5: when i met her, again
Yang nungguin Nadh, ngacung!😂
Yang nggak baca, awas nyesel #eh
sombongnya🙈🙈 Nggak ding nggak! Cuma bercanda doang. Makasih yang nungguin, yang masih baca😘 Yang nggak, ya nggak apa-apa juga. Mungkin belum jodoh #aasseek 😎
Selamat bermalam Jumat🤗🤗
***
Dia memang selalu mencuri perhatian. Lihat fotonya bersama seekor anjing coklat besar, tertawa lepas dengan mata yang bersinar. Berapa usianya saat itu? Mungkin enam, atau tujuh? Berbeda dengan gadis berambut hitam sebahu di sebelahnya yang cuma tersenyum manis, Nadhira seperti menjadi pusat dari seluruh objek. Rasanya, semua cuma ornamen untuk memenuhi latar yang kosong.
"Yang ambil foto almarhum mamanya Nadh."
Suara penuh wibawa itu akhirnya mengalihkan perhatianku pada sosok pria berkumis yang duduk di depanku sambil mengangkat kaki. Hidungnya yang bengkok mengembalikan ingatanku pada kenangan saat almarhum Papa mengajakku memancing, mungkin dua puluh tahunan lalu, dan pria ini juga ada di sana.
Oh, kalau aku lupa memberi tahu, Mama mengajakku makan malam di rumah Om Wisongko, bukan Wibisono atau Wicaksono, sekalian kenalan—officially—dengan Nadhira. Untungnya pikiranku masih waras untuk tidak memberi tahu Mama kalau aku dan Nadhira sudah saling kenal, bahkan lebih dari sekadar kenal.
"Oh iya, Om." Aku mengangguk pelan, melempar senyum pada Om Wis yang bersiap cerita lagi. Sekarang, kami sedang duduk di ruang tengah rumah Om Wis yang ... lumayan mewah. Dimaklumi, mengingat papanya Nadhira itu dokter bedah senior yang lumayan disegani.
"Yang sama Nadh itu Nanda, anak Om yang paling tua. Sekarang tinggal di Tebet sama suaminya. Tadinya mau ikut makan sama kita, tapi mendadak ada urusan," beritahu Om Wis lagi.
"Suaminya Nanda dokter juga, Ndu. Satu angkatan sama Rama dulu," tambah Mama yang demi Tuhan ... aku tidak peduli. For your information, Rama itu pria yang selalu dibandingkan denganku, yang membuat Mama uring-uringan karena aku masih melajang, yang dengan berani melamar adik semata wayangku, yang ... yah, dia menantu kesayangan Mama.
"Gimana bisnis iklan, Randu? Mama kamu suka cerita katanya kamu sibuk banget ya sampai nggak sempat cari jodoh."
"Lumayanlah, Om. Soalnya saya baru merintis juga makanya fokus di kerjaan dan ya ... memang belum kepikiran sih. Tahu-tahu udah lewat aja tiga puluhan."
"Laki-laki itu memang gitu. Toh kalau kita mapan, kan buat keluarga juga. Makanya, Om berharap kamu bisa membimbing Nadh nanti. Dia itu ... aduh, Om sampai pusing mikirin dia."
Mendengar kalimat Om Wis barusan, punggungku kontan menegak. Tidakkah ini terlalu jauh? Aku bahkan belum benar-benar setuju menikah dengan puterinya.
"Dia itu butuh figur orang tua. Kamu sih yang terlalu sibuk sama kerjaan. Coba kalau dulu kamu menikah lagi, kasih anak-anakmu itu ibu baru yang bisa jadi panutan," sambar Mama. Rasanya, aku ingin tertawa, tapi....
Kalau saja Mama tahu, Nadhira butuh bir dan rokok, bukan panutan. Ah....
"Mungkin ya. Ah, sudahlah. Mending kita makan aja sekarang. Eh, ngomong-ngomong mana si Nadhira ini. Kok nggak turun-turun." Om Wis bangun dari duduk, lalu berkata lagi, "Biar om panggil Nadh dulu—"
"Nggak usah dipanggil, Pa. Ini Nadh udah turun, kok."
Sejujurnya, aku sudah tidak merasa nyaman sejak pertama kali menginjakkan kaki ke rumah ini. Bahkan sebelumnya, sejak Mama memaksaku ke sini. Semenjak hari itu, saat aku bangun di ranjang hotel setelah tidur dengan Nadhira, kami tidak bicara lagi. Tidak ada telepon, pesan, atau apa pun. Aku juga tidak berusaha menghubunginya dan itu jelas semakin meneguhkan betapa tololnya aku. Masalahnya, aku sendiri tidak tahu apa yang harus kami bicarakan karena aku yakin ... Nadhira juga tidak peduli.
Aku lupa di mana awalnya. Yang aku ingat cuma bibir Nadhira yang terus mengisap, lidahnya yang bergerak liar merangsang mulutku sampai ikutan terbuka. Lidah kami bergelut, saling dorong hingga aku lupa kalau kami masih di bar dan—pasti—jadi tontonan orang.
Lalu aku tak bisa lari dari matanya; mata cokelat yang menatapku tajam, merendahkanku karena tak kuasa menolak. Mata yang mengintimidasi nafsu yang kehilangan sumbat. Ada kilat kemenangan, dibarengi senyum miring tersungging. Bodohnya, aku tak peduli. Aku tak sempat berpikir dan membiarkan tubuhku yang setengahnya dikuasai alkohol menurut saat dia menyeretku turun ... ke kamar 401.
Yah, aku terdengar menyedihkan.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, aku bangun sendiri, setengah sadar melihat tubuh telanjangku yang sebagian tertutup selimut. Celana dan kemeja bertebaran di lantai, berikut boxer yang dilepas Nadhira dengan brutal malam itu. Sementara dia ... sudah tidak ada. Dia pergi begitu saja dan cuma meninggalkan sebaris tulisan pada selembar tissue di atas meja.
Gue ambil tiga ratus ribu dari dompet lo buat ongkos taksi.
Aku tidak bisa bereaksi selain tertawa! Sangat keras sampai kurasa aku bisa mati kalau tidak berhenti. Aku harus bilang apa pada Mama? Bisa-bisa dia kena serangan jantung kalau tahu calon menantu yang diidamkannya tidak lebih dari perempuan ... murahan! Oh, aku agak menyesalkan kosakata yang kupilih, apalagi aku juga sama berengseknya. Sayangnya, untuk saat ini, itu predikat paling sopan yang bisa kusematkan untuknya.
Perasaanku benar-benar tidak karuan sekarang. Aku gugup, cemas ... entahlah. Aku masih belum benar-benar mengenal Nadhira. Bagaimana kalau dia bicara yang aneh-aneh depan Mama? Bagaimana kalau dia menyinggung soal pertemuan kami yang berakhir di kamar hotel, tumpang tindih bermandikan keringat, lalu berakhir dengan getaran hebat karena hasrat terpuaskan. Ah, sebanyak-banyaknya aku tidur dengan perempuan, belum pernah merasa sehina ini.
Itulah kenapa sekarang aku tidak punya keinginan untuk menoleh, menatap pemilik suara serak yang bisa kudengar langkah kakinya yang kian dekat.
"Ini Nadhira, ya? Udah besar, ya. Lebih cantik dari yang di foto." Bisa kubayangkan Mama menghampiri dan mencium pipinya, seperti yang selalu beliau lakukan ke Rara.
"Randu, ini loh Nadhiranya," pangil Mama.
Fiuh, aku tidak bisa menghindar lagi. Kutarik napas dalam-dalam, menenangkan jantungku yang kurang ajar deg-degan dan ... oh, my fucking God! Apa dia orang yang sama yang kutemui malam itu?
Nadhira benar-benar terlihat manis dengan gaun selutut warna pink muda. Rambutnya yang sudah berganti cokelat tua—makin ke bawah semakin terang, diikat jadi satu dengan sedikit poni ke samping yang membuatnya semakin manis. Ah, lihat ekspresinya! Apa dia sedang memainkan peran anak baik-baik sekarang? Melihat penampilannya, sulit sekali membayangkan Nadhira dengan sebatang rokok di tangan dan botol bir di tangan yang lain. Aku bersumpah, sosok semacam inilah yang membuktikan kebenaran pendapat bahwa tak ada yang lebih manipulatif dari seorang wanita.
"Mas Randu," sapanya ramah saat aku akhirnya bangun dan menghampirinya. Kupandangi tangan kecilnya yang terulur. Siapa sangka, tangan ini pernah begitu terampil menyulut birahiku, dua malam lalu.
"Nadhira," jawabku tak kalah sopan. Dia mau bermain-main rupanya. Oke, I'll take a part.
Sesungguhnya, aku tidak yakin untuk apa jabat tangan penuh drama ini. Karena di samping kami, ada dua orang setengah baya yang tersenyum hangat sekarang. Rasa bahagia jelas terpancar di wajah mereka yang semringah dan aku berani bertaruh, kepala mereka pasti membayangkan pelaminan. Bagi mereka, ini jelas akan mengawali sebuah harapan.
Lalu bagaimana dengan kami?
Saat kulihat sorot mata Nadhira yang menatapku dalam, juga seringai yang tergaris samar, aku tahu ... permainannya baru saja dimulai.
****
"What kind of the game you play, Nadh?"
Setelah hampir setengah jam melewati makan malam penuh kedamaian dan senyum terpaksa, kami undur diri ke taman samping, sebuah kebun kecil dengan hamparan rumput jepang terawat dan beberapa tanaman tropis. Ada bungalow kecil di sudut kanan, di samping palem botol yang tidak terlalu tinggi. Aku sengaja menyeret Nadhira ke sini, menjauh dari Mama dan Om Wis yang melanjutkan obrolan di ruang tengah. Gemericik air dari kolam yang dipenuhi ikan mas koki bersahut-sahutan dengan bunyi pompa, menjadi satu-satunya paduan suara sebelum aku—akhirnya—angkat bicara.
Nadhira yang duduk di sampingku cuma mendengus pelan, sementara matanya masih terpaku di layar handphone yang membiaskan wajahnya yang kembali berubah.... Cih, aku masih belum menemukan kata yang sedikit sopan selain 'jalang'.
"Kayaknya gue udah bilang deh jangan suka keminggris depan—"
"I don't fucking care!" sentakku lumayan keras yang sejujurnya langsung kusesali detik itu juga. Bukan karena aku pantang membentak perempuan, tapi karena Nadhira masih cuek, tidak peduli sama sekali. Rasanya, aku buang-buang energi karena melampiaskan emosi pada orang yang bahkan tidak menghargai keberadaanku.
"Yang barusan ... lo bilang fuck, kenapa? Mau tidur sama gue lagi? Sori, ya nggak sekarang. Abis ini gue masih ada janji sama yang lain," sindirnya, masih tanpa menatapku. "Eh, tapi ... kamar gue di atas kalau mau quickie. Papa nggak bakalan tahu."
Kupijat pelipis untuk mengurangi nyeri. "Nadh, bisa nggak kita bicara serius?" aku memohon sopan.
"Ngomong aja, gue dengerin kok."
Ya Tuhan, dosaku pasti begitu besar sampai bertemu dengan wanita semacam ini.
"Nadhira, di dalam sana, orang tua kita berharap banyak sama perjodohan ini. Saya tahu kamu nggak cinta sama saya, begitu juga saya nggak cinta sama kamu. Kita cuma dua orang asing tapi minimal ... kita bisa berinteraksi dengan layak," geramku kesal. Di mulut, gigiku saling beradu sejalan dengan rahang yang mengetat.
"Kita kan udah berinteraksi. Oh, lo nggak amnesia, kan? Atau jangan-jangan lo tersinggung karena gue ambil duit lo, ya? Jangan pelitlah sama calon isteri."
Kutelan ludah susah payah. Tarik napas, buang napas. "Nadhira," kupelankan suara, "saya nggak yakin hubungan ini—"
"Hubungan?" potongnya cepat. Aku sedikit tersentak, karena akhirnya dia mengalihkan perhatiannya dari layar. Kedua matanya menatapku berani, mengingatkanku di hari saat aku melihatnya pertama kali. "Jadi lo mau bahas hubungan? Lo tahu, satu-satunya hubungan yang ada itu kerja sama. Gue tahu lo nggak mau ngecewain nyokap lo, kan? Dan percayalah, gue punya sederet alasan masuk akal kenapa gue cocok untuk lo jadiin isteri.... Ah, nggak apa-apa kan kalau gue bilang ... sementara?"
Holy shit!
Nadhira terus mendekat, mendesak hingga punggungku menabrak dinding gazebo. Dadanya yang rata menempel di dadaku yang mulai berdebar melawan sekelebat bayangannya saat mendesah di bawah tindihanku. Aku tak lagi bisa berkutik.
"Gue nggak punya batasan soal seks, gue nggak menuntut lo jadi suami idaman yang setia, gue juga nggak butuh cinta kalau itu yang bikin lo ragu. Dan dari semua alasan ... lo nggak perlu merasa bersalah kalau sewaktu-waktu pernikahan kita nggak berjalan sesuai harapan mereka. Gue rasa, itu yang lo cari, kan?"
Sialan! Dan makin sialan lagi karena sepertinya, Nadhira masih belum mau berhenti.
"Lo butuh orang buat memainkan peran dan berita baiknya ... gue suka bermain peran. Jadi, kenapa nggak lo terima aja perjodohan ini?"
Kutelan ludah yang mulai kelat—lagi.
Sejenak, kubalas tatapan Nadhira yang nyalang, meneliti kesungguhan yang dipancarkan mata cokelatnya. Ratusan bedebah memenuhi kepala, saat aku menyadari satu hal: siluman betina sialan ini, baru saja menginjak harga diriku, menghina egoku ... tapi di saat yang sama, memberiku jalan keluar yang—mungkin—layak untuk dipertimbangkan.
[...]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top