11. Keluar Jalur dan Kehilangan Arah

Setelah menghabiskan waktu bermenit-menit lamanya untuk berlarian di sepanjang jalan, Soobin akhirnya mulai memelankan langkah dan berhenti untuk menarik napas sebanyak yang ia mampu. Di sebelahnya, Yeonjun sedang membukuk dalam, kedua tangannya bertopang pada lutut, dengan rakus ia mengembat pasokan udara. Mereka bearadu tatap sekilas ketika Yeonjun hendak bergerak menuju celah sekat-sekat bangunan bertingkat yang sempit, lalu duduk dengan payah.

Soobin tertawa pelan disela hembus napasnya yang keras. "Kau oke?"

Yeonjun mengangguk tetapi ada kerutan halus di dahinya yang lembab. "Ya."

Soobin berjongkok, berusaha menyejajarkan tubuhnya dengan Yeonjun walaupun ia tahu bahwa itu adalah usaha yang sia-sia. Napasnya kini sudah mulai pulih, hanya saja detak jantungnya yang memompa darah dengan kuat itu masih tak bisa tenang untuk sementara waktu, tentu ada alasan lain yang membuatnya seperti ini.

Sebelum ia menerima jawaban dari Yeonjun, gemuruh di dadanya tidak akan bisa tenang.

Karena Soobin sibuk menahan guncangan selama ia menunggu Yeonjun menjawab, ia tiba-tiba tidak bisa melihat wajah pahit lawan bicaranya.

Yeonjun sedang menimang dalam hati ketika Soobin menunjukan wajah penuh penantiannya, beberapa bulir keringat masih menempel di dahi putih itu, beberapa mulai mengalir menuju dagu lancipnya sebelum jatuh tanpa suara ke atas tanah. Napas Soobin sudah membaik tetapi pada beberapa tarikan dan hembusnya ada suara halus yang menyertai. Yeonjun tidak tau seberapa panas napas Soobin, tapi tanpa perlu menyentuh langsung kulitnya, wajah Yeonjun sudah merasa terbakar. Yeonjun menelan ludah, mencoba menghusir segala kecintaannya itu. Soobin terlalu bersinar di matanya, Yeonjun ragu, bagaimana nanti jika ia malah merusaknya?

Melihat dari jauh sudah cukup, Yeonjun tidak ingin egois untuk menyimpannya sendiri.

"Soobin kita tidak bisa. Maksudku, kau dan aku... bersahabat saja sudah cukup."

Sepasang alis hitam itu mengerut, ujung-ujungnya seakan hendak menyatu. Akal Soobin mendadak lebur. Senyum kecil yang awalnya masih terpajang pada wajah rupawan itu perlahan berubah menjadi garis horisonal. Dia benar-benar terkejut tapi tidak tau harus berekspresi apa.

"Tapi kenapa?"

Yeonjun langsung menyambar pertanyaan itu. "Aku hanya tidak mau."

Sesaat hening. Bibir Soobin terbuka kecil seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi kembali ia rapatkan. Tidak tau harus mengatakan isi kepalanya atau tidak. Soobin pikir jawabannya sudah sangat jelas sebelumnya, tapi hari ini mendadak semuanya keluar jalur dan kehilangan arah. Bagaimana jika selama ini memang dirinya yang salah paham?

"Apa karena kau tidak menyukaiku, Yeonjun?" Walau suaranya sekecil bisikan, dalam ruang gerak yang terbatas ini Yeonjun tetap bisa mendengarnya dengan jelas.

Pertanyaan itu tak segera mendapat jawaban. Yeonjun mengeluh dalam hati kecilnya sambil memperingatkan diri. Segala yang ada pada diri Soobin, bahkan sebelum Yeonjun menyadari siapa Soobin sebenarnya, ketika ia pertama kali melihat lelaki itu duduk sambil memperhatikannya di dalam kelas, walau kesan pertama Yeonjun pada Soobin setelah bertahun-tahun tidak bertemu adalah lelaki tak tahu malu yang aneh, tapi Yeonjun diam-diam juga menyimpan kagum dalam hati yang pada saat itu juga segera ia bantah mentah-mentah. Setelah ia tahu bahwa Soobin adalah teman masa kecilnya, dia lebih berani jujur bahwa memang Soobin sangat bagus, semua hal yang melekat pada dirinya cocok, keren, tampan, luar biasa. Jadi bagaimana bisa Yeonjun tidak menyukainya?

Yeonjun tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri dan tetap berkata jujur di depan wajah Soobin. "Tentu saja aku menyukaimu, kau yang paling aku suka, tapi tidak bisakah kita bersahabat saja? Hubungan seperti itu, aku tidak memerlukannya, aku tidak mau kau terikat padaku."

Mendengar jawabannya, Soobin tahu bahwa Yeonjun mungkin hanya takut-takut dan sedang berusaha mendorongnya menjauh, mencoba menyingkirkannya, biar bagaimana pun dalam tahun-tahun belakangan Yeonjun sudah terbiasa sendiri, jadi mungkin ketika seseorang masuk dalam hidupnya, ia merasa tak biasa akan hal itu.

Soobin belakangan tahu tentang Yeonjun yang punya beberapa pengalaman yang meninggalkan trauma, membuatnya selalu sangsi ketika harus menghadapi sebuah pilihan karena takut jatuh ke dalam lubang yang sama. Ia selalu ragu mengambil sebuah langkah karena takut salah pijak. Dia takut, bahkan ketika seseorang mengulurkan tangan padanya, dia akan berpikir bahwa tangan itu akan memukulnya, bahkan jika pada akhirnya ia tahu tangan itu hanya ingin membantu, Yeonjun akan tetap selalu waspada.

Permasalahan utama Yeonjun adalah takut percaya pada orang lain meskipun dia sendiri tahu bahwa ketakutannya terkadang terlalu berlebihan.

Karena itu, Soobin berusaha menyakinkannya dengan lebih bahkan agak menuntut. Pertama ia meraih kedua bahu Yeonjun, mencengkramnya tetapi berusaha menggunakan lebih sedikit kekuatan agar tidak menyakitinya, lalu ia mencari sepasang manik gelap Yeonjun, menangkap dan menjebaknya dengan tatapan dalam.

"Dengar, aku menyukainya dan tidak akan keberatan selama itu kau, aku benar-benar tidak akan masalah. Biarkan aku bersamamu, ya?"

Hembus napas Yeonjun terdengar lelah.
"Kau bukan tidak tahu kalau aku sudah bertunangan, Soobin." Ucap Yeonjun, suaranya seringan bulu yang melayang terbawa angin hingga berakhir jatuh pada genangan air hujan di atas tanah, riaknya adalah sama dengan bola mata Soobin yang bergetar kala itu.

Di samping ketakutan menerima uluran tangan, Yeonjun juga mengkhawatirkan nasib Soobin kedepannya. Bagaimana jika suatu saat dirinya akan menjadi penyebab dari ketidak beruntungan Soobin?

Perlahan Soobin mulai mengerti apa yang coba Yeonjun hindari.

Soobin melihat ketidakberdayaan pada bola mata Yeonjun yang teduh, tiba-tiba merasa sangat marah, Soobin menggeraskan rahangnya dan berbisik tajam. "Kau tidak mencintainya..."

Ada udara yang menghempas pelan wajah Yeonjun ketika Soobin bicara. Ia mengerjap beberap kali ketika nada Soobin mulai berubah, dadanya serasa ditekan, mungkin karena takut.

"Itu..." suara Yeonjun agak tercekat, ia menelan ludah sebelum melanjutkan dan balik mengeraskan wajahnya. "... itu sudah tidak penting lagi. Sejak awal hanya ada dua pilihan: 'terima saja' atau 'dipaksa terima'. Tidak ada yang lebih baik. Aku seperti itu, Soobin, sedangkan kau berbeda denganku, kau punya kebebasan untuk memilih dan itu bagus, maka pergi dan carilah orang lain yang bisa kau miliki, jangan berbalik untuk melihatku..."

... Karena hidupku sudah lama statis, tidak akan bisa pergi mengikuti langkahmu. Jangan terikat denganku, aku tidak punya keberuntungan. Yeonjun menyimpan kalimat terakhir itu untuk dirinya sendiri.

Ada jeda yang cukup singkat di antara keduanya.

Soobin tanpa diduga segera melonggar. Ia bangkit berdiri dengan sangat perlahan seolah ada beban di punggungnya yang membuatnya berat untuk sekadar menegakkan tubuh, memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya sembari menundukan kepala, memandang Yeonjun di bawahnya. "Jadi ini karena Wooseok?"

Yeonjun tak segera menjawab. Memilih untuk memalingkan wajah dan mendengus. Ia merasa tak sudi untuk mendongak, hanya merasa jika ia melakukannya seolah ia menjadi sangat rendah di hadapan Soobin, seolah ia hanya makhluk lemah yang menciut di bawah naungan tubuh Soobin yang menjulang. Meski begitu Yeonjun juga tak berusaha untuk menantang balik, kenyataannya di bawah tatapan Soobin dirinya benar-benar telah mengkerut seperti landak yang berusaha menyembunyikan wajahnya. Yeonjun masih mencoba mencari jejak harga diri ketika Soobin kembali bicara.

"Meskipun kau tidak mencintainya, kau tetap akan menerima pertunangan itu?"

"Aku tidak punya pilihan." Jawab Yeonjun.

Soobin mengembuskan napas lelah, mencoba sekali lagi menekan emosinya yang menggelegak di dada. Ia lantas meraih lengan Yeonjun dan mengajaknya untuk bangkit terlebih dahulu sehingga ia bisa melihat wajahnya lagi. Namun Yeonjun segera menepis tangan Soobin beberapa saat setelah menyetuh kulitnya dan dengan segera bangkit sendiri.

Yeonjun mulai menunjukan kekeraskepalaannya. Soobin berusaha tetap tenang dalam ucapan dan tingkahnya agar Yeonjun tetap nyaman dan tidak pergi.

"Itu jelas tidak adil untukmu. Kau pikir aku akan tinggal diam melihatmu dipermainkan olehnya?"

Yeonjun membalas tatapan lembut Soobin dengan sengit. "Memang apa yang bisa kau lakukan? Kau jelas bukan lawannya. Benar kau pernah mengalahkan Wooseok sekali, tapi bagaimana kau bisa memastikan dirimu akan tetap baik-baik saja? Aku tahu bagaimana Wooseok, kau memukulnya sekali maka dia pasti akan menginjak-injakmu dengan kakinya sendiri di lain hari."

Soobin memejamkan mata dan mulai kembali merasa kesal ketika mendengar nama Wooseok disebut-sebut.

"Kau meremehkanku, Yeonjun? Aku tidak selemah yang kau pikirkan. Jika ku katakan aku bisa, maka aku selalu bisa mengalahkannya."

Yeonjun menusuk-nusuk dada soobin dengan satu jari. Suaranya agak gemetar. "Terkahir kali kau membuatnya tak berdaya di atas tanah lalu apa kau pikir dia akan tinggal diam? Justru karena aku melihatmu masih baik-baik saja sampai hari ini membuatku takut."

Hati Soobin melembut mendengar penuturan Yeonjun. "Kau tidak perlu takut, aku jamin dia tidak akan bisa menyakitiku." Ketika ia hendak menaruh telapak tangannya di atas kepala Yeonjun, sebuah tangan menepisnya dengan segera.

"Lalu bagaimana jika aku yang akan melakukannya?"

Soobin tahu itu mustahil. "Kau juga tidak akan mungkin menyakitiku."

"Kau hanya tidak tahu." Ucap Yeonjun dengan keras kepala.

Soobin hanya mampu diam, mungkin karena ada sedikit rasa takut di hatinya. Itu bukan karena ia takut di sakiti, lagipula apa yang bisa Yeonjun lakukan padanya? Soobin hanya takut jika Yeonjun memaksakan dirinya lagi dan berakhir dengan menyakiti dirinya sendiri.

Yeonjun tak ingin lebih lama lagi melihat wajah Soobin, ia tak mau berubah lembut hanya karena melihat mata Soobin yang menyedihkan. "Aku menolakmu. Silahkan pergi."

Soobin bahkan tak berkedip setelah mendengar ucapan Yeonjun. Yeonjun merasa ingin meninju wajah itu tetapi bahkan ia lebih ingin menampar wajahnya sendiri dan mencolok kedua matanya agar berhenti melihat wajah Soobin. Pada akhirnya dia berkata, "Oke, aku pergi."

Soobin bergeming, setelah tersadar ia mendapati Yeonjun telah keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghilang di belokan. "Yeonjun, jangan keras kepala." Soobin segera keluar, Yeonjun sudah jauh dan dirinya sendiri tidak berusaha untuk mengejarnya. "Baiklah tetaplah menjadi seperti yang kau katakan tapi aku juga tidak akan tinggal diam." Ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Lalu ia menempatkan kedua tangannya di depan mulut dan berteriak sekencang yang ia bisa.

"YEONJUN AKU JUGA TIDAK MEMBERIMU PILIHAN! AKU MEMAKSAMU!"

Kecuali Yeonjun, semua orang di sepanjang jalan memperhatikannya dengan tatapan menghakimi.

Yeonjun menghentikan langkah ketika menyadari seseorang yang tengah bersandar pada sebuah mobil di depannya itu terasa familiar di matanya.

"Ke mana saja kau?"

"Kenapa kau di sini?"

Mereka bertanya pada waktu yang bersamaan. Yeonjun mengerutkan dahinya sebagai isyarat tak suka, di lain sisi pemuda dengan tampilan necis itu malah menyeringai. Wooseok menghisap puntung rokoknya yang masih panjang, melemparnya ke bawah lalu diinjak.

"Masuk, ku antar kau pulang."

Yeonjun merasa tidak nyaman tetapi ia tetap menurut dan masuk ke dalam mobil. Setidaknya ia harus bersikap sedikit patuh untuk sekarang, ia sedang tidak ingin membuat Wooseok marah.

"Yeonjun, aku memelihara seekor kucing di rumah." Ucap Wooseok ketika Yeonjun sudah duduk dengan baik di sebelahnya. Nada bicaranya seperti biasa, agak kekanakan, agak nakal, ada sedikit manis tapi itu sangat palsu, untuk Yeonjun yang telah banyak mendengarnya bicara, suara Wooseok selalu membuatnya takut.

"Aku beberapa kali mengajaknya bermain tapi dia selalu menggunakan gigi dan cakarnya padaku. Ku pikir dia membenciku padahal aku yang memberinya makan setiap hari, bukankah dia sangat tidak tahu malu? Bagaimana menurutmu?"

Yeonjun tidak merespon tapi Wooseok tahu ia sedang mendengarkan, jadi dia tetap melanjutkan. Sebenarnya didengarkan atau tidak Wooseok akan tetap berbicara pada Yeonjun.

Di tengah aktivitas menyetir, Wooseok menarik lengan kiri jaketnya sampai ke siku. Ada bekas luka kecil di sana, ada yang telah mengering, ada juga yang masih meninggalkan warna merah menyala.

"Lihat ini, aku hanya menunjukan luka-luka ini padamu, jangan katakan pada siapapun, oke? Aku benar-benar akan kehilangan wajah karena kucing sialan itu. Kadang aku memukulnya agar dia disiplin, sayang kucing itu agak tolol, ia tidak pernah mengerti. Pernah suatu hari wajahku dicakar olehnya, padahal seperti yang kau tau wajahku ini sangat berharga. Entah kucing itu melakukannya dengan sengaja atau tidak, aku benar-benar tidak bisa mentoleransinya jadi aku mencekiknya untuk balas dendam." Wooseok tertawa.

"Tapi tenang saja, dia tidak mati."

Kerutan di dahi Yeonjun semakin dalam, ia menelan ludah sebelum berkata, "Untuk apa kau menceritakan itu?"

"Hanya berpikir kau mirip dengannya." Wooseok meliriknya dengan nakal, "Bagaimanapun kesalnya aku pada kucing itu, aku tetap tidak bisa melihatnya mati. Ckckck.. Tapi aku tetap harus memberi hukuman bukan?"

Pada saat ini Yeonjun merasa Wooseok menjadi lebih gila dari sebelumnya. Orang itu seolah berbicara tentang hal lain tetapi Yeonjun tau sebenarnya Wooseok ingin mengancamnya.

Ketika sedang memikirkan perkataan Wooseok, tiba-tiba Yeonjun terlonjak kaget. Ia mendelik ke arah Wooseok yang tengah berusaha menahan tawa tetapi akhirnya menyerah. Yeonjun melihat tangan Wooseok terulur ke arahnya, itu adalah hal yang membuatnya terlonjak waspada.

"Ku pikir kau benar-benar mirip sepertinya."

Yeonjun berkedip bingung, lalu tangan yang menggantung di udara itu bergerak ke atas kepalanya, mengusaknya dengan gemas.

"Kadang aku ingin memberinya kelembutan dengan mengusap bulunya-bulunya yang halus tetapi kucing itu akan segera terbangun kalau ia sedang tidur, melompat kaget kalau ia sedang duduk, atau terbirit ketika aku mendekatinya. Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan, bagaimana aku bisa menunjukan kebaikanku kalau begitu? Padahal kalau ia patuh aku juga tidak akan menyakitinya."

Yeonjun menerima tepukan ringan di puncak kepala sebelum Wooseok kembali fokus ke jalanan.

Laju mobil yang mereka tumpangi berhenti di lampu merah. Yeonjun diam-diam mengencangkan pegangan pada tas ransel dalam pelukannya.

"Oh iya, tadi pagi kucing itu berulah lagi. Dia mengabaikanku karena sebuah boneka."

"Jadi tadi sebelum pergi aku menggunting kepala boneka itu dan melemparnya ke luar balkon. Aku penasaran bagaimana ekspresinya ketika melihat benda itu tanpa kepala." Ucapannya ditutup dengan gelak tawa geli. Seketika bulu kuduk Yeonjun berdiri. Ia benar-benar tidak tahan lagi.

"Kau gila!"

Wooseok semakin keras tertawa. "Kau boleh, kenapa aku tidak?"

Yeonjun menarik paksa sabuk pengaman lalu membuka pintu dengan kasar dan menutupnya dengan lebih kasar.

Wooseok melihatnya dalam diam. Tawanya sudah hilang bersama dengan perginya Yeonjun, yang tersisa kini hanya rasa asam di dadanya.

"Jalan saja sana, anggap aku sedang menghukummu."

.

.

.

Hong Jong Hyun, orang yang akrab di sapa Pak Hong itu terdiam beberapa saat di depan pintu kayu ukir bercat putih di hadapannya. Ia berpikir sebentar, agak ragu-ragu sebelum mengetuk pintu itu dengan sopan. Kemudian samar-samar terdengar suara laki-laki muda dari dalam yang mempersilahkannya untuk masuk.

Pandangannya segera mengedar ketika pintu terbuka, diam-diam menghela napas lega ketika mendapati seorang pemuda tengah berdiri menyendiri di ambang jendela dengan gorden yang terbuka lebar. Di luar angin agak kencang, pepohonan bergoyang dan daunnya berguguran. Hanya ada satu sumber penerangan di ruangan ini yaitu lampu baca di atas meja. Dari tempatnya berdiri sekarang, Hong Jong Hyun bisa melihat satu sisi wajah anak itu, samar-samar memantulkan cahaya bulan yang masuk dari jendela.

Perasaan lega mengalir di dada Jong Hyun, ia segera mendekati anak muda yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu. "Kau seharusnya membawaku juga..." namun sisa kata-katanya mendadak tersangkut ditenggorokan. Pak Hong berhenti melangkah dan terdiam. Ia terlambat menyadari raut pada wajah Yeonjun. Kalimat selanjutnya otomatis berubah. "...kau baik-baik saja?"

Yeonjun menoleh perlahan tetapi tak menjawab, wajahnya sedingin udara malam di luar. Ia bergerak beberapa langkah ke belakang lalu bersandar di meja kerja milik ayahnya yang berantakan. Ketika ayahnya meninggalkan ruangan ini mungkin ada sedikit keributan yang terjadi dan satu hal yang pasti ayahnya sangat terburu-buru kala itu sehingga ia tak sempat menyimpan kembali kertas-kertas dokumen yang berserakan di atas meja. Di ujung meja ada secangkir kopi yang masih penuh, tidak ada pelayan yang akan masuk ke ruangan ini jika tuan mereka tidak memerintahkan, sehingga Yeonjun dapat menyimpulkan bahwa ayahnya benar-benar dalam kekacauan ketika meninggalkan rumah.

Pak Hong tidak perlu jawaban, ia jelas tau anak itu tidak sedang dalam kondisi yang baik. Dia sudah melihat anak ini tumbuh, dari sejak tinggi Yeonjun hanya beberapa senti di atas lututnya, sejak Yeonjun masih sering merengek sambil melompat-lompat minta digendong, hingga sekarang ia tak perlu membungkuk untuk menatap mata sedih Yeonjun ketika ia kesepian sebab tinggi mereka hampir sama. Yeonjun bahkan sudah melarangnya untuk menepuk-nepuk puncak kepalanya lagi. Anak-anak sudah tumbuh tetapi di mata Hong Jong hyun, Yeonjun tak ubahnya seperti anak balita: jika tidak dijaga dengan baik, ketika berjalan ia akan tersandung, ketika lari ia akan menabrak, jika tidak dituntun dia akan tersesat. Apalagi ia sudah tau bagaimana pasang surut kehidupan keluarga ini, ia tak bisa sedikit pun abai pada detail kecil yang tertangkap matanya.

Untuk menghadapi Yeonjun yang suasana hatinya tidak baik, Pak Hong tau akan sia-sia jika ia bertanya terus menerus. Yeonjun tidak suka dituntut, ia hanya akan melakukannya jika ia ingin, Pak Hong hanya perlu membujuknya untuk bicara.

"Kau pergi ke Jepang tanpa membawaku. Apa kau sudah sangat hebat sekarang? Jika iya, sepertinya waktu pensiunku sudah semakin dekat." Tak ada secuil pun perubahan dari sisi Yeonjun, Pak Hong paling benci situasi seperti ini.

Pak Hong menghela napas. "Yeonjun-ah, jika kau membutuhkan sesuatu atau ingin mencari tau tentang suatu hal, aku akan selalu siap untukmu, kau tidak perlu melakukannya sendiri, jika kau masih keras kepala lalu apa gunanya aku di sini? Pergi tanpa kabar seperti kemarin itu sangat tidak baik, Ayahmu bahkan tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, dia sangat mengkhawatirkanmu. Dia buru-buru memerintahan banyak orang untuk mencarimu."

Yeonjun agak melamun saat mendengar ayah mencarinya. Sejak ia berdiri di balik jendela, ia telah merasakan rasa bersalah yang besar pada ayahnya, sekarang setelah mendengar apa yang Pak Hong katakan, Yeonjun benar-benar mengutuk dirinya sendiri. "Apa Ayahku baik-baik saja?"

Pak Hong berpikir sebentar sebelum menjawab. "Sekarang kau sudah kembali, dia pasti akan baik-baik saja."

Namun kata-kata hanyalah kata. Siapa yang tahu bagaimana perasaan ayahnya sekarang?

"Kau mencari sesuatu ke Jepang?"

Yeonjun masih betah melamun dan tak mencoba menanggapi.

"Aku akan membantumu. Katakan apa yang kau cari, aku akan segera menemukannya, kau tau kan Pak Hong mu ini punya banyak anak buah."

Yeonjun menggeleng, ia berucap pelan. "Tidak perlu, aku sudah menemukannya." Ia mengalihkan wajahnya pada Pak Hong, menatapnya beberapa saat. "Pak Hong, kau bekerja untukku atau Ayahku?"

"Tentu saja aku bekerja untukmu." Jawab Hong Jong Hyun segera.

"Bersumpahlah-"

Pak Hong tau apa yang akan dikatakan anak itu jadi ia segera memotong. "Aku sudah bersumpah berkali-kali."

Yeonjun terkekeh pelan, tetapi sangat hambar, lalu mengangguk mengiyakan.

"Beberapa waktu belakangan aku hanya merasa ayahku tau lebih banyak hal tentangku. Itu bukan kau kan yang melakukannya?"

Pak Hong menelan ludah. "Bukan aku."

"Baiklah kalau begitu aku harus merepotkanmu lagi. Aku ingin kau mencari tau apakah ada seseorang yang memberi informasi pada Ayahku."

Hong Jong Hyun terdiam beberapa saat. Yeonjun tidak dapat melihat keanehan di wajahnya karena penerangan yang terbatas, tetapi dengan menemukan bahwa Pak Hong tidak segera menjawabnya seperti yang sudah-sudah, Yeonjun agak penasaran, jadi ia mengangkat kepala dan agak memicing, tepat setelah melakukan itu, suara Pak Hong yang patuh terdengar.

"Akan ku lakukan."

Yeonjun sulit untuk percaya pada orang lain, tapi ketika ia sudah percaya akan lebih sulit untuk membuatnya ragu. Jadi meski ia sempat agak curiga, mendengar pak Hong mengatakan bahwa ia hanya bekerja untuknya seorang, itu sudah cukup untuk Yeonjun mengembalikan kepercayaannya.

"Kau tampak tidak baik. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Yeonjun merasa percuma menyembunyikan sesuatu dari Pak Hong dan lagipula sebelumnya ia sudah merasa bersalah karena telah menghilang secara tiba-tiba, untuk menebus itu ia berpikir akan menceritakan semuanya pada Pak Hong.

Yeonjun memulai ceritanya. "Aku pergi mencari tahu tentang ayah hyungku."

Mata Pak Hong membulat. "Kau sudah tau?"

Yeonjun mengangguk. "Sudah sejak lama, aku sempat lupa dan ke sana untuk memastikannya kembali."

Pak Hong menghembuskan napas, ia agak merasa sedih. "Nyonya yang memberi tahumu?"

Yeonjun kembali mengangguk.

"Kapan?"

"Sudah lama sekali, aku juga tidak ingat." Ia tak ingin mengingat lagi kapan kejadian itu terjadi. Hanya dengan memikirkan sepotong ingatan tentang satu sepatunya yang hilang, itu sangat melukainya.

"Apa kau tahu bagaimana cerita yang sebenarnya? Kenapa ayah hyungku bisa meninggal? Dan kenapa hal itu dirahasiakan?"

Pak Hong menjawab setengah jujur. "Tidak, aku datang ke keluarga ini lebih lambat."

"Semoga kau tidak membohongiku."

Pak Hong tidak menjawab, ia hanya tetap berdiri di tempatnya, menunggu Yeonjun lanjut bercerita.

"Meskipun aku tau ayah hyungku sudah meninggal, tapi ketika hyungku mengatakan bahwa saat ia dewasa nanti akan mencari ayahnya sendiri, aku tidak bisa tidak berpura-pura antusias dan menawarkan diri untuk membantu hyungku mencari ayahnya. Binar mata dan senyum hyungku ketika ia bilang akan menemukan ayahnya kembali, ketika melihat itu hatiku benar-benar sakit, tapi aku sudah terlanjur berjanji padanya."

"Beberapa waktu lalu dia mengirimiku pesan. Aku sudah berharap banyak, ku pikir dia akan segera kembali. Tapi..."

Dahinya mengerut ketika memikirkan isi pesan tersebut.

"... dia bilang tidak usah mencarinya lagi karena ayahnya sudah ditemukan."

Hong Jong Hyun tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa?"

"Ku pikir dia berbohong tapi dia tidak membalas pesanku lagi. Aku ketakutan setengah mati. Bagaimana nanti jika kami bertemu? Apakah ia akan membenciku? Apa ia akan menyalahkanku? Aku samar-samar mengingat kejadian itu, saat Ibuku membawaku ke sebuah makam, aku ingat saat itu Ibu menangis di depan makam itu lalu..." Yeonjun merasa sesak ketika mengingatnya kembali. Ia menjilat bibirnya yang kering sebelum melanjutkan. "... aku tidak ingat itu makam siapa, tetapi setelah ku pikir-pikir itu mungkin makam ayah hyungku. Ingatanku sangat buruk, selama ini yang ku ingat hanya fakta bahwa ayah hyungku sudah meninggal, aku melupakan bagaimana caraku tahu tentang hal itu. Makanya aku buru-buru pergi ke Jepang untuk memastikannya juga karena ku kira aku akan bisa menemukan hyungku di sana dan berencana akan menjelaskan semua padanya. Namun ketika aku sampai, makam itu sama seperti tahun ketika aku datang untuk pertama kali. Tidak ada bunga segar, rumputnya dibiarkan tumbuh, itu adalah makan yang kesepian. Aku yakin hyungku tidak pernah pergi ke sana, dia tidak melihat makamnya."

"Tadi ketika aku baru saja sampai di rumah, aku menerima pesan lagi dari hyungku. Dia bilang ayahnya akan membawanya pergi dan mungkin kami tidak akan punya kesempatan lagi untuk bertemu. Siapa? Bagaimana ayahnya bisa membawanya pergi? Jelas-jelas ada sebuah makan yang di buat dengan namanya. Jadi dengan siapa sebenarnya dia akan pergi?"

"Apa aku yang ditipu? Apa selama ini aku sudah keliru sebagai orang yang disalahkan? Tapi bukankah kebencian Ibuku itu nyata? Siapa yang berbohong di sini?"

"Taehyung hyung pasti telah ditipu oleh orang itu." Ketika mengatakanya, sorot mata Yeonjun agak tajam, tapi beberapa saat kemudian kembali kosong, dia agak melamun.

Angin kembali menerjang pepohonan di luar, ranting-ranting pohon di halaman patah dengan bunyi yang khas, beberapa jatuh di ke tanah, beberapa masih tersangkut dan tergantung.

"Tapi bagaimana caranya aku mengatakan kalau ayahnya sudah lama meninggal? Impiannya baru saja terkabul, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, aku tidak tega."

"Aku juga tidak mau dia membenciku." Ucap Yeonjun, suaranya melemah dan tatapannya kembali menerawang jauh menembus malam.

"Tadinya aku datang ke sini ingin menunggu Ayahku pulang, aku ingin bicara dengannya, tapi aku malah menemukan itu di atas meja. Bagaimana semua ini bisa terjadi dalam beberapa hari? Hyung ku pergi, Ibuku tidak pernah pulang, lalu sekarang tiba-tiba ada surat perceraian di atas meja Ayahku. Ayah pasti sangat tertekan ketika aku pergi."

Hong Jong Hyun awalnya tidak mengerti apa yang di maksud dengan 'itu', ketika Yeonjun mengatakan surat perceraian, atensinya langsung jatuh pada kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ada kertas surat yang setengah tersimpan di dalam map.

Sial! Ini belum saatnya Yeonjun tahu.

"Yeonjun..."

Saat Pak Hong akan berbicara, Yeonjun beranjak dari tempatnya sambil bergumam. "Aku harus minum obat."

Hong Jong Hyun mengutuk dalam hati. Ia memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia membuka mata dan kembali mendapati setengah kertas yang keluar dari map, itu hanya kertas dan tinta tapi bisa merenggut kehidupan seorang anak. Seandainya Tuan Choi yang terhormat bisa meluangkan waktu untuk memasukan sisanya kertas ke dalam map, seandainya Choi Yeonjun tidak begitu putus asa dan menunggu kepulangan ayahnya di ruang kerja. Seandainya... seandainya... seandainya ia bisa menahan Yeonjun pergi ke Jepang, atau datang lebih awal sebelum anak itu masuk ke raung kerja ini.

Apakah semuanya akan lebih baik? Setidaknya tidak ada masalah baru yang menumpuk di atas tumpukan masalah yang lain.

Engsel pintu berderit ketika Yeonjun menariknya. Pak Hong berbalik menghadap punggung Yeonjun.

"Kau anak yang kuat. Jangan khawatir, aku akan membantumu melewatinya." Ujarnya dengan nada lembut begitupun dengan tatapannya.

Yeonjun terdiam ditempat, entah bagaimana raut wajahnya sekarang.

"Bisakah?"

Pak Hong berusaha membujuk dan menyakinkannya. "Tentu, tapi sebelum itu kau harus yakin bahwa kau bisa melalui semua ini. Kau masih muda, masih banyak harapan yang bisa kau buat dan wujudkan, bahkan jika kau gagal, kau masih bisa terus membuat harapan. Coba bayangkan impian terbesarmu, cita-citamu, semua keinginanmu, kau harus selalu percaya ada jalan untuk mengantarkanmu pada semua itu."

Hening.

Yeonjun masih berdiri ditempatnya.

"Eum, aku tau. Jangan khawatir."

Namun Pak Hong tidak bisa tidak khawatir. Malam itu ia duduk di sisi ranjang Yeonjun, mengamati sebuah tubuh yang meringkuk terbungkus selimut tebal.

"Jangan ditahan."

Mata Yeonjun berkedip di balik poninya. "Apa?"

"Kau hampir menangis."

Hening.

"Pak Hong, kenapa kau tidak menikah saja dan punya anak?"

Hong Jong Hyung melipat tangannya di depan dada. "Aku tidak butuh istri. Aku sudah cukup melihatmu tumbuh jadi aku rasa aku tidak perlu punya anak."

"Pasti berat untukmu."

"Tidak selagi anak itu tidur dan bangun tepat waktu di pagi hari berikutnya."

Yeonjun terkekeh sambil menarik selimut.

"Sayang sekali orang sepertimu tidak memiliki anak. Jika punya, orang yang menjadi anakmu pasti sangat beruntung memiliki ayah sepertimu."

.

.

.

Yeonjun melihat Soobin tercengir di depan matanya lalu ia buru-buru beralih pada Hueningkai yang alisnya hampir menyatu.

"Hueningkai, kenapa kau duduk di sana?"

"Yeonjun hyung~ Soobin hyung melempar tasku kemari dan dia mencuri tempat dudukku." Adunya

Soobin membela diri. "Sudahlah tidak usah merengek, salah kau sendiri kalah cepat."

Yeonjun menendang meja yang Soobin tempati. Soobin yang masih asik mengejek Heuningkai seketika itu terlonjak kaget. Sambil mengelus dada ia sempat bertanya tentang keadaan kaki Yeonjun yang ia gunakan untuk menendang.

Dalam hati Yeonjun bertanya-tanya, apa yang membuat Soobin tiba-tiba menjadi tolol?

Mungkin karena cintanya di tolak? Soobin ingin balas dendam?

"Kau sedang merencanakan sesuatu?" Tanya Yeonjun, nadanya tajam, auranya mengintimidasi tapi Soobin tampak tak takut sama sekali.

"Tidak ada, matahari pagi sehat, aku hanya ingin menikmatinya di sini." Balasnya sambil merentangkan tangan ke arah datangnya matahari, tepatnya ke meja Yeonjun yang berada di sebelahnya. Ia memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, seolah tengah dimanjakan oleh hangatnya matahari.

"Nikmati saja di luar, kenapa harus ditempatku?"

Soobin membuka mata dengan polos, wajahnya agak bingung. "Di mana tempatmu? Aku jelas-jelas hanya mengambil tempat Hueningkai."

Soobin sadar betul ia sedang mengganggu macan tidur. Untuk mengamankan diri, ia buru-buru menarik Yeonjun dan mendudukannya di tempatnya. Yeonjun tidak banyak berkutik, sepenuhnya merasa bingung dan jengkel. Dia duduk tetapi matanya tak lepas dari wajah Soobin.

"Aku tidak tahu kau bisa seperti ini." Ucap Yeonjun, ia mulai curiga.

Soobin masih santai, menumpukan sebelah pipinya pada telapak tangan dan tersenyum. Wajahnya terkena sinar matahari pagi. Entah mana yang lebih hangat.

"Kalau begitu aku akan memberi tahumu banyak hal lagi tentangku. Tapi nanti di jam istirahat, sekarang ayo kita belajar dulu."

Yeonjun berdecih, membating tas di atas meja. "Kita? Belajar sana sendiri, aku ingin tidur." Lalu  ia mulai menenggelamkan wajah ke tangannya yang terlipat di atas tas.

"Baik, kalau begitu aku akan menjagamu supaya tidak dilihat guru."

Ada suara geraman yang teredam. "Kau sudah gila."

Senyum Soobin semakin lebar. "Tepat sekali."

Yeonjun berjalan gontai ke luar kelas, mulutnya masih komat-kamit menyumpah serapahi seisi kelas yang menertawai dan mengejeknya. Ia menekan puncak kepalanya yang masih berdenyut terkena lemparan spidol. Sebenarnya ia tidak seratus persen tidur tadi, niatnya hanya menghindari Soobin. Sebelumnya ia tak pernah bolos dipelajaran guru galak ini karena tidak berani mencari masalah, dengan adanya Soobin ia pikir orang itu benar-benar akan melindunginya agar tak terlihat guru, siapa sangka ketika ia mendongak sambil mengaduh sakit, yang ia dapati pertama adalah wajah terkejut dan panik Soobin yang sangat ingin ia jadikan pelampiasan sakit di ujung kepalanya. Yang diawasi Soobin dari awal adalah dirinya, bukan gurunya.

Seisi kelas menertawakannya dan Yeonjun hanya bisa pasrah ketika Guru Park memerintahkannya berdiri dengan satu kali dan tangan memegang telinga di depan kelas.

Agak memalukan tapi lumayan membantu untuk menjauh sesaat dari Soobin.

Yeonjun menoleh ketika pintu kelas terbuka, lalu matanya melotot pada orang yang muncul.

"Ada apa denganmu?"

Soobin berjalan ke arahnya, suaranya sarat akan rasa bersalah. "Maafkan aku, seharusnya aku bisa menjagamu dengan baik." Lalu ia mula mengangkat satu kaki dan memegang kedua telinganya.

Yeonjun nyaris kehilangan kata-kata. "Bukan itu, maksudku kenapa kau juga dihukum?"

"Aku hanya mengatakan apakah aku boleh menamanimu diluar? Dan Guru Park mempersilahkanku, jadi aku pergi."

Luar biasa... bodoh.

Yeonjun tidak tahu harus berbuat apa. Ia menurunkan kaki dan mulai berdebat.

Di kelas seberang, Woojin sedang berusaha membuka bungkus permen karet tanpa menimbulkan suara. Bungkusnya sudah berhasil dilepas, ia hanya perlu memasukan permen ke dalam mulutnya dengan aman. Guru yang mengajar di kelasnya sedang sibuk menulis di depan jadi Woojin tak mencoba menyembunyikan kelakuannya. Ketika permen sudah hampir masuk ke mulut, matanya tak sengaja menangkap dua figur yang tak asing lewat jendela kelas. Gerakan tangannya terhenti, permennya menggantung di udara, dan Woojin masih terus mengawasi sepasang manusia yang sekarang sedang saling adu telunjuk.

"Apa yang mereka berdua lakukan?" Ucap Woojin. Ia tak langsung sadar ketika seisi kelas telah menjadikannya pusat perhatian.

"Soobin berhenti bertindak bodoh." Raut wajah Yeonjun mengeras, ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Soobin.

Di lain sisi Soobin juga mulai tersulut. "Apanya yang bodoh? Aku hanya melakukan apa yang ingin ku lakukan, sama sepertimu. Bercerminlah terlebih dahulu baru katakan itu padaku. Siapa yang sebenarnya bodoh di sini?"

"Kau ingin memperpanjang masalah kemarin? Kau gila hanya karena aku menolakmu? lelaki macam apa yang kau ini? Lemah!"

"Apanya yang lemah? Aku justru sedang meperjuangkanmu sekarang. Kau sendiri yang bertindak sok kuat padahal sudah babak belur. Aku di sini menawarkan diri untuk mengobatimu tapi kau malah pura-pura baik-baik saja. Siap yang bodoh Yeonjun? Katakan siapa?"

Yeonjun membuka mulut tapi ia juga bingung akan membalas apa, karena sudah terlanjur begitu ia memilih asal bicara saja dari pada harus menutup mulutnya kembali. "Naikan kakimu kalau kau tidak lemah!" Ucapnya.

"Tentu, pegang telingamu dengan baik kalau kau tidak bodoh!" Balas Soobin tak mau kalah.

"Tidak perlu memberi tahuku, aku tau apa yang harus aku lakukan!" Yeonjun kembali ke posisi semula.

"Kau bodoh, Yeonjun!"

"Kau bodoh, Soobin!"

"Kau menjiplak kata-kataku."

Yeonjun bersiap akan menginjak kaki Soobin tapi Soobin sudah memperkirakannya dan menghindar tepat waktu. Karen gagal Yeonjun jadi lebih kesal dari sebelumnya.

"Berengsek kau laki-laki lemah tak tau malu!"

Tiba-tiba ada suara dengusan, Yeonjun dan Soobin terpaksa menghentikan perdebebatan mereka.

"Sedang apa kau di sini?"

"Sejak kapan kau di sana?

Mereka bertanya di waktu yang hampir bersamaan.

Woojin mengunyah permen karetnya dengan tenang menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Hanya penasaran. Nah lanjutkan saja, anggap aku tidak ada."

Sebenarnya, Woojin ketahuan makan permen karet di kelas dan dihukum berdiri di luar.

Karena ada orang lain yang menginterupsi perkelahian mereka, Yeonjun dan Soobin menjadi lebih tenang dan kembali menjalankan hukuman masing-masing.

Woojin sebenarnya tak berharap perkelahian mereka akan segera berhenti, ia menunggu beberapa saat tapi dua orang di depannya sepertinya tidak berniat kembali berdebat. Tontonannya sudah habis, sudah tidak ada yang seru lagi, jadi Woojin memilih pergi tanpa memperdulikan hukumannya.

"Kau lapar Yeonjun-ah? Mau ikut aku menginvasi kantin?" Tanya Woojin sambil berlalu.

Yeonjun melirik Soobin.

"Jangan lakukan- Yak Choi Yeonjun!"

.

.

.

Tbc.

Halloooo kalian yang mampir, trims ya udah luangin waktu <3

Hahh... pengen cepet-cepet tamatin book ini deh tapi aku ga mau alurnya jadi buru-buru ta-tapi... ini udah lama banget dari pertama kali aku publikasi woyyy T_T

Dari 2019 anjayy... ini udah 2021 bedosa banget ga sih? *nangessssss

Semoga... *semoga terus, semoga terus :v* masih ada yang suka dan sabar menanti..

Maafkeun dakuu..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top