7: When we said, I do
I wanna say thanks for my friend, Kakak ..... (mau mention takut ge-er😂😂#plaaak) yang udah aku tanya-tanya, aku cerewetin soal nikah-nikah, terus dia sampai tanya-tanya ke temen-temen, sampai pada heboh dikira dia yang mau merit. Makasih banyak ya, Kak. Kisu nggak cukup kan, ya.😘😘
Jadi ... kapan nikah, Kak? Biar aku bisa corat-coret amplopnya pake sketch kek di atas😌😌
***
Matahari cerah, senyum Mama cerah, wajah Rara pun cerah. Nael yang setahun lebih muda dari Banyu juga tampak ceria dengan jas putih yang kata Rara dipesan khusus untuk hari ini. Matanya menyipit tiap kali tertawa digoda papanya, lalu lari sembunyi di belakang kakiku. Sesekali Mama menyeka air mata, lalu kembali tertawa melihat tingkah lucu cucunya. Mereka bahagia. Aku? Aku harus bilang apa? Aku tak bisa bohong, aku senang melihat mereka.
Aku tentu pernah membayangkan suasana seperti ini. Berkumpul dengan keluarga, melihat ribet dan hebohnya Mama, lalu Rara yang menertawakan Mama dan memelukku saking bahagianya. Mungkin akan lebih lengkap seandainya Papa masih ada. Dan jadi sempurna kalau yang berdiri bersamaku di altar nanti ... bukan Nadhira.
Sayangnya ... itu tidak mungkin.
Tepat jam sebelas, waktu Deva—oh, he's my groomsman by the way—masuk dan menyuruhku keluar karena acara sudah hampir dimulai. Tahu rasanya saat berdiri di samping speaker dengan musik house luar biasa keras dimainkan? Dada terasa sesak, penuh, jedag-jedug tak karuan? Tahu kan perasaan tidak nyaman semacam itu? Itu yang kurasakan sekarang.
"Mama bahagia banget hari ini, Ndu!" Sekali lagi Mama memelukku, membuat jasku sedikit basah karena rembesan air mata. "Makasih ya, Sayang," bisiknya lagi.
"Aku juga! Seneng banget deh rasanya. Mau peluk Mas Randu juga, ah." Rara yang dua hari lalu datang dari Jogja tak mau kalah. Bertiga, kami berpelukan, tak peduli tatapan Nael yang keheranan—mungkin otaknya sedang membayangkan telletubies sekarang. Tak peduli juga dengan Rama yang sibuk merekam momen ini dengan ponselnya. Awas saja kalau dia berani meng-upload di sosmed.
Denting piano dan suara lantang MC mengiringi setiap langkahku memasuki gereja. Pendeta berdiri, menungu di depan altar dengan senyum ramah. Semua yang hadir—cuma keluarga dan teman dekat—juga berdiri, menyampaikan selamat lewat senyum tulus yang membuatku malah merasa bersalah. Aku tidak tahu, apa ini yang dirasakan semua orang yang menikah. Apa Nadhira juga merasakan hal yang sama? Tidakkah dia merasa bersalah atas apa yang kami lakukan hari ini?
Kutelan ludah, memaksakan senyum saat pendeta menyambut kedatanganku.
Tempo piano makin cepat, keras, seperti teriak-teriak di kepala dan menyuruhku meninggalkan acara. Ah, kalau saja hidup seperti film, aku pasti betulan lari. Film apa itu, ya? Aktrisnya Julia Robert dan dia selalu kabur tiap kali mau menikah. Aku lupa judulnya, tapi aku ingat saat akhirnya dia benar-benar menikah dengan Richard Gere, di sebuah kebun kecil dan cuma dihadiri beberapa orang. Itu film favorit Mama dan aku yang masih kecil waktu itu, terpaksa ikut nonton. Mungkin aku bisa coba sekarang? Ah, tapi nggaklah! Aku belum mau mengubah senyum Mama jadi tangis air mata. Kalau beliau kena jantung bagaimana?
Suara MC—lagi—yang memberi tahu kalau mempelai wanita memasuki ruangan, membuat jantungku makin memburu. Kutarik napas dalam-dalam, meyakinkan diri, dan saat aku menoleh ke kanan ... aku seperti disengat ribuan lebah. Aku tidak tahu rasanya, tapi pasti menyakitkan—seperti sekarang.
Nadhira berjalan pelan, bersama papanya yang tampak gagah memakai jas hitam. Setiap langkahnya yang anggun setara satu tamparan keras di jantungku yang tak mau diam. Alih-alih memakai ball gown mewah yang menjuntai sampai ke bawah, Nadhira memilih yang lebih sederhana. Gaun strapples pilihannya memamerkan bahu yang seksi kecoklatan, ditambah selangka yang aku ingat pernah jadi korban birahiku yang memuncak. Dia juga membiarkan rambut ikalnya terurai—cuma sedikit di bagian samping yang dipelintir ke belakang—sebelum ditutup kerudung yang tidak mampu menyembunyikan tatapan matanya yang tajam.
Menurutku ini sedikit lucu dan ironis. Waktu Rara menikah dulu, Mama pernah bilang perempuan memakai kerudung untuk menangkal roh jahat. Masalahnya, level Nadhira di atas roh jahat. Jadi, tidakkah ini sia-sia? Kata Mama juga, kerudung dipakai untuk menyembunyikan wajah sedih pengantin yang konon jaman dulu menikah karena dipaksa orang tua. Officially, kami memang dijodohkan, tapi Nadhira sama sekali tidak sedih. Oh, jangan lupa, katanya kerudung itu melambangkan keperawanan. And for God sake, she's not a virgin. Kalau bukan karena tidak ingin dicap sinting, aku pasti tertawa sekarang. Lumayanlah, ada sedikit hiburan.
Kuputar badan, lalu mengangkat dagu tinggi-tinggi dan menatap lurus ke depan, berusaha menandingi tatapan Nadhira yang kucurigai jelmaan cyclop.
Pandangan kami beradu, bergelut tak mau kalah. Sepasang mata cokelatnya seperti tantangan yang membuat harga diriku makin terinjak. Jarak yang makin pendek, mengukuhkan kepercayaan diri dan keteguhannya yang menakutkan. Lalu, aku sadar ... aku tak lebih dari pecundang. Aku seperti ikan tergoda umpan segar yang dia tawarkan, lalu terjebak kailnya yang mematikan.
Nadhira ... menghancurkanku dengan sekali sentak.
Kukerjapkan mata seraya membuang napas jengah.
Pikiranku mulai tak karuan, terutama saat kami—aku dan Nadhira—akhirnya berdiri berdampingan. Musik berhenti dimainkan, menyisakan dadaku yang masih berdebar keras. Tak kudengar suara pendeta yang mengawali doa. Tak kupedulikan logika yang menentang keras.
"Saudara berdua telah mendengar firman Tuhan...."
Aku tak bisa mendengar apa-apa.
" ... kami mengundang saudara berdiri...."
Aku tak mau dengar apa-apa.
" ... berjabatan tangan di hadapan Allah dan sidang jemaat...."
Aku mati rasa.
Aku seperti masuk ke sarang lebah—jangan tanya siapa ratunya. Sekitarku mendadak dipenuhi dengungan aneh. Harusnya mereka sedang menyanyikan pujian sekarang, mengagungkan Allah. Harusnya aku juga larut dalam doa. Harusnya harusnya harusnya....
"Randu...," samar kudengar Nadhira berbisik, di antara suara pendeta yang lantang.
Aku tidak fokus, sumpah! Yang jelas, sekarang semua diam, tak ada suara—sejak kapan? Mata Nadhira membulat, menatapku tajam. Lalu saat seseorang, entah siapa, menyodorkan microphone tepat di depan muka, aku tahu ... apa yang harus dilakukan.
Ini saatnya.
Kutarik napas dalam-dalam.
"Saya, Randu Pangestu Wirijadiningrat berjanji, akan menerima engkau, Nadhira Wisongko sebagai isteri dalam pernikahan yang sah untuk dimiliki dan dipertahankan, mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, semasa kelimpahan dan kekurangan, di waktu sakit dan sehat, untuk dikasihi,"—kuembuskan napas—"di ... dicintai dan dihargai sebagaimana yang difirmankan Tuhan, sampai ... sampai ... sampai kematian memisahkan."
Harus diakui, aku bukan jemaat yang baik. Aku jarang ke gereja. Aku lupa kapan terakhir kali menekuk lutut di hadapan Tuhan. Dan hari ini, aku merasa begitu hina ... di hadapan-Nya.
" Saya, Nadhira Wisongko berjanji, akan menerima engkau Randu Pangestu Wirijadiningrat sebagai suami...," Nadhira mengucap sumpah yang sayangnya sama sekali tak ingin kudengar.
Kupejamkan mata, membayangkan senyum dan tangis haru Mama di kursinya.
" ... sampai maut memisahkan."
Akhirnya.
Setelahnya, Rara maju ke depan, membawa sepasang cincin yang mencibirku dari dalam kotak. Aku mengambil yang ukurannya lebih kecil untuk dipasangkan ke jari Nadhira. Dia kemudian melakukan hal yang sama. Aku tersenyum miris, mengingat bagaimana kami mempermainkan sumpah di hadapan Tuhan. Bukankah menikah adalah hal sakral? Bukankah sebagaimana Kristus mengasihi gereja dan gereja mengasihi satu Tuhan, demikian pula seharusnya kami memandang pernikahan? Bukankah apa yang dipersatukan di hadapan Tuhan tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia?
Dan bukankah ... semua itu seolah tidak ada apa-apanya untuk Nadhira ... juga untukku?
Yang terjadi berikutnya, hanyalah prosesi. Tak ada emosi, tak ada lagi ambisi. Aku menyerah, merelakan diriku dalam dosa tak termaafkan. Ada setetes air mata yang jatuh dan tak kubiarkan siapa pun melihatnya, termasuk Nadhira yang kini menatapku datar. Kenapa? Tidakkah dia ingin tertawa sekarang?
Entah apa yang kurasakan saat kami akhirnya memangkas jarak, mengambil langkah hingga akhirnya berdekatan, menempelkan dada dengan dada. Bibirku mendapatkan bibir Nadhira yang lembut, kenyal dan pernah membuatku gila dikuasai nafsu.
Setelahnya, tidak ada satu pun dari kami yang bergerak. Bibir kami menempel, gemetar seperti perawan suci yang tak pernah dijamah; menunggu dengan lugu sampai salah satu di antara kami mengalah entah dengan cara apa. Maka, Nadhiralah yang pertama kali melepas, mendorong pelan dadaku menjauh dan menciptakan renggang di antara kami yang berdiri kaku. Dan sebelum senyum palsunya mengembang sempurna, aku yakin, ada semburat kemerahan yang dengan cepat menghilang begitu dia mengedipkan mata.
Tuhan, kami berdosa.
[....]
Ada yang mau kasih ide Nadh mau honeymoon ke mana? Atau gak usah?
hah, di kamar aja? 😱😱 Naena??😱😱😱okelah siiip.😌😌
Selamat bermalam jumat🙏🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top