3: when I (finally) said yes


"Tapi sekarang dia nggak apa-apa, kan?"

Aku memastikan sekali lagi, menjamin kalau Banyu yang katanya terjatuh dari climber di taman baik-baik saja. Aku panik bukan main saat Bimala mengirimkan foto bocah empat tahun itu sedang terbaring di ranjang klinik dengan tangan terbalut gips. Ada bekas memanjang di pipinya yang putih bersih—mungkin tergores sesuatu. Aku tidak tahu sihir apa yang dimiliki Banyu sampai-sampai aku merasa begitu terikat. Ada sebagian hatiku yang dihuni olehnya, sementara sebagian lainnya oleh perempuan yang sekarang sedang tertawa mencemooh kekhawatiranku yang menurutnya berlebihan.

Sebetulnya aku sudah tidur sejak jam sebelas tadi, tapi kemudian aku terbangun. Iseng melihat handphone, aku mendengar kabar kalau Banyu terluka. Langsung saja kunyalakan laptop dan merelakan sisa tidurku untuk video call dengan Bimala.

"He's fine. Nggak ada yang serius kok!"

"It's a fracture for God sake, Bi!" Kuacak-acak rambut frustrasi.

"Dia kuat. Aku aja nggak nyangka loh dia nggak nangis. Cuma mukanya aja agak kelihatan takut gitu pas dokter mau ngecek tangannya tadi. Ya, nahan sakit juga. Ayolah, jangan kayak anak perawan gitu, ah. Orang Banyu aja nggak apa-apa kok."

Dia bilang apa? Anak perawan katanya? Ah, mulut perempuan ini kadang-kadang memang perlu sedikit ditatar. Sedikit ciuman dariku harusnya bisa memberikannya pelajaran. Lalu, aku mengutuk pikiranku sendiri yang masih berharap: kalau saja perkara cinta bisa semudah itu.

Kupukul pelan bantal di belakangku, yang membatasi punggung dengan headboard. Jam sudah menunjuk angka empat lewat, di luar suara azan dari masjid kompleks juga mulai terdengar samar. "I'm worried about him," sahutku ketus. Di seberang sana, Bimala berhenti tertawa, menyadari raut wajahku yang jauh dari jenaka. Aku tahu, aku bukan ayah kandung Banyu dan tidak punya hak, tapi ... aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Dan kupikir, tidak ada yang lucu soal itu.

Bimala mengulas senyum, luar biasa manis. Sembilan belas tahun lalu, aku pernah melihat senyum yang sama. Siang hari, saat matahari sedang tinggi, di depan papan pengumuman calon siswa SMA yang diterima. Mata cokelatnya yang tajam menyusuri deretan nama, sejalan dengan jari lentiknya yang teracung tinggi. Saat itu, dia begitu histeris sampai tidak sadar mengguncang-guncang lenganku yang sedang berdiri di sebelahnya. Dan saat dia sadar dengan kekonyolannya, segaris senyum dikembangkan mewakili maaf yang akhirnya terucap malu-malu.

"You're so kind, Randu. Aku tahu kamu sayang sama Banyu, dan ... dia juga sayang loh sama kamu."

Kuhela napas, mencerna penekanan di setiap kata yang terucap dari bibirnya yang merah alami. Aku bukannya tidak sadar kalau Bimala sedang mengingatkanku pada batas yang selalu ingin kudobrak. Tapi .. pikiranku terlalu keras kepala untuk menyerah. Dan di setiap kesempatan, aku kembali mencoba ... yang dengan mudahnya dibabat dalam sekali tebas.

Ah, siapa bilang masokis cuma untuk kaum wanita?

"Don't you...." Kubiarkan kalimatku mengambang di udara, tak yakin juga mana yang mendominasi, apakah logika atau perasaan, hingga kalimat lancang itu—sekali lagi—menyempal dari bagian yang sudah kesegel rapat.

"Kenapa, Randu?" Bimala bertanya pelan, menggoda kesadaranku yang kian lemah. Arggh, begitu teriaknya. Ia berontak, geregetan karena tak mampu meraih apa yang ada di depan mata. Sungguh aku iri dengan mereka yang buta, yang tak perlu melihat apa yang mungkin mereka suka; yang tak perlu tahu apa yang tak mampu direnggut. Sementara aku?

"Nah, forget it!" sahutku—sedikit—kesal.

"Kamu ada masalah?"

Kamu tahu apa masalahku, Bi.

"Randu! Hey, kamu tahu kan kalau kamu bisa cerita apa pun sama aku. We're friends, ri—"

"And it's not enough!" sergahku kasar.

Kutelan ludah. Di layar yang mempertontonkan bayangan wajah yang paling ingin kurasakan kelembutannya, kulihat Bimala melakukan hal yang sama. Ada rasa bersalah yang mengambil peran dan tergambar begitu jelas di wajahnya yang melembut perlahan, lalu menjejaliku dengan sesal yang selalu hadir setiap kali aku tak mampu mengendalikan emosi. Dia hapal dengan drama ini. Dia sabar dan tak pernah menanggapi. Sedangkan aku makin terjebak dalam emosi yang makin sulit terkendali.

"Kamu tahu aku nggak bisa!"

Tentu saja! Tentu saja aku tahu! Tapi kenapa hatiku tak mau tahu?

"I know. Aku nggak bermaksud bikin kamu nggak—"

"Bukan aku, Randu! Bukan aku yang harusnya menerima cinta kamu. Aku nggak bisa dan nggak mau menyakiti perasaan kamu lebih dari ini. So .. please stop! Please ... aku mohon!"

Aku pernah membaca sebuah kutipan. Katanya, sekali seorang pria mampu memenangkan hati wanita, maka cinta akan menjadi milik pria itu selamanya. Sebaliknya, sekali seorang pria jatuh cinta, maka dia akan memperjuangkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Urusan kerja, aku terbiasa dengan persaingan. Aku tidak takut kalah dan aku berani mengambil risiko. Tapi kalau harus memenangkan hati Bimala dan bersaing dengan orang yang hidup dalam kenangan, maka aku cuma bisa  jadi pecundang.


*****

"Randu sayang sama Mama."

Kalimat singkat yang kusampaikan lewat telepon itu akhirnya mengakhiri pembicaraan kami. Dan kuharap, juga mengakhiri keruwetan pikiran yang sedang kualami.

Kupandangi mobil yang seliweran di bawah gedung, mengantre untuk melewati gerbang parkir sebelum akhirnya berjibaku di jalanan Jakarta yang semrawut. Tangan kananku bergerak pelan, meraba kaca gedung yang membiaskan warna jingga milik senja, mencoba menemukan sisa hangat dari bekasnya yang tertinggal.

Beberapa menit lalu, Mama menelepon lagi. Mempertanyakan bukti cintaku padanya sekali lagi, untuk yang terakhir kali—akunya sih. Dan tak ingin membuatnya kecewa lagi dan lagi, kata 'ya' akhirnya meluncur mantap, menabuh riuh yang termanifestasi dalam puji syukur tak putus-putus dari mulut Mama. Aku tidak mengira beliau akan sehisteris itu. Sama seperti aku juga tidak mengira, kalau rasa bangga bisa hadir kala kita menjadi alasan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai.

Seperti tersadar dari sesuatu, aku menjauh dari samping jendela dan mendekat ke meja kerja. Tanganku dengan cekatan mengangkat beberapa berkas, mencari secarik kertas warna kuning muda, sementara emosiku sendiri juga tak karuan. Ada sedikit rasa gugup, bercampur kesal yang entah pada siapa harus kualamatkan. Dan saat lembaran post it itu kutemukan, hatiku membimbang: haruskah kutekan sederet nomor yang tertera di sana?

"Pak, udah nggak butuh saya lagi, kan? Kalau nggak, saya pulang duluan, ya?" Nindy yang entah sejak kapan sudah berdiri di pintu, menatapku dengan serangan puppy eyes yang menurutku jauh dari lucu.

"Apa? Kebiasaan kamu bukannya ketok pintu kek, salam kek, apa kek. Tahu-tahu nongol di situ nggak jelas asal usulnya," omelku pura-pura terganggu.

"Yee... si Bapak. Tadi saya ketok-ketok Bapak nggak jawab sibuk ngelamun jorok."

"Ngelamun jorok apa?" bantahku ketus. Aku memang tidak ingin membatasi kedekatan dengan karyawan. Bagiku, semua yang ada di sini adalah keluarga. Kami bertahan hidup bersama-sama di Jakarta yang seringnya tak mengenal kawan kalau sudah bicara soal uang. Aku ingin mereka merasa nyaman, selama tidak lupa soal kerjaan.

"Yah sok polos Bapak ih. Ya udah pokoknya saya mau pulang ya, Pak."

Setelah mendengus pendek, aku akhirnya menjawab dengan hem pelan. Sejenak kupandangi ruang kosong yang tadi sempat membingkai tubuh ramping Nindy, sebelum menyadari kalau aku tinggal sendiri. Semua karyawan sudah pulang, termasuk Pak Sapri, office boy kantor yang jam kerjanya memang lebih lama dibanding yang lain.

Puas melamun, kukembalikan fokusku pada nomor telepon di tangan, juga handphone yang kini stand by. Pikiranku kembali menimbang, haruskah kutekan angka yang membawaku pada sosok yang—mungkin—akan mendampingiku seumur hidup? Kuhela napas berat, setengah meyakinkan diri.

Begitu pantatku menemukan tempat di kursi kebesaran yang kuletakkan membelakangi jendela, jariku pun seperti bergerak sendiri, mengetik sebaris nama di daftar kontak baru: Nadhira.


[....]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top