8: It's a honey-fucking-moon

Sorri, part ini republished yaaa. Tadinya diprivate karena menurut saya agak inappropriate adegannya. Tapi karena aturan baru (saya baru tahu juga) jadi saya publish lagi deh.

Yang udah baca, sekip aja 🙏🏻🙏🏻


***

"Ini yang kamu mau kan, Nadh? Pernikahan ini kan yang kamu mau?"

Nadhira tidak bergeming. Dia cuma diam, duduk di pinggiran ranjang dan melihatku melepas kemeja dengan kasar. Selesai pemberkatan, kami langsung terbang ke Bali. Itu bukan rencana kami sebetulnya karena aku dan Nadhira memang tidak pernah membicarakan soal honeymoon. Itu ulah Rara. Hotel, tiket pesawat, semua dia yang atur. Buat hadiah katanya. Aku mana sih bisa menolak dan membuat adik kesayanganku itu kecewa, apalagi Mama juga ikut-ikutan jadi kompor.

Sepanjang perjalanan kami sama sekali tidak bicara, maksudku mengobrol. Seperti biasa, Nadhira menyumpal telinga dengan headset seolah memang tidak mau bicara denganku. Sampai di hotel, aku masih belum terganggu dengan sikap cueknya. Tapi saat dia seenaknya ganti baju lalu pergi entah ke mana tanpa pamit, tak tahu kenapa emosiku langsung naik. Apa dia sama sekali tidak menganggap keberadaanku, hah? Tidakkah dia ingin mengatakan sesuatu soal pernikahan yang baru saja terjadi beberapa jam lalu? Soal janji sehidup semati penuh kebohongan yang kami buat di depan Tuhan? Tidakkah dia, sedikit saja, menghargai perasaanku? Oh, aku mulai bersikap sentimental sampai lupa kalau baru saja menikahi siluman ular tak berperasaan. Tololnya, aku malah memesan bir dan mulai mabuk, sampai akhirnya dia kembali dan menatapku dengan cara yang tak pernah kusuka.

"Kamu juga pasti tahu kan, kalau isteri harus melayani suami," cibirku lagi. Nadhira masih diam, tampak tak peduli dan menatapku datar. Aku benci matanya. Aku benci caranya melihatku. Aku benci bagaimana dia merendahkan harga diriku. Aku benci bagaimana dia tetap terlihat tenang sementara emosiku sudah hampir memuncak. Aku ini laki-laki dan dia tidak boleh menatapku begitu.

Kutenggak lagi sisa bir di botol.

"Jadi lo mau apa? Mau ngeseks sama gue?" tanyanya santai.

Tentu saja aku tidak mau, tapi mendengar nada suaranya yang menyebalkan ... kenapa tidak? Bukankah kami suami isteri dan sekarang sedang berbulan madu?

"Lo bisa nggak kalau lagi kobam gitu?" tantangnya lagi.

Aku mabuk. Aku mabuk. Aku memang mabuk. Tapi egoku sama sekali tidak mabuk dan aku begitu terintitimidasi dengan sikapnya.

Nadhira menarik senyum sinis. Dia membuka kaus putih yang dipakai, menyisakan bra hitam yang membuatku menelan ludah. Setelahnya, dia melepas celana jins dan memamerkan kulitnya yang nyaris tanpa cela. Sialan.

"Lo pengin, kan?" Nadhira memundurkan punggung dan menahan tubuh langsingnya dengan kedua tangan. Dadanya membusung, menantang gairahku yang mulai timbul. "Nih, ambil!"

Berengsek!

"Lo tahu kalau gue nggak punya batasan soal seks. Lo ... bisa minta kapan pun. Itu kan yang lo maksud melayani?"

Mata cokelat Nadhira masih menelanjangiku, membuat tubuhku yang panas karena alkohol semakin terbakar. Hormon dan emosi menyentak-nyentak, membuatku tak lagi peduli dengan kesopanan. Persetanlah semuanya.

Kuhabiskan alkohol yang tersisa, sebelum meletakkan botol di lantai dan melepas celana yang masih menempel. Nadhira melenguh pelan saat aku mendekat lalu mendorong dan menindih tubuhnya. Kedua tangannya kutahan di atas kepala. Matanya menatapku seolah aku ini kucing manja yang merengek seharian minta dipuaskan. Dan sungguh itu membuatku makin ingin menyetubuhinya.

Nadhira harus tahu, aku juga punya kuasa.

"Nah, berhubung kita lagi something-moon, sekarang bisa, kan?" sindirku. Nadhira tampak mengerutkan kening yang cuma kutanggapi dengan senyum satire. Tapi kemudian, dia tidak bereaksi saat aku mulai menjarah tubuhnya, melumat bibirnya, meninggalkan bekas di sepanjang lehernya yang jenjang. Kemanusiaanku hilang, diganti nafsu binatang yang ingin segera menuntaskan birahi. Sayangnya, buatku ini bukan lagi soal kepuasan. Ini masalah harga diri yang harus kurebut lagi dari Nadhira.

"Feel me, Nadh!" bisikku di tengah-tengah desahan yang akhirnya lolos dari bibirnya yang merona. Aroma alkohol menguar karena sepertinya Nadhira juga habis minum. Matanya sama sekali tak meredup, masih memandangku berani. Kedua tangannya mencengkeram pinggangku, semakin kuat setiap kali aku menghentaknya kasar.

"Lo nggak pake kondom, awas aja kalau—"

Kusumpal mulutnya dengan mulutku sebelum kalimatnya selesai. Tidak ada perintah darinya dan tidak akan kubiarkan dia mengaturku malam ini. Dia selalu bilang aku pria lemah, sensitif and so on. But tonight, fuck her and her arrogance.

"God!" Nadhira memaki. Aku tahu dia hampir mencapai puncak. Bisa kulihat dari wajahnya, juga cengkeraman tangannya yang menguat. Napasnya memburu, dadanya naik turun. Dia menggigit bibie bawah dan aku semakin menggila.

Lalu ... aku berhenti.

"Anjing! Jangan berhenti!"

Aku berdecak lalu tertawa keras. Kemarahan Nadhira benar-benar sebuah hiburan.

"You want me?" ledekku. Rahang Nadhira mengetat, tangannya berusaha berontak tapi aku menahannya dengan cepat. Dia lupa, pria selalu lebih kuat dari wanita. Apalagi pria dengan harga diri terluka. "Oh aku inget ... do not speak in English, yes? Hah?" Aku tertawa.

Nadhira tersenyum miring. "Lo kalau nggak kuat minum nggak usah sok-sokan deh, jadi nggak kayak orang kampung baru nyobain bir."

Aku mendengus. Perempuan ini memang kurang ajar, tapi aku tidak boleh terpancing. Tidak sekarang!

"Oh, ya? Kalau aku nggak mabok, kita nggak akan di sini sekarang. As man and wife," seruku dramatis. Nadhira tertawa sekarang ... dan aku tidak suka mendengarnya.

"Buruan!" sentaknya lagi.

Aku menggeleng pelan. "Aku nggak terima perintah! Kamu mau? Minta dong yang sopan!"

Dia mendengus, di depan mukaku. "Oke, kasih tahu gue kalau lo selesai. Jadi, gue bisa ... apa istilahnya? Fake orgasm?"

Aku meradang. Amarah sudah menguasai kepalaku, menekan darah ke selangkangan yang mulai berkedut. Mata kami bertemu, beradu tak mau kalah. Lalu, pelan namun pasti aku menyentak lagi; mendorong tubuhku dengan kasar, membuat Nadhira mengerang tertahan di bawah tindihanku. Aku semakin liar, melampiaskan marah dan nafsu dengan brutal. Tak kupedulikan Nadhira yang meringis—mungkin—menahan sakit. Mataku menggelap, mengabaikan semua rasa sesak di dada. Aku tidak tahu kenapa, tapi semakin kepuasan mendekat aku justru semakin merasa sesak. Ada sesuatu yang salah. Ada rasa marah yang terus menjamah. Ada rasa sakit yang membuat dadaku seperti mau pecah. Aku ... tidak tahu kenapa.

Lalu ... semuanya kabur.

Aku ambruk, di atas tubuh Nadhira yang basah oleh keringat. Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Tidak saat Nadhira mendorong tubuhku. Tidak juga saat dia bangun dan membanting pintu sambil berteriak marah, "Berengsek! Anjing lo keluarin di dalem."

Sebelum gelap menyergap pandangan, aku tersenyum puas.





***





Pagi ini, aku bangun dengan kepala berat dan perut mual. Aku hampir saja muntah di ranjang hotel kalau tidak langsung lari ke kamar mandi. Wajar sih, aku sudah lumayan lama tidak minum sampai mabuk seperti semalam. Terakhir kali mabuk, aku berakhir di ranjang hotel bersama Nadhira dulu itu. Dan di closet, aku benar-benar menguras habis isi perut. Semuanya keluar, sampai ingatan semalam pun ikut-ikutan keluar.

Ya Tuhan, mungkin inilah kenapa alkohol diharamkan oleh sebagian agama. Kesadaran manusia benar-benar direnggut tanpa sisa.

Setelah membasuh muka dengan air dingin, aku pun keluar. Ternyata Nadhira sudah tidak ada. Bagus juga sih kalau dia pergi, karena jujur aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah kejadian semalam. Ingin marah rasanya setiap kali mengingat tingkahku yang seperti binatang.

Sejenak, kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Celana dan bajuku masih tergeletak di lantai, botol bir berserakan dan ranjang yang ... ah sudahlah. Daripada pusing, lebih baik aku mandi dan jalan-jalan. Siapa tahu, mood-ku membaik.

Selesai mandi, aku bersiap-siap pergi. Saat sedang memakai jam tangan yang jarumnya menunjuk angka sebelas, kudengar dering handphone. Biasanya, aku begitu senang melihat nama itu di layar. Sekarang, aku malah seperti penderita asma. Aku ingin mengabaikan panggilan Bimala, tapi ... bagaimana bisa? Kukutuk otakku yang melemah setiap kali mendengar hatiku membisikkan namanya.

"Hei," jawabku santai. Tepatnya, berpura-pura santai.

"Hei. Kamu sibuk? Aku ganggu nggak?" Suaranya ya Tuhan.

"No no no! I'm free ... as always. Kamu belum tidur?" Aku sudah duduk di sofa sekarang.

"Ehm ... Banyu. Dia kangen sama kamu dan nggak mau tidur sebelum aku telepon kamu. Would you ... please?"

Ah, Banyu! Betapa aku merindukannya. Sudah beberapa minggu ini aku disibukkan dengan urusan kerjaan dan pernikahan, sampai-sampai lupa meneleponnya. Anak kecil menggemaskan itu membuatku benar-benar merasa bersalah.

"Sure! Sorry, akhir-akhir ini aku agak sibuk jadi belum sempat telepon. Mana dia? Aku juga kangen banget nih sama Banyu."

Tak lama kemudian, teriakan Banyu membuat kupingku berdengung saking kencangnya, membuatku tertawa saking gemasnya. "Uncle Ran!"

"Hey, Big Man! How are you?"

"I hate you! You don't talk to me anymore. Mommy said that you're busy but you promised me, remember?" Aku tertawa lagi, membayangkan bibir merahnya yang mungil merengut sekarang. Di seberang sana, terdengar suara Bimala yang mengingatkan Banyu untuk bersikap sopan.

"I'm so sorry, Dude. I'll pay for this, okay?"

"Sing a song!" sahut Banyu cepat.

Aku terbahak. "What? No! Don't be so rude. Okay listen, it's getting late and you better sleep. I'll talk to you tomorrow morning and—"

"Liar!"

"No! I'm not lyng. It's a man's promise. I'll call you tomorrow and ... we're gonna sing together. Deal?"

"Promise?"

"I do!"

Setelah Banyu mengucapkan 'bye', suara lembut Bimala kembali menyapa, membelai membran tipis di telinga, menggetarkan hatiku yang mendadak jadi hangat. "Thank you," bisiknya, "kamu apa kabar, Randu? Mama sehat?"

"Yah, Mama sehat, aku baik. Everything is ... perfect!" Lalu, aku mendengus, lumayan keras, menyadari betapa ironisnya jawabanku barusan.

"Are you okay? Kamu kayak.... Oh, ya ampun aku lupa, kamu lagi kerja, ya?"

"Enggak kok. Actually, aku lagi ... aku lagi di Bali." Aku tersenyum kecut, mendengar 'wow' pelan keluar dari mulut Bimala.

Aku baru mau menjawab lagi saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Nadhira masuk sambil bicara di telepon, entah dengan siapa. Dia cuma melirikku sekilas, tampak tak peduli sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu kamar mandi.

"Randu? Are you there? Itu suara siapa?" Suara Bimala lagi.

"Oh itu ... itu Rara. Kami liburan bareng sekeluarga, dia lagi telepon Rama yang nggak bisa ikut. Ehm, Bi ... aku telepon lagi besok ya. Nael udah rewel nih minta main keluar."

Cepat-cepat kumatikan sambungan telepon saat pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Nadhira sudah mengganti tank top dan hot pants yang tadi dia pakai dengan summer dress pendek warna merah. Bahu dan sebagian punggungnya terekspos sempurna dan aku jamin pria yang melihat pasti ingin membanting tubuhnya di kasur.

"... lo diem aja di situ. Gue bentar lagi turun," katanya pada lawan bicara di telepon. "Sinting! Nggak takut lo sama pawang? Udah jangan berisik ah. Duduk manis dan tunggu gue turun!"

"Kamu mau ke mana?" tanyaku. Nadhira menoleh sebentar, mendengus lalu kembali tak acuh. Aku perhatikan dia yang memoles bibir dengan lip gloss dan mengeluarkan flat shoes dari koper.

"Aku tanya sama kamu, Nadh. Kamu mau pergi sama siapa?"

"Nggak usah kepo deh!" sinisnya.

Kubuang napas. "Aku cuma mau tahu. Dan aku pikir aku berhak tahu—"

"Apa? Berhak tahu apa?" Nadhira berjalan mendekat, berdiri di depanku yang masih duduk di sofa. Lalu, dia mencondongkan tubuhnya hingga wajah kami hanya berjarak beberapa mili. Aroma downtown menyengat, menyesaki hidungku dengan wanginya yang manis. "Gue mau ketemu sama temen gue. Dia cowok. Dia ... ehm, ganteng. Dia bisa nemenin gue minum sampai puas dan ... nggak norak kalau mabok. Oh, satu lagi kalau-kalau lo mau tahu, gue pernah em-el sama dia dua kali."

Tamparan keras! Kupalingkan wajah, tak ingin melihat senyum miringnya yang selalu bisa membuat amarahku meluap.

"Udah ya, suamiku sayang. Nggak usah rewel kayak perawan abis malam pertama," sindirnya lagi sambil lalu. "Bye, sorry ya ... malem ini, gue sibuk. Jadi lo tidur sendiri."

"Nadhira!" sentakku keras, berusaha menghentikan langkahnya yang sudah sampai di ambang pintu, "Kamu boleh ngapain aja, ke mana aja, sama siapa aja. Tapi inget janji kamu untuk nggak sembarangan tidur lagi sama orang lain."

Nadhira memutar tubuhnya dramatis. Jarak kami tak sampai dua meter dan bisa kulihat senyum khasnya yang menyebalkan. "Oh ya? Seinget gue lo juga udah janji untuk selalu pakai kondom, kan?"

Kutelan ludah, menyadari kesalahan fatal yang baru saja kulakukan. Ah, kemana larinya otakku sampai melakukan kebodohan seperti sekarang. Memangnya, aku ini siapa sampai mengingatkan Nadhira soal mana yang harus sementara aku sendirilah yang pertama kali melanggar perjanjian kami.

Mata Nadhira menyipit, menyiratkan kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Jangan ngerasa udah jadi suami gue terus lo bisa seenaknya ya, Ndu. Dan jangan ngerasa karena kita lagi honey-fucking-moon terus lo bisa seenaknya ngurung gue di kamar lalu numpahin sperma lo di badan gue!"

Napasku tercekat, mendengar kata-katanya yang penuh penekanan.

"Gue kasih tahu satu hal, jangan main-main sama gue!"

Begitu pintu tertutup dan sosok Nadhira menghilang, aku cuma bisa tertawa, sangat keras. Aku sendiri tidak tahu apanya yang lucu. Mungkin ancaman Nadhira, mungkin kejadian semalam, atau mungkin pernikahan yang sama sekali tak pernah kuinginkan.

Aku baru berhenti saat menyadari, akulah satu-satunya yang pantas ditertawakan.

***

See you next week😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top