01 - Derita ke sekian kalinya
"Sinta! Sintal!" panggil ibu mertuaku, begitu nyaring dari luar kamar.
Aku yang baru saja hendak mengistirahatkan tubuh yang dari pagi sudah beraktivitas, seketika berdiri lagi dan berlari tergopoh-gopoh menghampiri Ibu mertuaku yang galak itu. Telat atau lelet saat dipanggil, bisa habis aku dimarahi olehnya. Dikata-katai menantu tidak tahu diri lah, pemalas lah.
Padahal siapa coba yang beres-beres rumah? Sampai mencuci baju semua orang di rumah, aku yang melakukannya. Jadi, di mana letak malas yang Ibu maksud? Tapi, aku tak berani mengatakan itu di depan Ibu. Cukup aku pendam dalam hati atau kucurahkan pada Mas Aji, suamiku.
"Iya, Bu? Kenapa?" tanyaku begitu bertemu Ibu di meja makan.
Mataku terbelakak kaget ketika melihat piring berisi lauk yang aku buat, sudah bersih tak bersisa.
"I-Ibu, kok ikan sama tumis kangkungnya dihabisin? Sinta kan belum makan, Bu," protesku pada Ibu.
"Halah! Kamu makan nanti saja. Atau masak mi instan saja," sahut Ibu ketus. "Lain kali, makanya masak lebih banyak supaya kamu kebagian juga. Udah tahu di rumah ini jiwanya banyak, kamu masak sedikit."
Di dalam rumah yang aku tinggali, tak hanya ada aku dan Ibu saja. Ada pula adik iparku perempuan yang masih SMA dan kakak ipar janda yang hobinya berdandan. Seperti sekarang ini. Mau makan saja, wajahnya sudah dipolesi berbagai make-up yang tak aku ketahui namanya. Yang jelas, wajah Mbak Layla terlihat seperti badut.
"Apa? Kenapa bengong lihatin aku?" sentak Mbak Layla, membuatku tersadar dari lamunannya.
Aku ingin sekali menertawakan dandanannya, tapi begitu matanya menatap bengis ke arahku, kuurangkan saja.
"Kalau Ibu mau aku masak banyak, uang belanjanya ditambah juga dong, Bu. Masa dua puluh lima ribu buat sehari?" protesku untuk ke sekian kalinya.
Di meja, sudah ada dua lembar uang kertas berjumlah dua puluh lima ribu. Seperti kataku.
"Halah! Harus cukup itu! Kita harus berhemat, Sinta. Suamimu banting tulang cari uang, tapi kamu malah mau hambur-hamburkan uang."
"Tapi, Bu."
"Sudah, nggak usah banyak protes. Ambil saja uang belanja ini. Cepat pergi. Pagi-pagi sudah protes sama Ibu. Berisik tahu, Sinta."
Aku menghela napas pasrah saja. Uang dua puluh lima ribu itu segera kumasukkan ke dalam saku daster sebelum Ibu mengambilnya.
Coba bayangkan. Bisa cukup apa uang dua puluh lima ribu di zaman sekarang? Bahah masakan saja sudah mahal. Aku ingin menyisihkan uang pun, tak bisa sama sekali. Benar-benar pas buat belanja.
Begitu aku pergi menuju dapur, aku sempat mencuri dengar obrolan Ibu dengan anak kesayangannya yang janda itu.
"Nih, Bu. Lihat, deh. Tas ini bagus, tahu. Keluaran terbaru," ucap Mbak Sinta. Kulihat, dia menunjukkan ponselnya ke hadapan Ibu.
"Ih, iya. Cantik, loh. Berapa harganya?" tanya Ibu, terdengar antusias.
"Murah kok, Bu. Cuma lima ratus ribu aja."
"Ah, mahal dong, La. Ibu mana ada uang segitu?"
"Halah! Gampang, Bu. Tinggal minta sama Aji saja. Dia pasti kasih, kok. Kalau Ibu pakai tas ini, tetangga sini pasti iri sama Ibu. Cantik banget soalnya. Ayo, beli dong, Bu. Nanti Layla pinjem tas ini sama Ibu. Layla juga pengen kelihatan modis gitu. Siapa tahu, nanti ada laki-laki yang kesemsem sama Layla gara-gara pake tas ini," bujuk Mbak Layla.
Spontan aku mendengkus keras. "Bener-bener zalim. Mereka bisa beli tas, sedangkan memanusiakan menantunya saja nggak bisa."
Daripada mendengarkan obrolan mereka lebih lanjut, hanya akan membuat hatiku sakit, lebih baik kulanjutkan langkah kakiku menuju dapur.
Masih ada satu bungkus mi instan yang tersisa di dalam lemari. Aku menghela napas panjang sambil mengeluarkan uang yang tadi Ibu berikan.
"Kapan coba, uang dua puluh lima ribu ini jadi dua puluh lima juta?" Aku menggumam, meratapi nasib malangku.
...
"Mas, kapan kamu pulang?" tanyaku, merengek pada suamiku yang kebetulan meluangkan waktunya untuk menelepon.
"Sabar, Sayang. Dua bulan lagi, Mas pulang, kok. Mas janji, akan ajak kamu jalan-jalan, makan enak, supaya nggak suntuk di rumah. Ya?" timpal Mas Aji, berusaha menenangkanku.
Aku berdecak pelan. Selalu saja jawabannya seperti itu setiap kali aku menanyakan tentang kepulangannya.
Mas Aji memang bekerja di Irian Jaya di salah satu tambang emas. Gajinya besar, tapi dengan risiko meninggalkanku di sini. Awalnya aku ingin ikut, tapi Ibu malah sakit dan membuatku terjebak di rumah yang terasa seperti neraka selama hampir dua tahun lamanya. Yang katanya menganggapku seperti anak kandung sendiri, nyatanya malah menjadikanku sebagai pembantu gratisan saja.
"Mas, boleh nggak kalau kamu transfer sedikit aja uang ke aku? Kamu tahu sendiri kan Mas, Ibu kamu itu pelit banget? Coba kamu bayangin sendiri, Mas. Uang dua puluh lima ribu buat makan orang satu rumah? Padahal, kamu ngirim uang ke Ibu banyak, tapi cuma segitu yang sampai ke tanganku. Ibu kamu kejam, Mas," keluhku, berharap Mas Aji memberiku perlindungan. Setidaknya hanya dengan kata-kata keberpihakannya.
Namun, itu hanya khayalanku semata.
"Ibu itu nggak pelit, Sinta, Ibu nggak jahat seperti yang kamu pikirkan. Ibu itu berhemat, buat masa depan keluarga kita juga. Kamu tahu sendiri, Ayah sudah lumpuh, nggak bisa kerja buat hidupin keluarga. Tersisa aku yang kerja dan bertanggung jawab. Kalau kamu mau uang, minta saja ke Ibu. Aku cuma ada pegangan buat sehari-hari saja, plus buat belikan kamu kuota," sahut Mas Aji.
Seperti dugaanku. Mas Aji membela Ibu.
"Kamu bicara soal tanggung jawab, Mas?" pekikku, menahan isak tangus yang rasanya sudah ada di ujung lidah. "Mana tanggung jawab kamu sebagai suami? Kasih nafkah batin nggak, nafkah lahir juga nggak. Kamu anggap aku istri atau peliharaan kamu, Mas?"
"Ah, sudahlah. Aku telepon kamu buat melepas rindu, bukan buat mendengar rengekan kamu. Kamu terlalu manja, Sinta. Aku tutup dulu."
Tut ... tut ... tut ...
Panggilan terputus secara sepihak.
Selalu dan selalu begitu. Tak ada yang menjadi pelindungku di rumah ini. Aku benar-benar tak tahan. Ingin pergi, tapi ke mana? Ke rumah orang tuaku? Mana mungkin! Mama dan Ayah pasti menertawakan nasibku.
Memang salahku, memaksa menikah dengan laki-laki yang kucintai. Kupikir akan hidup bahagia, tapi aku salah. Pernikahanku kini penuh dengan derita.
Baru saja aku hendak meluapkan tangis, suara Mbak Layla menggema dari depan kamar. Ketukan pintunya pun begitu brutal dan menghebohkan.
"Iya, Mbak. Sebentar!" Lekas kuambil kerudung instan yang telah pudar dan ketinggalan zaman itu.
Begitu ku buka pintu, sebuah baju terlempar ke mukaku.
"Ngapain sih? Lama banget!" sungut Mbak Layla. "Cepet setrikain baju ini. Mau aku pake."
"Iya, Mbak."
"Awas! Jangan sampai rusak baju itu! Mahal! Kamu nggak akan bisa ganti!" pesan Mbak Layla ketika aku berlalu melewatinya di pintu.
Aku balas dengan anggukan singkat. Tak ada tenaga untuk meladeni omongannya.
Bergegas aku gelar baju itu di atas papan setrika. Baju berbahan shimmer yang sedang populer saat ini. Agak degdegan juga saat aku menempelkan setrika yang masih terasa hangat.
Nasib buruk mendatangiku. Begitu baju itu kusetrika, tak mau lepas dan malah nempel. Alhasil, aku langsung panik dan mencabut colokan itu.
"Ya Allah! Ya Allah!" pekikku sambil berusaha melepaskan baju Mbak Layla dari besi setrika. Agak susah. Begitu kutarik paksa, baju itu malah sobek dan sisa kainnya masih menempel.
"Aaaaa! Bajuku!" teriak Mbak Layla histeris.
Bajunya sudah bolong. Dan itu ... ulahku. Bagaimana ini? Apa aku bisa lolos dari amukan Mbak Layla?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top