32 : well, it ain't me

Super late update😂😂
I'm so sorry😘 Boleh pura-pura ini Kamis kok😌 dan semoga minggu ini ada dua hari Kamis.

👆🏻👆🏻 The best cover version of it ain't me versi saya. Kalau tau yang lebih ok dari ini, boleh kali bagi-bagi😘


*****



Aku pernah bilang kalau tidak setuju dengan konsep alcohol can help saat  seseorang merasa sedang dalam masalah. I drink socially, bukan saat merasa tertekan dan ingin melampiaskan tekanan. Ini jelas kesalahan, karena membiarkan tanganku di kemudi yang pegang kendali sepulang dari rumah Mama yang ingin tahu kejelasan nasib pernikahanku dengan Nadhira. And again, aku tidak tahu kenapa sekarang berhenti di Loewy. Hampir tengah malam dan aku tidak tahu kemana harus pulang.

Memikirkan kata 'pulang' membuatku membayangkan sebuah rumah. Ada banyak jendela kaca hingga sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Pintu terbuka lebar, membuat aroma bolu pandan dari dapur terendus sampai ke luar. Seorang gadis kecil buru-buru meletakkan sepedanya di tanah, lalu berlari masuk ke rumah; tak ingin ketinggalan mencicipi bolu yang baru keluar dari panggangan. Seorang laki-laki kecil berlari juga, tapi bukan karena tak mau kalah dengan gadis manis yang rambutnya dikepang dua. Melainkan karena seorang pria dewasa menyemprotkan air dari selang, membuat kaos batman-nya basah.

Aku bisa menghabiskan banyak waktu cuma untuk membayangkan definisi (satu-satunya) yang kutahu tentang keluarga; tempat yang kuinginkan untuk pulang. Aku tumbuh dengan mimpi semacam itu. Bagiku, itu sempurna. Dan aku ingin semuanya sempurna.

Keluargaku sempurna, itulah yang kupercaya.

Tapi terkadang, kita tidak cukup dewasa untuk menerima bahwa apa yang kita percaya tidak selalu sama dengan kenyataan. Kalau bisa memilih, aku tidak ingin jadi dewasa. Aku ingin hidup selamanya dalam kenangan, dalam ingatan seorang anak usia delapan yang berlarian di halaman dengan kaos batman basah yang mungkin saja bisa membuatnya demam. Kurasa, dia tidak peduli.

Aku tidak peduli.


****


Bertender berjambang yang belum juga mencukur berewok tebalnya itu mengisi lagi gelasku yang kosong dengan whiskey. Ehm ... aku tidak tahu kenapa penulisan whiskey lebih populer dibanding aslinya, whisky. Atau cuma perasaanku? Deva menulis whisky dengan whiskey. Beberapa store juga menulis whisky dengan whiskey. Aku ... hm, aku kadang-kadang juga begitu.

"Hik...."

Sialan! Waktu kecil aku sering cegukan. Mama bilang aku begitu karena dalam masa pertumbuhan. Aku sudah setua ini (ehm ... kenapa aku terdengar seperti kakek-kakek) dan kebingungan sendiri kenapa cegukan. Memangnya apa lagi yang mau bertambah besar? Kalau aku cegukan, biasanya Papa akan buru-buru mengambilkan minum sambil bilang....

Kutenggak lagi whiskey yang harusnya ditulis whisky itu sampai habis. Mungkin dengan begitu aku bisa mengguyur wajah Papa dan senyum lebarnya yang tiba-tiba muncul di kepala. Aku sedang tidak ingin melihatnya sekarang. Aku sedang ... tidak ingin mengingat Papa. Aku sedang sangat ingin menghapus ingatan tentang Papa. Aku....

"Ada yang harus kamu tahu soal Papa sama Mama, Randu?"

Whiskey tidak membantu dan kalimat itu malah mendesak masuk. Aku benci cara Mama memanuver pembicaraan kami sore tadi. Terdengar seperti aba-aba untuk menarik pelatuk pistol yang menempel di pelipis. Aku mulai bertanya-tanya, apa Banyu juga mendengar aba-aba yang sama sebelum peluru menembus dan menghancurkan otaknya?

Sial! Apa yang kupikirkan.

"Bisa suruh dia berhenti?" aku memelas. Persis seperti kucing kehujanan yang menggigil sambil memohon dibukakan pintu rumah. Aku tidak suka lagu yang sedang dinyanyikan. Aku tidak suka liriknya. Aku tidak suka musiknya. Semuanya aku tidak suka. Tapi, bartender yang pernah menatap Nadhira dan melempar senyum sok ganteng itu cuma nyengir. Berengsek.

"Lo udah teler, Bro. Nggak biasa minum, ya? Mau gue panggilin taksi? Atau gue harus panggilin Nadhira ke sini?" tawarnya sok perhatian. Kurasa dia bersikap baik padaku demi mendapat simpati Nadhira. Aku berani bertaruh dengan gitar Gibson punyaku kalau dia pernah tidur dengan ular kecil itu.

"Isi lagi." Aku mendorong sloki whiskey dan melihat 'siapa sih namanya' itu menuang sambil menahan tawa. Dasar sok keren, mentang-mentang kuat minum.

"I'm not your bro." Aku menghabiskan minum dengan sekali tenggak sampai tenggorokanku terbakar. Darahku sepertinya mulai mendidih. Entah karena reaksi etanol atau kesal melihat senyum yang membuatku ingin menarik jambangnya. Kalau suatu saat dia mabuk dan tidak sadar, aku akan mencukur semua rambut di wajahnya sampai habis. Termasuk alis kalau perlu. Dasar gorila. "Hik, berapa kali?" aku bertanya lagi.

'Siapa sih namanya' menatapku dengan dahi berkerut. Dia terlihat tua kalau begitu, tapi tidak masalah. Setidaknya dia tidak lebih ganteng dariku. "Apanya berapa kali?"

"Hik...." Cegukan sialan. Aku mengangkat tangan, mengarahkan telunjuk tepat ke depan hidungnya  yang besar. "Lo tidur sama dia, kan? Berapa kali?"

Gorila berbulu itu tertawa lagi. Aku makin benci. "Mabok lo parah."

"Bisa suruh dia diem?" aku menoleh ke belakang dan pria jelek yang memakai kemeja biru tua masih bernyanyi dengan gitarnya. Gitarku jauh lebih bagus. Papa yang belikan setelah menjual chrysler tua kesayangannya. My dad is good. He is ... perfect. He is my hero. He is a...  liar.

Lalu kata-kata itu terngiang lagi: sebelum Papa kamu sakit, kami sudah sepakat untuk cerai.

What the fuck!

Dan kalimat berikutnya tak bisa lagi ditaha. "Papa mungkin ayah yang sempurna buat kamu sama Rara. Dia sayang sekali sama kalian. Tapi itu nggak lantas membuat kita jadi suami istri yang sempurna."

Is she kidding me? My family was perfect, setidaknya sampai Mama memberitahuku soal ini. Lalu, aku bergidik membayangkan apa yang tidak pernah kutahu selama ini. Bagaimana kalau sore itu Papa tidak jatuh di kamar mandi? Bagaimana kalau hari itu dia bangun dari koma? Apa aku juga akan jadi produk broken home yang harus memutuskan tinggal dengan siapa? Lalu, untuk apa Papa menceramahiku soal bagaimana jadi pria yang harus selalu melindungi keluarganya?

Aku pikir, Papa adalah pria beruntung yang reputasinya diselamatkan oleh maut.

""And I don't wanna know, where you've been or where're you going...."

Aku bisa mendengar 'Siapa sih namanya' mendengus lalu berkomentar, "Tadi disuruh berhenti. Sekarang malah ikutan nyanyi. Mau lagi?"

Aku mengangguk pelan, lalu mendorong sloki untuk kembali diisi sebelum akhirnya menjatuhkan kepala ke bar. Sepertinya ada teroris memasang bom waktu di kepalaku. Bunyinya tik tok tik tok. Seperti lagu Hickory Dickory Dock yang dulu diajarkan Papa. Dan aku membayangkan tikus kecil yang jatuh dari Big Ben karena mencuri keju. Tiba-tiba saja, muka tikus itu berubah jadi wajah Papa yang menyeringai. Di mataku, Papa seperti tikus yang menunggu semua penghuni rumah tidur cuma untuk mengenang kekasihnya di masa lalu.

"Itu hubungan masa lalu, Randu. Mama tahu, bagaimana pun Papa udah menikah sama Mama. Tapi Mama juga nggak sempurna dan nggak bisa terima karena ternyata Mama bukan satu-satunya perempuan buat Papa."

Tunggu! Kenapa aku merasa familiar? Apa aku benar-benar mirip Papa? Tapi, aku tidak membohongi Nadhira. Aku tidak berpura-pura jadi suami yang baik cuma untuk menutupi perasaanku pada Bimala. Jadi ... aku tidak sama dengan Papa. Benar, kan?

"Papa kamu orang baik. Dia nggak pernah nyakitin Mama. Mungkin Mama yang kurang legowo untuk menerima Papa dan masa lalunya."

"Lalu buat apa Mama bilang ini ke Randu sekarang?"

"Mama mau kamu tahu, kalau dunia ini nggak ada yang sempurna, Randu. Mama, Papa punya kekurangan. Kamu punya kekurangan. Juga ... Nadhira."

Nadhira. Nadhira. Bocah sialan itu. Dia juga bilang hal yang sama. Kenapa semua orang bilang hal yang sama? Aku merinding lagi, mengingat Nadhira menatapku dengan mata merah menyala seperti kobaran api yang siap melahap apa pun di sekitarnya (dia seperti siluman yang mau berubah jadi ular) dan berbisik, ""Can you say, I am damaged."

"I'm not damaged. You're damaged!"

"Wow, easy, Bro!"

Kenapa Siapa Sih Namanya sialan ini selalu berkomentar? "Can you hear hik that clock? It's ticking. Tik tok tik tok...."

"You lost your mind. Kayaknya lo beneran harus stop minum. Lo bawa handphone?"

"I told you hik I'm not your hik Bro. You slept with my wife. Hik. Bro didn't sleep with bro's wife.... You're not.... You're ugly.... Don't touch her!"

"Lo bisa diem nggak?"

Mataku yang seperti dihantam Hulk mulai kesulitan mengenali 'Siapa sih namanya' yang ... kurasa dia masih tersenyum mengejek. Dia pasti melihatku seperti pecundang menyedihkan karena  menikahi perempuan yang pernah dia tiduri. Hm, aku dan Nadhira belum resmi bercerai, jadi dia masih isteriku.

"Udah deh diem. Lo berisik."

Oh pria itu punya bakat mengubah suara ternyata. Sekarang dahiku yang mengerut (semoga ini tidak membuatku jadi lebih tua dan terlihat lebih jelek darinya), membayangkan pria tinggi besar bersuara feminin plus berewok tebal yang menyatu dengan jambang. Sepertinya aku agak kesulitan, jadi aku akan menambahkan rok mini dan kemben merah muda untuk mepertegas visualisasinya. Cocok untuk si gorilla sialan.

"Aku nggak berisik!" Ah, untuk bersuara saja, tenggorokanku sakit. Sepertinya aku butuh tidur. Mungkin kalau aku tidak mendengkur, mereka mengijinkanku menginap di sini.

"Lo berisik kalau mabok."

Dulu, Nadhira juga pernah mengatakan hal yang sama di Bali. "Aku ... aku nggak berisik, Nadh. Aku ... nggak ....."

Sekarang, dia mengatakannya lagi. Oh, mungkin ini cuma kepalaku yang memutar memori.

Nadhira menampakkan senyum miring (I can see that). Aku tidak suka. Tapi aku juga tidak mau repot-repot berkomentar. Kepalaku makin berat. Rasanya seperti mau meledak. Bomnya bisa membuat otakku berserakan. Seperti Banyu. Oh, aku merindukan bajingan sialan itu. Sepertinya dia betah di sana. Buktinya dia tidak mau hidup lagi. Tapi itu bagus, karena kalau di sini sekarang, dia pasti menertawakanku. Mungkin, dia akan memborong semua alkohol dan memaksaku minum sampai perutku betulan meledak. Jadi, mana yang meledak lebih dulu? Kepala atau perut?

"It ain't me.... It ain't me. Dulu juga lagunya ini kan, Nadh. Kita harus mainin lagu ini kapan-kapan."

Ksatria bergitar itu belum mau berhenti juga ternyata (ingatkan aku untuk menyumpal mulutnya pakai kaos kaki). Meski tidak melihat tapi kurasa Nadhira mengangguk. Pelan, bisa kurasakan tangannya mengusap kepalaku, mengelusku seperti menidurkan bayi. Aku bayi besar, memakai popok dan mengisap jempol sendiri seperti dot.

"Iya dulu lagunya ini. Lo harusnya nggak minum. Kalau jatuh terus selangkangan lo kepentok kan sakit. Atau mau gue tendang lagi?"

"I hate you, Nadh."

"Gue tahu."

"Can I just sleep here? Aku janji nggak akan ngorok." Kurasa, kalau aku jadi anak baik, Nadhira akan membiarkanku tidur. Sebentar saja. Aku ingin tidur karena mataku tidak bisa lagi menahan kantuk.

Perlahan, alunan gitar mulai menghilang. Aku tidak bisa dengar apa-apa. Pipiku juga mulai kebas, mungkin karena bar yang dingin. Mengingatkanku pada angin sore yang menampar pipiku waktu itu, di bangku taman di bawah pohon ketapang. Aku bahkan bisa melihat berkas matahari yang jatuh di wajah Nadhira. Dia tersenyum. Lembut. Aku suka senyumnya yang seperti itu.

"Can we just stay like this, Nadh? Please? Cuma sebentar. Aku janji nggak akan bikin kamu marah."

Nadhira mengangkat tangan, menarik kepalaku ke pangkuannya. Rasanya hangat. Seperti sinar matahari di hari pertama musim semi. Daun ketapang saling gesek, disentuh angin yang bertiup malu-malu.

"Kamu benar, Nadh."

Nadhira mengusap kepalaku, turun ke rahang. Persis yang dilakukannya malam itu, saat dia masuk ke kamarku dan kami bercinta seperti dua orang yang saling menemukan. She just want to be found. I want to be found.

"Nadh...."

"Hem."

"You're right. He's not perfect."

"Gue tahu, Randu."

"You do?"

"Hem."

"Nadh...."

"Ya."

"I am damaged."

Aku yakin Nadhira tersenyum. Mungkin itu senyum paling manis yang pernah dia berikan. Senyum yang sama saat aku menoleh terakhir kali sebelum tubuh kecilnya hilang ditelan lalu-lalang rumah sakit.

"It's okay, Ndu. It's okay...."

Aku mulai menggigil. Bukan karena dingin. Aku tidak lagi merasa dingin. Aku merasa terbakar. Hatiku terbakar, tubuhku terbakar. Darahku meluap, naik ke kepala, ke wajah, ke mata; memaksa air mataku tumpah. Aku tidak menangis. Aku tidak ingin menangis. Papa bilang, pria tidak seharusnya menangis. Aku hanya ... aku hanya....

"Rara juga tahu? Jadi ... cuma Randu yang nggak tahu apa-apa?"

"Mama nggak mau bikin kamu kecewa sama Papa, Randu. Mau seperti apa pun hubungan Papa sama Mama, dia ayah yang hebat buat kamu. Kamu selalu ingin seperti Papa. Mana tega Mama kasih tahu kamu."

"Kalau gitu ... kenapa Mama nggak terus aja bohongin Randu? Sampai mati kalau perlu. Biarin aja Randu percaya kalau Papa itu sehebat yang Randu pikir selama ini."

Aku hanya ... aku benci mengakui bahwa aku salah. Aku benci kehilangan sosok pahlawan super yang membuatku percaya, kalau aku akan selalu baik-baik saja. Aku benci mengakui kalau aku seperti kapal kehilangan nahkoda. Aku benci merasa takut. Tapi, aku takut sekarang. Aku takut bangun dan sadar kalau semua tidak pernah baik-baik saja.

"Nadh...."

"Ya...."

"Jangan pergi."

Meski tidak melihat, aku yakin Nadhira mengangguk. Tapi, bisakah aku percaya?

Nadhira menarik tanganku yang sibuk memeluk tubuhku sendiri. Tangan kecilnya menggenggam tanganku. Tidak terlalu kuat, hanya cukup membuatku merasa aman. Mata cokelatnya menatapku hangat, membuatku ingin mengubur diri di dalamnya. Aku ingin di sana, di kedalaman yang membuatku ingin percaya kalau dia akan selalu ada.

Mungkin dia memang akan selalu ada....

Mungkin ini saatnya aku benar-benar ditemukan....

Dan mungkin, kami bisa di sini, selamanya....

Sapuan angin, senyum Nadhira, sentuhan tangannya.... semua terasa nyata. Dan aku berharap, benar-benar berharap, aku tidak perlu terjaga. Nadhira benar. Aku cuma pria pelupa tolol yang sekarang berdoa terserang demensia hingga ingatanku yang berkarat terlahap pelan-pelan. Sangat pelan, seperti ulat memakan daun-daun di pohon ketapang yang mulai meranggas. Dan saat semuanya benar-benar hilang, aku tahu, Nadhira akan tetap di sana, membawa hati dari kertas yang membuatku yakin kalau semua akan baik-baik saja.

Aku akan baik-baik saja.

Harusnya begitu.

Aku ingin begitu.

Tapi ... kenyataan tidak pernah begitu.

Aku terbangun, di suatu pagi karena cahaya matahari yang terlampau menusuk. Tidak ada Nadhira dan senyumnya yang lembut. Tidak ada bangku yang kayunya mulai lapuk. Hanya ada aku, dikelilingi pendar warna biru.

Langit sore itu tidak berwarna biru.

Dinding kamar ini yang berwarna biru.

Nadhira tidak suka warna biru—kurasa begitu.

Dan cuma ada satu orang yang kutahu suka warna biru. Dia mengecat kamarnya dengan banyak warna biru. Dia memberi nama puteranya Biru. Dia....

"Udah bangun? How are you feeling? You were soooo drunk. You're okay?"

Bimala membuka pintu, mengulurkan secangkir kopi hitam ke depan wajahku yang masih linglung. Senyumnya ramah, hangat, selalu penuh pengertian. Aku ingat, dulu tergila-gila dengan senyum yang sama. "Aku tahu kamu nggak terlalu suka kopi pahit. But, it would bring you back to earth, Alien."

Aku beringsut pelan, duduk di tepi ranjang, bersisian dengannya yang tengah menghirup kopinya dalam-dalam.

"Kok aku bisa di sini?"

Bimala tersenyum. Kaku. Dan untuk pertama kalinya setelah 18 tahun, aku tidak suka dia tersenyum seperti itu.



****

Intermezo nggak penting dikit, kata whisky itu asalnya dari Scotandia, kanada, ausie sama adalagi tapi saya lupa. Sedangka whiskey itu awalnya dari Irandia. Dipake buat merujuk wiski yang diproduksi di US. Ejaannya sendiri mulai populer di US sekitar tahun 1700an dibawa sama imigran Irish.

Please jangan komen info macam apaaa🤣🤣

Next bab lagi diusahain. Kalau selesai cepet, gak pake liat kalender langsung publish kok😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top