4. Apakah menikah jawaban dari rasa kesepian?

Saat waktu memasuki pukul lima lewat tiga puluh menit, aku segera mengemas barang-barangku dan bersiap pulang.

“Tumben lu buru-buru. Ada kencan buta ya?” Pangesti berbisik.

“Kalaupun ikut kencan, gue nggak bakal ikut yang buta gitu. Lu kayak nggak kenal gue aja. Baskara balik dari Bandung, jadi gue mau main ama dia.”

“Pantes. Ternyata mau ketemu cinta pertama lu ya,” sahutnya asal.

Aku melotot padanya. “Sembarangan, sejak kapan dia cinta pertama gue? Jangan ngarang lu.”

Pangesti terbahak. “Duh sewot amat. Eh Na, siapapun juga bisa lihat lu punya cinta segunung buat Ibas, sayangnya gak berbalas.” Kali ini tawanya terdengar lebih keras.

Kutarik rambutnya yang dikuncir kuda. Kami tidak kasar, seperti inilah biasanya kami berkomunikasi. “Gue nggak cinta ya sama Ibas. Kalau gue cinta, udah dari dulu gue bilang ke dia. Ngapain gue menyiksa diri gue sendiri.”

“Iya deh, gue mau lihat seberapa lama lu bisa bertahan dekat-dekat Ibas tanpa keinginan pengen peluk atau cium.”

“Otak lu tu kotor, sini gue cuci.” Perdebatan berakhir dengan kami saling tertawa.

Pangesti punya keyakinan kalau aku menyukai Ibas. Dia bahkan bertaruh bahwa suatu hari, aku akan mengungkapkannya sendiri karena tidak bisa menahannya lagi.

Sambil berjalan pulang, aku berpikir apakah yang dikatakan Pangesti benar? Karena Mitha pun mengatakan hal yang sama. Bahwa hubunganku dengan Ibas bukan sekadar hubungan platonik. Melainkan salah satu dari kami menyimpan perasaan yang lebih terhadap yang lainnya.

Sejujurnya, aku mengagumi Ibas. Tak banyak orang yang menemaniku tumbuh, Baskara adalah salah satunya. Dia begitu sabar mendengar ceritaku, menerima omelanku saat aku PMS dan tidak pernah sekalipun menghakimi setiap keputusan yang aku buat. Termasuk ketika saat SMA aku berpacaran dengan laki-laki yang kurang baik.

Seiring berjalannya waktu, aku mengira kami akan saling berjauhan secara alami. Adanya kekasih, kesibukan dan teman baru, akan membuat kami berjarak. Tapi ternyata hal tersebut tidak terjadi.

Aku dan Baskara bagai kutub magnet yang saling tarik menarik. Sebesar apapun gaya yang memisahkan kami, aku dan diaakan menemukan jalan untuk bisa kembali sebagai sahabat.

***

“Jangan asal buka baju, ada Ibas di kamar.” Ibu setengah berteriak saat aku menaiki tangga.

Tentu saja aku paham, ini bukan pertama kalinya dia menunggu di kamar. Saat aku membuka pintu, Ibas sedang bersandar di bean bag berwarna abu-abu kesayanganku. Senyumnya lebar saat melihatku datang namun kemudian dia melanjutkan permainan game di ponselnya.

“Batagornya udah aku kasih ibu, ya.”

Kujawab dengan anggukan. “Jam berapa sampai?”

“Jam 4 sore. Nggak terlalu macet tadi Cikampek. Bokap ternyata lagi ke rumah temannya, jadi gue langsung kesini.” Ibas menjawab lengkap, bahkan pertanyaan yang belum kutanyakan, tanpa melihat ke arahku.

Tidak berapa lama dia terlihat kesal karena kalah dan kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.
“Mau ganti baju dulu? Gue tunggu di balkon,” ujarnya sambil membuka pintu yang menuju ke balkon.

Aku segera ke kamar mandi, berganti baju dengan kaos dan celana pendek. Mencuci muka untuk menghapus sisa make up, kotoran serta dosa selama di perjalanan hari ini kemudian menyusul Ibas ke balkon.

Ada sepiring batagor, rupanya Ibu sudah membawakan untukku.
Balkon kamarku berhadapan langsung dengan kamar Ibas. Saat kami masih sekolah, terkadang kami mengobrol dan janjian untuk pergi ke sekolah lewat balkon ini.

Saat weekend dan kami sedang tidak punya pacar, biasanya kami duduk di sini sampai tengah malam. Makan kacang kulit sambil menonton film menggunakan laptop atau sekadar mengobrol tentang hal-hal tidak penting. Seperti, kalau ada kehidupan di Mars, bagaimana bentuk makhluknya? Jumlah bintang yang kita lihat di sini apakah sama dengan di tempat lain? Dan Ibas akan dengan sabar menjawab pertanyaan randomku.

“Makan dulu.” Ibas menyodorkan piring.

Kuambil piring batagor kemudian menyuapkannya ke mulut. Kutawarkan Ibas, dia menggeleng, sudah kenyang katanya.

“Na, gimana kalau gue nikah?”

Aku spontan tersedak dan langsung meneguk segelas air. Kutatap wajah Ibas, tidak ada tanda-tanda pria itu sedang bercanda.

“Lu mau nikah ama siapa? Pacar aja nggak punya,” selorohku.

“Teman gue di Bandung nawarin gue ta'aruf sama adiknya.”

Kali ini aku sampai terbatuk-batuk hingga Ibas perlu menepuk punggungku dan menyodorkan air minum lagi yang kali ini kuteguk hingga habis.

Kata pernikahan saja sudah membuatku kaget, ini ditambah dengan kata ta'aruf.
“Berarti lu nggak kenal siapa cewek ini?”

Ibas mengangkat bahu, “dikasih tunjuk fotonya sih. Manis dan pintar kata kakaknya, sedang ambil S2 di Unpad.”

“Ya manis dan pintar aja kan nggak cukup buat berumah tangga, Bas. Lu kira nikah ama martabak apa, manis aja udah oke. Lu harus tahu sikapnya gimana, nyebelin nggak. Kalau lagi marah, norak nggak. Gimana kalau ngambeknya kayak orang kesurupan reog? Kan elu yang repot punya bini begitu,” omelku.

Ibas tertawa sambil mengacak rambutku kemudian matanya menerawang jauh ke depan. “Gue kesepian, Na.”

“Bukan berarti lu harus ambil keputusan nikah cepat kan, Bas. Lagian banyak pilihan teman lu di Bandung yang bisa diajak nikah juga, kenapa harus memilih yang lu nggak kenal?”

“Lu sendiri nggak kepengen nikah?” Ibas balik bertanya padaku.

“Gue hidup sendiri begini baik-baik aja. Gajian bisa gue tabung, bisa gue pakai untuk memenuhi kebutuhan gue. Sedih dan senang gue tanggung sendiri, nggak nyusahin orang.”

Lagian ada apa sih dengan kata-kata ‘pengen’. Kamu pengen makan bakso? Pengen minum es campur? Setelah itu kenyang dan resikonya lemak bertambah. Tapi pengen nikah? Hidup dengan orang yang kita nggak tahu siapa itu, bukankah amat mengerikan?

Aku menoleh ke Ibas. “Tepatnya sih, gue nggak mau menyesal, Bas, karena hidup dengan orang yang salah. Atau ternyata orang itu salah memilih gue dalam hidupnya.”

“Salah atau benar itu baru ketahuan kalau lu sudah memilih. Kalau hanya mengira-ngira itu bukan jawaban, Na.”

Kali ini aku benar-benar terdiam. Ibas benar, tahu apa aku tentang kehidupan rumah tangga sementara tidak pernah mengalaminya. Dan dari mana pula aku tahu salah atau benar pria yang kupilih, manusianya saja belum jelas siapa.

Mungkin benar Ibas kesepian. Ditinggal meninggal ibunya sejak masih kecil. Hubungan dengan ayahnya pun tidak terlalu akrab. Tidak punya saudara kandung dan teman terdekatnya hanya aku. Sejak dulu, Ibas terbiasa sendirian kesana kemari. Tapi apakah menikah benar-benar bisa membunuh rasa kesepian?

-----------------------------------------

Hai hai,

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan🤗

Update kali ini nggak panjang, tapiiii lanjutannya nggak akan lama, insyaAllah besok malem atau lusa ya.

Enjoy it 💛

Love,
Vy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top