1. Menemukanmu
"Nah, kalau yang itu namanya Yeonjun. Choi Yeonjun--uups!"
Beomgyu seketika diam, pura-pura sibuk dengan buku tugasnya setelah yang dibicarakan melempar atensi pada mereka. Lain halnya dengan Soobin, ia tanpa ragu balik menatap dengan sorot terkejut. Punggungya menegak antusias sebanding dengan sekelebat ingatan yang meletup-letup layaknya popcorn manis kesukaannya. Suaranya berteriak dalam hati 'Ini kan.. dia kan..!'
"Jangan lihat," satu pukulan tanpa dosa mendarat tepat di puncak kepala. Soobin mendelik kesal pada Beomgyu yang biasa saja, tidak merasa bersalah setelah tindak kekerasan yang ia lakukan. "Dia bisa mengamuk." Beomgyu berbisik tegas dengan ekspresi mendukung. Serius sekali, cocok kalau berdrama.
Tak lama setelah itu, objek yang dibicarakan pergi keluar kelas. Tampak sedikit tergesa dan ada raut gelisah di wajahnya tapi Soobin tidak terlalu yakin karena ia hanya melihatnya sekilas.
"Dia itu aneh," ia menoleh cepat, Beomgyu sudah akan mulai dengan ceritanya, "Belakangan anak-anak menjauhinya karena dia terlibat perkelahian dengan seorang senior. Dia memukul habis senior itu sampai babak belur. Tanpa ampun. Dia membabi buta dan tidak ada yang bisa menghentikannya saat itu. Dia seperti bukan Choi Yeonjun yang kita kenal. Dia seperti monster. Syukur saja ada kakaknya, oh iya! Dia punya seorang kakak yang berbeda 180 derajat dari segi kepribadian. Maklum mereka berbeda Ayah. Nama kakaknya Kim Taehyung. Kau akan tau setelah bel jam pelajaran pertama berbunyi. Biasanya dia akan lari keliling lapangan karena terlambat."
Soobin mengangguk paham. Tentang Kim Taehyung, ia cukup penasaran pada sosok kakak kelas itu. Seperti apa dia sekarang?
"Kembali lagi ke Choi Yeonjun. Semenjak kejadian itu, dia jadi lebih sedikit pendiam. Dia seperti menjaga jarak dengan orang-orang, kupikir sih karena dia malu."
Tanpa sadar pikiran Soobin menguap. Otaknya kosong melompong, kebiasaan yang tidak pernah lepas sejak ia kecil, tiba-tiba terbengong. Lalu ketika akal sehatnya kembali, ia mulai menghitung, sudah berapa lama ia meninggalkan kota Seoul? Kenapa banyak hal yang berubah asing baginya.
"Mau berkenalan dengannya?"
Soobin mengerjap berulang kali. Ketika alisnya naik dan matanya membulat lucu, Beomgyu terkekeh sebelum kembali bertanya.
"Choi Yeonjun. Kau mau kenal lebih jauh dengannya?"
"Yah, mungkin nanti." Balasnya. Matanya beralih pada jendela. Kosong, tidak ada apapun di sana. Kelas mereka ada di lantai tiga. Dari tempatnya duduk sekarang, Soobin hanya bisa melihat langit yang kosong.
"Tidak apa, sapa dia duluan. Belakangan moodnya sudah mulai membaik. Aku bercerita seperti itu padamu supaya kau tau saja. Jangan salah paham, takutnya kau pikir aku tukang gosip yang suka mengumbar-umbar keburukan orang. Aku juga temannya Yeonjun, tapi belakangan dia jadi sangat tidak seru."
"Kalau kau temannya, seharusnya kau bisa mengerti keadaannya, bukannya malah meninggalkan dia."
Beomgyu sejenak termenung, sudut bibirnya perlahan terangkat sebelah. Sesuatu dalam dirinya seperti tersentil kecil namun memberikan efek yang lumayan menyakitkan.
"Benar, aku teman yang buruk. Tapi..."
Nada bicara Beomgyu berubah drastis. Soobin melihatnya bingung sambil mencari tau apa yang baru saja ia ucapkan karena sesungguhnya terkadang mulutnya suka bertindak tanpa seizin otak.
"Dulu dia sangat menyenangkan." Beomgyu mengangkat kepalanya cepat, sukses membuat Soobin terkejut di tempatnya. Tau-tau pemuda yang baru dikenalnya kurang dari sejam itu sudah tersenyum sama cerahnya seperti awal pertemuan mereka di depan kelas tadi.
"Baiklah, yang baru saja masuk ke dalam kelas ini namanya Huening Kai."
Lantas Beomgyu kembali memperkenalkan teman-temannya. Soobin dengan antusias menjabat satu persatu tangan mereka. Ia tidak bertanya lebih jauh lagi tentang Yeonjun walau sebenarnya ingin. Sejenak Soobin melupakan sosok Choi Yeonjun yang telah membuatnya membendung rasa penasaran sebesar kontainer di dalam benak. Sesak sekali.
.
.
.
"Yeonjun."
Yang dipanggil menoleh pelan, sebelah alisnya terangkat ringan.
"Ada apa?"
"Tidak. Kau ingat aku?" Soobin menunjuk dirinya sendiri. Jantungnya kini tidak terkontrol, berdetak bertalu-talu dan rasanya mau copot saja.
"Choi Soobin, kan?"
Soobin mendesah lega, tersenyum semringah. Ternyata Yeonjun masih...
"Aku ingat tadi pagi kau memperkenalkan namamu seperti itu. Dan aku tidak ragu lagi karena kau juga memakai name tag di almamatermu."
... lupa. Iya, Yeonjun melupakannya.
.
.
.
"Ubin-ie jahat." Yeonjun menangis kian keras di sebelahnya, sedangkan Soobin yang coba menenangkan juga ikut terbawa suasana. Bibirnya mulai bergetar tapi sebisa mungkin suaranya dibuat normal. Yeonjun sedang menangis, jadi dia harus membuatnya berhenti menangis, bukannya malah ikut tersedu.
"Eonjun-ie hyung, jangan bilang begitu. Ubin tidak jahat. Jangan menangis." Satu lelehan air mata jatuh, buru-buru diusap supaya tidak ada yang lihat. Soobin sudah berjanji pada Eomma untuk tidak menangis, kalau tidak ia bakal ditinggal sendirian di Seoul.
Masih dengan isakan yang berkejaran, Yeonjun menggeleng keras sambil menarik masuk ingus yang nyaris keluar. "Tidak, Ubin-ie jahat. Kau akan pergi. Tidak main lagi bersama Eonjun. Tidak sekolah bersama Eonjun lagi. Ubin-ie tidak bisa bertemu Eonjun lagi."
Soobin menghela napas lelah. Ia juga tidak tau harus berbuat apa. Lalu lengan kecilnya terbuka lebar dan disambut Yeonjun dengan menabrakan tubuhnya cukup keras. Tangis anak itu teredam di dadanya. "Ubin ingin tetap bersama dengan hyung, tapi kalau Ubin bersama hyung, Ubin akan ditinggal oleh orang tua Ubin. Ubin akan sedih kalau begitu."
Yeonjun mendongak, wajah sembab dan hidung merahnya terlihat menggemaskan tapi karena suasananya sendu, siapapun yang melihatnya akan mengibai, "Ubin-ie teman Eonjun. Hanya Ubin-ie." Soobin mengangguk mengiyakan.
"Kalau Ubin-ie pindah, Ubin akan punya teman baru lalu melupakan Eonjun."
Soobin menggeleng cepat "Tidak, Ubin akan mengingat hyung. Kata Appa kalau libur Ubin bisa datang lagi. Ubin akan menemui hyung lagi."
"Janji?"
"Janji!"
"Kalau Eonjun rindu bagaimana"
Soobin terdiam sebentar. Bibir bawahnya digigit pelan. Sebelumnya ia juga memikirkan hal ini. Bagaiman kalau ia rindu pada Yeonjun? Appa dan Eommanya mungkin akan mengizinkan dia menggunakan telepon, tapi bagaimana dengan Yeonjun? Soobin tau betapa disiplin keluarga Yeonjun dalam mendidik anak-anaknya. Hal itu juga yang menjadi alasan ia takut berkunjung ke rumah Yeonjun. Apa lagi kalau sudah ada Ayah Yeonjun di rumah. Ugh, itu menakutkan.
"Eum, Ubin tidak tau."
"Ubin-nie takut kalau ditinggal orang tua Ubin?" Tanya Yeonjun ketika tangisnya mulai reda. Kakinya menendang kerikil di bawah dengan mata sembabnya fokus pada Soobin yang baru saja gagal menangkap belalang di rumput lapangan.
"Tentu saja," Tangannya ditepuk dua kali, lalu diusap ke kain celana pendeknya dengan ceroboh, "Ubin akan menangis kalau mereka meninggalkan Ubin."
"Kalau hyung?" Soobin kembali tengak-tengok ke bawah, mencari belalang lain untuk ditangkap dan dibawa pulang, atau untuk Yeonjun kalau dia dapat dua.
Yeonjun sejenak berpikir. Ibu jari kanannya mulai digigiti, salah satu kebiasaan yang diturunkan kakaknya. Ditinggal orang tua akan membuat Soobin menangis, tapi Yeonjun tidak seperti itu. Ia masih baik-baik saja ketika tidak melihat orang tuanya di rumah selama sebulan penuh. Malahan kalau mereka tidak pulang, Yeonjun bisa bermain bersama Soobin sampai puas.
Yeonjun menyerah untuk memikirkan perbedaan keduanya. Otak kecilnya tidak sampai, yang ada malah pikiran-pikiran aneh yang muncul. Ia menggeleng pelan sebelum menjawab, "Eonjun tidak tau."
Anak-anak SMP mulai bermunculan, tanda bahwa hari sudah sore dan mereka harus pulang. Mereka memang masih buta waktu, jadi untuk memberi patokan jam main, mereka menggunakan acara gosip di televisi untuk tanda pergi main dan anak-anak SMP yang pulang sekolah untuk tanda pulang.
"Besok jam tujuh pagi Ubin akan berangkat. Hyung harus bangun pagi-pagi supaya bisa 'dada dada' ke Ubin." Ujar bocah itu dengan tujuh jari kecil diluruskan. Yeonjun mengangguk paham.
"Ubin mau pulang dulu. Mainan Ubin belum ubin masukan ke tas. Eonjun hyung juga pulang."
Soobin sibuk mengambil bola dan mobil-mobilannya yang tertinggal jauh di sudut lapangan. Ia tidak menyadari kalau Yeonjun sudah hampir menangis lagi.
"Ingat ya besok 'dada dada' ke Ubin." Teriak bocah itu sambil berlari pulang. Yeonjun tidak menjawab, ia sibuk mengusap air mata.
"Ubin-ie jangan pergi..."
.
.
.
Tbc.
Kobam banget sama BinJun :").. kenapa mereka gemesin banget dah?
Nyari-nyari ff binjun ternyata masih susah :") Ya udah.. aku ikut ngeramein aja.. moga pada suka ya.. :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top