Chapter 8 : Alergi

Alfin mengajak Andika untuk ke Andomart berbelanja logistik mendaki. Mereka keluar dari kompleks perumahan melewati pasar tradisional untuk mencapai AndoMart di seberang jalan. Beberapa penjual sayuran segar menggelar dagangannya di beberapa titik stratrgis pasar. Salah satunya di pintu gerbang ada sebuah mobil pick up terbuka dengan beraneka macam sayur dan bumbu-bumbu yang digantung. Alfin bergidik menatap sayuran yang sebagian tercecer ke jalan itu.

"Lo kenapa? Jijik sama tempat kumuh?" tanya Andika, risi dengan sikap Alfin.

"Kalo iya kenapa?  Pasarnya kotor, sampah dimana-mana," jawab Alfin sewot.

Saat mereka sedang bertengkar ringan itu seseorang melewati mereka dengan berlari tergesa.

"Copeeeeeeet!" teriak seseorang lain dari belakang. Bersamaan itu sayuran kangkung tersebar diatas tubuh Alfin dan Andika. Respon tak terduga dari seorang Alfin adalah, ia histeris oleh batang-batang kangkung yang merayapi tubuhnya. Hampir tak bisa mengontrol emosinya. Ia meloncat-loncat laksana ada ribuan kecoa di bawah kakinya. Mengundang perhatian dari penghuni pasar. Sementara Andika, bereaksi mengejar si copet tadi daripada melihat Alfin yang kalang kabut menghadapi batang kangkung.

"Mas, mas kenapa?" tanya pedagang sayur di dekat Alfin. Usaha Alfin untuk selamat dari para kangkung adalah mengikuti Andika mengejar copet. Tetapi baru beberapa langkah nafasnya menjadi sesak.

"Mas, kenapa? Kenapa pucat? Mas, Asma?" tanya beberapa orang yang khawatir melihat kondisi Alfin.

Makin banyak orang yang berkerumun. Siapa pula yang menimpuk Alfin dengan untingan kangkung yang terburai sekalian? Siapa yang sudah mengakibatkannya seperti ini?

Sementara itu Andika tetap dalam pengejarannya. "Woi copet tuh, halangin bang!" perintah Dika pada tukang empek-empek di depan. Beberapa orang pembeli mencegat sang copet. Aksi kucing-kucingan terjadi sesaat diantara pedagang kakilima dan pembeli mengejar si copet. Dan akhirnya di persimpangan sang copet menyerah dan berhasil ditangkap massa.

"Jangan main hakim sendiri, Pak! Kita punya hukum," kata Dika mencegah para warga memukuli si copet amatir.

"Ta ...  Tas saya, Mas," seorang cewek mengambil tas selempang itu. Parasnya ayu khas suku jawa. Senyumnya semanis gula tebu dengan perasan kental. Matanya jeli dan hitam kelam namun memantulkan sorot yang cemerlang. Gadis yang menarik perhatian hanya sekali melihat saja.

"Hati-hati, Mbak. Jangan meleng!" nasehat Dika.

"I-iya. Saya akan hati-hati."

Andika teringat Alfin yang masih tertinggal di pasar.

"Temen saya di pasar, Mbak. Yang takut ulat bulu tadi."

"Hah? Yang jingkrak-jingkrak tadi? Dia asma? Tadi ada ambulans datang pake masker oksigen."

"Apa?" Alfin menelfon nomor Alfin. Seseorang di seberang sana mengangkatnya.

"Perawat Medis Noah dari RS Medika? Anda keluarga pasien? "

"Iya. Pasien itu remaja pakai kaos merah dan jaket abu bergambar tasmanian devil?"

"Benar, Pak. Pasien segera dirujuk ke RS Medika. Silakan ke UGD Pak. Sepertinya pasien mengidap alergi serius."

Telepon diputus. Andika segera mengejar waktu menemui Alfin. Seberapa parah Alfin?  Dan kenapa?  Apa hanya karena untingan kangkung yang terburai kah?
Alfin. Semoga dia baik baik saja.

***

Kak Ratna datang 30 menit setelah Dika menghubungi. Ia tampak sangat khawatir dengan adik semata wayangnya. Satu-satunya wali yang menggantikan peran seorang ayah dalam hidupnya. Airmata tak terasa meleleh dari mata Ratna mengingat mereka hanya punya satu sama lain saja.

"Alfin, sakit alergi apa mbak?" tanya Dika. Memastikan apakah benar Alfin alergi kangkung?

"Dia alergi getah kangkung. Apalagi kangkung mentah! Siapa yang usilin dia sih?" ucap kak Ratna marah dan kesal.

"Nggak tahu, Mbak. Kangkung itu ... Dika nggak tahu siapa yang nimpuk kita."

Kak Ratna semakin deras menangisnya. Mengusapi matanya yang semakin basah. Ia tak akan rela adiknya pergi secepat ini. Dia adalah menusia yang berharga. Paling berharga dalam hidupnya. Alfin tak layak mati dalam usia muda seperti ini.

Dika merasa tidak enak walaupun bukan sepenuhnya kesalahannya. Dia kira Alfin hanya takut ulat bulu yang hidup di daun-daun kangkung. Lebay seperti anak gadis kegelian ulat bulu. Makanya ia hanya meninggalkannya saja. Kalau ia tahu, ia akan segera bawa Alfin ke rumah sakit untuk meminta antidot alergi Alfin. Nyawa Alfin bertaruh di sana.

"Kondisi pasien masih kritis. Lebih baik dia jaga jarak dulu dengan pihak luar," pesan dokter saat keluar dari ruangan. Sedang Andika semakin besar rasa bersalahnya.

Gadis bermata jeli. Kemungkinan besar gadis itulah pelakunya. Jika suatu saat ia ketemu, ia akan buat perhitungan dengan gadis itu. Entah dimana. Ia akan buat gadis itu membayar rasa sakit yang Alfin alami saat ini.












A

pa kalian pernah bertemu dengan orang yang alergi dengan dedaunan?

Di waktu SMP saya punya teman yang seperti itu

See u next time sahabat-sahabat Alfin..  😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top