: Prologue :
: p r o l o g :
"Kamu yakin mau melakukan ini?"
"Gue atau lo?"
Aku diam, menyadari betapa menohok ucapannya barusan.
"Gue yakin, kok. Tapi ... gue punya permintaan."
Di depanku, dia menarik napas pelan. Normalnya, dia gugup, tegang atau apalah namanya. Mungkin dalam hati dia begitu, tapi bisa menutupinya dengan ... excellent—aku tidak tahu apa yang lebih pas dari itu. Setidaknya, itu analisa terbaik yang bisa kujadikan pembelaan kalau tidak mau kehilangan harga diri karena... well, ini bukan pembicaraan yang bisa dilakukan dengan santai—terlalu santai. Tapi dia?
Ah, sial! Aku kehabisan kata-kata.
"Jangan pernah suruh gue masak. Kalau mau pakai pembantu, pakai yang harian aja. Dan gue nggak mau dilarang-larang ... soal apa pun."
"Dengan satu catatan."
"Apa?"
"Aku nggak mau kamu tidur sembarangan lagi karena aku mau pastiin kalau kamu bersih."
"Gue selalu main aman kok, tapi kalau lo nggak yakin kita bisa cek dulu. Oh iya, kalau lo mau ... lo juga harus pake pengaman, soalnya gue nggak mau hamil."
"Oke, deal." Kuanggukkan kepala, tanda setuju.
"Jadi, kapan kita nikah?"
"Mama mintanya bulan depan, tapi kalau kamu—"
"Oke, bulan depan! Ada yang mau lo omongin lagi nggak? Kalau nggak, gue masih ada urusan."
Tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi, dengan bodohnya aku cuma menganguk, tak ingin kalah dengan arogansi yang terpancar jelas di wajahnya yang ... sialnya menarik. Aku merasa harga diriku sebagai pria benar-benar ditelanjangi oleh sikap percaya dirinya yang seolah selalu tahu apa yang sedang dia hadapi.
Jujur, bukan ini yang kuharapkan. Bukan ini juga yang kurencanakan. Awalnya, kupikir dia akan merengek, memaksaku mendesak orang tua kami membatalkan pernikahan. Tapi kenapa malah sebaliknya? Apa yang ada di pikiran gadis itu sebenarnya?
Sampai punggungnya hilang ditelan pintu café yang menutup, aku, Randu Pangestu, masih tak habis pikir, siapa yang sebenarnya sedang kuhadapi.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top