4: when i met her
Kulirik lagi jarum jam tangan yang sekarang menunjuk tepat angka sepuluh. Detiknya yang pelan seperti merendahkan harga diriku yang sekarang duduk di bar sebuah lounge di pusat Jakarta. Bir dingin yang kupesan sudah habis, menyisakan beberapa butir es batu yang beradu di dasar gelas.
Sekilas kupandangi tempat yang sekarang lumayan sepi. Denganku, mungkin tidak sampai dua puluh orang. Aku bilang mungkin karena aku memang tidak benar-benar menghitung. Bartender—aku lupa namanya—yang tadi melayaniku bilang, bar yang ada di lantai sembilan Hermitage Hotel ini memang paling ramai sore hari saat matahari terbenam. Saat itu juga aku bersyukur, tak berani membayangkan klise yang mendadak muncul di kepala; rooftop bar, minuman yang—menurutku—tidak terlalu mahal, dan senja. Bisa-bisa aku tampak seperti manekin yang cuma bengong menonton pasangan kasmaran sok romantis. Sorry, I'm out of league.
Iseng, kubuka whatsapp di handphone, melihat kemungkinan balasan pesan yang kukirim hampir dua jam lalu. Nihil! Bukannya ditutup, aku malah tergoda membuka profil seseorang yang sekarang ada di deret teratas. Siang tadi, aku nekat menelepon dan mengajaknya bertemu untuk membicarakan soal perjodohan yang direncanakan orang tua kami. Aku sudah membayangkan akan mendengar suara canggung, kikuk atau apalah. Tapi imajinasiku buyar saat dengan entengnya perempuan itu, Nadhira, menjawab teleponku. Dia bahkan cuma mengatakan 'oh' saat aku memperkenalkan diri. Jujur, aku agak kaget karena dia ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Tapi, lebih kaget lagi melihat wajahnya di profil whatsapp saat mengirim alamat.
Itu perempuan yang kulihat di Loewy beberapa hari lalu. Perempuan yang menarik perhatian sejak langkah pertamanya.
Mata hitamku mengamati detail yang muncul di sana: rambut panjang yang dicat cokelat terang—hampir seperti blonde, bibir merah yang terbuka sedikit, sensual, menggoda dan ... cantik. Lalu, saat aku menemukan mata cokelat gelapnya yang seolah-olah sedang menatap langsung padaku ... dadaku berdegup.
Permainan apa yang sedang direncanakan Tuhan untukku?
"Randu!"
Dramatis, bola mataku berpindah perhatian. Sepatu keds putih belel menjadi objek pertama yang kulihat, disusul dua lutut yang mengintip dari robekan celana jeans hitam. Makin ke atas, hingga mendapatkan dua buah dada yang tidak terlalu membusung dari balik loose tank top hitam yang ... shit! Haruskah aku bilang kalau kulit cokelatnya benar-benar eksotis? Apalagi cahaya remang-remang di La Vue Bar makin mempertegas kesan sexy yang benar-benar ... liar.
"Ya." Aku menyahut tagas, berusaha menutupi... gelisah. Lalu aku terseyum sendiri, menyesali kosakata yang barusan kupilih.
"Nadhira."
Tangan kecilnya terulur mantap, menantangku untuk menyambutnya segera. Mati-matian menyembunyikan perasaanku sendiri yang tidak karuan, akhirnya bisa kurasakan kulitnya yang halus. Lumayan mengejutkan, mengingat penampilannya kurang feminin.
"Randu," jawabku sopan. Basa basi klasik karena Nadhira jelas sudah tahu namaku. Setelahnya, kami berdua—hampir berbarengan—duduk bersebelahan di stool.
"Sori ya telat, gue ketiduran tadi."
Ketiduran dia bilang? Aku bahkan tidak tahu harus berkomentar apa untuk menyayangkan dua jamku yang terbuang percuma. "It's okay! Just take your time. So ... kamu mau pesan ap—"
"Next, jangan ngomong bahasa inggris sama gue. Nggak ngerti! Tapi kalau yang barusan sih gue masih paham."
Aku pasti salah dengar! Perempuan macam apa yang mengatakan hal seperti ini di depan orang asing—benar-benar asing. Maksudku, perempuan biasanya jaga image di depan pria dan tidak ingin terlihat.... Aku tidak tahu apa boleh mengatakan 'bodoh'? Dan sialannya, dia terlihat tidak peduli dengan tampangku yang malah seperti orang tolol sekarang.
Sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi, Nadhira mengangkat tangan hingga bartender mendekat. Aku pikir dia mau pesan cocktail—khas perempuan—ternyata bukan. Dia pesan bir, sama seperti saat hari itu. Dan secuil pikiran menggelitik, apa dia ingat kalau kami pernah bertemu?
"Jadi ... lo setuju?"
Nadhira, perempuan dua puluh lima itu—kata Mama—menenggak minumannya langsung dari botol, tepat di depan wajahku. Berbeda dengan Bimala, mata cokelat Nadhira lebih gelap, lebih tegas. Ada rasa percaya diri dalam sorotnya yang tajam. Tatapannya yang seperti tak mudah luluh rasanya diciptakan untuk mengintimidasi lawan dan menegaskan sosoknya sendiri. Aku tentu tak punya pilihan selain memagari rasa canggung agar tak kehilangan gengsi sebagai lelaki.
"Begini,"—aku berdehem pelan, mencoba mengumpulkan wibawa—"saya tahu kalau papa kamu, dan mama saya sangat berharap hubungan kita berhasil. Tapi, saya juga tahu kalau ini bukan kemauan kamu, dan sebetulnya—"
"Gue setuju!"
Sekali lagi, aku salah dengar! What? Dia bilang apa barusan?
"Apa? Kamu setuju soal...?"
"Gue bilang, gue setuju nikah sama lo!"
Kutelan ludah. Tunggu dulu! Apa-apaan ini? Dia setuju ... begitu saja?
"Kamu yakin?"
"Lo sendiri?"
Fokus, Randu! Fokus!
"Nadhira, kamu tahu kan kalau menikah bukan cuma sekadar butuh kata-kata 'setuju'. Tapi, kita mencoba—"
"Masalah lo apa?"
Geez! Perempuan ini, apa sih yang ada di pikirannya?
"Saya nggak ngerti maksud kamu."
Yang terjadi setelahnya, sama sekali tidak kuduga. Dia tertawa! Perempuan—apa aku boleh bilang sialan—ini malah tertawa keras, membuat beberapa pasang mata mengalihkan perhatiannya pada kami sekarang.
Rahangku mengetat dan kupikir dia sadar kalau aku tidak suka dengan sikapnya, karena dia langsung bilang "sorry" saat mata kami bertumbukan satu sama lain. Setelah tawanya usai, Nadhira mengeluarkan sebungkus Marlboro putih dari ransel hitam yang dibawanya. Bisa kulihat gerakan tangannya yang cekatan; mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkan di antara kedua bibirnya yang tanpa lipstick. Bara merah membakar pelan, menguarkan aroma tembakau yang khas dan berbaur dengan wanginya yang ... parfum apa yang dia bilang waktu itu?
"Umur tiga empat, punya usaha sendiri, sukses, tapi ... belum merit. Lo pernah em el sama cewek, kan?"
Hah? Perempuan macam apa sih dia ini?
"Nadhira...."
"Lo ... normal, kan?"
Ini keterlaluan! Aku berani taruhan Mama tidak tahu kalau calon menantu yang dipilihnya adalah perempuan ... murahan. Biasanya aku menyesal karena bicara kasar soal perempuan, tapi mulutnya benar-benar minta dilumat.
"Begini, Nadhira...."
"Jawab aja!" desaknya lagi sambil mengembuskan asap rokok tebal.
Kuhela napas, mencoba meluaskan dadaku sampai ke batas maksimal. Tidak lucu kalau aku sampai terpancing omongan seperti ini.
"Ya! Saya memang belum nikah tapi bukan karena orientasi saya, melainkan karena—"
"Oke, kalau gitu nggak ada masalah. Kita bikin ini singkat aja. Gue tahu lo sayang banget sama nyokap lo dan gue ... yah, sebut aja gue nggak punya pilihan. Artinya, kita punya kepentingan yang sama. Jadi, kenapa kita nggak terima aja?"
Sinting! Dia bahkan tidak melihat ke arahku saat bicara seperti itu. Tangannya yang bertumpu di meja bar, malah memainkan batang rokok yang tinggal setengah, diputar-putarnnya dengan gerakan pelan dan terkontrol.
Mendadak kepalaku terasa pusing, memikirkan bagaimana nantinya kalau aku benar-benar menikahi perempuan ini. Mau jadi apa rumah tangga kami nanti? Dalam bayanganku, rumah adalah dunia kecil yang dibangun dengan cinta, tempat yang menjadi tujuan untuk selalu pulang. Tapi kalau begini?
Mengatasi pening, kupijat pelipis dengan tangan kiri.Aku kehabisan kata-kata dan sepertinya Nadhira juga tidak peduli sama sekali. Dia tetap asyik dengan rokok dan bir yang ditenggaknya lagi dan lagi. Dia minum seolah tak ada lagi kata nanti, seolah dia akan mati kalau alkohol tidak membasahi tenggorokannya yang kering. Sementara itu mataku malah kurang ajar mengintip, mengawasi setetes bir yang jatuh ke leher dan mengaliri kulit. Tanpa bisa ditahan, mataku semakin lancang bergerak turun, mendapati selangka yang mengintip.
Triple shit!
"Kamar gue di bawah!" katanya tiba-tiba, masih tanpa melihat ke arahku.
"Apa? Maksud kamu apa?"
Kupandangi perempuan yang akhirnya berhasil menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir, menunggunya bersuara lagi. Satu detik, dua detik ... aku menunggu, di antara hentakan house music yang kian menggebu, berpacu dengan jantungku sendiri yang juga makin terburu-buru.
"Gue booking kamar di lantai empat."
Refleks, punggungku menegak saat dia tiba-tiba menengok ke arahku, memajukan wajahnya dan menularkan aroma alkohol yang menyengat indera pembau. Mata cokelatnya mencelang, menatapku seperti serigala kelaparan. Dan sebelum mulutku terbuka sempurna, sebuah sensasi lembab dan kenyal mendarat, menghajar bibirku yang pelan namun pasti, berubah menjadi pasir isap.
Aku pasti sudah gila!
[...]
Malem jumat nih🙄🙄 Lah terus? Ya, nggak apa-apa.
#Plaaaakk 😑😑
So, still with me, guys😂 masih kuat? Belum biduran? Pusing? Meriang?😌
Wakakkaa. Selamat malam Jumat😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top