6: when she got my eyes

Happy new year buat yang muslim🎉🎉 semoga tahun ini lebih berkah dan lebih baik dari tahun sebelumnya 😘😘
Inget conversation di prolog? Ini lanjutannya 😘          

***


"Ndu, gue boleh minta satu hal lagi nggak?"

Kepalaku yang tertunduk menatap layar handphone, spontan terangkat mendengar suara Nadhira. Kupikir dia sudah pergi. Bukannya tadi dia terlihat buru-buru dan bilang masih ada janji lain?

"Apa, Nadh?" Kutegakkan punggung setelah menyeruput sisa kopi di cangkir. Seorang pelayan café menoleh, mengacungkan buku menu yang kutanggapi dengan gelengan sopan, menduga Nadhira juga tidak mau pesan apa-apa karena ia bahkan tidak duduk.

"Acara nikahannya, boleh sesuai yang gue mau?"

Aku berdecih. Kupikir dia mau minta apa. Yah, tunjangan besar-besaran seandainya kami cerai nanti misalnya. Atau rumah mewah, mobil, entahlah, yang jelas bukan hal semacam ini.

Kupikir, dia tidak peduli sama sekali.

Jadi, setelah malam itu, aku kembali bertemu dengan ular betina ini  di sebuah café di dekat kantor. Sehari sebelumnya, aku meneleponnya setelah menimbang—lebih tepatnya meyakinkan diri—untuk menyetujui perjodohan kami. Jangan tanya bagaimana reaksi Mama. Aku sampai mengancam membatalkan keputusan kalau beliau update status lebay apalagi heboh dengan teman-teman arisan saking excited-nya.

Belum ada lima menit Nadhira pergi—setelah berhasil membuatku melongo dengan sikapnya yang kelewat santai saat mengajukan syarat pranikah, dia kembali. Kali ini dia mengajukan lagi satu permintaan yang menurutku sangat ... bukan Nadhira. Lagian, dia pikir aku jin yang bisa mengabulkan semua permintaannya?

"Silakan aja! Aku pikir kamu malah nggak peduli soal beginian," sinisku.

Senyum Nadhira tersungging miring. Melihatnya, aku bisa membayangkan mata yang sekarang masih tertutup kacamata hitam—dia bahkan tidak melepasnya—menatapku satiris. Khasnya.

"Gue nggak mau resepsi, pemberkatan gereja, acara family ... selesai. Oke?"

Untuk kali ini, aku langsung setuju. Sejujurnya, aku juga berharap begitu. Memangnya siapa yang butuh drama berlebihan untuk pernikahan ... aku tidak tahu apa namanya, mungkin sementara.

"Oke," jawabku sok santai.

Hanya begitu saja, lalu perempuan itu memutar tubuhnya dan bersiap pergi. Melihatnya, aku cuma geleng-geleng kepala. Tapi, baru beberapa langkah dia berbalik dan berkata, "Oh iya, bilang sama nyokap lo ya, nggak usah heboh."

Nah! Dari mana dia tahu kalau Mama sering berlebihan? Aku baru membuka mulut, tapi dia menyambar lagi. "Biasanya nih ya, ibu-ibu suka rempong kalau anak lakinya yang udah berumur tuh merit. Yah, semacam woro-woro gitulah kalau akhirnya laku."

Mendengarnya, aku cuma bisa melongo sambil merapal sumpah serapah dalam hati.



****



Ada kalanya, kita merasa salah mengambil langkah lalu menyesali keputusan yang kita buat. Tapi, kemudian kita sadar kalau kita melangkah terlalu jauh dan sulit untuk menariknya lagi. Bukan terlambat, hanya saja ... terlalu berisiko, hingga melanjutkan apa yang sudah kita pilih seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan. Sialnya, melanjutkan pernikahan dengan Nadhira, ular sakti yang bisa berubah jadi gadis manis di depan Mama, juga sama berisikonya. Aku tentu sadar, hanya saja ... aku belum rela mati dipatuk ular.

"KK, KTP oke, foto oke, surat lahir oke, surat numpang nikah oke,  surat baptis oke."

Aku tak acuh dan membiarkan Nadhira mengoceh sendiri sepanjang perjalanan ke rumahnya. Kami baru saja menyelesaikan konseling di gereja tempat kami akan melakukan pemberkatan nikah dua minggu lagi.

"Oke, komplit semua. Tinggal fotokopi KTP kamu sama akte lahir aja. Punyaku udah."

Kulirik Nadhira yang memeriksa amplop sebelum memasukannya ke dashboard. "Rabu besok, gue mau fitting baju terakhir sama belanja bareng nyokap lo. Mau ikut?"

"Nope!" aku menyahut pendek, berusaha fokus pada setir. Aslinya, pikiranku sudah tidak tahu lagi harus fokus ke mana.

"Ciye yang baper."

Aku tersenyum sinis. Entah Nadhira melihatnya atau tidak. Rasanya, aku mulai terbiasa dengan mulutnya yang seenaknya. Padahal, jauh lebih bermanfaat kalau mulut kecilnya itu difungsikan untuk hal-hal yang lebih berguna. Yah, give me some pleasure maybe. Oh iya, perlu dicatat kalau setelah malam itu, aku tidak tidur dengannnya lagi.

"Lo aneh. Biasanya kan yang sensitif kalau mau nikah tuh cewek. Atau lo aslinya emang gini? Diem, sok kalem, sok berwibawa, sok melow kayak pantat bayi yang pampers-nya seharian nggak diganti?" sinisnya lagi yang kali ini komplit dengan dengusan pelan. Aku tak mau repot-repot menanggapi dan sepertinya Nadhira juga tidak peduli karena dia kembali sibuk dengan handphone.

Sudah dua minggu ini, kami intens bertemu untuk mengurus pernikahan. Memang menggunakan jasa EO, tapi ada beberapa hal yang harus dilakukan berdua, misalnya konseling, pesan cincin kawin—aku sudah mati-matian menolak, tapi Mama mengancam akan datang ke kantor kalau aku tidak ikut—atau bertemu dengan EO.

Yang menyebalkan, Nadhira malah sok cuek waktu marketing EO semangat menawarkan konsep, padahal dia sendiri yang minta disesuaikan dengan kemauannya. Bukannya mendengarkan, dia malah haha-hihi entah dengan siapa di handphone. Aku sampai menendang kakinya saking kesalnya yang tentu saja ditanggapi santai. Ujung-ujungnya dia cuma bilang, "Nggak usah ribet-ribet, Mbak. Nggak ada resepsi mewah kok, cuma keluarga sama teman dekat doang. Pokoknya, kita mau yang bener-bener simple. Nih, aku udah tulis semua yang aku mau di sini!"

Pihak EO sampai melongo melihat Nadhira yang langsung fokus lagi ke handphone setelah menyerahkan kertas yang kucel karena dilipat sembarangan dan disimpan di kantong celana. Aku sendiri cuma bisa berdoa semoga Tuhan berbaik hati memberiku jantung yang sehat supaya bisa hidup lebih lama.

"Turunin gue di halte depan dong!" perintah Nadhira tiba-tiba. Saat aku menoleh, ternyata dia sedang memandang ke luar jendela—entah apa yang dilihatnya. Sebelah tangannya menopang dagu dan sebelah lagi memutar-mutar handphone di atas pangkuan.

"Kenapa? Aku pikir kamu mau dianter sampai rumah."

"Gue masih ada urusan."

"Ya udah kamu mau ke mana? Aku sekalian anter aja."

"Duh, belum apa-apa udah posessif." Nadhira masih sempat melirikku, mengadu pandang denganku yang melotot mendengar sindirannya sebelum kembali menatap ke depan. Dia bilang apa barusan? Posessif? Sinting!

Kugelengkan kepala, tak habis pikir tapi malas juga menanggapi. "Lo mau ke mana emangnya? Ini tanggung udah di sini, kalau searah—"

"Ya udah, anterin gue ke Le Parc!"

Kubuang napas kasar. Aku sebetulnya mau bertanya lagi tapi urung. Cuma berbaik hati menawarkan bantuan saja sudah dibilang posesif, bagaimana kalau aku tanya urusannya di apartemen mewah seperti itu? Bisa-bisa dia menuduhku pria kadaluwarsa yang khawatir tunangannya berbuat mesum. Padahal iya! Ah, maksudku bagian kalau dia mesum, bukan aku yang khawatir.

Tak ambil pusing, aku akhirnya memilih diam dan kembali konsen ke jalanan. Nadhira juga tidak bicara lagi karena kulihat dia sudah menyumpal kupingnya dengan headset. Tak ayal, senyumku terkembang miris, membayangkan rumah tangga macam apa yang akan kami jalani nanti. Mungkin Nadhira benar, kata 'sementara' suatu saat akan jadi kenyataan.

Kuhela napas dalam-dalam, berusaha melesakkan pikiran yang—mendadak—seenaknya keluar. Mungkin, cerita akan lain kalau yang duduk di sampingku sekarang bukan Nadhirta. Kalau saja, Bimala mau membuka hati, aku pasti langsung menikahinya dan bersumpah akan menjadi suami terbaik yang pernah ada. Sayangnya, kata 'kalau' itu lenyap dengan mudah, ditampar kenyataan saat wajah Nadhira dan senyum liciknya, melintas di kepala.

"Dan lo pasti nggak mau kan nyokap lo tahu kalau kita udah tidur ... ah, bukan! Nge-seks! Maaf ya, Mas Randu. Mas nggak punya pilihan selain setuju. Karena cepat atau lambat Tante ... eh, aku harus panggil Mama, ya? Mama pasti akan nyuruh Mas nikahin aku begitu tahu kejadian di hotel."

Aku mendengus kasar, mengingat setiap kata-katanya yang penuh intimidasi. Harga diriku seperti diinjak-injak, egoku ditebas tanpa sisa saat malam itu Nadhira mengeluarkan jurus pamungkasnya. Detik itu juga aku tahu, Nadhira jauh lebih menyeramkan dari siluman ular.

Setelah lebih dari lima belas menit berkendara dalam diam, akhirnya kami sampai di tujuan, sebuah apartmen mewah yang aku tahu harganya selangit. Kuhentikan mobil di depan lobby.

"Thanks ya!"

Kupikir aku salah dengar. Sebanyak-banyaknya aku berdua dengan Nadhira, belum pernah dia bersikap sopan, apalagi bilang terima kasih, kecuali depan Mama.

"Kamu nggak mabok kendaraan kan sampai bilang makasih gitu?"

Tadinya aku mengira Nadhira akan membalas. Aku bahkan sudah bersiap menerima kalimat sadisnya, tapi tidak. Dia tidak menjawab, juga tidak juga beranjak dari duduk. Dan saat aku mengalihkan pandangan ke arahnya ... aku yakin minus di mataku bertambah: Nadhira mematung di tempat duduknya.

Dulu, hubungan Banyu dan Bimala sempat hampir kandas, saat wanita itu tidak tahan dengan emosi Banyu yang sering tak terkontrol. Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat Bimala begitu terluka. Sorot matanya yang kosong, senyumnya yang dipaksakan, juga bicaranya yang melantur. Aku tidak pernah melihat dia sekacau itu.

Nadhira bukan Bimala. Mereka jelas berbeda. Meski sama-sama sering mengeluarkan kalimat pedas, tapi Bimala memiliki hati yang lembut, jauh berbeda dengan Nadhira. Ah, aku bahkan sangsi, dia punya hati.

Sekarang, Nadhira memang tidak memaksakan senyum—dia bahkan tidak tersenyum. Dia juga tidak mengatakan apa-apa. Tapi matanya.... Aku melihat sorot mata yang hampir sama.

Lalu, aku sadar, setelah seharian tidak memperhatikan, Nadhira sudah mengubah warna rambutnya—lagi—menjadi hitam.





{...}

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top