Chapter 9 : Just Alfin
"Fin, Fin! Lo udah sehat? Gue kira lo bakal kritis?" Dika terus memburu Alfin saat sang ketua kelas itu masuk pada hari seninnya. Kelas masih sepi karena baru jam 6 pagi. Kebiasaan berangkat pagi tak pernah luntur dari diri Alfin. Smenetara Dika memilih pagi karena ia menghindari sarapan kerajaan yang membuatnya muak. Papa juga marah karena Dika selalu menyulut emosinya.
"Diem! Nggak ada yang tahu gue alergi kangkung. Gue udah diberi antidotnya."
"Oow ... Gue kira lo kemarin takut sama ulet bulu?"
Dika duduk di kursinya. Kursi satunya kosong. Meja yang selama ini menjadi tempat petangkringan itu kini berpenghuni Andika seorang. Karena bosan dan lapar, Dika keluar dari kelas untuk mencari sarapan.
"Bang, batagor 5000 dibungkus aja, ya?" Seorang cewek pemesan batagor menarik perhatian Dika. Cewek itu, mirip sekali dengan cewek yang berada di pasar waktu itu.
"Lo sekolah disini?" tanya Dika.
"Eh, bang superhero?" Cewek itu, Amelia, juga terkejut cowok yang menolongnya satu sekolah dengannya.
"Superheeero...," seloroh Dika. Ia teringat Alfin tidak mau alerginya diketahui orang lain. Ia pun tidak jadi menuntut balas pada cewek manis keturunan jawa itu.
"Iya. Bang superhero? Pindahan dari Kebangsaan ya?" kata Amelia dengan sorot mata tanpa dosa. Gadis ini bahkan tidak menyadari tindakan sembrononya waktu di pasar bisa mengancam nyawa manusia.
"Huh...," Dika mendengus sambil membuang muka. Sikap si gadis masih saja lugu dicampur bingung kenapa penolongnya bersikap sejutek ini padanya. Apa salah ia?
"Terimakasih ya bang. Sebagai tanda terimakasih batagor saya buat abang aja deh. Nih...," kata Amelia.
Dika tak segera mengambil batagor bungkus itu. Ia pandangi sejenak manik hitam Amelia. Menyelami kejernihan matanya. Tepatnya menyorot tajam. "Lain kali lo harus hati-hati. Tindakan lo itu merupakan sebuah virus kebodohan. Amit-amit gue ketularan. Hii." Dika mengangkat bahunya bergidik kemudian berlalu pergi.
Sungguh aneh namun nyata. Itulah hal yang dirasakan Amelia. Cowok itu benar-benar membuatnya penasaran. Virus kebodohan katanya? Wkwkwk ... Hal semacam itu apakah bisa menular? Demi mengingat perkataan itu Amelia tersenyum geli sendiri. "Hati-hati Kak Superhero. Kakak akan tahu pesona Amelia," kata Amel percaya diri.
***
Brak
"Lo kenapa?" Alfin marah saat Dika datang dengan menggebrak meja.
"Nggak papa."
"Nggak papa tapi sikap lo kayak gitu. Mau gue patahin tangan lo?" Dika meringis dimarahi Alfin.
"Iya. Maaf. Sewot aja."
Alfin tak menanggapi Dika lagi dan kembali membaca bukunya.
"ALFIN!" panggilan dari ambang pintu menyedot perhatian seluruh penghuni kelas Bahasa. Semua hening. Semua mata tertuju pada sumber suara yang memanggil si ketua kelas. Leo yang baru datang saja langsung duduk dan tidak banyak bicara.
Alfin berdiri dan mendekati si pemanggilnya. Mereka bercengkerama dengan suara rendah lalu pergi dengan si pemanggil merangkul bahu Alfin sok akrab. Kelas kembali normal kembali. Alias kembali berisik ala pasar.
"Siapa tadi?" tanya Dika pada Leo.
"Tadi itu Kak Jamal. Ketua tim basket angkatan 12. Dia ngincer Alfin terus buat jadi penerusnya. Alfin tu ya diincer ketua tim basket, ketua tim Mading sama ketua tim fotografi. Tapi yang paling ganas tu ya Kak Jamal itu. Dia lebih garang daripada ketua lainnya."
"O ya? Sampek segitunya? Kayak nggak ada orang lain aja."
"Orang lain? Banyak. Tapi yang seperti Alfin hampir segelintir. Kalo Mereka nggak mencari pengganti kan ekskul mereka terancam bubar." Leo menerangkan. Kasihan juga di posisi Alfin. Dia bahkan belum memilih tapi sudah menjadi rebutan banyak ekskul.
"Terus dia masuk ekskul apa?"
"Ekskul apa? Ya basket, mading sama fotografi itu lah."
"What? Wahaha...." Dika tertawa miris. Seberapa kuat baterai si Alfin sampai mengikuti tiga ekskul sekaligus? Satu saja bagi Dika boro-boro. Apalagi tiga. Ya ampun. Kapan mainnya?
"Kenapa? Tapi ekskul mading Alfin udah ngundurin diri kok. Tapi di cancel terus. Soalnya Alfin kan ikut mading dari kelas sepuluh. Dan kerjaan dia itu menyunting naskah majalah sekolah yang terbit tiap bulan itu. Makanya dia dipertahankan di mading. Kalau fotografi, Alfin mah udah hobi motret. Kalau basket tentu aja si Jamal yang maksa. Kita juga buat band. Namanya Romeo." Leo menyerocos panjang lebar.
Hadeeh ... "Oh," respon Dika.
Bel berbunyi. Anak-anak dari luar kelas tersedot masuk ke kelas masing-masing. Siap menerima pelajaran atau hanya rutinitas harian semata. Yaitu sekolah. Alfin datang dari luar dan duduk di samping Dika.
"Fin," panggil Dika.
"Apa? Apa lagi?"
"Lo, siapa? Terminator?"
Alfin mengerutkan alisnya bingung dengan pertanyaan absurd Dika. "Just, Alfin."
Singkatnya jawaban Alfin. "Yeah. You are just Alfin. Yang alergi sama sayur kangkung."
Hadiah dari Alfin adalah pelototan nyalang kepada Dika. Duh, mulut lemesnya Dika itu perlu diberi senar sepertinya.
Hi.. Sahabat Alfin.. Selamat weekend ya.. 🤯😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top