Menebak Bisikan Ombak di Puisi Para Awan

Chuuya berbaring di sana. Meninjau ulang hal yang terlewati dan mendapat beribu rasa hina.

"Brengsek!" Cibiran sarkas— pada sosok bersurai coklat yang tengah duduk di sana sembari melihat keadaan rapuh Chuuya. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku cuma ingin bercinta denganmu."

Satu lengan menutup wajah sementara giginya saling menggigit, Chuuya marah. "Bercinta? Yang kau lakukan pemerkosaan."

"Makanya aku katakan agar kau menikmatinya," nada lembut yang menyertai membuat Chuuya semakin kesal. "Tapi kau sepertinya menikmati tadi bukan?"

"Bodoh sekali."

"Tapi suaramu mengatakan kau merasa nikmat?" Jantung Chuuya berdebar tatkala lengan di wajah diangkat oleh sang lawan bicara sehingga sepasang manik carnelian tampak dengan penuh tipu muslihat. "Andai kau menyebut namaku tadi—"

Segera Chuuya menepih tangan Dazai kasar. Dia benci. Dia benci karena dipaksa melakukan, dan menikmati— Dia benci karena di atas paksaan itu, diam-diam dia memang merasa nikmat. Chuuya benci pada dirinya sendiri.

Ketika bangkit dari terbaring, Chuuya merasakan hangat mengalir di pahanya. Sisa-sisa cairan yang masih bersarang di dalam dan kemudian tumpah. Sejenak ia merona ketika menyadari sekali lagi bahwa ia benar-benar melakukan hubungan badan dengan pria itu. "Berikan aku handuk itu." Ia mentitah, merujuk pada selembar kain yang tergeletak di bawah meja matras.

Dazai memungut dengan turut, serta merta mengangkat satu kaki Chuuya yang ditekuk sedemikian untuk menutup alat vitalnya, "Mau kubantu?" Rampasan kasar sebelum Chuuya benar-benar melayangkan kaki itu ke bahu Sang Kapten.

"Pergi saja kau dari sini."

"Mana bisa begitu..." Dazai tersenyum dengan menutup kedua mata. Menenggelamkan seluruh manik hazel di balik kelopak bertepi bulu mata panjang.

"Tidak kau lakukan?" Ia menantang.

Chuuya ingin sekali membersihkan bagian bawah tubuhnya, terkhusus pada celah yang masih berdenyut memanggil-manggil satu putaran lagi tanpa Chuuya mengerti. Tapi, meskipun ia ingin, rasa malu di kepala begitu besar karena mata itu masih terpaku padanya.

Chuuya ingin membalik punggung, namun ia tidak mau memberi pemandangan tangan yang menyusup di antara kedua paha untuk sampai pada bagian bokong. Tapi Chuuya tidak bisa melakukan tanpa berbalik karena pasti Kapten akan melihatnya— wajah memerahnya lebih lama. Tidak.

"Jangan lihat," pintanya dibalas senyum sumringah. "Cabul. Jangan lihat!"

"Hee... Kenapa? Cuma bersih-bersih saja, tidak boleh?"

Decih tercipta di antara lidah Chuuya yang menampik giginya, "Isi kepalamu itu apa sih? Kenapa pula kau masih di sini?"

Dazai tidak ingin pergi. Dia ingin melihat si surai senja lebih banyak, hal-hal yang tidak boleh ditunjukkan, seperti wajah merona dan teriakannya. Dazai ingin melihat sisi memalukan yang manis itu jauh lebih banyak lagi. Dazai ingin tahu apa saja hal tersembunyi di dunia kecilnya yang rapuh.

"Mau kubantu tidak?"

Sekali lagi tendangan, kini benar-benar membuat Dazai hampir jatuh ke bawah matras dan Chuuya menggeram lebih banyak. Ia memilih berbalik dan mengabaikan wajah puas Dazai di sana. Menyelipkan satu tangan ramping di celah kedua paha lalu menyapu seluruh cairan yang tersisa di liangnya. Ia bangkit sejenak, mengelap lebih banyak sampai bertanya-tanya bagaimana Sang Kapten bisa keluar sebanyak itu di dalam.

Dazai menyukai posisi itu, walau tak bisa melihat wajah si manis, tungkai-tungkai ramping yang saling bergesekan karena malu sejujurnya sangat menggoda hingga tanpa sadar ia menjulurkan tangan untuk membelai pinggul. Chuuya terlonjak, segera berbalik dan mendapati Dazai tengah tersenyum sembari meremas satu pahanya.

Refleks Chuuya sebagai respon adalah menarik bantal dan melemparkannya tepat pada wajah Dazai. Namun bukan ekspresi sakit yang tampak, si mesum malah mendekap bantal itu dan memancarkan tatapan yang membuat Chuuya merinding dan bersemu malu.

"Ada aromamu disini," katanya sembari menghirup dalam-dalam kain pembungkus bantal. "Air mata, liur, keringat, wangi jeruk dari sampo— benar-benar dirimu."

Cepat-cepat Chuuya menarik lagi benda itu namun Dazai terlebih dahulu menjauhkannya.

"Akan kuingat—"

"Kau gila! Psikopat! Stalker! Mesum! Pemerkosa! Cabul! Gila! Kau gila!"

"Ini hanya bantal," adalah jawaban santai Dazai dengan senyum hingga Chuuya bergidik ngeri. "Lagipula ini properti kapal. Psikopat itu, terlalu berlebihan."

Chuuya memilih berhenti untuk berdebat. Lebih lama berargumen hanya akan membuat umurnya memendek, maka lebih bagus ia hengkang segera. Niat melangkah menuju ruang ganti terhenti ketika kali pertama berpijak seluruh tulang Chuuya bergema karena ngilu. Ia jatuh, namun dengan sigap Dazai menangkap lengannya.

Tepisan singkat, Dazai merasa sifat keras kepala itu manis untuknya walau sedikit gemas karena tidak bisa menawarkan jasa memakaikan pakaian.

Chuuya berada di ruang ganti beberapa lama, mungkin sambil kesakitan dan emosi ketika berpakaian. Beberapa menit setelahnya ia keluar dengan busana lengkap dan terkejut, "Kenapa kau masih disini?"

"Tidak boleh aku disini?"

"Kau sudah dapatkan yang kau mau kan? Tidak ada gunanya lagi kau disini." Kata-kata kasar itu mengisi langkah Chuuya yang perlahan menuju tempat tidur, ia menggeser Dazai dari duduknya dan mulai melepaskan seluruh kain seprai yang terkena cairan.

Bagi Chuuya, hubungan intim bukanlah sesuatu yang dapat diumbar dan sebisa mungkin hal memalukan ini harus ditutupi. Karenanya setelah Dazai bertanya, "Kenapa kau lepas?" Chuuya hanya menatap sinis tanpa kalimat. Ia bukan seorang seperti Si Brunette yang mengarahkan aura seksual pada siapapun dan kapanpun ia mau, Chuuya hanya seorang pemuda lugu yang baru pertama kali melakukan seks dengan tingkat pemerkosaan.

Ah, melihat kalau si pelaku masih ada di sini dengan seluruh keinginan saling mengenal membuat Chuuya ragu bahwa yang tadi bisa disebut pemerkosaan. Tapi tetap saja, kenyataan bahwa ia dipaksa tidak bisa berubah.

Kain yang dilepas lalu dilipat, Chuuya menangkap dari sudut matanya sebuah kotak tempat peralatan spa dan segera mengambilnya sebagai wadah. Ia tidak ingin ada yang melihat seprai, handuk, bantal, dan segala hal yang dibasahi cairan-cairan tubuh mereka, demi apapun. Chuuya akan mencucinya, lalu membuangnya kelaut karena tidak mungkin dibakar di dalam kapal.

"Kau benar-benar tulen, ya?"

"Aku tidak butuh pendapatmu. Lagipula kau kapten, kan? Pemalas sekali mengabaikan tugasmu hanya untuk hal seperti ini."

"Aku shift malam, jadi kerjaku malam.

"Oh."

"Makanya aku tidak bisa menemuimu kemarin malam." Jawaban acuh tak acuh Chuuya dijawab dengan tidak mau kalah, dan Dazai berhasil memancing raut wajah kesal yang sangat menyenangkan untuk dilihat itu.

"Lalu kenapa kau menyuruhku datang?"

"Kau sebelumnya meninggalkanku saat lagi 'keras-kerasnya' jadi aku ingin sedikit menjahilimu."

Antara ingin merona karena ingat malam masturbasi itu, atau ingin marah karena ingat malam masturbasi itu juga— Chuuya hanya diam menundukkan wajah sembari meninju siku Sang Kapten. 

"Aku ingin melemparmu ke laut."

"Haha. Lucu sekali kau bilang begitu dengan tubuh mungil seperti boneka." Chuuya meninju sekali lagi dan menoleh pergi. "Lalu," suara Dazai menghentikan langkahnya, "Beritahu aku namamu."

Tidak ada jawaban selain pengabaian. Chuuya keluar dari pintu namun Dazai adalah Dazai. Ia akan dapatkan apapun kemauannya, sehingga melangkah mengikuti di belakang. Chuuya menyadarinya, ketika mereka melewati geladak dan tangga-tangga, atau ketika sesekali Dazai mencolek punggung berbalut kemeja merah. Chuuya tahu namun tidak bisa melakukan tindakan pencegahan berarti, sebab terlalu banyak mata.

Si bodoh yang melakukan tindak pelecehan seksual itu masih memakai seragam kapten, mengikuti korbannya demi mendapat sebuah nama, dan Chuuya sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya sendiri dan saat ini seluruh isi kapal adalah musuh baginya.

Maka, ketika kamarnya di depan mata, Chuuya masuk dan menutup pintu dalam sepersekian mili sekon agar Dazai tidak bisa masuk. Napas lega dihela, Chuuya melempar sembarang isi kotak hina itu ke dalam kamar mandi dan membuka jendela kaca. Samudra hijau yang berombak sedikit menenangkan serta kesunyian membuatnya aman. Chuuya berbaring di atas ranjang setelah melepas celana jeans yang membuat nyeri di pinggul semakin menjadi kemudian mencoba terlelap.

Ia tidak pernah mengira bahwa seks adalah hal yang sangat melelahkan. Apa yang terjadi jika Chuuya benar-benar bermain api dengan Asisten Kapten sesuai rencana dan pingsan di sana? Sejujurnya ia sedikit beruntung ketika Sang Kapten bersurai coklat berjalan di belakangnya walau seperti penguntit. Ia sedikit lega, tenang, sebab mengetahui akan ada yang menyanggah dan menopang seandainya ia terjatuh. Bahkan walau Si Mesum itu begitu buruk, ada sesuatu di matanya yang membuat Chuuya ingin percaya walau berakhir dengan gelengan kepala dan sebuah, "Pikiran bodoh," di batinnya.

Chuuya ingin sekali mandi dan membersihkan seluruh jejak-jejak si brengsek itu dari tubuhnya. Namun ia begitu lelah seakan seluruh tumpuan kaki menguap bersama udara dan mentitah tubuh untuk istirahat. Jikalau yang tadi cukup membuatnya aman berada di kapal, maka ia bisa sedikit menerima perlakuan kurang ajar itu. Ketenangan mengisi dan ketakutan tersisih, Chuuya terpejam di ruangan beraroma laut, jika saja tidak ada sentuhan di dahi yang membuatnya kembali membelalakkan mata.

"Ah, kau belum tidur?"

"Ka—" Chuuya refleks menarik mundur tubuhnya ketika mendapati Sang Kapten Cabul ada di sana, duduk di lantai sebelah kasur sembari tersenyum dan menjulurkan tangan seakan ingin menangkup seluruh wajah Chuuya. "Kenapa—" 'kau bisa masuk?' adalah yang ingin Chuuya katakan jika pemuda itu tidak menjawab duluan.

"Aku ini kapten, loh."

Chuuya lupa. Tentu saja. Tidak ada tempat yang aman di kapal baginya.

"Apa yang kau mau kali ini?"

"Kau sangat lelah, kan? Jadi aku akan menunda urusanku sampai istirahatmu selesai."

"Mencurigakan." Chuuya memvonis dengan seluruh sikap antisipasi dan ketidakpercayaan. "Aku tidak tenang jika kau di sini."

"Hee... Aku sedih kalau kau bilang begitu, kan?"

"Bagus."

Chuuya menatap heran, atau mungkin horor, karena sama sekali tidak mengerti apa isi kepala pemuda yang ada di hadapannya itu. "Bisa kau pergi?" Diucap dalam nada sopan sebagai sindiran dan rasa letih. "Aku ingin tidur."

"Tidurlah," sepasang coklat tenggelam di matanya, "Aku ingin melihatmu tidur."

"Aku tidak bisa tidur kalau ada seorang pencabul tepat di sampingku sambil menatapku seperti predator seksual," sindiran yang menurut Chuuya kasar dan halus itu sekali lagi dibalas senyum yang jujur saja rasanya semakin menyebalkan dan menawan. Oh, tidak.

Dengan harga diri setinggi awan pemuda itu tiba-tiba naik ke atas tempat tidur.

"Pergi," Chuuya melempar tatapan sinis.

Dari balik jendela yang masih terbuka sinar senja perlahan masuk. Tidak ada yang megira-ngira ternyata siang begitu singkat dan malam hampir tiba. Mengingat kenyataan tentang shift malam membuat Chuuya sedikit bersyukur karena sebentar lagi brunette menyebalkan ini akan pergi, namun juga termenung karena sebentar lagi si brunette menyebalkan ini akan pergi.

"Kau tidak tugas malam ini?"

"Kau mengkhawatirkan pekerjaanku?"

Chuuya menusuk rusuk Dazai dengan ujung jari kakinya, "Aku mencoba memakai alasan pekerjaan untuk mengusirmu, bodoh."

Kaki Chuuya ditangkap dengan mudah. Sedikit mengejutkan terlebih ketika pemuda itu mulai memijat punggung kakinya seakan Chuuya adalah pekerja rodi yang butuh hiburan. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku memijatmu." Ada senyum di bibir tipis yang Chuuya lihat dengan pandangan menyelidik. Ia semakin tidak mengerti pikiran orang ini. "Aku akan tunggu sampai kau tidur lalu pergi."

"Aku tidak butuh ditunggu."

"Tentu kau butuh," Karena Dazai sudah melakukannya. Lama sekali hinggap di kesendirian, menunggu seseorang yang akan memberi warna, dan tidak disangka-sangka itu adalah dia. Pemuda jingga yang entah siapa namanya namun berhasil mencuri seluruh hati Dazai. Dia sudah menunggu begitu lama.

"Atau mungkin kau tidak benar-benar ingin tidur?" Tudingan Dazai berujung perempatan kesal yang tampak jelas di dahi Chuuya. Segera ia membuang seluruh kepeduliannya dan berpaling menatap tembok. Rasa asing ini membuat lupa tengah berada seruangan bersama orang mesum, tanpa celana, bertahan dengan kemeja merah yang ditutup selimut sedengkul.

To Be Continued

26 September 2020
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top