2. Kegagalan adalah kesuksesan yang...mungkin aja tidak pernah terjadi
“Kamu sama Pangesti memang nggak niat kerja!”
Con Te … Partiro
Paesi che non ho mai
Veduto e vissuto con te
Suara Andrea Bocelli menutupi omelan Bu Rene pagi ini. Bukan hal yang baru, setiap pagi ada saja bahan omelan dan pegawai yang dijadikan sasaran kemarahannya. Pagi ini giliran aku dan Pangesti yang harus menebalkan telinga. Masalahnya sepele, klien tidak mengangkat teleponnya padahal hari ini harusnya ada janji meeting nanti siang.
Ya, mohon maaf ini baru jam setengah delapan pagi. Mungkin klien masih mandi di rumah atau lagi di perjalanan yang tidak memungkinkan mengangkat telepon.
Dan masalah utamanya, kenapa juga malah ngomel ke aku dan Pangesti yang jelas tidak tahu alasan si klien tidak mengangkat telepon?
Karena itulah aku memilih memainkan Con Te Partiro, bukan di spotify, melainkan di pikiranku. Aku sudah hafal di luar kepala musik beserta suara Andrea Bocelli. Jadi ketika Bu Rene mulai menyemprotku, dengan santainya aku menyanyikan lagu tersebut. Di dalam hati tentunya.
“Udah gila kali dia.” Pangesti manyun sambil duduk di sebelahku. Meja kami memang bersebelahan, tapi dia sering menggeser kursinya ke mejaku dan membuat Bu Rene makin mengamuk.
“Lu geser kenapa, nanti kita kena marah lagi.” Aku menyenggol lengannya.
“Gue nggak takut ama dia,” nyolotnya.
“Apaan. Lu tadi, iya Bu. Nggih, Bu. Siap, Bu,” sahutku.
“Ya kan gue harus pencitraan, Na. Nggak mungkin dong gue teriakin si Rene, ayo satu lawan satu kalau berani.” Kata-katanya terdengar tegas tapi diucapkan sambil bisik-bisik.
Aku dan Pangesti masuk secara bersamaan di kantor ini tiga tahun yang lalu. Dan sudah selama itu pula kami berdua menghadapi Bu Rene yang t. Banyak pegawai yang tidak kuat dan memutuskan resign, namun kami memutuskan bertahan karena mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Dan lagi, memang ada jaminan akan ketemu bos yang baik?
“Apa doa dari Pak Haji Goni udah habis masa berlakunya ya? Kok dia makin galak sih sekarang?” Bisiknya lagi.
Spontan aku melotot padanya, Pangesti langsung menarik kursi kembali ke mejanya. Hal konyol yang pernah Pangesti lakukan adalah mengajakku ke rumah seseorang di dekat rumahnya, konon orang tersebut masuk golongan ‘orang pintar’. Jadi beliau bisa mendoakan agar seseorang yang awalnya jahat, galak atau apapunlah sebutannya bisa menjadi baik dan penurut pada kita.
Berhasil?
Tentu saja tidak. Kami masih saja menerima omelan dengan alasan berbeda setiap pagi, namun Pangesti akan menyugesti dirinya sendiri bahwa Bu Rene sudah agak ‘jinak’. Padahal mah boro-boro…
“Gue udah dapat nih info dari nyokap, ada yang lebih ampuh dari Pak Haji Goni.” Dia masih tetap berusaha.
“Lu aja sana. Gue mending doain sendiri daripada keluar dua ratus ribu.”
***
“Gue mau putus dari Vidi, Na.”
Aku sedang membereskan tas ketika Pangesti tiba-tiba membuka sesi curhat.
“Kok tiba-tiba?”
“Capek gue ama dia. Nggak jelas mau gimana, apa mau nikah atau setidaknya gue dilamar dululah. Ini santai aja, nyokap bokap gue udah panas banget pengen ngadain hajatan.”
Pangesti yang namanya ke-Jawa-Jawaan sesungguhnya adalah Betawi tulen. Rumahnya berada di perkampungan Betawi yang tentunya penderitaan berlipat ganda dari aku. Pacaran dengan seseorang yang tidak jelas tujuannya akan dibawa kemana, hanya akan menjadi omongan dan bahan ghibah sekampung.
“Lu udah coba tanya ke dia?”
Helaan napasnya terdengar berat. “Udah. Dia diam aja kayak sapi mau dipotong pas kurban. Mana nelangsa banget mukanya, gue jadi nggak tega tanya lebih lanjut.”
“Ya, jangan buru-buru putus. Lu bisa sabar dulu sambil cari tahu apa masalahnya,”
Lagi-lagi helaan napas yang seakan bisa membolongi meja terdengar. “Gue sabar, Na. Yang nggak sabar itu, Enyak, Babeh, Encang, Encing gue. Belum tetangga samping kanan kiri udah pada hajatin anak bungsunya. Gue sebagai anak pertama tambah jadi sorotan. Udah kayak artis dangdut tiap lewat pada bisik-bisik.”
Aku terbahak dan Pangesti tambah manyun karena aku tidak memberikan solusi apapun. Ya, mohon maaf, aku tidak bisa memberikan saran karena tidak ada di posisinya.
Pangesti dan Vidi sudah pacaran bertahun-tahun, bukan sekali atau dua kali aku menjadi saksi putus sambung hubungan mereka namun akhirnya tetap bertahan. Tapi kali ini kurasa Pangesti dan Vidi akan melewati badai yang tidak mudah. Nikahi atau tinggalkan adalah ultimatum yang cepat atau lambat akan keluar dari orang tuanya.
“Eh tadi gue denger rapat pimpinan pas lagi lewat mau ke toilet. Salah satu pimpinan dari pusat akan ditransfer sementara kesini.” Topik langsung berganti dan binar mata Pangesti pun kembali.
“Ada apa kok sampai kantor pusat kirim orang kemari?”
Pangesti mendekatiku sembari berbisik. “Katanya, ada laporan mengenai Bu Rene yang selalu marah-marah nggak jelas, kadang urusan kerjaan baik-baik aja dia pun merepet kan ya. Tapi ini bukan gue lho, ya, yang melapor.”
Aku mengernyit. Bu Rene bukan orang baru di kantor ini. Ketika aku dan Pangesti masuk, beliau sudah bekerja cukup lama. Namun desas-desus perubahan sikapnya memang baru terasa makin menggelisahkan akhir-akhir ini. Beberapa anak magang sukses dibikin menangis. Pegawai kontrak jarang ada yang mau perpanjang masa kontraknya karena tidak tahan dimarahi terus-menerus.
“Mbak Nana, saya ini kerja memang cari duit. Tapi apalah arti duit kalau tiap malam saya nggak bisa tidur karena memikirkan besok akan dimarahi karena apalagi.”
Begitulah salah satu komentar pegawai yang akhirnya resign. Kadang hanya persoalan sepele seperti tidak sengaja tersenggol saat berjalan bersama, bisa membuatnya begitu meledak-ledak. Padahal nih, beliau punya karir yang cemerlang. Gajinya besar. Keluarganya pun kalau dari foto tampak harmonis. Ada apa sebenarnya dengan Bu Rene?
***
Sore itu langit tidak bersahabat. Gelap bukan main, terdengar suara petir bergemuruh. Beberapa hari ini memang terasa panas menyengat, dan biasanya jika turun hujan maka akan turun hujan yang sangat deras.
Pangesti berlari menuju ojek online yang sudah dipesannya sejak tadi. Sementara aku mengeluarkan payung lipat dari tas, mau berlari pun percuma karena hujan sudah mulai turun.
“Damn it!”
Umpatan seseorang membuatku menoleh. Sosok pria tinggi dan tegap tampak kesal lalu menoleh padaku.
“Boleh saya pinjam payungnya?”
Aku memiringkan kepala, bingung mau menjawab apa. Ini hujan merata dan tentu saja aku juga tidak ingin kehujanan.
“Saya nggak boleh kehujanan.”
Lagi-lagi aku menatapnya tidak percaya. Ya apa lu pikir gue alang-alang yang akan membiarkan diri gue kehujanan?
“Tolong, ya. Please.” Kali ini wajahnya benar-benar minta dikasihani.
Hujan semakin deras, jika aku terus mendengar omongan pria ini sudah dipastikan aku malah akan terjebak di gedung kantor ini hingga malam.
“Anda mau kemana, ya?” tanyaku.
“Ke Gedung sebelah. Supir saya di sana. Handphone-nya saya telepon nggak bisa-bisa.”
Kukembangkan payung dan berkata padanya, “Ayo saya antar. Nggak mungkin saya kasih payung ini ke kamu karena saya juga butuh.”
Pria itu mengangguk sambil tersenyum, kemudian mengambil payung dari tanganku dan mengajakku berjalan bersamanya.
“Kamu kerja di sini?”
“Hah?”
“Kamu kerja di gedung ini?”
“Hah?” Sumpah, bukan karena aku budeg ya. Suara hujan luar biasa deras, belum lagi aku harus berkonsestrasi menyeimbangkan kaki-kaki panjangnya yang setengah berlari.
Sementara tubuh bagian kiriku sudah mulai basah karena payung yang seuprit itu tidak bisa melindungi dua orang.
Pria itu tertawa. “Nggak jadi. Maaf ya,” dia kemudian merangkul bahuku dan mengajakku berlari lebih cepat.
Setelah sampai di lobby gedung sebelah, pria itu melepaskan rangkulannya, membuatku merasa kehilangan keseimbangan dan menyerahkan payungnya padaku. “Terima kasih. Saya berhutang budi sama kamu.”
“Jangan berlebihan, ini hanya payung.” Aku kemudian berbalik meninggalkannya.
“Tunggu.” Aku menoleh ketika mendengar suaranya. “Nama kamu siapa?”
Aku tidak menjawab dan berbalik sambil melambaikan tangan. Untuk apa dia tahu namaku sementara aku yakin bahwa kami tidak akan bertemu lagi.
***
“Eh keponakan tante yang paling cantik lagi main di rumah.” Aku melebarkan tanganku sehingga Alea bisa masuk ke dalam pelukanku.
“Baru pulang kantor, Na?”
“Enggak, Mbak. Baru habis berkebun.” Jawabanku langsung disambut jitakan Mbak Hani.
“Lagian udah tahu juga pakai nanya,” sahutku. “Gue tuh, Mbak, nggak ada kegiatan lain selain ngantor, ngantor, ngantor. Hidup kerja! Sebelum kena tipes berarti gue harus tetap kerja.”
Mbak Hani duduk di sofa kemudian memangku Alea. “Resign ajalah, Na. Kerja ngikut Mas Fajar.”
“Jadi apa? Tukang ngasih makan lele?”
Mas Fajar, kakak iparku, memiliki kolam lele yang cukup besar. Bisnis lelenya pun berkembang pesat. Tapi masalahnya bisnisnya tidak terlalu banyak membutuhkan orang yang duduk di balik meja, mereka membutuhkan penjaga kolam, pembersih kolam, serta orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki ilmu berternak lele. Sementara aku sarjana ilmu komunikasi, tentu saja tidak dapat tempat di sana. Apa harus coba mengajak ngobrol para lele supaya mereka bisa gendut ginuk ginuk saat masa panen?
“Atau kita berdua bisnis clothing mau nggak?”
“Ogah, Mbak,” jawabku cepat. “Gue nggak ada bakat bisnis. Lu juga, Mbak, udah berapa banyak kita rugi waktu kuliah karena bisnis gagal terus.”
“Ya jangan menyerah dong, Na. Gagal itu kan biasa.”
Aku mendelik padanya. “Apa lu nggak ingat, kita mau bisnis ternak bebek untuk dijual ke tukang bebek Madura, eh ternyata kita ditipu. Bebek berapa juta itu dibawa lari orang.”
Mbak Hani terbahak. “Ingatlah gue. Yang bisnis kaos sablon juga, tukang sablonnya kerjaannya mabok terus. Harusnya kaosnya disablon quote-quote gitu eh sama dia disablon daftar harga pecel lele. Rugi besar juga kita waktu itu, mana pas mau minta ganti rugi, tukang sablonnya diringkus polisi gara-gara nyabu.”
Kali ini aku ikut terbahak. “Udah tahu gitu masih mau bisnis. Mbak, bukannya kita nggak bisa. Tapi kadang kita kudu sadar diri kalau memang ada beberapa hal yang bukan wilayah kita.”
Aku bangkit dan mencium pipi Alea yang mulai mengantuk. “Tante mandi dulu, ya, sayang.”
Aku masih ingat ketika baru masuk kuliah, Mbak Hani dan aku punya impian tinggi. Menjadi duo kakak beradik sukses berbisnis. Maka kami pun memulai bisnis apapun dengan modal seadanya dan tanpa ilmu. Bukannya sukses, kami malah buntung karena bukan sekali atau dua kali kami ditipu. Hingga akhirnya sepeda motor satu-satunya untuk kuliah harus kami jual untuk menutupi hutang.
Sejak itu aku sadar, kata-kata ‘Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda’, bukan ditujukan untuk semua orang. Ketika sudah gagal berkali-kali seperti aku dan Mbak Hani, adakalanya kami harus sadar, mungkin rejeki kami bukanlah di jalur itu.
Tidak ada masalah dengan kata jangan menyerah, yang terpenting adalah tahu persis bahwa yang kita perjuangkan adalah bidang yang kita kuasai dengan baik.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Kita adalah Nana dan Nana adalah kita🤣 pengen bisnis tapi susah suksesnya ya.
Yuk diramaikan bab 2. Tiga hari lagi insyaAllah aku balik bawa bab 3.
Di like dan komeeen yang banyak yaa biar aku semangaat💛
-Vy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top