1. Kaum Marginal
Aroma kunyit mengingatkan Nala pada bau akar dan rimpang, khas dan menenangkan. Peluh gadis itu mengalir deras, sementara kedua tangannya sibuk memarut halus rempah kuning itu hingga nodanya mengenai tangan dan baju. Sebaskom penuh hasil parutan berhasil dibuat. Kini, setelah bahannya siap, Nala lantas memasukkan bahan itu ke dalam panci berisi air lalu mulai direbus.
Sementara dia menyiapkan asem Jawa dan gula merah, adiknya yang pertama terbangun dan mulai merengek gelisah. Rumahnya hanya berupa satu petak ruangan yang dibatasi oleh sekat tirai kain. Kompor tempat memasak ada di depan pintu masuk. Di tempat yang sama ibunya terbaring sambil menyusui adik bungsunya yang masih bayi. Di balik tirai, adalah tempat tidur Nala dan Nisa, adik pertamanya yang masih kelas satu SD.
“Mbak, kancani pipis [ Mbak, temani pipis.],” pinta gadis cilik usia enam tahun itu.
Nala mengernyit kesal, seperti baru disadarkan bahwa dia sedang melakukan hal yang menyebalkan. Hari masih gelap, pukul empat dini hari, tetapi dia sudah harus bangun sejak setengah jam yang lalu, memarut kunyit dan mempersiapkan jamu-jamu dagangan ibunya. Sementara itu, adik-adiknya bisa tidur lelap tanpa terganggu sampai matahari terbit nanti.
Hanya karena dia anak perempuan tertua, jadi semua tanggung jawab mempersiapkan kebutuhan rumah jadi ada di pundaknya. Termasuk membuat jamu dan merawat adik-adiknya.
Dengan marah gadis itu menghardik Nisa, adiknya yang sudah berdiri di sebelahnya. “Pipis yo gari pipis dewe, kok, ndadak dikancani. Ra weruh aku lagi nggawe jamu? [ Pipis ya tinggal pipis sendiri, kok, harus ditemenin? Nggak lihat aku lagi bikin jamu?]” bentak Nala dengan nada tinggi.
Mata Nisa berkaca-kaca, mau menangis. Namun itu sama sekali tidak menggerakkan hati Nala, dan justru membuatnya lebih kesal. Gadis itu tetap duduk bersila di lantai, sambil membersihkan asem Jawa dengan airdalam baskom kecil saat Nisa akhirnya benar-benar mulai menangis. Adik kecilnya itu terus merengek minta ditemani ke kamar kecil di luar rumah, tetapi Nala terlalu jengkel untuk mau menuruti Nisa yang dia anggap manja itu.
“Kono kancani, Nal. Timbang ribut [ Sana temani, Nal. Dari pada ribut.].” Ibunya bersuara di belakang.
Nala berdecak kesal. Dua alisnya tertaut menunjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan. Meski begitu, dia akhirnya beranjak berdiri dan pergi ke luar rumah diikuti oleh Nisa yang sudah berhenti menangis.
Pagi masih gelap. Embun menyelimuti dengan hawa dingin yang menggigit. Tempat tinggal keluarga Nala hanyalah satu petak kecil dari barisan rumah-rumah kumuh di gang gelap kota Yogyakarta. Rumah-rumah itu tidak memiliki kamar mandi dan toilet pribadi, melainkan menggunakan satu toilet umum untuk digunakan oleh lima keluarga yang berbeda-beda. Jaraknya tak sampai sepuluh meter dari rumah Nala.
Gadis itu pun membawa adiknya ke sana, lantas menunggu di luar pintu kamar mandi. Di kejauhan, ia bisa mendengar suara kendaraan yang sesekali melewati jalan raya. Inilah uniknya kota itu. Di luarnya, tampak seperti kota besar yang penuh hingar bingar dan kemewahan, tetapi jika memasuki gang-gang sempit tersembunyi, maka orang akan menemukan pemukiman miskin yang padat dan kumuh. Seperti memasuki dunia lain yang berkebalikan dengan penampilan luarnya.
Nala adalah salah satu penghuni lingkungan itu. Di tengah gegap gempita kota Yogyakarta, dia menjadi warga marginal yang terasing. Gadis itu harus melihat beragam kesempatan terlewat begitu saja di depan matanya, karena hidup dengan keterbatasan ekonomi. Terkadang dia berpikir, mungkin akan lebih baik jika dia tinggal di desa saja, sehingga tidak perlu melihat kehidupan glamor yang tidak bisa dia gapai di sekitarnya. Mungkin dia tidak perlu merasa minder bergaul dengan teman-teman sebaya yang sudah memiliki ponsel keluaran terbaru, atau sekadar tas sekolah yang bersih dan cantik.
Nala tidak punya privilege itu. Ibunya hanya penjual jamu, sementara ayahnya yang jarang pulang adalah kuli bangunan serabutan. Dia lahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang adik-adiknya masih kecil. Hidup di tengah himpitan ekonomi dalam keluarga yang memiliki banyak anak mengajarkan Nala untuk hidup tanpa banyak menuntut. Sejak kecil dia sudah dibebani banyak tanggung jawab; membantu ibunya berjualan, mengurus adik-adiknya, hingga pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Namun, dari semua hal itu, yang paling dia sukai adalah membuat jamu.
Aroma rempah yang diracik serta suara rebusan yang mendidih terasa menenangkan. Dia muak dengan bau bacin jalanan gang depan rumahnya, atau suara tetangga yang cekcok karena perkara kecil. Saat-saat membuat jamu di pagi hari meleburkan semua itu. Nala seperti berada dalam dunianya sendiri, berkreasi dengan beragam resep yang menguarkan aroma nikmat. Namun, kesenangan kecil seperti itu saja tidak bisa dia nikmati dengan nyaman karena Nisa selalu tiba-tiba merengek seperti sekarang. Nala benci menjadi pengurus untuk adiknya yang manja itu. Menyebalkan.
Pintu kamar mandi lantas terbuka. Nisa keluar menapak undakan batu yang di depannya mengalir selokan kotor berbau tidak sedap. “Uwis, Mbak [ Udah, Mbak.],” gumam Nisa sambil berjalan mendahului kakaknya menuju ke rumah mereka.
Nala mendesis kesal sambil berjalan mengikuti adiknya. “Wong gur pipis neng kene kok ndadak dikancani barang. Omahe dewe ki yo wedi opo? [ Orang cuma pipis di sini kok harus ditemani segala. Takut apa di rumah sendiri?],” gerutunya.
“Yo wedi kok [ Ya namanya takut.],” balas Nisa ketus.
Nala tak menjawab apa-apa lagi begitu masuk ke rumahnya. Bertengkar dengan Nisa di hadapan ibunya hanya akan membuat dia dimarahi. Ibunya hanya akan membela adik-adiknya, tanpa pernah sekalipun memikirkan perasaan Nala. Namun, gadis itu sudah terbiasa. Sudah lama dia berlajar untuk menekan perasaannya.
Pukul tujuh kurang lima belas menit, Nala sudah selesai membuat jamu dan menatanya dalam bakul anyam. Botol-botol berisi kunir asem, beras kencur hingga jamu brotowali tertata rapi dalam keadaan hangat, siap untuk dijual berkeliling. Hari itu Nala sudah libur kelulusan. Baru pekan lalu dia menerima ijazah SMPnya. Karena tidak ada jadwal sekolah, gadis itulah yang mendaat tugas untuk keliling berjualan jamu. Biasanya ibunya-lah yang akan berjualan, sementara adik balitanya dititipkan pada tetangga.
Nala tidak masalah berjualan keliling. Toh hari ini dia juga punya agenda tersendiri. Selepas menata jamu untuk dibawa, gadis itu pun membuka lemari bajunya dan mengeluarkan satu amplop besar berisi berkas-berkas penting yang di simpan di bawah tumpukan baju. Dengan hati-hati ia masukkan amplop itu dalam tas jinjing yang juga akan dia bawa.
“Nggowo opo e kuwi? [ Bawa apa itu?]” tanya ibunya sambil meracik nasi bungkus untuk bekal anak-anaknya.
“Ijazah karo STTB. Aku arep mampir SMK 4, Mak. Njajal ndaftar jalur prestasi [ Ijazah sama STTB. Aku mau mampir SMK 4, Mak. Nyoba daftar jalur prestasi. ],” jawab Nala. Meski tidak berasal dari SMP favorit, tetapi gadis itu cukup percaya diri dengan nilai-nilainya.
Ibunya tampak mengernyit tidak senang. “Kowe arep neruske sekolah? [ Kamu mau lanjutin sekolah?]” tanya sang ibu seolah keputusan putrinya itu terdengar tidak masuk akal.
Nala balik mengernyit bingung. “Lha iyo to, Mak. Mosok mandek? [ Iyalah, Mak. Masa berhenti?]” jawab Nala tanpa keraguan.
Ibunya pun menghela napas panjang, tampak lelah dan jemu. “Mamak ki ra nduwe duit wisan nggo biaya sekolah. Masmu kae we wes entek okeh. Adhi-adhimu isih cilik [ Ibu itu udah nggak punya uang untuk biaya sekolah. Buat kakakmu aja udah habis banyaj. Adik-adikmu juga masih kecil.],” keluh wanita itu tanpa menoleh.
“Nek jalur prestasi iso oleh beasiswa, Mak. Gek kan ono KIP [ KIP: Kartu Indonesia Pintar], dadi rasah mbayar. Mbiyen SMP yo ngono to? [ Kalau jalur prestasi bisa mendapat beasiswa, Mak. Dan ada KIP juga, jadi nggak perlu bayar. Dulu waktu SMP juga gitu, kan?]” kilah Nala bersikeras.
“Mamak ki yo raono sek ngewangi nek koe sekolah. Gek bapakmu ratau bali. Timbang sekolah wes gek dodolan wae, ngewangi Mamak [ Mamak itu tidak ada yang bantu kalau kamu sekolah. Mana bapakmu nggak pernah pulang. Daripada sekolah mending kamu jualan aja, bantu Mamak.],” kata sang ibu tidak setuju dengan rencana putrinya untuk melanjutkan pendidikan.
Nala tercenung sejenak, mencoba mencerna kata-kata sang ibu. Ia tidak menyangka kalau ternyata ibunya itu tidak berharap dirinya melanjutkan sekolah. Lantas bagaimana dengan masa depannya? Semua teman-temannya melanjutkan ke SMA, sementara dia memilih SMK negeri agar tidak perlu melanjutkan kuliah. Setelah itu mungkin Nala bisa mencari uang lebih banyak kalau dia punya ijazah SMK. Tapi ibunya malah melarangnya melanjutkan pendidikan? Sementara kakak laki-lakinya, Bayu, dibiayai hingga tamat SMA.
“Lha mas Bayu iso sekolah SMA, gek saiki yo ndaftar kuliah. Kok aku ra oleh sekolah? [ Lha mas Bayu bisa sekolah SMA, dan sekarang udah daftar kuliah. Kenapa aku nggak boleh sekolah?]” protes Nala mulai menahan aNalah. Tenggorokannya sakit karena berusaha keras agar tidak menangis.
“Masmu kuwi rak lanang. Kowe cah wedok yo ngopo sekolah dhuwur-dhuwur. Gene mamak ra sekolah iso ngopeni kowe kabeh [ Kakakmu itu kan laki-laki. Kamu anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi? Mamak aja nggak sekolah bisa merawat kalian semua.],” balas ibunya mulai ketus.
Nala meremas amplop di tangannya kuat-kuat, berusaha keras mengendalikan diri dari amarah. Setiap kali terlalu kesar, air matanya selalu meembes keluar. Namun, gadis itu berusaha keras agar tidak menangis. Itu hanya akan membuat ibunya semakin marah. Dalam diam, Nala tetap membawa berkas-berkas kelulusannya, lantas membopong bakul besarnya dalam diam. Gadis itu lantas bersiap pergi dari rumahnya untuk berjualan jamu keliling.
“Kuwi Nisa diterke sekolah sisan. Wes rasah aneh-aneh ndaftar SMK barang kowe. Ben gentenan adhimu sek sekolah [ Itu Nisa diantar ke sekolah sekalian. Udah kamu nggak usah aneh-aneh daftar SMK. Biar gentian adikmu yang sekolah.],” kata sang ibu sebelum Nala keluar rumah diikuti adiknya, Nisa.
Nala tak menjawab dan hanya berlalu pergi menghampiri sepedanya yang terparkir di dinding gang sempit. Dalam diam dia melepas gembok rantai berkarat yang mengikat sepedanya dengan teralis jendela rumah sebelah. Usai melepas kunci, gadis itu pun menaruh bakul jamu di belakang sepedanya, lantas menuntun kendaraan tersebut keluar gang menuju jalan raya.
“Ayo, Mbak, ngeterke aku[ Ayo, Mbak. Anterin aku.],” rengek Nisa saat melihat kakaknya sudah menaiki sepeda onthel tua tersebut.
“Sekolahmu gur cerak kono kuwi. Mlaku yo tekan kok ndadak diterke,” tolak Nala masih dengan suara bergetar karena menahan tangis. Gadis itu menunjuk ke SD kecil di ujung jalan raya yang jaraknya sekitar seratus meter saja dari sana.
“Jare Mamak kowe kon ngeterke [ Kata Mamak kamu suruh anterin.],” protes Nisa keras kepala.
“Rasah manja. Aku mbiyen sekolah yo mlaku dhewe[ Nggak usah manja. Aku dulu juga sekolah di sana jalan kaki sendiri. ],” balas Nala lantas mengayuh sepedanya, pergi meninggalkan sang adik tanpa menoleh lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top