Chapter 7 : Maha Adil

Hari ini cukup melelahkan. Alfin memasuki rumah megah itu. Rumah dua lantai dengan halaman depan cukup luas itu hanya dihuni oleh dia dan kakaknya. Seperti yang Andika tahu, dia sudah tak punya orangtua. Hanya tinggal satu pembantu, tukang kebun dan dua satpam di rumah ini. Pamannya yang menyokong semua hidupnya. Saudara kembar dari ayah kandungnya.

"Assalamu'alaikum," sapa Alfin. Di dalam rumah tampak Bi Lela menghampirinya.

"Waalaikum salaam, Aden ganteng sudah pulang. Mau dibikinin juice?" tawar Bi Lela ramah. Dia dikirim oleh Paman Farhan dari Bandung untuk mengurus rumah yang dihuni dua keponakannya.

"Boleh, Bi. Wortel ya," pinta Alfin.

"Siaap."

Setelah mengirim orderan pada Bi Lela, Alfin melanjutkan memasuki kamar. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sepi sekali rasanya. Hampir membuat Alfin sesak. Sepi ini. Ia tidak suka meninggali rumah megah yang sepi ini. Sangat tidak suka. Karena rasa sepi ini membuat dunianya menjadi sangat sempit.

Tok tok

Alfin membuka pintu kamarnya yang diketuk.

"Den Alfin. Gawat!" Bi Lela sudah datang dengan amat cepat tanpa juice wortel pesanan Alfin.

"Kenapa Bi?"

"Ada orang ngamuk Den. Nggak kenal Bibi ... Katanya temennya Aden, tapi dia kok brutal gitu sih den," Bi Lela berkata panik. Tak menyangka juga ada temannya Alfin yang seperti itu.

Alfin memicingkan matanya, mengingat siapa temannya yang brutal. "Alfin lihat dulu deh Bi. " Alfin mengecek sendiri tamu tak diundang itu. Ia membuka pintu depan sedikit. Dan sosok Andikalah yang berdiri diambamg pintu, penuh luka, dan, kacau.

"Fin," panggil Dika.

Alfin membuka penuh pintunya. "Ngapain lo disini?" tanya Alfin senetral mungkin.

"Gue boleh nginep di sini?"

"Lo menganggap rumah ini tempat pelarian?" cerca Alfin.

Andika tak menyangka Alfin akan menembaknya seperti itu.

"Lo terus aja lari dari masalah dengan melakukan hal-hal nggak berguna, dan itu berpotensi merusak masa depan lo sendiri." kata-kata Alfin malah semakin pedas di telinga.

Andika tersengat omongan Alfin. Dia mencengkeram kerah kaos Alfin dengan tangannya. "Kenapa? Kalo iya kenapa Pangeran Alfin? Gue udah nggak punya tempat pelarian lagi. Sahabat gue mati! Mati Fin!"

Ya. Beberapa hari lalu Putra tewas ditikam oleh para preman itu. Si pelaku sudah dijatuhi hukuman seumur hidup, tetapi rasa kehilangan itu masih menghantui Andika. Dia, juga berada disana. Dan Putra tewas karena bergaul dengan dirinya.

Alfin melepaskan cengkeraman Andika dan membanting Andika ke belakang dengan cepat. Ilmu bantingan dari silat yang pernah dipelajarinya masih mengakar dalam dirinya. "Buka mata lo Dik! Lihat sisi dunia yang lebih positif!" nasehat Alfin. Andika meringis saat lantai marmer menjadi alas punggungnya. Dia kira Alfin tidak sekejam ini. Sampai membantingnya dan membuatnya kesakitan. Ternyata anak kesayangan guru itu bukan geez seperti yang ia kira. Alfin bahkan berani membanting Dika yang baru saja terkena masalah.

Dari dalam rumah Bi Lela menghampiri dua remaja itu dengan tergesa.

"Den Alfin, jiuce wortelnya sudah siap Den. Sama makan malamnya juga."

"Iya, Bi. Alfin nanti ke sana." Alfin tersenyum sangat sopan. Kemudian Bi Lela berlalu lagi ke belakang. Mengawasi kalau-kalau ada perkelahian susulan.

"Shit! Lo berani banting gue? "

"Iya! Kenapa?" perkataan Alfin tegas dan berani. Dia memandang tajam Andika yang sudah kembali berdiri. "Dika, lo nggak boleh kalah melawan diri lo sendiri! Semua masalah ini timbul karena mental lo yang terguncang. Lo harus akuin itu."

Andika mendelik mendengar perkataan Alfin barusan. Apa? Mental yang terguncang? Alfin pikir dia gila? Ini tak bisa dipercaya. "Ok. Gue kira lo bisa dimintain tolong. Tapi gue salah. Lo sama aja brengseknya!"

Ini demi suatu kebaikan, Alfin memperlakukan Andika seperti itu. Biarlah saja Andika membencinya. Toh Alfin juga tak jarang dibenci. Menjadi anak kesayangan guru bukan berarti tak memiliki musuh. Semua orang memiliki musuh dalam aspek kehidupannya masing-masing. Selalu ada orang yang tidak suka. Selalu ada orang yang selalu dan selalu memandangnya salah. Bahkan dia berkedip dan bernafas itu adalah salah.

"Kecuali ... kita mendaki," Alfin memberikan usulan. Memang akan jadi masalah kalau Dika menginap di rumahnya. Papa Surya akan marah besar. Tidak pada Dika saja, tetapi pada Alfin yang seolah menyembunyikan keberadaan Dika. "Jika kita sama-sama pergi dengan dalih mendaki, aku yakin tak kan ada masalah serius, lagipula besok weekend kan."

Dika tak pernah mendaki sebelumnya. Yang ia sering lakukan adalah mengaji di sebuah majelis taklim akbar. Weekend penuh dengan jadwal pengajian yang padat. "Baiklah," kata Andika menyetujui.
Hal baru bagi Andika, mendaki.

Alfin tampak puas dengan persetujuan Andika. Mengelola stres yang ia gemari adalah membuang-buang tenaganya melalui mendaki daripada perkelahian jalanan seperti yang Andika jalani. Ia akan buka mata Andika bahwa alam Indonesia ini sangat indah. Ia akan ajak Andika melalui masa pahit dengan hal yang lebih positif dari perkelahian.

Dunia ini adil. Allah itulah Yang Maha Adil. Dalam asma'ul khusna.



Allah adalah Maha Adil. Sebaimanapun Allah menciptakan keadaan kita. Fisik kita. Kisah kita. Akan ada sesuatu yang elok dibaliknya. 🥀🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top