Welcome Another World
Bab 1. Welcome Another World
Tas punggung, earphone, sepatu converse, semua melekat pada diri gadis berumur tujuh belas tahun yang kini berjalan menuju stasiun kereta. Alunan musik biola dari Lindsey Stirling begitu mengindahkan bising kendaraan dan keramaian di lingkungan sekitar. Gadis itu menghela napas, menyapu pandangannya ke sekeliling area penjualan tiket. Penuh dan sesak. Gadis itu berdecak, dengan langkah malas ia berjalan mengikuti antrian di belakang. Matanya melirik jam di tangan, pukul tujuh kurang lima belas menit. Ia mendesis, menatap antrian yang begitu panjang di depannya.
Satu pesan muncul di layar ponselnya.
Karin: Masih dimana? Bentar lagi masuk, lo gak bisa liat Sabda latihan eskul di lapang.
Lintang meringis tidak rela, "Mungkin untuk sekarang gue gak bisa liat Sabda."
Karin: Lo ada di mading, Lin!
Lintang membulatkan mata, "Serius?!"
Lintang: Urutan berapa Karin!!!
Beberapa menit kemudian tidak ada balasan dari Karin. Lintang cemberut, melirik jam di layar ponsel memelas, "Kapan gue sampai sekolah kalau antri gini."
Selang beberapa menit kemudian antrian mulai lengang. Ia mendesah, kembali melirik jam di tangan, tepat pukul tujuh pagi. Tidak menunggu lama gadis itu akhirnya mendapatkan tiket keberangkatan keretanya menuju sekolah. Lintang melangkah tergesa, lebih tepatnya mulai berlari menuju pintu kereta demi mendapatkan posisi yang diinginkan. Namun sial, seseorang telak menabrak pundaknya hingga tak sengaja ponselnya jatuh ke atas lantai kereta. Sontak ia marah bukan main, berteriak tidak terima. Matanya melihat seorang gadis bertudung jingga sebaya dengannya terus berjalan cepat menghilang di kerumunan penumpang kereta.
"Eh, Bego! Kalo jalan liat-liat, dong! Hape gue jatoh gara-gara lo!"
Mendengar teriakan marah gadis itu di sekitar kereta, sontak dirinya mulai menjadi pusat perhatian penumpang yang tengah berlalu lalang. Lintang menghela napas, mengindahkan tatapan risih semua orang di dalam kereta. Fokusnya hanya satu, mencari keberadaan si penabrak tadi dengan menyusuri semua sisi kereta. Kesal dengan ponselnya yang sukses retak tak bernyawa, ia terus berjalan gusar mencari pelaku kesialannya hari ini. Namun, hasilnya nihil. Dengan napas tersengal akibat emosi yang meluap-luap, akhirnya ia sampai di ujung gerbong kereta. Tanpa sadar, ia melirik kaca jendela kereta, ternyata sedari tadi kereta sudah berjalan cepat melewati beberapa rute pemberhentian. Ia mengusap wajah kasar, kembali menatap ponselnya nelangsa.
"Sialan. Kenapa juga harus lo yang jadi korban." Ia menggeram, "Semua ini gara-gara tuh cewek sialan. Lcd hape retak, mati lagi."
Di tengah kekesalannya, matanya tak sengaja melihat ke arah kaca jendela. Pemandangan air terjun yang sangat indah bersama beberapa burung melewati kaca jendela dengan corak warna keemasan. Bukan, itu bukan burung biasa. Burung itu mengeluarkan percikan api. Lintang melotot, ini bukan pemandangan sawah dan gunung yang biasa ia lihat sampai bosan di perjalanan. Jantungnya tiba-tiba berdebar cepat, melirik ke arah para penumpang yang anehnya tidak seperti yang ia lihat sebelumnya. Semua penumpang menggunakan pakaian berjubah dan bertudung hijau tua. Saling berbincang ria seperti orang-orang normal sebelumnya. Gadis itu menggeleng, mengerjapkan matanya berkali-kali. Masih sama. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Matanya kembali menatap layar ponsel, mati. Napasnya semakin memburu, rasa takut dan panik mulai menguasai akal sehat dan pikirannya.
"Apa-apaan ini? Gue dimana?"
Dengan langkah berat ia melewati beberapa penumpang yang ada di sekitar gerbong, meneliti peralatan dan barang bawaan yang mereka bawa. Buku-buku tebal, kuali, ayam bersayap api, dan barang-barang aneh lainnya. Gadis itu menelan ludah, berjalan ketakutan saat harus berdesakan melewati orang-orang aneh di sekitanya.
"Kamu siapa? Bajumu sangat terlihat aneh. Tapi, bagus juga." Salah seorang nenek tua bertanya seraya menggendong kucing di pangkuannya, "Cantik. Kamu dari mana?"
Lintang melotot takut, menghindari sentuhan tangan nenek tua itu di pundaknya, "A-aku bingung. Me-memangnya ini dimana? Di rute mana?"
Nenek tua itu tertawa ramah, menampilkan rentetan gigi hitam dan ompongnya, "Kamu tersesat ya. Kereta ini sedang melaju ke arah Timur. Tempat para petinggi Kerajaan Arunika. Apa kamu mau ikut ke sana juga? Masuk pemberdayaan sumber daya manusia di sana?"
Mendengar jawaban nenek tua itu, gadis itu semakin panik. Airmatanya sudah merembes tidak karuan. Membuat semua penumpang di sekitarnya ikut menatapnya cemas.
"Ada apa ini, Seraphine," wanita dengan usia lebih muda di sampingnya bertanya, "Kamu kenapa, manis? Apa kamu tersesat?"
Bukan jawaban yang wanita itu dapat, tapi tangisan keras gadis itu yang mereka dapatkan. Semua penumpang mulai kebingungan, sampai akhirnya nenek tua itu mengusap bahu Lintang lembut, menyuruhnya untuk duduk di kursi terdekat.
"Menangislah sampai puas, sampai kamu merasa lega dan bisa bercerita. Kami akan tetap menemanimu sampai tiba di pemberhentian akhir."
Lintang menangis tersengal, berusaha menenangkan diri melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dirinya benar-benar bukan di dalam kereta sebelumnya. Orang-orang sebelumnya berpakaian kantor, kasual, seragam sekolah, anak kuliah, anak sekolah, karyawan, dan orang-orang formal lainnya. Bukan seperti yang dilihatnya sekarang. Ia kembali mengerjapkan matanya berkali-kali, tapi tetap saja matanya melihat orang-orang bergaya aneh di sekitarnya. Orang-orang berjubah dan bertudung hijau muda dan tua dengan barang-barang dan hewan aneh lainnya. Sialnya, mereka kini sibuk menatap dan memperhatikannya menangis sesenggukan. Selintas pikirannya kembali mengingat gadis bertudung jingga yang telak membawanya masuk ke dalam dunia aneh dan tidak logis ini.
"Sudah baikkan?" tanya wanita di sampingnya, mengait keranjang berisi telur bercorak merah.
"Udah," Gadis itu menyeka mata, mengangguk lemas, "boleh gue-eh, aku nanya sama kalian?"
"Logat bahasamu kurang kami pahami. Bisa tidak kamu pakai bahasa seperti kami? gue itu apa ya?" wanita itu tersenyum kecut, menggeleng tidak mengerti bahasa gaul yang digunakan gadis itu selama tinggal di kota Jakarta.
Lintang tergagap, berdeham, "O-oh, okey, gue itu bahasa non baku yang artinya saya atau aku. Itu bahasa orang Jakarta. Kalian tahu Jakarta ada dimana?"
Semua orang di sana menggeleng tidak tahu.
"Memangnya itu kota mana? Seumur hidupku aku belum pernah mendengar nama kota itu."
"Ya udah, lupakan. Aku mau tanya sama kalian, sebenarnya, gu-aku ini ada di negara mana sekarang?"
"Di sini tidak ada negara, tapi Kerajaan Arunika. Kerajaan Timur yang terkenal makmur dan sejahtera. Semua pasokan makanan begitu melimpah dan subur. Hewan-hewan peternakan pun berkembang biak dengan sangat baik. Begitu juga dengan pemanfaatan sumber daya manusia yang diutamakan Kerajaan Arunika."
Mendengar penjelasan wanita itu membuat Lintang merasa geli. Layaknya sebuah lelucon. Tapi nyatanya cerita itu membuat dirinya semakin takut dan gelisah. Ia mulai mengingat orangtua dan kakaknya di Jakarta. Bukan di dunia mayapada protesis seperti ini.
"Baju kalian kenapa modelnya bertudung, berjubah, terus warnanya cerah semua? Kalian penyihir, kayak di film Harry Potter?"
Nenek tua yang bernama Seraphine itu tertawa, "Kami bukan penyihir, sayang. Tapi kami hanya memiliki kekuatan supernatural seperti leluhur kami. Pakaian kami memang berwarna hijau muda dan tua. Seiring usia kita bertambah dewasa, maka warna jubah dan tudung harus lebih gelap. Dan karena kami berasal dari Kerajaan matahari terbit yang membuat tanahnya semakin subur dan makmur. Arunika yang berarti cahaya matahari terbit. Sudah ratusan juta tahun leluhur kami memakai jubah bertudung hijau seperti ini. Berlambang tanaman yang sangat subur."
"Tapi, kalo pakai tudung warna jingga itu bagaimana?" Gadis itu berdecak, susah sekali jika harus memakai bahasa baku tanpa menghilangkan kebiasaan logat kotanya dulu.
Wanita itu menautkan alis, "Mereka yang memakai tudung dan jubah berwarna jingga muda atau gelap, itu hanya dipakai rakyat Kerajaan Barat. Kerajaan Swastamita. Swastamita yang berarti suasana matahari terbenam. Para petinggi Kerajaan Barat begitu antusias mencari seorang Nala yang barusaja diramalkan oleh petinggi Kerajaan Arunika. Berita ini sudah menyebar di seluruh penjuru Kerajaan setelah konflik perebutan kekuasaan wilayah utara berhasil diduduki Kerajaan Arunika. Karena mereka kalah, Kerajaan Barat mulai gencar berusaha membalas perlakuan Kerajaan Arunika yang kini semakin makmur dan berjaya. Politik Raja Adipati."
Lintang mengangguk pelan, belum mengerti sepenuhnya, "Jadi, yang pake tudung muda dan gelap warna jingga itu orang jahat? Gitu? Dari Kerajaan Barat?"
"Bukan jahat, tapi kita benar-benar harus menghindari mereka. Demi Kerajaan Arunika, kita harus hati-hati terhadap batas wilayah antara Kerajaan Barat dan Timur. Dan jika kamu bertemu mereka, jangan pernah ikuti mereka, dan jauhi mereka. Itulah peraturan mutlak Kerajaan Timur."
Gadis itu melengos, "Tadi aku liat ada yang pake tudung jingga lari ke arah belakang kereta. Dan dia malah menghilang."
Mendengar pengakuan Lintang, sontak semua penumpang terkejut dan berbisik-bisik penuh peringatan, "Dimana kamu liat dia, Nak? Jika memang ada di kereta ini, segera bersiap dengan senjata masing-masing. Jika tidak, bunuh saja dia di tempat. Atau tidak laporkan pada petinggi Kerajaan Timur."
"Emang, segitu bahanya ya, dia buat Kerajaan kalian ini?"
"Dengar, Nak, mereka benar-benar berbahaya. Mereka sudah tahu keberadaan Nala yang diramalkan akan muncul di Kerajaan Timur. Mereka sangat membutuhkan Nala untuk merebut kembali tanah kekuasaan mereka di utara. Jika mereka sampai mendapatkan Nala, seluruh Kerajaan Timur akan hancur. Mereka akan kembali meraih kejayaan dengan menguasai wilayah barat, utara dan selatan. Perang pun akan tetap terus terjadi jika mereka sampai menemukan Nala, jantung dunia semua Kerajaan. Baik perang secara fisik, maupun perang batin Raja masing-masing."
Mendengarnya Lintang menggeleng tidak percaya. Semakin bingung dengan apa yang terjadi menimpanya di hari ini, tanggal, bulan, tahun, dan usia hidupnya ini.
"Nala itu apa? Siapa?"
"Seseorang yang bisa membuat jagat bertekuk lutut hingga semua apa yang telah direncanakan gagal hanya dalam waktu singkat. Seperti Katalisator yang bisa merubah situasi dan kondisi dengan cepat. Mereka mengatakan, Nala hanya bisa muncul seratus tahun sekali dalam terjadinya konflik dan peperangan. Tapi, menurut rumor Kerajaan, Nala adalah seorang perempuan yang berasal dari dunia fana. Muncul secara tiba-tiba di sekitar jagat yang kini mencarinya."
Gadis itu mengernyit, semakin tidak mengerti. "Udah-udah. Bosen aku dengernya. Sekarang, tujuanku adalah sekolah. Mencari ilmu. Dimana?"
"Oh, ikut PSDMA. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Arunika. Tunggu saja. Kami juga akan kesana, melihat cucu-cucu dan anak kami di sana." Jawab Seraphine mengusap pundak gadis itu.
Mendengarnya Lintang melengos panjang. Berusaha menenangkan diri dengan semua kejadian aneh yang membuatnya frustrasi bukan kepalang. Ia kembali menatap ponsel di tangannya, mati. Niatnya, mungkin dia bisa menghubungi ayah dan ibunya atau polisi atau angkatan darat dan udara untuk kembali membawanya pulang dari negeri entah berantah ini. Tapi itu hanya angan-angan gilanya saja. Matanya melirik jendela kaca kereta, menampilkan padang bunga edelweiss begitu indah dan menakjubkan. Terdapat ribuan kupu-kupu bercorak merah dan hitam di atas hamparan permukaan bunga yang sontak membuatnya tidak berhenti terpesona. Tidak sadar, gadis itu meraih ponselnya hendak mengambil gambar, tapi naas, yang ia lihat hanya retakan dan layar gelap, membuatnya mendengus memasukan ponselnya kembali ke dalam tas jengkel.
"Oh, ya, nama kamu siapa?"
"Lintang." Gadis itu menjawab, menoleh, "Lintang Asmara. Nenek?"
"Seraphine Flora," nenek tua itu menunjuk wanita di sampingnya, "dan ini Rose Pekkala, dari keluarga Pekkala."
Wanita itu tersenyum hangat, "Nah, sayang, sebentar lagi anakku akan mempunyai teman baru."
Lintang tersenyum kecut. "Sampai kapan kita akan tiba di sana?"
"Sampai matahari terbenam."
Melihat wajah nelangsa yang ditunjukan gadis itu, Rose tertawa, "Tidak apa-apa. Kalau kamu lapar, makan saja. Kami bawa bekal banyak sekali. Roti gandum, sup, kue jahe, apel—"
"Cucu ku suka sekali kue jahe, usianya sebelas tahun. Kasihan, ayah dan ibunya meninggal karena ikut peperangan dulu. Dan sekarang aku hanya memiliki Lily dan Bass."
Lintang menatap iba Seraphine yang barusaja bercerita tentang cucunya itu.
"Sudahlah, Seraphine, cucumu baik-baik saja." Rose membuka perbekalannya yang berada di dalam keranjang yang lain selain keranjang telur dibawanya, "Nah, Lintang, kalau kamu lapar, makan saja apa yang ada di keranjang ini. Ambil lah. Jangan malu. Putraku juga sepertinya seusia denganmu."
Lintang meneguk ludah. Melihat begitu banyak makanan di dalam keranjang milik Rose, mendadak ia merasakan perutnya mulai meminta asupan sebelum lambungnya kembali meradang. "Boleh aku memakannya?"
"Boleh, sayang. Oh, Seraphine, kamu juga boleh. Ambil kue jahe ini untuk cucumu, Lily. Gadis itu semakin menggemaskan saja."
Seraphine mengangguk, "Baik lah."
Lintang menatap roti gandum di genggamannya cukup lama. Takut, takut jika roti itu sudah diberi racun atau serbuk apapun seperti kasus-kasus kejahatan di kotanya. Ia melirik ke arah Rose yang sedang mengunyah kue dengan lahap, tidak apa-apa.
Sengaja, ia sedikit menyobek roti tersebut lalu diberikannya pada kucing di pangkuan Seraphine. Alih-alih sebagai kelinci percobaan, gadis itu menjatuhkan potongan roti itu di dekat kucing tersebut. Berhasil, Lintang melihat kucing itu menjilat dan memakannya tanpa ragu. Satu, dua menit berlalu, tidak ada kontraksi yang terjadi pada kucing bermata biru dan hijau itu. Aman. Lintang tersenyum, sebelum akhirnya melahap roti gandum tersebut.
"Bass, kamu makan apa? Oh roti, aku pikir sepatuku." Seraphine tertawa melihat Bass, kucing bermata lain itu sibuk memakan roti gandum yang diberikan Lintang padanya.
"Terima kasih, Tante." Lintang tersenyum penuh penghargaan.
"Sama-sama. Panggil saja aku Bibi Rose. Aku tidak terlalu mengerti logat bahasa daerahmu." Rose terkekeh, menuangkan susu segar dari botol, "minumlah."
Lintang menatap curiga susu itu, tapi ia tetap meminumnya sampai habis. Masa bodoh dengan racun, batinnya tidak peduli. Ia pikir, untuk apa dia hidup di dunia asing dan jauh dari orangtua seperti ini. Bahkan, ia juga tidak tahu caranya ia bisa kembali ke dunia asalnya.
Kota Jakarta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top