1. Kabarku ya gini-gini aja...

Menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa adalah pilihan.

Quote yang cukup membangkitkan semangat di pagi hari?

Kalau boleh diralat, menjadi tua itu gampang. Menjadi dewasa sulit setengah mati. Kalau mau jadi tua, ya hidup setiap hari bertambah usia maka kamu bertambah tua. Tapi menjadi dewasa lain cerita. Rasanya seperti memiliki kecemasan yang tidak ada habisnya. Masih menganggap diri ini adalah anak 16 tahun yang lagi segar-segarnya, namun terperangkap di tubuh wanita 28 tahun yang kalau terlalu lama duduk di depan komputer akan sakit pinggang sepanjang malam. Usia yang dibilang tua ya belum, tapi sudah tidak pantas menyandang predikat remaja.

Undangan nikahan setiap minggu sudah menjadi makanan yang aku nikmati. Literally, makanan. Karena padatnya jadwal kondangan, kurasa aku sudah merasakan masakan dari separuh perusahaan catering yang ada di Jakarta. Belum lagi, baju kondangan yang sudah seperti peragaan online shop karena nggak mungkin pakai yang itu-itu saja. Namun di antara itu semua, yang paling mengenaskan adalah gajiku yang tak seberapa harus semakin kuratapi untuk amplop atau kado.

Pertanyaan seperti, kapan nih nyusul? Calonnya orang mana? Sudah sering kujawab dengan sabar dan senyum manis. Sungguh, aku tidak terganggu. Kata siapa menikah muda adalah dambaan semua perempuan? Di garis belakang ada kami para perempuan yang merasa tidak kesepian hidup seorang diri. Lalu terdengar lagi suara, ah itu mah kamu aja yang belum laku?

Ya, mohon maaf karena memang nggak jualan jadi bukan menunggu laku atau tidak laku.

Sebagian berpikir, belum menikah mungkin karena karirnya moncer, gajinya gede. Eh kata siapa? Meskipun dalam hati, ku-aminkan. Aku masih menjadi pegawai biasa, bukan pemilik bisnis yang ber-omzet ratusan juta perbulan. Pendapatanku pun hanya sedikit lebih besar dari UMR. Jadi itu juga bukan alasan aku belum ingin menikah.

Lalu apa alasannya?

Kali ini jujur saja, keningku mengernyit dan mataku menyipit. Bukankah belum ingin menikah tidak butuh alasan? Merasa cukup dengan diri sendiri. Merasa bisa berbahagia tanpa bergantung pada orang lain. Dan lagi, sejujurnya aku belum siap mengurus orang lain dikala aku pun belum becus mengurus diri sendiri.

***

Tempat yang paling ingin kuhindari sebenarnya adalah reuni sekolah. Sialnya, aku terjebak di komunitas sekolah yang sangat aktif reuni sebulan sekali. Dan double sial ketika mereka selalu memilih tempat reuni di mall yang bersebelahan dengan gedung kantorku. Sehingga tidak ada alasan jauh atau macet ketika tidak hadir.

“Fin, katanya lu baru beli apartemen di PIK ya?” Suara Berto menggema. Ruangan VIP yang tidak terlalu luas pun langsung sunyi dan menoleh ke arah Fina demi mendapatkan jawaban.

Fina yang kebetulan duduk di sebelahku berdehem sambil merapikan poninya. “Iya, gue baru dapat bonus dari bos.”

Lalu suara obrolan pun terdengar kembali. Beberapa memberi ucapan kepada Fina dan bertanya berapa harga apartemen tersebut. Beberapa lainnya berbisik memuji betapa hebatnya Fina yang sudah memiliki dua properti di usia yang sama dengan kami.

“Indi juga katanya Juni nanti mau lanjut S2 ke Perancis. Dapat beasiswa dari kantornya.” Berto menambahkan.

Kini giliran Indi si kembang sekolah yang jadi pusat perhatian. Wajahnya memerah ketika semua orang yang ada di meja berebut memberinya selamat.

Kesempurnaan memang tidak ada di dunia, namun sosok Indi bisa dibilang mendekati sempurna. Kecantikan paripurna berbalut keanggunan khas turunan ningrat Jawa. Keluarganya pun bukan kaleng-kaleng. Bapaknya direktur BUMN, sementara sang ibu seorang dokter anak yang sering muncul di TV.

Seakan belum cukup, Indi dikaruniai otak yang encer. Ranking sekolahnya tidak pernah turun dari tiga besar. Dan melengkapi almost perfect-nya, Indi punya hati yang sangat baik. Benar-benar baik. Rasanya iri kepada sosok seperti itu pun tidak pantas.

Kulirik jam di tangan kiriku, sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Waktu yang tepat untuk berpamitan karena aku yang bukan siapa-siapa ini harus ada di kantor besok pagi jam tujuh teng.

“Eh semuanya, gue balik duluan ya,” ujarku sambil berdiri.

“Yah, Na. Besok kan sabtu.” Bagas terlihat kecewa.

“Ya dan sabtu itu, gue tetap kerja,” jawabku sambil mengangkat bahu.

Aku melambai dan berpamitan. Reuni kali ini kami tidak perlu membayar makanan seperti biasa, karena sekaligus merayakan ulang tahun Berto, jadilah dia yang mentraktir.

“Mobil lu parkir di basement, Na?” tanya Fina.

Aku menoleh dan tersenyum. “Gue naik Gojek, belum punya mobil,” jawabku sambil tersenyum.

***

Jangan lihat rumput tetangga, karena pasti lebih hijau.

Hmm, kurasa ungkapan itu ada benarnya. Memang rumput tetangga itu selain lebih hijau, juga lebat dan subur. Padahal sama-sama disirami air pagi dan sore dan cukup terkena sinar matahari. Lalu kenapa rumput di rumah sendiri terlihat gersang?

Kata Ibu, “Segala sesuatu lebih indah jika yang lihat bukan yang punya.”

Benar juga. Merasa cukup, bukan berarti tidak menginginkan beli apartemen secara cash seperti Fina. Atau punya otak encer sehingga diterima kerja di perusahaan bonafit hingga disekolahkan S2 seperti Indi. Ya setidaknya bisa memiliki kendaraan sendiri sehingga tidak sulit kesana kemari.

Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sejujurnya aku merasa cukup dengan diriku. Aku baik-baik saja dengan apa yang kumiliki. Namun jika datang ke reuni sekolah, melihat betapa suksesnya mereka, membuatku mempertanyakan apakah yang selama ini kulakukan sudah benar? Sudah berada di jalur yang tepatkah aku sekarang?

Suara ketukan pintu diikuti munculnya Ibu sambil tersenyum membuatku bangun.

“Na, besok setengah hari kan? Langsung ke rumah Bude Lastri yang di Kebayoran ya. Ada arisan keluarga.” Tanpa menunggu jawabanku, Ibu langsung menutup pintu. Artinya tidak ada jawaban tidak.

Sejujurnya reuni sekolah tidak ada apa-apanya dibanding dengan Bude Lastri seorang.

***

“Nana, ya ampun, keponakan Bude yang cantik baru datang. Sendiri? Atau sama pacar?” Bude melongok ke belakangku mencari-cari apa yang tidak ada.

“Sendiri, Bude. Nana baru pulang kerja.” Aku salim dan mencium pipi Bude Lastri.

“Lho kok sabtu kerja. Perusahaan apa, tho, Na? Itu si Mitha kalau sabtu gini santai aja.” Bude membanggakan anak bungsunya yang jelas berbeda bidang denganku. Mitha adalah seorang youtuber. Ya, versi sukses anak-anak masa kini. Hidup bergelimang rupiah dari pundi-pundi adsense.

“Pacar? Kenapa bude belum juga dikenalin?” cecarnya lagi.

“Belum ada, Bude,” sahutku cepat.

“Lho itu si Mitha saiki malah dideketin ama anaknya pengacara itu lho, Na. Bude sampai deg-degan gimana kalau punya besan kaya raya begitu.”

Aku menarik napas sambil berusaha tetap tersenyum. “Wah mestinya bude seneng dong.”

“Ya seneng banget. Kira-kira nanti nikahannya di JCC atau Balai Kartini ya?”

Noh, di empang.

Setelah sepuluh menit, akhirnya aku terlepas dari bude lastri dan bisa mengambil makanan. Kemudian aku memilih melipir ke taman belakang. Terlihat Mitha melambai padaku dan memintaku duduk di dekatnya.

Aku dan Mitha adalah sepupu seumuran yang sangat dekat. Bisa dibilang semua yang Mitha alami akan selalu diceritakan padaku.
Sayangnya, apapun yang kami lakukan sejak masih orok, selalu dibandingkan. Mitha sudah tumbuh gigi, kok Nana belum. Mitha sudah bisa jalan, kok Nana masih merangkak. Mitha akhirnya masuk sekolah unggulan, Nana enggak ya? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku sampai kebal dan sudah mati rasa jika Bude Lastri dan beberapa tanteku yang lain asyik membincangkan kejomplangan antara diriku dan Mitha seakan-akan aku tidak bisa mendengar mereka. Padahal hubunganku dan Mitha sangat baik-baik saja.

“Baru balik ngantor ya?” Mitha memelukku. Rambutnya yang panjang terurai dan berwarna hitam legam beraroma salon. Lembut dan harum.

“Biasalah, budak kayak gue kan sabtu juga kerja,” sahutku sambil tertawa.

“Setidaknya lu nggak bingung kan menentukan konten setiap minggu. Gue udah habis ide nih,” katanya sambil menyandarkan tubuh di sofa.

“Yaudah, lu bikin prank prank aja kayak youtuber yang lain. Apa aja yang lu bikin, pasti pada nonton kan?”

Mitha menggeleng. “Gue mulai jenuh nih, Na. Memang sih uang dari situ lumayan, tapi gue pengen kerja yang normal aja. Bergaji tiap bulan dan nggak ribet bacain komentar haters.”

Aku tertawa. “Dimarahin bos lebih nyelekit kali dari komenan haters. Apalagi kalau bosnya kayak bos gue, tiap hari kerjanya nyap nyap aja.”

“Mama juga maunya gue kerja normal aja. Meskipun dia senang sih karena youtuber duitnya gede, tapi nggak ada gengsinya kalau dipamerin di arisan.”

Aku menyuap nasi kebuli sambil mendengarkan curahan hati Mitha. Anak semata wayang Pakde Gondhokusumo dan Bude Lastri yang selama ini kupikir hidup penuh kebahagiaan dan bergelimang harta. Sosial media-nya seakan mengumumkan bahwa dia begitu puas dengan apa yang dia miliki. Namun tidak saat ini, saat matanya berkaca-kaca bercerita bagaimana kehidupannya begitu menekan dan membuatnya merasa sesak.

“Gue nggak bisa lupain Nata, Na. Sekarang dia udah kerja jadi dosen dan katanya beberapa bulan lagi mau nikah. Dan di saat hati gue lagi patah-patahnya, mama maksa gue nerima Cokro, anaknya pengacara yang pastinya tadi mama udah cerita ke lu.”

Aku mengusap lembut bahunya. Cerita baru yang sebenarnya nggak baru-baru amat. Karyawannya bernama Nata, seorang pria sederhana yang memiliki senyum manis dan mata teduh. Mitha yang sejak SMA doyan gonta-ganti pacar, seakan tersihir dengan kesederhanaan Nata dan jatuh cinta padanya. Namun Nata sudah punya pacar, dan memilih resign saat Mitha mengungkapkan perasaannya.

Benar adanya, cinta yang tidak bisa kita miliki akan membuat kita susah berpindah hati. Begitulah keadaan Mitha sekarang. Patah hati membuatnya tidak punya kreativitas membuat konten baru. Dia bilang, tidak semangat bangun tidur dan hanya ingin seharian berbaring.

“Gue rasanya pengen rebut si Nata aja, Na.”

“Jangan, dong. Lu jangan jadi pelakor gitu. Mending coba jadi teman buat Nata.”

Mitha menatapku seakan-akan jawabanku tidak masuk akal. “Teman? Gila aja, gue nggak bisalah. Sama aja makan ati, rempela, usus, jeroan,” jawabnya.

Aku menoleh padanya. “Lu beneran nggak mau coba ama Cokro? Kelihatannya dia baik.”

Mitha mendengus. “Baik apanya, bandar judi dia,” bisiknya yang spontan membuatku mengeluarkan suara terkejut.

“Na, ambil lagi makanannya.” Suara Bude Lastri terdengar dari belakangku.

“Sudah, Bude. Kenyang banget.”

“Gimana? Mitha sudah cerita soal Cokro? Coba dirayu supaya Mitha mau jalan ama dia. Mitha iki takut Cokro anak nggak baik, padahal bude jamin dia baik seratus persen.”
Aku tersedak sementara Mitha setengah mati menahan tawa.

***

“Bu, apa yang bisa bikin Ibu makin bahagia sekarang?” tanyaku.

Aku dan ibu berada di taksi online menuju rumah sepulang dari rumah Bude Lastri. Sesi curhat Mitha tadi membuatku berpikir bahwa apa yang dimimpikan kita dengan apa yang menjadi mimpi orang tua sangat berbeda. Bude Lastri ingin Mitha menikah dengan Cokro, agar hidup Mitha ke depannya terjamin. Sementara mimpi Mitha, menikah dengan orang yang dicintainya setengah mati.

“Kamu sehat, bapak sehat, dan mbakmu serta keluarganya sehat,” jawab ibu. Ah iya, aku belum bilang bahwa aku punya seorang kakak perempuan. Mbak Hani yang lima tahun lalu menikah dengan tetangga dekat rumah, Mas Fajar. Mereka sudah dikaruniai seorang anak perempuan berusia dua tahun yang sangat menggemaskan.

“Aku nikah?”

“Katanya kamu nggak pengen buru-buru nikah?” balas Ibu.

“Ya kalau lihat Bude Lastri kan ngebet banget pengen Mitha nikah. Apa ibu juga begitu?”

“Ya maunya sih begitu. Biar Ibu tenang kalau suatu hari nggak ada umur, kamu nggak sendirian karena sudah ada suami.” Ibu menatap ke luar jendela.

“Memang Ibu nggak percaya kalau aku bisa jaga diri sendiri?”

Ibu menatapku sambil tersenyum. “Menjaga dalam pernikahan itu bisa berarti menemani, Na. Kamu nggak butuh penjaga, tapi kamu pasti butuh teman.”

Aku terdiam dan tidak lagi bertanya. Sedang menimbang-nimbang apakah memang pikiran seorang Nana yang benar? Ataukah pemikiran ibu dan bude Lastri yang begitu ingin anak mereka secepatnya menikah yang benar?

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Assalamualaikum...

Ya ampun udah berapa purnama nggak nyentuh wattpad ya. Semoga kabar temen2 semua sehat2 ya.

Ada kisah baru yang ringan-ringan aja sebagai pengantar bobo dan insyaAllah akan update seminggu sekali yaa. Doakan aku istiqomah 😂

Enjoy yaaa. Jangan lupa like dan komennya 💛

- Vy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top