Chapter 3 : Friend
Pov --Andika S. S.
Langit terlihat menggelap dibatas sana. Menaungi kota Jakarta yang sarat akan kesibukan. Semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Biasanya akan muncul banyak ilham dan ide dalam kondisi suram seperti ini. Apalagi hati dan gejolaknya semakin menjadi saat dirinya mengetahui kenyataan. Sebuah hal yang sungguh tidak ingin ia dengar. Hal yang membuat ia kecewa, marah, malu, benci kepada orang-orang tuanya.
Seharusnya ia-Dika-tak dilahirkan saja di dunia ini. Seharusnya ia mati dalam kandungan daripada hidup menanggung kecewa seperti saat ini.
Tok tok
"Dika? Bunda mau bicara?"
Suara Bunda yang memohon diluar kamar terdengar.
"Dika lagi nglukis Bun. Nggak mau diganggu!" sahut Dika yang ingin menghindari topik pahit yang mungkin saja akan dibahas Bundanya.
"Bunda sayang sama Dika. Dika akan selalu dan selalu jadi anak kedua bagi Bunda setelah Kak Kafi."
Dika menggigit bibir. Tiba-tiba saja ia menjadi sesak. Matanya memanas. Perihal itu muncul lagi dalam kepalanya. Tentang siapa dirinya. Tentang orangtua kandungnya.
Sepertinya Bunda sudah pergi karena tidak ada suara lagi di balik pintu. Dika merapikan alat lukisnya. Mengganti pakaian dengan T-shirt panjang hitam yang kontras dengan kulit putihnya dan celana jeans senada. Lalu menelepon sebuah nomor sahabatnya.
"Putra, lo dimana?"
"Lagi di jalan. Kenapa?" suara Putra disebrang memang bercampur dengan suara lalu lalang kendaraan.
"Gue ke situ."
"Edan! Lo nggak kapok apa dihajar Ayah lo? Masokis emang lo!" Putra mengingat bahwa Ayah Dika begitu tegas dan galak. Melarang putra putrinya bergaul dengan anak jalanan yang nakal. Melarang geng-gengan. Melarang kekerasan.
Dulu Dika peduli. Tapi sekarang ia sedang kecewa. Terlebih kecewa pada keberadaan dirinya dalam keluarganya! Tepatnya keluarga panggung sandiwara.
"Diem lo! Lo juga mau babak belur dihajar gue?" ancam Dika. Ia sudah belajar karate selama 4 tahun. terakhir sejak kelas 6 SD dan sudah mengikatkan sabuk hitam di dirinya. Dan karena itulah ia juga sudah banyak melanggar sumpah karate yang disandangnya. Karatenya saat ini hanya ia lampiaskan pada rasa sakit hatinya. Karatenya saat ini tak bermakna karena digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna. Seperti memicu perkelahian.
"Iyaaa, sini aja. Di tempat biasa."
Dika mematikan panggilannya. Ia melompati jendela yang tidak berteralis dan pergi dari rumah. Ia akan meninggalkan kehidupan nyamannya sebagai anak dari Ayah Bunda. Toh ia akan pergi juga, dikirim kepada orang tua kandungnya.
***
Sesampainya di sebuah warung reot di sebuah pinggir jalan raya tempat anak-anak jalanan dan anak bermasalah berkumpul, fikiran Dika sedikit santai.
"Lo nggak ngamen?" tanya Dika pada Putra.
"Kenape? Mau nemenin? Item entar lu! Hari ini gue lagi cuti," sahut Putra. Sebenarnya Putra adalah anak dari keluarga yang cukup berada. Namun keluarganya mengalami broken home dan KDRT. Si anak pun tak betah di rumah karena hanya diisi oleh teriakan dan marah-marah. Kalau di suruh memilih, tentu Putra maupun Dika ingin dilahirkan dari keluarga agamis seperti Ayah Dika. Ayah memang galak, tetapi hanya tegas. Jika anaknya tak keluar jalur, tentu Ayah bersikap manis dan bersahabat. Tetapi kenyataan tak semanis harapan.
"Bunda bilang, lusa gue disuruh pindah," kata Dika setelah memesan es teh manis.
"Pindah kemana?"
"Rumah besar Keluarga Surya. Katanya itu rumah keluarga kandungku," kata Dika.
"Ealaaah ... Ya enak dong pindah di rumah gedongan. Mewah! Megah!" sahut Bi Lusi pedagang warung.
"Enak Bi? Dari Hongkong? Aku ini haram Bi. Anak dari perselingkuhan," sahut Dika sarkastik.
"Eh buset. Kaya telenovela aja."
"Jadi, lo sebenarnya adalah Pangeran terkubur? Wah. Prince Dika." komen Putra berdecak kagum. Dika melemparnya dengan kacang goreng.
"Semprul lo! Lo kira ini lucu?!"
Putra nyengir melihat candaanya dimentahin. Meski begitu ia memberi kekuatan pada sahabatnya ini.
"Yang kuat ya bro!" Putra menepuk pundak Dika. "Nih rokok, gratis."
Dika menyulut rokok pemberian Putra. Ingin sedikit melupakan masalahnya. Sebagai teman dekatnya, Putra menjadi teman untuk menumpahkan segala keluh kesahnya Dika.
Ia segan membagi masalahnya dengan Ayah Bunda. Apalagi kak Kafi atau adiknya Zahra. Mereka semua terlalu baik dan terlalu sayang padanya. Lagipula ia lebih nyaman bercerita dengan sahabat jalanannya daripada keluarganya. Entah kenapa. Alasannya 'hanya saja'. Cukup itu saja. Ia lebih dekat dengan sahabatnya alih-alih keluarganya. Family complex? Brother complex? Semua itu tak ada dalam kamus hidup seorang Andika Surya Saputra.
Do you have friend like that?
Terimakasih sudah mampir,, Lili harap kalian suka.. Ini sudah masuk revisi dan revisi, dan Lili pun sadar masih banyak menemukan banyak kejanggalan,
Sampai jumpa di bab selanjutnyaa 👋👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top