17. Berdebat

Sampai di kamar, aku baru sadar tindakanku tadi drama banget. Drama banget nget nget, kayak di film-film cringe. Aku pun jadi memikirkan tentang Kyle yang sudah menuangkan banyak sekali effort untuk sampai ke rumah ini, tapi malah kutinggal begitu saja. Maka dari itu, kubuat skenario bahwa aku tadi naik sebentar untuk mematikan laptop yang masih menyala, kemudian kembali lagi.

"Tadi kenapa naik, Ti?" tanya Kyle begitu aku sampai. Kyle sudah mengenakan handuk di kepalanya, sepertinya ibu yang mengambilkan.

"Ahaha ... sebelumnya aku kelupaan mematikan laptop, mendadak ingat saat sudah turun, jadi kumatikan dulu," karangku. Aku mulai terbiasa berbohong sejak berinteraksi dengan Kyle. "Jadi, kenapa kau ke sini?"

"Aku masih bingung kenapa tiba-tiba kamu memutuskan untuk tidak ikut," ujar Kyle. "Kenapa mendadak sekali? Ada apa? Zhy dan Rhy pun bingung ketika muncul pemberitahuan bahwa tim kita didiskualifikasi karena ada yang belum menyetor identitas."

"Ah, maaf ...."

"Ada kepentingan seperti apa, sampai-sampai kamu yang sebelumnya super semangat ingin ikut, sampai mundur begini?" Kyle kembali bertanya.

"A-anu, ada acara keluarga ...."

"Ini, Nak, diminum teh hangatnya, biar nggak kedinginan lagi." Ibu datang membawa nampan berisi dua gelas teh.

Kyle mengambil salah satu. "Terima kasih, Tante, maaf merepotkan." Dia menyeruput dengan perlahan, aku mengikutinya.

"Eh, Siti, tadi Ben ke sini, ya?" tanya Ibu tiba-tiba. Aku mengangguk. "Ada ngasih bungkusan gitu?" Kini aku menggeleng. "Dasar, pasti kelupaan lagi dia bawain. Nanti kuteleponlah, Sabtu udah harus ready barangnya."

"Buat acara keluarga, ya, Tante?" celetuk Kyle tiba-tiba.

Aku menelan ludah dengan kasar. Mampus.

Seperti yang kuduga, ibu mengernyit. "Hah? Mana ada acara keluarga, itu obat pesenan temen tante, titip beli sama sepupunya Siti, si Ben. Sabtu kita nggak ada ngapa-ngapain, kok."

"Lho? Kata Siti dia hari Sabtu sibuk acara keluarga."

"Oh ... pasti Siti cari alasan biar bisa malas-malasan, yaa!" Ibu tergelak, menatap ke arahku. "Jangan percaya dia. Sudah, ya, Tante tinggal menyetrika dulu."

Ibu meninggalkan diriku dengan jantung yang sedang dugem karena kebohonganku terbongkar. Memang, berbohong itu tak selamanya baik, aku harus berusaha jadi Siti si jujur lagi.

"Jadi ... kenapa tiba-tiba kamu menghindar?" tanya Kyle setelah sosok ibu menghilang dari pandangan. "Kamu mulai pesimis tidak bisa menang lawan Jhazone? Kita semua pasti berusaha, jangan takut kalah dahulu."

"Bukan mengenai itu, intinya susah dimengerti. Maafkan aku, mohon permaklumannya."

"Tidak mau coba ceritakan padaku?" tawar Kyle. "Teman biasanya suka menceritakan masalahnya, kan?"

Aku menarik napas kesal, mulai malas menjelaskan ini lagi. "Kau nggak akan paham, dari pada aku capek cerita."

"Siapa tahu aku paham, cerita saja," Kyle tetap memaksa.

"Nggak akan, Kyle, ini ada hubungannya dengan nama. Intinya kau nggak akan paham."

"Wah, apa Arvellyn sebetulnya nama musuhmu? Jadi kau takut menggunakan identitas itu ke mana-mana. Ah, pasti kau waktu itu sampai buat akun baru lagi karena akun sebelumnya ketahuan sama si Arvelllyn asli! Kini semua tampak---"

"Bukan," aku memotong. "Lain."

"Jadi kamu harus cerita dulu, biar aku paham," Kyle terus mendesakku. "Ayolah, kita ini kan teman." Dia memberi penekanan pada kata terakhir, seolah-olah itu adalah kalimat pamungkasnya.

"Susah. Kita pasti beda pemahaman." Aku mulai geregetan. "Sudah, ya. Tujuanmu ke sini hanya untuk menanyakan alasanku, kan? Tidak ada lagi yang bisa dijelaskan, kau pulang saja."

"Ayolah, coba saja dulu."

Aku mulai kesal. "Tidak."

"Ayolah, aku bakal mengerti, kok---"

Aku melotot ke arahnya sebelum Kyle sempat menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa semua orang ngotot ingin tahu masalahku? Toh, setelah kuceritakan, pasti mereka langsung terdiam, kemudian memberi saran aneh yang tidak membantu sama sekali."

"Tapi aku pasti bisa bantu, kok---"

Aku makin emosi saat ini, hilang sudah image Siti si pemalu. "Halah! Orang-orang seperti kalian, yang punya nama keren sejak lahir mana mengerti perasaanku saat disuruh mengisi nama asli." Pada akhirnya aku menumpahkan semua dengan nada tinggi, agar dia paham. "Sudah senang saat menggunakan identitas baru sebagai Arvellyn, dimintai nama lengkap lagi itu rasanya bikin malas, tahu!"

Kyle terdiam. Ha! Apa kubilang, pasti semua orang akan langsung melongo setelah kuceritakan semuanya. Pasti saat ini Kyle sedang mencari-cari saran yang sebetulnya tidak membantu sama sekali, asal ada saran saja.

Setelah beberapa detik, akhirnya Kyle kembali bicara, "Sebetulnya aku masih bingung, kenapa kamu begitu mempersalahkan namamu? Orang-orang saja jarang mempermasalahkan, kenapa kamu sibuk sendiri?"

"Tidak ada yang mempersalahkan gimana?"aku membalas dengan sengit. "Banyak sekali orang yang menghina namaku, dibilang mirip janda gila, kampungan, macam-macam!"

"Oh, ya?" Kyle tampak terkejut, seakan-akan itu hal yang baru baginya. "Siapa, memangnya? Kenapa kulihat di kelas kita, tak pernah ada yang mempermasalahkan?"

"Ada!"

"Siapa?"

Padahal seharusnya menyebutkan siapa yang menghinaku itu mudah, karena aku memang sering dihina karena nama. Namun, mencari-cari siapa yang pernah menghinaku di kelas dan bagaimana kejadiannya, aku merenung sendiri karena kesulitan.

"Ada?" Kyle bertanya.

"Err ... di SMA ini belum ada, sih. Tapi sebelumnya banyak! Iya, banyak sekali!" seruku.

"Siapa saja? Bagaimana kejadiannya?"

Aku sudah memasang kuda-kuda di lidah, saat ini aku tahu hendak menyebut nama siapa. Yang menghinaku pasti banyak sekali, tinggal kuingat-ingat sedikit. "Satu, si Jhazone, kau pasti tahu dia siapa. Aku sampai ingin melawannya saat itu karena punya dendam pribadi. Lalu, melihatmu yang diserang Jhazone begitu, mengingatkanku pada diriku yang dahulu, dihina Jhazone karena punya nama Siti."

"Jadi kau tiba-tiba menolongku karena punya dendam ke Jhazone, ya ...." Bagian di antara kedua alisnya seketika mengerut, mulutnya dilengkungkan ke atas sedikit, padangannya ke bawah untuk sepersekian detik. Aku tidak begitu memerhatikan mukanya lagi karena hendak lanjut bercerita.

"Lalu yang kedua ...." Otakku lagi-lagi membeku. "Yang kedua ...." Kenapa tiba-tiba semua nama teman SMP-ku hilang? Kenapa aku tak bisa mengingat nama orang yang menghinaku selain Jhazone?

"Siapa?"

"Yang kedua ...." Ini bencana, aku betulan tidak ingat siapa lagi yang menghinaku selain Jhazone di saat-saat seperti ini.

"Apa hanya Jhazone saja?" Kyle menegaskan hal yang ada di dalam pikiranku, yang aku sendiri menolak mengakuinya. Tidak, selama ini, aku dihina banyak orang, kok. Hampir seisi kelas di SMP menghinaku, makanya aku sampai sadar mengenai betapa jeleknya namaku ini.

Akan tetapi, ketika aku mencoba mengingat kata-kata apa yang mereka lontarkan sehingga membuat mentalku down, otakku tidak menemukan apa-apa, seperti saat sedang ujian matematika.

"Jadi, bagaimana?" Kyle kembali bertanya.

"Kau benar, Kyle ... yang selama ini menghinaku hanya Jhazone ...."

Yang kurasakan, selama ini semua orang menekanku ke segala arah karena namaku. Kubayangkan, mereka menertawakan namaku yang katanya kampungan. Mereka semua tidak mau mengajakku berbincang karena namaku jelek.

Kenyataannya, setelah kupikir-pikir, tidak pernah ada yang menekanku. Tak pernah ada yang menertawakan atau menyinggung nama Siti. Mereka menyebut nama Siti juga dengan biasa-biasa saja, tidak pernah merendahkan, atau membuat hal itu sebagai bercandaan---kecuali Jhazone.

Malahan, aku yang menutup diri dan tidak mau berbicara dengan mereka karena mengira semua menekanku, bukan karena mereka yang tidak menganggap saat kuajak bicara. Sampai ketika ada yang mau mengajakku bicara pun, mereka menganggapku sebagai orang biasa, bukan bocah aneh dan berbeda karena namanya kampungan.

Kenapa ucapan satu orang bisa mengubahku sedrastis ini? Kenapa hanya gara-gara satu orang mempermasalahkan hal yang tidak penting, aku sampai minder untuk berteman? Kenapa cuma gara-gara satu orang, aku jadi menjauhi banyak orang?

Oh, aku merasa bodoh sekarang. Selama ini yang memerangiku bukanlah seribu orang. Cuma satu orang, dengan bantuan pikiranku sendiri. Otakku yang menciptakan bayangan, bahwa selama ini semua orang menganggap namaku aneh.

Padahal sebenarnya, yang benar-benar mempermasalahkan hanya satu. Sisanya hanya khayalan, gema yang diciptakan dengan bantuan otakku sendiri. Tanpa sadar, aku ikut andil dalam mematikan diriku sendiri.

Aku menatap Kyle setelah mengerti mengenai selama ini. Tersenyum lebar, aku refleks memeluk Kyle dan berkata. "Terima kasih, Kyle! Berkatmu, aku jadi paham! Kau memang teman terbaikku!"

Yang tidak kuperhatikan, jantung Kyle sedang dugem saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top