Laut Itu Indah, Terlebih Jika Berkaca di Matamu

Ada perlawanan besar di pinggulnya, seperti ikan yang hendak dikuliti, ketakutan, menggeliat, namun merona manis. Teriakan yang mengalun di telinga Dazai begitu indah dan candu.

Dazai meletakkan satu tangan di tengah punggung kecilnya. Menekan agar tidak ada celah dari pemberontakan. Sementara satu tangan lagi ia gunakan menurunkan resleting, agar bagian yang sudah tegang bisa mencari rumah terbaik untuk mengadu gebu gairah.

"Tidak— tidak tidak...!!"

Ada senyum di wajah Dazai ketika penolakan terus menerus muncul di detik ia menyusupkan miliknya melewati kerapatan daging bokong untuk sampai pada liang kecil yang tertutup. Mili demi mili ia mendapati isak sampai seluruh bagiannya tenggelam ke sana. Dazai tidak menyadari bahwa pipinya sendiri memerah, karena tubuh yang ia senggama begitu pantas dihancurkan.

"Tenangkan dirimu dan nikmatilah," Dazai meminta tanpa arti karena ia pun menyukai penolakannya.

Tarikan lembut, sebab Dazai tidak ingin melukai tubuh manis itu, Chuuya mengerang. Menangis. Lalu hentakan cepat memanggil teriakannya. Ia menggelengkan kepala cepat, berusaha mengusir rasa sakit dan malu serta kelemahan karena tidak bisa melawan.

"Lepaskan, lepaskan..."

"Kau harus bersabar," Dazai memacu kembali. "Jika begitu kau akan menikmatinya."

Nikmat apa yang dia bicarakan ketika Chuuya merasa seluruh sel tubuhnya pecah? Sakit sekali di dalan sana, sobekan yang dipaksa karena kepemilikan kapten itu begitu besar untuk tubuh kecilnya. Chuuya ingin meminta sebuah jeda karena jantungnya begitu sesak, namun ia hanya tahu kata, "Tidak, tidak.."

Kian lama permainan berlangsung, sebuah desir aneh menyapu tengkuk Chuuya sampai ia tidak tahu apa sebab tubuhnya begitu hangat. Menggebu dan tanpa sadar menaikkan pinggul.

Gerakan itu adalah penyerahan, namun sesekali isak mengatakan bahwa itu adalah perlawanan. Tapi Dazai tidak perlu memikirkan karena kini jalur penjelajahannya terbuka sempurna.

"Ah—"

Chuuya mengerang ketika sebuah titik ditumbuk mesra. Dazai menyeringai.

"Ahh... Ah!"

"Nikmat?"

Chuuya berusaha menggigit bibir untuk mengurung desah lancang, namun ketika bagian itu dihantam, ia menjadi lemah dan mengeluarkan suara memalukan. Bantal diremas, ia meredam suaranya di sana, membagi liur dan air mata pada helai yang menjadi basah.

"Kau bisa sesak napas," Dazai membelai kepala Chuuya, "Jangan tahan suaramu."

Chuuya kembali menggeleng, ia meremas kuat pada kain yang bisa ia raih dan berharap tidak akan memperlihatkan wajah memalukan ini pada siapapun terutama si Kapten biadab.

Dari tempatnya Dazai bisa melihat figur mungil si penumpang gelap. Kedua tumpukan bokong yang kenyal, lalu tungkai-tungkai padat. Dazai suka punggung berguncang dan berharap ada sebuah cermin yang dapat memperlihatkan kilau laut sang pemilik. Tapi Dazai tidak akan mendapatkannya— jika tidak meminta sendiri.

Ia menunduk, mengecup tengkuk yang basah dan merasakan getaran merambat di bibirnya. Kemudian, memaksa kaki Chuuya menekuk agar bisa dengan mudah memutar kembali tubuh itu tanpa melepas penyatuan mereka.

Ketika wajah tampak, Dazai termenung sejenak. Betapa manis dan erotis manik biru basah yang berkilau itu. Cerminan laut yang menjelma langit mendung, penuh gemuruh risau dan kilat-kilat nafsu. Gumpal pipi merona dibelai, belaian ditepis dan Chuuya menolehkan wajah, kembali menolak.

"Aku suka kau melawan," Dazai mendorong miliknya masuk. Menekan titik Chuuya dan dijawab dengan erangan perih, "Jadi ketika kau menerimaku, semua akan lebih indah."

Ketika berhubungan intim, wajah pasangan yang merona karena nikmat lalu dengan suara erotis meminta lebih adalah hal yang Dazai sukai. Namun sekarang, tidak ada penerimaan, Penumpang Gelap itu menolak dengan menjauhkan wajah Dazai di hadapan walau mereka telah menyatu di bawah. Dazai bukan seorang molester yang menikmati wajah tidak senang, hanya saja, kali ini, ia sangat menyukainya. Ia seperti jatuh cinta.

"Aku ingin membuatmu lebih berantakan. Memohon lagi padaku, dan aku tidak akan mewujudkan apapun.."

Ia menghentak kasar, memanggil teriakan Chuuya yang begitu indah sebelum kembali menusuk lembut disambut desah-desah dewasa. "Kau suka?"

Ada gelengan kencang. Chuuya meringis, menutup wajahnya dengan lengan karena tidak ingin Dazai melihat rona nikmat serta air mata kepedihan bercampur dalam kanvas indah. Namun Dazai adalah Dazai. Ia tidak akan melewatkan kesempatan melihat lukisan Tuhan yang mempesona sehingga segera menarik tangan Chuuya untuk terbuka.

"Kau cantik, kau tahu?" Si mungil tertegun, karena pujian Dazai begitu lembut dan tulus. Memujanya seperti sapuan bulu yang menenangkan dada. Ia diam, menggigit bibir karena desakan Dazai bertambah cepat.

"Ah.. Tidak. Hn—"

"Kau berkata tidak, tapi kau menyukainya, kan?"

Chuuya menggeleng. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya. Bahkan jika mulut berkata tidak, itu karena ia tidak tahu harus mengucap apa lagi sebagai deklarasi kenikmatan ini— karena ia masih punya harga diri untuk tidak menyebut nama Dazai Osamu.

"Panggil aku." Dazai berbisik di telinga, masih menghujam dan memeluk tubuh lunglah Chuuya. Di dekapnya rasa lemah itu, seperti iblis perayu yang perlahan masuk ke kesepian Chuuya. Menggoda dan memanggilnya lembut, hingga Chuuya tanpa sadar melingkarkan tangan di leher Dazai sebagai satu-satunya penjaga.

"Aku ingin menciummu," adalah sinyal meminta agar Chuuya berhenti menenggelamkan wajahnya di pundak Dazai. "Hei.."

"Tidak.."

Dazai tersenyum. Semua lenguh dan penolakan membuatnya semakin dekat dengan puncak. Ia menghentikan gerakan sejenak, memancing si pemilik manik safir untuk menjauh, lalu mengecupnya.

Bibir manis itu, deretan gigi yang rapih, lalu kebimbangan atas gairah dah harga diri, Dazai menyapu semua dengan lidahnya sebelum kembali memulai hentakan.

"Hnn.. Hm..." Chuuya tidak memberontak ketika dekap Dazai semakin erat, ketika hujamannya semakin cepat dan kasar. Ia ingin berkata tidak, namun mulutnya dibungkam rasa hangat dan pengertian. Sakit di bawah sana adalah nikmat, tapi Chuuya tetap kukuh menganggapnya sebagai dosa.

Ketika ia merasa puncaknya dekat, rasa jijik membanjiri kepala. Chuuya merasa seperti pelacur yang menikmati pemerkosaan dan memilih melarikan diri untuk diam dicumbu bibir lainnya.

Air mata di pelupuk jatuh, seiring dengan precum yang tumpah di antara tubuh mereka. Dazai melepas kecupan delapan detik itu, dan mendapati kesedihan dan gairah di mata Chuuya.

Ia kembali tersenyum.

"Jangan menangis," katanya membelai pipi merah nan sembab sementara pinggulnya masih memompa. "Kau tidak rendah, kau menawan."

Ia menyakiti Chuuya. Ia membuat Chuuya melakukan hal yang tidak Chuuya inginkan. Namun Chuuya merasa tenang, seakan ia bersyukur karena orang itu adalah dia. Karena dia mengatakan semua penghiburan yang paling ingin Chuuya dengar.

"Kau indah dan berharga," Dazai meraup kembali bibir ranum itu. Ia berusaha memuji, namun tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhnya sendiri begitu lemah menahan gumpal hasrat di ujung selangkangan.

Ketika temponya bertambah, ia memeluk Chuuya erat. Melepas kecupan itu untuk menyantap sisi kanan pundak yang ringkih. Lalu lepas.

"Ah.." Chuuya merasakan hangat di sana— ia merasakannya dan tanpa sadar mencapai klimaks sendiri. "Tidak, tidak.."

"Jangan berkata seperti itu lagi."

Alisnya turun ketika Dazai menarik diri, memisahkan penyatuan mereka tanpa melepas dekapannya. Ia begitu suka tubuh itu di antara lengan. Hangat dan kecil. Kokoh dan rapuh.

"Lepas.." Adalah yang Chuuya katakan dan Dazai turuti setelah meninggalkan kecupan jejak di sisi pundak.

Ah, Dazai ingin melakukan lagi sampai perlawanannya hilang, sampai hasrat menjadikannya budak, sampai ia candu dan meminta lebih, sampai tidak ada yang bisa menyentuhnya selain Dazai Osamu sendiri.

To Be Continued

21 September 2020
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top