Chapter 6 : Siswa Baru

"Kenapa disaat aku membenci orangtuaku kalian malah tidak punya orang tua?"

***

"Fin! " Ayu mencegat Alfin di sebuah koridor, karena Alfin tidak menghiraukannya saat melewatinya. Memang hanya sepele, tetapi cukup menyayat hati Ayu yang menyukai sosok Alfin. Entah disadari cowok itu atau tidak.

"Hei, Ayu?" Alfin tampak terkejut dicegat seorang cewek.

"Lo senggang nggak? "

"Kapan? "

"Sekarang? "

"Sekarang gue mau ke ruang guru Yu."

"Ngapain? Bimbel? "

"Walah. Bukan itu. Wali kelasku manggil aku. "

"Jam istirahat kek gini? Lo nggak laper? "

"Hmmm ... Ada urusan apa Yu? "

Sepertinya Alfin ingin cepat mengakhiri obrolan mereka.

"Nanti sore senggang? "

"Ada exkul basket Yu."

Apa Alfin benar-benar lupa tentang masalah Ayu, dan permintaan Bu Rani terhadapnya? Kenapa begitu mengenaskan di posisi Ayu? Seolah hanya Ayu yang mengharapkan ini adalah kenyataan bukan mimpi.

"Lo diganggu lagi ya? Kali ini lo diapain? "

Ayu mengangkat wajahnya dan menatap Alfin tak percaya. Cowok itu ingat. Cowok itu memedulikannya!

"Eh, akhir-akhir ini udah jarang kok Fin. Makasih ya. "

"Kenapa Makasih? "

"Karena ... Lo ..."

Alfin melihat jam tangannya. "Gue pergi ya Yu! Udah mepet nih. Bye! "

Ayu hanya menghela nafas. Dari tadi dia deg-degan bin nervous. Padahal hanya mengobrol biasa dan tanpa status apa-apa. Sosok Alfin hanya bisa ia tatap punggungnya sampai hilang dari pandangnya.

Alfin memasuki ruangan guru yang luas. Dia mencari meja milik wali kelasnya dan ada seorang siswa lain di sana.

"Bapak tadi WA saya? "

"Iya Fin. Tolong kamu antar murid ini ke kelas kita. Nanti Bapak susul. Bapak soalnya kebelet. Nggak bisa ditahan lebih lama."

Alfin mengiyakan. Dia agak terkejut karena mengenali siswa lelaki itu. Dia adalah salah satu sepupunya yang sekolah di SMU Kebangsaan. Ada apa gerangan dia pindah dari sekolah elite ke sekolah yang levelnya lebih rendah?

"Ayo, ikut saya! " ajak Alfin. Sepanjang koridor banyak mata yang menatap keduanya penasaran. Terutama wajah baru yang memasang ekspresi dingin itu. Tak tertembus dan berbahaya. Wajah most wanted yang dilirik banyak kaum hawa.

"Kita ke kantin dulu ya. Sambil nunggu bel masuk. "

"Terserah. "

Mereka berdua berjalan ke kantin kelas sebelas. Sudah ada beberapa bangku kosong yang ditinggalkan penghuni sebelumnya.

"Lo, Andika kan? "

"Lo tau. Kenapa masih nanya? "

Mereka sedang makan bakso pesanan masing-masing. Alfin masih tersenyum ditanggapi ketus oleh Andika. "Mastiin aja. Dulu kita nggak banyak ngobrol."


Tentu saja. Sepanjang malam itu Alfin lebih sering bergabung dengan anak berusia tujuh tahun dan lima tahun. "Alvian dan Icha. Mereka Yatim piatu? "

Alfin sedikit terkejut Andika membahas tentang Alvian.
"Hm, Alvian kehilangan orangtuanya saat usianya empat tahun. Dan Icha baru satu tahun. Kasian mereka. Sekecil itu kehilangan orang tua."

"Lo sendiri? "

"Gue? " Alfin menilik Andika. Seakan topik orang tua sebegitu pentingkah bagi Andika? Tidak cukupkah mereka makan dan kembali ke kelas saja?

"Iya. Nita bilang Lo juga Yatim piatu. "

Alfin malah tersenyum dan memakan baksonya. "Nita salah paham Dik. Pengertian Yatim piatu itu untuk Mereka yang belum akil baligh. Sedangkan aku dan kakakku sudah sama-sama dewasa. Kami bukan yatim Piatu lagi. Dan, ya. Kami sempat yatim selama 4 tahun terakhir. "

"Kenapa orangtua lo meninggal? "

Andika terus saja menyerang.

Alfin menjadi tidak selera memakan makanannya. "Kenapa lo pengen tau? "

"Kenapa gue nggak boleh tau? "

Perdebatan mereka sudah dilewati bel masuk sekolah. Lima menit Alfin menahan emosionalnya membahas tentang orangtua. Tetapi Andika terus menuntutnya dengan tatapan tajam.

"Kita ke kelas! " kata Alfin tegas.

"Gue heran. " Lagi-lagi Andika menghentikan Alfin. "Kenapa semua sepupu gue tidak punya orangtua? "


"Kenapa lo begitu kepo? Kenapa lo nggak fokus aja ngurus diri lo? "

"Kenapa? Fin, ini semua lucu bagi gue. Disaat gue membenci mama kandung gue sendiri, kenapa justru kalian semua tidak mempunyai orangtua? "

"Justru gue yang merasa lucu. Bukan lo Dik! Dan meski kami nggak punya orangtua, bukan berarti hidup kami hancur. Kami masih remaja. Masih banyak hal yang belum kami temui menuju dewasa Dan mengetahui segalanya. Masih banyak jalan yang masih bisa kami pilih. Lo nggak perlu mikirin bagaimana perasaan kami. "

"O ya? "Andika spheecless. Alfin begitu terbuka dengan perkataannya. Membuat Andika sedikit menerima nasibnya sebagai anak haram. Dan mengetahui orangtua kandungnya.

***


Hmm.. Kita besar dengan melalui banyak keadaan di sekitar kita. Dan itu mempengaruhi segala aspek kehidupan kita... Semangat untuk kalian.. jangan lupan vote dan komen yaaa.. 🙏 😊😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top