agar cepat sampai.
Suara mendesis muncul ketika Soobin membuka kaleng kola untuk Yeonjun. Yeonjun menerima kaleng kola yang Soobin ulurkan dengan senang hati. Pada sesapan pertama ia berjengit oleh sensasi menyengat di lidah, kemudian ketika sudah terbiasa ia menyesap dengan hati-hati sambil terus memandangi wajah Soobin.
"Kau tidak sedang sakit, kan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu secara tiba-tiba, Soobin memegang kedua sisi pipi dan dahinya secara bergantian.
"Apa aku tampak seperti orang sakit?"
Yeonjun menggeleng sambil terus minum. "Kau aneh hari ini."
Soobin hanya tersenyum setengah sambil membuka kaleng kola miliknya sendiri. "Benarkah?" Ia bersandar pada batang pohon di belakang, tidak mencoba menjelaskan, lalu mulai menerawang jauh dan Yeonjun sekejap tak diacuhkan.
Yeonjun agak keberatan ketika Soobin sibuk dengan lamunannya dan ia tidak ingin terlihat begitu tidak punya kerjaan. Jadi sembari terus merasa ada yang aneh, Yeonjun meraih kantong belanjaan Soobin, menggasak isinya dengan suara berisik, sengaja cari perhatian.
Yeonjun cemberut sewaktu Soobin terus mengamatinya membongkar kantong belanjaan. Kau cari apa sih? Tanya Soobin tetapi Yeonjun sengaja tak menjawab. Siapa suruh mengabaikannya duluan. Tangannya terus bergerak di dalam kantong, sampai akhirnya menyentuh benda kecil di ujung. Permen!!!
Soobin masih betah mengamati kelakuan Yeonjun yang kini ikut bersandar di sebelahnya. Kaleng kolanya sudah diabaikan dekat kantong belanjaan. Sekarang Yeonjun sibuk dengan bungkus permen yang sukar dibuka. Sewaktu akhirnya bungkus permen itu lepas, Soobin secara refleks juga ikut bernapas lega
Keduanya tidak banyak bicara pada satu sama lain. Mendekati tengah hari Soobin mulai merasa matanya perih terkena angin. Ia menoleh ke sebelah pada Yeonjun yang masih mengigit permen yang ukurannya sudah menciut. Angin menggerakan poni hitam Yeonjun, sorot matanya lugu, jatuh pada riak-riak air. Soobin merasa begitu damai melihat pemandangan itu dan tanpa sadar tersenyum.
"Hei Yeonjun, aku mengantuk."
Yeonjun segera mengalihkan perhatiannya pada Soobin dan bertanya dengan polos. "Mau pulang?"
"Apa kau bodoh? Bagaimana aku bisa terang-terangan membolos di depan ibuku?"
Yeonjun mencebik protes tak mau disalahkan. "Mana aku tau ibumu ada di rumah."
Seolah tak melihat wajah jengkel Yeonjun, Soobin dengan cepat menempatkan kepala di atas pahanya. "Pinjamkan pahamu sebentar."
"Aku bukan bantal." Yeonjun protes, bergerak secara brutal supaya kepala Soobin jatuh dari atas pahanya. Namun Soobin benar-benar licik, dia dengan gesit melingkarkan tangan di sekeliling pinggang Yeonjun lalu membenamkan wajah di perut ratanya. Sekejap Yeonjun terdiam kaku.
Aroma tubuh Yeonjun lembut, sekilas Soobin mencium wangi jeruk dan bunga yang manis. Merasa aroma tubuh Yeonjun terlalu imut, dia tak tahan untuk tidak menenggelamkan wajahnya semakin dalam di lipatan-lipatan baju Yeonjun. Merasa tidak ada perlawanan, Soobin menjadi semakin rileks.
"Nyaman sekali." Gumamnya. "Aku akan tidur seperti ini sehari lagi."
Jantung Yeonjun bertabuh kencang, tidak tau apakah suaranya sampai ke telinga Soobin atau tidak. Yang dapat ia lakukan sekarang hanya berpura-pura tenang, mengabaikan rasa panas yang menjalar di sekitar leher, pipi, dan telinganya yang sudah pasti memerah. Beruntung Soobin menenggelamkan wajah di perutnya sehingga ia tak perlu repot-repot menyembunyikan hal memalukan ini.
Waktu terasa berjalan begitu lama tetapi sebenarnya hanya lima menit keduanya hening. Yeonjun mengira Soobin sudah tertidur, ia lama mengamatinya sebelum jari-jarinya yang iseng mulai berani menari-nari kecil di atas helai Soobin yang hitam kecokelatan.
"Yeonjun."
Jari-jari yang asik bermain itu melompat ketika mendengar suara Soobin yang teredam di perutnya. Ia mengerjap sebentar sebelum menjawab.
"Hm?"
"Setelah hari ini, aku mungkin akan menemukan banyak kesulitan di masa depan. Aku tidak tau sampai mana batas kemampuanku untuk menahannya, jadi aku butuh seseorang untuk mendukungku. Jika besok aku datang untuk merepotkanmu, apa kau akan keberatan, Yeonjun?"
Yeonjun tidak tahu untuk apa kata-kata Soobin itu, juga tidak tau bagaimana untuk meresponnya. Otaknya mendadak mandek, berpikir tentang apa yang barusan dia dengar, lalu mencernanya dengan lambat sekali. Ia mengerti tapi juga merasa tidak mengerti. Saat ia hendak membuka mulut, Soobin di pangkuannya juga membuka mata tipis.
"Maaf, aku merasa buruk sekali mengatakan itu padamu, tapi ku rasa jika kau tidak ada dipihakku sepertinya aku tidak bisa apa-apa."
Kalimat Soobin semakin membuat Yeonjun merasa tidak nyaman. "Apa yang sedang kau bicarakan?"
Soobin bergerak merubah posisi. Sekarang dia terlentang, masih menjadikan paha Yeonjun sebagai bantal, tanganya terlipat di atas perutnya sendiri. Manik mata keduanya bersirobok. Ada kebingungan kecil di mata Yeonjun yang membuatnya terlihat seperti anak kecil.
"Ingin tahu sesuatu?" Tanya Soobin. Tangannya tergerak untuk menyentuh tipis dahi Yeonjun, tipis saja, hingga sentuhannya nyaris seperti angin. Kepala Yeonjun agak menunduk sehingga poni-poni halusnya tak lagi menepel di dahinya yang putih, itu bergelantung layaknya tirai kain sutra nan lembut, menyembunyikan sepasang manik mata menawan yang terbingkai dalam kelopak mata rubah.
"Apa?" Suara Yeonjun kecil. Agak terpengaruh dan linglung oleh tatapan Soobin yang membuatnya malu tapi juga tidak bisa menghindar, malah membuatnya kian penasaran pada tiap inci kulit di depan matanya, pada garis rahang yang tegas, tulang hidung yang tinggi, dua alis tebal yang menawan, sepasang mata yang mencerminkan wajahnya sendiri, dan deretan bulu mata yang tidak terlalu tebal tapi lumayan lebat, agak panjang, seperti kipas ketika ia berkedip pelan.
Yeonjun tidak bisa membuat dirinya berhenti untuk menyukai dan menyayangi semua tentang Soobin. Membuatnya semakin gelisah, ingin memiliki tetapi juga takut akan merusaknya.
Dia melihat belah bibir Soobin yang bergerak. "Sesuatu yang juga aku tidak tau. Karena kita berdua sedang penasaran, jadi, ayo mencari tau."
Kerutan bingung mulai muncul di dahi Yeonjun. Jari-jari Soobin yang masih berada di sana segera menyentuhnya, berusaha meluruskan kerutannya. "Hubungi seseorang di sekolah."
"Untuk apa?" Tanya Yeonjun bingung.
"Mungkin beritanya sudah tersebar." Soobin gagal mengurai kerutan di dahi Yeonjun yang bertambah dalam. Ia menjatuhkan tangannya lagi ke atas perut. Menghela napas pelan sebelum menatap mata Yeonjum dengan serius.
"Menyedihkan mengatakan ini, tapi semua aibku sudah bocor."
Di dahan tertinggi, burung-burung bernyanyi tanpa beban, bebas, dan besenang-senang. Soobin menimang sesaat, sedangkan Yeonjun belum mengatakan apapun tapi ia jelas sedang menunggu penjelasan.
Meski hatinya berat Soobin tetap memaksa mulutnya bicara dengan keras kepala. "Alasanku pindah sekolah sebenarnya sangat memalukan." Ia mulai dengan tenang. "Di sekolah yang dulu, aku ketahuan menyuap untuk masuk kelas unggulan. Sebenarnya aku tau itu perbuatan yang salah tetapi aku pikir jika aku bisa menjaga rahasia bukankah semua akan berjalan normal seperti tidak terjadi apa-apa? Aku ingin menjadi yang terbaik dari yang terbaik, menjadi pusat perhatian, aku ingin semua hal mengagumkan adalah tentangku. Kemudian aku dibutakan dan pada akhirnya hidupku hancur ditanganku sendiri."
"Dengan bantuan orang tuaku, aku berhasil memalsukan nilai dan memanipulasi ranking, merebut posisi yang seharusnya milik orang lain dan menghancurkan impian mereka. "
"Ketika kejahatanku mulai terkuak, aku bahkan menyuap orang. Terakhir karena masalahnya mulai membesar, aku putus asa dan nyaris melenyapkan nyawa orang. Beruntung aku cepat sadar walau agak terlambat. Sebelum masalah tambah besar dan pihak sekolah resmi mengeluarkanku, aku memutuskan mengundurkan diri untuk menyelamatkan sisa harga diri yang sudah hancur berantakan. Sejak itu aku benar-benar terbangun, mataku terbuka lebar."
Setelah mendengar pengakuan Soobin, ada banyak hal yang Yeonjun pikirkan tetapi ia tidak tahu harus berkata apa kemudian, hanya mampu mengucap namanya dengan agak hilang akal. "Soobin..."
Soobin membalas panggilannya dengan senyum hampa. "Setelah mendengar ini, apa kau masih mau berteman denganku?" Walaupun ia bertanya, Soobin sebenarnya punya rencana licik. Seandainya Yeonjun menolak, dia akan memaksa dengan putus asa.
Tatapan Soobin memenjarakan Yeonjun dalam kekalutan. Bagaimana bisa tiba-tiba Soobin mengakui kejahatannya, datang seolah mengadu dengan mata anak anjing yang tersesat, tanpa kata memohon tetapi dengan tatapannya meminta dikasihani. Yeonjun tidak bisa segera memutuskan jawaban. Bukan karena masa lalu Soobin membuatnya jijik, bukan, tapi sebelum ini ia telah bertekat menjauhi Soobin agar dia tidak terlibat lagi dalam masalahnya.
Diamnya Yeonjun membuat Soobin mendadak tidak ingin mendengar jawaban apapun darinya. Ia menghela napas dengan lembut, lanjut mengisahkan cerita tentang dirinya sendiri.
"Ku pikir aku sudah berhasil melarikan diri dari neraka. Setelah pindah aku merasa telah dilahirkan kembali. Lupakan tentang keinginan lamaku, aku sudah tidak berani berharap banyak lagi, hidup sederhana sebagai seorang remaja lebih mudah untuk dijalani. Aku hanya ingin menjadi apa adanya tanpa dihantui masa lalu. Tapi hari damai tidak pernah berlangsung lama. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan sadar sebersih apapun aku mencuci, tanganku tetap kotor. Yang mampu aku lakukan hanya menyembunyikannya di balik punggung dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Sewaktu-waktu ketika aku melihat diriku sendiri di cermin, yang terpikirkan pertama kali hanya rasa jijik."
"Kemana pun aku pergi, aku sangat takut jika orang-orang akan melihat masa laluku yang kotor itu. Ku pikir jika akhirnya itu terbongkar, aku pasti akan menggali kuburanku sendiri dan bersembunyi di dalamnya seumur hidup."
Jeda sejenak. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Ia menilik wajah Yeonjun dari bawah.
"Tapi entah kenapa sejak aku melihatmu lagi, sejak aku mulai menyukaimu dan jatuh cinta, walau masih ada keinginan untuk sembunyi, aku lebih ingin bersamamu di dunia yang terbuka. Jika aku menjadi pecundang yang berdiri di balik tembok, hanya mampu melihat dunia di dalam kegelapan dan harus terus diam, lalu bagaimana aku bisa melindungimu, bagaimana aku bisa menemanimu dan berjalan di sisimu seperti dulu lagi. Yeonjun, aku punya kepercayaan bahwa kita bisa menghadapi dunia jika bersama."
"Aku sudah menemukan alasan untuk menjadi lebih berani. Jadi, Yeonjun, meski kau sudah tau bagaimana aku yang sebenarnya sekarang, apakah kau masih mau tetap bersamaku?"
Yeonjun masih terus merapatkan bibir, ada kegelisahan di matanya
Ketika tidak ada yang bicara, suasana di antara mereka jadi begitu sepi. Telinga mereka hanya mampu menangkap suara angin yang menabrak, gesekan daun dari pohon yang menaungi dan riak kecil dari air sungai yang mengalir.
Benak Soobin bertanya-tanya ketika ia melihat kilauan basah di mata Yeonjun, serta kesedihan dari alisnya yang menekuk samar. Mengapa ia tampak begitu sedih?
Soobin kembali melanjutkan. "Biar saja jika dunia kembali memandangku dengan kebencian, toh, aku sudah pernah mengalaminya dulu, setidaknya tidak akan lebih sakit untuk kedua kalinya. Tapi Yeonjun, jika kau tidak ingin bersamaku maka aku..."
"Kenapa aku?" Sergah Yeonjun memotong kalimat Soobin. Kali ini matanya benar-benar basah. Satu kali kedipan dan air mata jatuh secara bergantian dari mata kanan dan kirinya tepat ke wajah Soobin.
Soobin termenung sesaat sebelum menjawab dengan kesungguhan yang tempak jelas dari matanya. "Mungkin ini terdengar konyol tapi aku rela menukar semua yang ku miliki untuk satu saja hal yang benar-benar aku cintai. Jika aku bertekad, sekali aku menginginkan sesuatu maka tidak ada yang dapat menghentikan aku untuk mendapatkannya. Tidak peduli seberapa keras usaha Wooseok mengancamku, atau kau yang menolaku dan berusaha menjauh dariku, jika aku menginginkanmu, maka aku akan mendapatkanmu."
Namun setelah mendengar itu air mata Yeonjun semakin sulit untuk dihentikan, ekspresinya kacau; linglung; marah; sedih; takut; dan tak berdaya. Semua emosi itu berkumpul menjadi satu, lalu dikeluarkan dalam bentuk air mata.
"Kau tau siapa yang membocorkannya?"
Soobin menolak untuk menjawab.
"Katakan, kau tau atau tidak?"
Reaksi Yeonjun ini menjelaskan bahwa ia sudah bisa menebaknya dengan benar.
"Wooseok?" Yeonjun menyebut nama itu dengan gigi yang ditekan rapat.
Tangan Soobin terangkat untuk menghapus air mata Yeonjun tetapi dengan cepat wajah itu berpaling. Soobin menghela napas lelah. "Tidak peduli karena dia atau bukan, apa yang orang lain ketahui sekarang adalah sebuah kenyataan." Soobin mengangkat kepalanya, bertopang dengan satu tangan di samping tubuh Yeonjun. Ia bisa merasakan napas hangat Yeonjun menerpa kulit wajahnya. "Kau harus bersikap baik padaku, Yeonjun. Aku sudah menukar segalanya untuk mendapatkanmu. Apa kau masih akan berupaya menendangku dari hidupmu?"
Yeonjun membalas. "Kau sungguh bodoh."
Tidak tau kenapa mendengar itu Soobin malah tersenyum. "Kau tidak perlu takut Wooseok akan menginjak-injakku karena aku bisa menjaga diriku sendiri dan aku tau apa yang harus aku lakukan. Sebelumnya dia sudah berhasil menemukan kelemahanku dan menjatuhkanku. Kau adalah kelemahanku yang lain, aku tidak akan membiarkannya jatuh lagi ke tangan bedebah sialan itu."
Air mata Yeonjun jatuh lagi. "Tolol." Meski kata-katanya sarkas tapi kemudian ia memeluk Soobin dengan lembut.
Soobin tidak bisa tidak tersenyum. "Apa kau mulai menyukaiku sekarang?"
Satu isakan kecil lolos. "Aku sudah menyukaimu dari awal, bodoh."
"Jadi kau kekasihku sekarang." Pelukan itu dikembalikan. Dengan senyum yang makin lebar, Soobin mengembuskan napas yang sangat lega.
Yeonjun merutuk di sela air mata yang sulit berhenti. "Kenapa situasinya tidak pernah romantis, sih?"
.
.
.
TBC.
Finally... setelah sekian purnama mereka jadian, yepey!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top