10. Sepasang Orang Bodoh itu Saling Terjebak
Pagi hari, Yeonjun mendapati Soobin sedang duduk di ranjang miliknya. Mata pemuda itu agak bengkak, kantung matanya sedikit menghitam, serta rambut hitam kecoklatan pemuda itu mencuat kemana-mana, seperti duri landak yang kaku, meruncing, dan jika ada balon yang jatuh di atasnya, itu akan meletus dalam sepersekian detik. Keadaan ranjang tempat Soobin berada tidak jauh lebih buruk dari yang menempati, seprainya kusut, bantal menekuk menyedihkan, ada ponsel tergeletak di atasnya, buku, pakaian, sebungkus roti yang sudah habis setengah, dan botol air mineral yang ditelanjangi. Tampaknya selama semalaman Soobin sangat sibuk di atas tempat tidurnya.
Selesai mengamati pemandangan yang menyakiti mata itu, pandangan Yeonjun beralih ke wajah Soobin. Awalnya pemuda itu tak menaruh perhatian padanya, sorot matanya pun tidak fokus dan kosong. Pada saat Yeonjun hendak memanggil, sepasang bola mata itu bergulir ke arah Yeonjun dan kemudian terpaku ke arahnya. Hening sesaat. Mereka bertukar kedipan, satu, dua, tiga. Soobin tiba-tiba membuat senyum di wajahnya yang entah malah membuat Yeonjun merasa ngeri. Senyum itu sangat tidak cocok untuk penampilannya saat ini.
Yeonjun bangkit dari posisi berbaring lalu menggeser tubuh ke pinggir untuk melihat lebih jelas. "Apa sepanjang malam kau berguling di ranjangmu? Kau tidak tidur nyeyak atau memang tidak tidur?"
Soobin sama sekali tidak menghilangkan cengirannya ketika menjawab. "Aku hanya..." sebelah alis Yeonjun terangkat ketika bola mata Soobin bergerak naik--tanda berpikir.
"... tidak terbiasa tidur di Jepang."
Yeonjun tak serta-merta percaya. Sebenarnya jika Soobin mengatakan bahwa ia tidak biasa tidur di ranjang yang bukan miliknya, mungkin Yeonjun akan sedikit menaruh percaya. Namun perbedaan tidur di Jepang dan di Korea, siapa yang akan repot memperhatikan hal seperti itu? Suasana Jepang dan Korea tidak terlalu berbeda, mungkin jika mereka tidur di luar itu baru akan menyadarkan mereka bahwa di sini adalah negara orang, tapi ini di hotel dan Yeonjun bahkan tidak tahu letak hal yang membuat Soobin tidak nyaman ada dimana.
Melihat penampilan Soobin yang sungguh kasihan, Yeonjun tidak tertarik untuk bertanya lebih jauh.
"Jam berapa penerbangannya?"
"Pukul 2 siang. Masih ada banyak waktu, tidak perlu terburu-buru."
Yeonjun mengangguk sambil menguap kecil. "Itu bagus. Kau bisa lanjutkan tidurmu. Aku akan membangunkanmu nanti."
Setelah itu baik Soobin maupun Yeonjun tidak ada yang berbicara, hening dibiarkan mengisi ruang di antara keduanya. Di seberang ranjang, Yeonjun memejamkan mata sambil terduduk. Sisa kantuk masih membuat matanya perih tapi Yeonjun tidak suka tidur terlalu lama, sedangkan Soobin di sisi lain memilih kembali membaringkan tubuh di atas kasur yang kacau, menarik selimut sampai ke batas dagu dan mulai menerawang langit-langit kamar yang pucat. Meski kantung matanya sudah tercetak jelas, otaknya tetap enggan untuk istirahat. Soobin diam-diam menghitung waktu dalam hati, yakin waktu telah lama berlalu tetapi ketika ia melirik jam di ponselnya yang tidak sengaja ia temukan di balik selimut, angka di digit menit itu hanya bertambah lima. Entah bagaimana tiba-tiba Soobin menjadi bodoh, ia tidak tahu harus melakukan apa, tidak tahu harus bagaimana, dan tidak tahu harus menunggu sampai kapan. Ia menelan ludah dengan perlahan, berkali-kali dan suara menelan itu bergema di kepalanya sendiri, ia khawatir Yeonjun juga dapat mendengarnya sehingga dia menarik selimut lebih jauh bahkan sampai menutup separuh wajah. Beberapa saat kemudian ia kembali menelan ludah tapi kerongkongannya justru jadi semakin panas dan kering.
Ketika Yeonjun bangkit dari ranjangnya, Soobin juga ikut bangkit dengan tergesa dan kaku. Dahi Yeonjun berkerut dalam dan Soobin tampaknya tidak terlalu peduli, malah perlahan melebarkan senyum yang lagi-lagi membuat Yeonjun merasa ngeri
"Kau mau kemana?"
Yeonjun menunjuk pintu kecil di sudut "Kamar mandi."
"Aa? Ah! Kamar mandi. Ya ya, pergilah ke kamar mandi."
Mendengar balasan Soobin, Yeonjun justru terdiam ditempatnya berdiri. Soobin masih betah dengan senyumnya, menunggu Yeonjun berlalu dengan wajah yang tanpa ia sadari telah menimbulkan kengerian. Yeonjun tampak berpikir sesaat, menimang-nimang sebelum berucap. "Apa kau mau ke kamar mandi juga?"
Soobin tidak tahu kenapa otaknya tidak segera mencerna kata-kata itu. "Hah?"
Apa Yeonjun mengajaknya untuk mandi bersama? Setelah ciuman semalam yang membuatnya tiba-tiba marah, mungkinkah Yeonjun berusaha berdamai dengan ... mandi bersama?
Soobin takut untuk menolak, tapi juga lebih takut lagi untuk menerima ajakan itu. Usia Soobin kini telah memasuki masa-masa yang paling panas, penuh semangat berapi-api yang kadang bikin lupa diri. Ia tentu tidak akan berani berbuat yang macam-macam tapi dengan membayangkan mereka berada dalam satu ruangan sempit dengan tubuh polos yang saling membelakangi, Soobin tidak bisa menghentikan otaknya untuk memutar adegan yang berbahaya, ia tidak mampu mengontrol aliran darah panas yang menggelegak dan siap untuk meledak di dalam dirinya.
Melihat Soobin yang tidak menghiraukannya dan kembali menunjukan tatapan kosong, Yeonjun tidak bisa menjadi lebih bersabar lagi
"Apa yang sedang kau pikirkan? Kau bisa duluan, aku akan menunggu."
Mendadak sesuatu menghantam kepala Soobin, kewarasannya yang kabur baru saja ditendang kembali menuju otaknya oleh Yeonjun. Bajingan Choi Soobin! Betapa kotor pikiranmu! Yeonjun hanya bertanya apa dirinya juga ingin menggunakan kamar mandi. Jika jawabannya 'Ya', maka Yeonjun akan mengalah dan menunggu. Tidak ada mandi bersama! Tidak ada! Untuk apa berpikiran mesum begitu?!
Choi Soobin yang masih muda tiba-tiba menumbuhkan pikiran bejat. Soobin tidak bisa biarkan dirinya tumbuh menjadi bandit! Setelah kembali nanti ia bersumpah akan mendisiplinkan diri lebih keras lagi. Komik dewasa yang baru beberapa kali dibacanya benar-benar sudah merusak! Itu akan dibuang segera. Tidak. Soobin marah sekarang, jadi dia berencana akan membakarnya nanti malam.
Di balik selimut tangan Soobin diam-diam memelintir selimut penuh dendam. "Ti-tidak tidak..." ia berhenti sesaat ketika menemukan suaranya yang ganjil. Buru-buru ia berdehem dan kembali menunjukan senyum yang makin dipaksakan. "Kau yang duluan, aku yang menunggu."
Yeonjun tidak mudah dibodohi. "Apa kau baik-baik saja?"
"Tentu."
"Tapi kau sangat aneh."
"Aku hanya..." Hanya apa? Tidak terbiasa tidur di Jepang? Soobin tahu alasan bodoh itu sudah tidak bisa dipakai lagi. "... hanya sedikit lapar."
Setidaknya jawaban kali ini lebih masuk akal dan tampaknya bisa diterima dengan baik oleh Yeonjun.
"Baiklah. Jika kau lapar maka pesanlah makanan. Tolong pesankan makanan untukku juga."
"Tentu saja. Aku akan pesan banyak makanan untukmu."
Yeonjun yang baru separuh jalan menuju kamar mandi menghentikan langkah, berbalik sambil mengibaskan tangannya. "Aku takut tidak bisa menghabiskannya."
"Akan ku suapi."
Yeonjun memiringkan kepala. "Kau akan apa?"
Soobin belum sadar pada yang telah ia katakan sebelumnya ikut memiringkan kepala dan balik bertanya. "Aku akan apa?"
Dua detik kemudian Soobin tersedak ludahnya sendiri.
Ia pernah menyuapi Yeonjun sebelumnya ketika dia sakit. Kali ini Yeonjun baik-baik saja dan itu bagus, tidak ada alasan untuk menyuapinya.
Akan menyuapi? Kedengarannya seperti agak kurang pantas. Setelah ciuman semalam, Yeonjun akan lebih murka lagi padanya karena mengira ia melakukan itu karena kasihan dan berusaha membuatnya bahagia juga karena alasan kasihan. Setelah kata-kata Yeonjun semalam, Soobin yang tidak pernah bermaksud melakukan sesuatu karena alasan kasihan itu jadi serba salah, khawatir Yeonjun akan salah paham dan membuatnya hanya merasa dikasihani.
Yeonjun masih menunggunya untuk menjelaskan dengan sorot mata yang agak tidak sabar. Soobin tidak tahan lagi diperhatikan seperti itu, ia segera mencari jawaban. "Mm.. maksudku, aku akan bantu kau makan."
Sepasang alis Yeonjun hampir menyatu. Bantu kau makan itu maksudnya bagaimana?
Soobin yang takut disalah pahami kembali memeras otak yang kekeringan ide. "AKU AKAN BANTU HABISKAN. YA, BEGITU aha.. ahahaha"
Yeonjun entah kenapa merasa sangat kasihan melihat tingkah Soobin. Ia tidak ingin membuat Soobin lebih tertekan, meski dalam kebingungan ia memilih mengangguk perlahan lalu pergi. Di ambang pintu kamar mandi Yeonjun berhenti, melirik Soobin sebentar lewat sudut matanya. "Baiklah, bantu ya bantu." Lalu sosoknya menghilang dibalik pintu.
Gema air di dalam kamar mandi sayup-sayup menyusup keluar pintu. Soobin mendengar suara itu dengan khidmat selayaknya menikmati alunan denting piano yang lembut. Sebelah tangannya diam-diam merayap menuju letak jantungnya berada, mencoba merasakan bagaimana dasyatnya benda itu berdebar. Suaranya jantungnya kemudian merambat, berpadu di dalam telinganya.
Sebenarnya sejak hari itu, sejak Yeonjun menciumnya pertama kali, detak jantung yang kacau sudah tidak bisa lagi diobati. Tiap kali pemuda itu muncul entah dalam mimpinya, atau khayalnya, atau lewat cara yang paling normal dengan berdiri dihadapnnya, Soobin sudah tidak bisa lagi melihat Yeonjun murni sebagai seorang teman dan ia sesungguhnya juga tidak pernah mencoba untuk menekan hal itu. Semakin hari dirinya semakin rakus untuk memberinya kasih bahkan setelah ia mengetahui sakit dan luka yang pemuda itu terima, Soobin semakin ingin menariknya, menjebaknya dalam rengkuhan, mengindarkannya dari orang-orang, ingin menyimpannya sendiri untuk melindunginya dengan bebas.
Itu bukan rasa kasihan. Soobin hanya ingin mengasihinya, ia hanya ingin Yeonjun mendapat hal itu sampai kenyang. Jika Yeonjun tidak bisa mendapatkannya dari orang tuanya, dari kakaknya, atau teman-temannya, maka Soobin akan memberi sebanyak yang ia punya, bahkan ia tidak butuh sisanya.
Tadinya Soobin pikir dengan pergi bersama Yeonjun, Tuhan telah memberinya kesempatan yang paling mujur. Berpikir jalannya sudah dilapangkan dan ia hanya perlu melakukan beberapa langkah lagi, atau paling tidak ia hanya butuh satu lompatan besar untuk meraih Yeonjun, menatap matanya dengan jujur, dan berkata dengan senyum malu. Aku menyukaimu, Yeonjun. Jadilah pacarku.
Andai saja semalam ia bisa menahan diri sedikit lebih lama, andai ia tidak tergesa dan berakhir menakuti Yeonjun, saat ini semuanya pasti akan lebih mudah.
Sekarang Soobin takut setiap akan mengambil satu langkah sebab ketika ia melakukannya, pemuda itu akan mengambil dua langkah mundur. Soobin tidak ingin Yeonjun kembali berada diluar jangkauannya, jadi ia memilih untuk tetap diam ditempat.
Soobin takut Yeonjun terluka. Dan Yeonjun takut Soobin kasihani.
Sekarang mereka berdua sama-sama berdiri di batas aman. Hanya mampu saling memandang karena takut untuk meraih satu sama lain.
Di dalam kamar mandi, Yeonjun memutar keran shower. Karena tadi sempat kebingungan ia lupa untuk mengambil handuk dan baju ganti. Haruskah ia keluar lagi mengambil handuk sambil berusaha menyembunyikan telinganya yang memerah, atau cukup panggil Soobin untuk membawakannya kemari? Tapi sejak di ambang pintu tadi, sejak ia akhirnya ingat apa yang Soobin lakukan semalam padanya, Yeonjun kehilangan kekuatan untuk menatap wajah Soobin. Tiba-tiba ia dapat mengkorelasikan keanehan Soobin hari ini dengan penyebabnya. Setelah berada di dalam kamar mandi Yeonjun bahkan tak ingin keluar lagi. Ia takut bahwa dirinya terlalu percaya diri dan menganggap hal kecil seperti itu adalah tanda bahwa Soobin ...
Yeonjun bahkan tidak berani untuk mengatakannya. Ia khawatir mendapatkan jawaban iya dan tidak. Kedua jawaban itu tidak ada yang lebih baik dari satu sama lain.
Dua orang ini positif bodoh.
Jika aku mengangkat tanganku, apa Yeonjun akan lari? Itu pertanyaan Soobin.
Sedangkan Yeonjun akan berpikir: Soobin baik padaku, dia hanya mengkasihaniku. Aku sangat kasihan karena mencintainya, sungguh tidak pantas.
.
.
.
Seseorang mengetuk kaca mobil Wooseok ketika ia tengah melamun di dalam. Ia melirik sekilas sebelum menurunkan sedikit kaca mobilnya.
"Bagaimana?"
"Di Jepang, dengan seorang temannya."
Ke dua alis tebal pemuda itu mengerut tajam. "Seorang teman?"
Pria dengan pakaian serba hitam yang berbicara di luar itu mengangguk. "Anak dari tuan Choi Soo Hyun, Choi Soobin."
Alis yang bertaut itu segera mengendur, raut wajahnya sedikit menunjukan keterkejutan tapi beberapa saat kemudian wajah setengah angkuh setengah sinting itu pulih kembali. Wooseok mengigit lidahnya sendiri lalu tertawa renyah.
"Kau pergilah dulu. Segera kabari aku saat Yeonjun sudah kembali. Sekarang biar aku pikirkan cara untuk menyambutnya pulang."
Pria di luar tampak tak terlalu peduli dengan tingkah Tuannya, barangkali sudah terbiasa, barangkali juga diam-diam menertawai dalam hati. Setelah kembali sendirian Wooseok mengetuk-ngetuk ujung jarinya pada stir mobil. Tawanya sudah lama mereda, menyisakan seringai tipis yang tampan, angkuh, juga dingin.
Wooseok awalnya cemas tentang sosok teman yang Yeonjun bawa. Jika pesuruhnya tidak mengatakan siapa orang tua pemuda itu lebih dulu, mungkin Wooseok akan segera berang. Siapa sangka teman itu adalah Soobin, orang yang pada pertemuan pertama mereka berhasil ia bodohi, dan sayangnya terakhir kali bertemu telah menginjaknya di atas tanah tepat di depan mata Yeonjun.
Wooseok menutup mulutnya dengan punggung tangan, menahan tawanya dan mulai memejamkan mata. Kali ini dewa berpihak padanya. Soobin yang kuat itu ternyata hanya anak dari tikus tua yang selalu kocar-kacir ketika mendengar kucing mengeong di kejauhan.
Mendengar mereka pergi berdua, Wooseok anehnya merasa senang. Bukankah ia bisa menyambut kedua orang sial itu secara bersamaan? Hal yang Soobin lakukan padanya waktu itu harus dibalas dan Yeonjun yang tidak menurut harus mendapat hukuman.
.
.
.
Mereka tiba-tiba saja menjadi lebih pendiam dari biasanya. Meski perhatian Soobin tetap tidak berkurang tapi kata-katanya jadi jauh lebih sedikit dan hati-hati. Sedangkan Yeonjun berusaha tampak baik-baik saja, selagi Soobin tidak membahas ciuman semalam, maka Yeonjun akan terus pura-pura lupa.
Di dalam kabin pesawat, Yeonjun tahu Soobin tengah memperhatikannya dari samping tapi ia tak tertarik untuk menoleh (atau sesungguhnya takut), ia tetap duduk agak tegang dengan wajah lurus ke depan. Karena Soobin tak kunjung memutus pandangan padanya, Yeonjun segera menarik hoodie untuk menutupi kepalanya dengan gerakan yang senormal mungkin. Yeonjun tidak dapat melihat telinganya sendiri tapi ia yakin warna benda itu sudah berubah semakin merah dari waktu ke waktu.
"Yeonjun."
"Hm?"
"Jika kau mengantuk, kau bisa gunakan bahuku-"
"Tidak."
Soobin mengerjap karena penolakan yang cepat, sedangkan Yeonjun juga mengerjap karena kecepatannya sendiri.
"Baiklah, tapi jika kau tiba-tiba mengantuk..."
Yeonjun tidak tahan untuk mendengar kata selanjutnya. "Aku tahu."
"Tapi Yeonjun, bagaimana jika aku yang mengantuk?"
Setelah pertanyaan itu, mereka mendadak dibungkus sepi. Yeonjun memikirkan jawaban yang bisa ia gunakan walaupun sebenarnya ia tahu jawaban yang paling Soobin inginkan, tapi ia tidak akan menyuarakannya.
Tiba-tiba terdengar suara tamparan keras. Tangan Soobin sudah menempel di dahinya sendiri ketika Yeonjun menoleh. Beberapa pasang mata juga turut menaruh perhatian pada Soobin yang wajahnya mengerut kesakitan.
"Tentu saja, aku akan bersandar di sandaranku aha ahahaha..."
Yeonjun tidak tahu mana yang lebih baik dari tidak menjawab pertanyaan Soobin untuk menyembunyikan rasa malu, atau membiarkan Soobin menampar wajahnya sendiri dan menjadi pusat perhatian banyak orang.
Pada akhirnya Yeonjun hanya berkata. "Bodoh."
Setelah diam yang lama, Soobin kembali memanggil Yeonjun. Yeonjun bergumam sebagai respon dan tetap bersandar dengan tenang sebelum sebuah tangan diam-diam masuk ke wilayahnya. Gerakan tangan itu tampak tak berbahaya, hanya menepuk-nepuk dengan gerakan main-main pada pergelangannya yang jatuh di atas paha, jadi Yeonjun tidak berusaha untuk menolak dan memilih mengamati gerakan tangan itu sambil menikmati ritme detak jantungnya yang meningkat.
"Sampai di Korea nanti ada hal yang ingin ku katakan padamu."
Tidak melihat adanya penolakan, Soobin semakin berani untuk menggunakan tangan Yeonjun sebagai mainannya. Ia mengangkat tangan itu ke udara lalu menjatuhkan, mengangkatnya lagi lalu digerakan ke kiri dan kanan.
"Kau mau pergi sebentar denganku sebelum pulang ke rumah?"
Yeonjun masih betah mengamati tangannya yang dipermainkan sehingga tak sempat berpikir sebelum menjawab. "Oke."
Ada senyum malu-malu di wajah Soobin sebelum ia berhenti bermain, lalu berganti menyelipkan kelima jarinya di antara jari yang lebih kecil. Ia kembali tidak merasakan penolakan sehingga ia berani melakukan langkah-langkah baru. Soobin memberi pijatan kecil pada genggaman mereka lalu menarik tangan Yeonjun dan giliran meletakannya di atas pahanya sendiri.
Tidak cukup hanya dengan itu, Soobin lantas menyandarkan kepala pada bahu Yeonjun, menyamankan posisinya dan mulai memejamkan mata. "Aku mengantuk." Soobin dapat merasakan bahwa Yeonjun menolehkan kepala ke arahnya. "Jika kau mau, kau bisa bersandar juga padaku." Ujarnya dan Yeonjun menjawabnya dengan sebuah gerakan.
Ini bukan pertama kali Yeonjun mendapati kehangatan dihatinya, tapi karena sudah lama sekali dari terakhir kali ia merasakannya dan ia lupa bagaimana sensainya, perasaannya saat ini seperti hal yang baru pertama kali ia cicipi atau memang sebenarnya perasaan yang ia rasakan kini berbeda dari yang sudah-sudah, lebih intens, lebih istimewa. Ia tidak tahu bagaimana waktu-waktu kedepan akan berjalan, jadi ia memilih tidak akan menyiakan kesempatan ini karena tidak menutup kemungkinan bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk merasakan perasaan langka ini. Untuk sekarang Yeonjun hanya akan mengikuti hatinya yang mendorongnya untuk bersandar pada Soobin dan balik mengeratkan genggaman hangat pada tangannya.
Gengaman itu tidak lepas sampai mereka tiba di Korea. Hari sudah sore ketika mereka menjejekan kaki di bandara. Saat mata Yeonjun menangkap orang-orang berpakaian hitam menyebar di beberapa arah, ia segera melepaskan genggaman tangan mereka.
Dalam beberapa hari belakangan ia telah menjadi sumber masalah. Sekarang ada Soobin di sisinya, tanpa sengaja ikut terseret oleh masalah.
Sudah waktunya untuk meninggalkan kehangatan itu. Yeonjun bermaksud mengucap perpisahan pada Soobin tapi pemuda itu rupanya sudah lama menatapnya begitu dalam, seketika itu juga semua kemampuan Yeonjun untuk bicara lenyap.
Sejak kapan semuanya jadi seperti ini?
"Kau sudah janji akan pergi."
Yeonjun menghela napas dengan berat. "Tapi mereka sudah menungguku."
Hati Soobin dilanda kalut. Ia takut tidak memiliki kesempatan lagi. Tanpa pikir panjang ia segera memuntahkan kalimat yang telah ia tahan sepanjang hari.
"Aku menyukaimu, Yeonjun."
Sepasang alis hitam Yeonjun terangkat tinggi dan rahangnya jatuh. "Kau apa?"
Ada merah muda tipis di pipi Soobin. Sepasang mata yang diterpa sinar kekuningan itu berkilat, sedikit malu-malu tapi penuh tekad yang menyala-nyala seperti kobaran api yang enggan padam. "Aku menyukaimu. Aku sangat-sangat menyukaimu." Soobin mengambil langkah tipis untuk mendekat ke Yeonjun. "Aku mencintaimu."
Itu terlalu tiba-tiba, hati Yeonjun tidak siap. Debaran jantungnya membuatnya tuli, panas yang menjalari wajahnya tidak terbendung lagi, ia seratus persen memerah dan sudah terlambat untuk bersembunyi. Ingin kabur tapi ia mendadak lupa cara menggerakan kaki. Lagipula bagaimana ia bisa melarikan diri dari tatapan Soobin yang kalau boleh hiperbola, bisa membuatnya mati.
"Jangan begini, Soobin."
"Demi apapun aku mencintaimu, Yeonjun."
Itu seperti peluru panas yang ditembakan ke hatinya tapi yang tersembur kemudian bukan darah segar melainkan bunga-bunga mekar yang tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.
Yeonjun merasakan suaranya sulit untuk keluar. "Jangan katakan lagi."
"Apa kau akan menolakku?"
Bagaimana bisa?
Kepala dengan rambut hitam kecoklatan itu menunduk seperti tanaman yang hampir layu. "Mungkin ini karma..."
"Tidak."
"?"
Soobin mengangkat kepala dengan cepat, melempar tatapan penuh tanda tanya pada Yeonjun tanpa tedeng aling-aling.
Dalam hati Yeonjun meringis dan hampir menangis. Demi Tuhan kenapa harus memilih waktu seperti ini? Dimana letak romantisnya?
Karena takut ditangkap suruhan ayahnya, Yeonjun buru-buru menyambar tangan Soobin dan menyeretnya pergi.
"Kita lari dulu setelah itu baru bicara lagi."
.
.
.
TBC.
Hai hello annyeong!!!
Seneng deh bisa update book berjamur ini fufufuuu..🤧
Pengen banget tamatin sebelum akhir tahun. Bisa yuk bisaa !!!
Yang udah mampir.. trims dan sampai jumpa <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top