27: how to lose yourself
Baby you're lost
Baby you're lost
Baby you're a lost cause
I'm tired of fighting
I'm tired of fighting
Fighting for a lost cause
*****
Atmosfer di kamar ini menyempit. Udara di sekitar terasa menghimpit, membuatku yang sejak tadi duduk diam memandangi dinding putih tampak seperti kucing schrodinger yang terjepit. Aku sudah berusaha menarik napas dalam-dalam, pelan, seolah takut suara tarikannya bisa membangunkan singa yang sedang tidur. Namun yang kurasakan tetap sama: tiap udara yang memenuhi paru-paru seperti membawa gas beracun yang muncul dari retakan lapindo dan membuat dadaku semakin sesak.
Anyway, tidak ada gas beracun pastinya. Tidak ada singa juga, kecuali Simba di layar tivi yang tengah menatap bayangannya sendiri di pantulan air. Dia mencari dirinya di mana-mana. Aku suka adegan itu meski sedikit drama. Pada akhirnya, Simba menemukan alasan untuk kembali pulang ke tempat yang seharusnya. Dia menemukan dirinya. Dan aku?
Aku kehilangan diriku.
Aku tidak tahu mana yang lebih membuatku tidak nyaman, tatapan Bimala yang melihatku seperti orang asing yang tak pernah dikenalnya saat berpamitan dan menggandeng Banyu keluar, atau sirat kekecewaan yang ditunjukkan Papa lewat matanya yang sayu. Beliau tampak terluka seperti prajurit yang dikhianati teman seperjuangan di medan perang. Dan setiap kali pria setengah abad itu tersenyum getir, menunjukkan kemafhuman atas semua yang bahkan tak bisa kujelaskan, aku ditikam pisau dengan pahatan rasa bersalah di ujungnya.
Tadinya kupikir setelah kepergian Bimala, emosi Papa akan meledak. Kurasa, tidak ada seorang ayah pun yang terima jika anaknya tidak diakui suami sendiri. Aku sendiri sudah menyusun banyak alasan, tapi semuanya luruh karena Papa cuma duduk diam menikmati teh organiknya pelan-pelan. Tidak ada yang bicara. Saat itulah aku yakin, situasinya tidak seperti yang kupikir. Papa sibuk dengan pemahaman barunya, sementara aku dan Nadhira larut dalam kesadaran masing-masing kalau semua mulai tampak di permukaan. Bahwa hubungan kami yang terlalu dramatis disebut sandiwara, Kenyataannya, memang tidak pernah ada.
Seperti bajingan yang menghajar ayahnya sendiri, aku merasa kalah. Tidak ada kebanggaan saat Papa cuma bisa diam menatapku dan Nadhira yang terduduk kaku tanpa berani menatap mukanya yang dipenuhi guratan usia. Sesekali terdengar napas kasar terembus dari mulutnya, seolah dadanya tak sanggup lagi menampung begitu banyak tekanan. And perfecting my day, aku tidak akan pernah lupa bagaimana beliau menepuk pundakku sambil berkata dengan suaranya yang dalam dan bergetar, "Papa nggak tahu apa yang sedang kalian berdua mainkan, tapi apapun itu ... tolong hentikan!"
Dan rasanya seperti Larry Holmes datang lalu meluncurkan jab lurus yang mematikan bersamaan dengan mobil Papa yang meninggalkan halaman.
*****
Aku masih ingat, dulu ada pohon ketapang menjulang tinggi dengan dahan menjuntai rindang tepat di samping bangku yang sekarang kududuki. Dulu aku biasa duduk di sini, menatap kaca jendela sebuah kamar di lantai enam dan berharap pria hebat yang sudah dua minggu terbaring di sana akan membuka mata. Sayangnya, aku harus menelan harapan itu bulat-bulat hingga perutku mau muntah rasanya. Sekarang, pohon itu sudah tidak ada lagi, digantikan dua pucuk merah berjejer membentuk kanopi masif.
Kuhirup napas dalam-dalam.
"Saya kenal Papa kamu waktu kuliah...."
Wajahku seperti ditampar rasanya mendengar Papa menggunakan 'saya' untuk memanggil dirinya sendiri. Dalam satu jam perjalanan dari kantor ke rumah sakit, aku memang sudah menyiapkan diri untuk hal-hal di luar dugaan; mungkin kemarahan, amukan, mata yang menggelap, rahang yang mengetat, tamparan ... tapi bukan komedi satire semacam ini.
Setelah kunjungannya Minggu kemarin, aku berinisatif mendatanginya di rumah sakit. Aku tidak yakin, tapi aku tahu ini harus. Bukan untuk mencari alasan karena sudah menyembunyikan status pernikahanku di depan Bimala, melainkan menunjukkan bahwa aku menghargainya sebagai seorang ayah. Aku tidak datang untuk mendapatkan maaf, tapi mengadukan diri sebagai anak.
"... tapi kalau Mama kamu, saya udah kenal dari SMA. Papa kamu itu ... hampir kayak kamu. Dewasa, santun, nggak banyak bicara yang nggak perlu. Sama, dia juga udah bantu usaha keluarga dari masih sangat muda. Papa kamu nggak banyak neko-neko. Saya pikir, itu yang bikin Mama kamu suka sama dia. Padahal, banyak loh yang naksir mama kamu dulu...."
Kutelan ludah. Otakku rasanya ingin membantah pendapat beliau yang bilang kalau aku mirip Papa. Nyatanya, aku bahkan tidak mewarisi sedikit pun kearifan Papa selain bola mata yang sama gelapnya.
"Saya mengaku sama kamu ya,—"Pria berjas putih di sampingku ini menepuk pahaku, membuyarkan bayangan Papa yang baru saja terbentuk—"saya nikah sama mamanya Nadhira itu karena iri sama mereka. Orang tua kamu kelihatan mapan dan ... happy. Papa kamu bilang sama saya, jadi laki-laki itu takdir tapi jadi pria itu pilihan. Saya yakin, Papa kamu pasti merasa itu pilihan terbaik yang dia buat."
Ludahku mulai terasa pahit. Aku ingat, Papa juga pernah mengatakan hal yang sama. Dan tidak ada satu pun sosok pria yang lebih baik dari Papa. Setidaknya untukku.
Tangan renta Papa yang masih terasa kokoh berpindah ke bahuku dan kembali menepuknya perlahan. Ada emosi rumit yang tak bisa kuurai di setiap sentuhannya. Di antaranya aku tahu pasti, ada rasa kecewa yang sukar ditutupi. Aku mulai menaksir, tidakkah perasaan semacam itu seperti monster yang begitu kuat bercokol di dada, sementara mulut terlampau sempit untuk menyuarakan raungannya. Lantas kenapa dia tidak meledakkan saja emosinya? Itu bisa membuatku sedikit lebih baik, karena aku memang pantas menerimanya.
"Saya percaya sama kamu, sama seperti saya percaya sama Papa kamu...."
Kurasa, aku tidak ingin mendengar kalimat berikutnya.
"Itu kenapa, saya nikahkan kamu sama Nadhira."
Bukan cuma tamparan sekarang. Ada tangan tak kasat mata yang meninju dadaku, tepat di ulu hati. Sialan!
"Menghadapi Nadhira memang sulit dan saya harus akui, saya bukan ayah yang baik buat dia. Anak itu selalu berpikir, menikahkan dia dengan seseorang adalah bentuk keputusasaan saya menghadapi tingkahnya. Itu nggak sepenuhnya benar, tapi ya nggak sepenuhnya salah juga."
Angin bertiup pelan, mengantarkan hawa panas siang yang menyengat. Kulit mukaku seperti terbakar, tapi lebih dari itu ... setiap kata yang disampaikan Papa membuat dadaku hangus lebih dulu.
Pelan, dia menarik tangan dari bahuku. Tapi, aku masih tak kunjung menarik pandangan dari hamparan rumput yang membuat taman kecil di rumah sakit ini terlihat hidup. Rasanya, aku mulai menyesali keputusanku datang ke sini.
"Hal terakhir yang bisa saya lakukan untuk anak yang selalu membuat saya merasa gagal jadi ayah adalah...,"—inilah saat pandangan kami akhirnya bertemu—"menyerahkannya pada orang yang tepat."
Kukembangkan segaris senyum tipis. Matahari, pasti sudah keterlaluan menyengat sampai bola mataku ikutan memanas. Dan satu-satunya yang bisa kulakukan, kembali membuang pandangan, menatap ujung sepatu pantofel hitam yang mengilat.
"Saya nggak banyak berharap waktu itu. Malahan saya was was Nadhira bikin ulah lagi. Tapi melihat kalian di altar, mengucap sumpah pernikahan, saya yakin ... pikiran saya yang salah. Anak itu layak dipercaya. Dan sekarang saya tahu, saya terlalu menyepelekan Nadhira."
Kutarik napas dalam-dalam, sekali lagi.
"Pa...," aku mulai memberanikan diri. "Minta maaf mungkin kurang bijak sekarang, tapi Randu juga nggak punya kata lain buat disampaikan ke Papa. Randu bukan bermaksud bohong soal Nadhira atau menganggap—"
"Nadhira sudah bilang soal hubungan kalian sebenarnya seperti apa."
Kutelan ludah. "M-maksud Papa?"
"Dia kesini tadi pagi dan cerita semuanya, termasuk negosiasi kalian sebelum menikah. Saya ... minta maaf atas kelakuan anak saya."
"Se-semuanya?" aku memastikan. Melihat Papa yang menarik napas dalam-dalam, aku tahu tidak ada lagi yang harus disembunyikan, "Pa, biar Randu jelasin...."
"Tapi, Randu, harusnya kamu nggak mengikuti usul Nadhira. Kalian harusnya nggak menikah kalau memang...," kalimat Om Wis mengambang, tak mampu diselesaikan. Cuma hela napasnya yang terdengar kasar, mencoba meredam emosi yang jelas menguras tenaga.
"Pa...."
"Saya mohon, ceraikan Nadhira secepatnya."
"Ta-tapi, Randu bisa jelasin, Pa. Nadhira ... dia pasti ngomong sembarangan. Dia...."
"Minta ampun sama Tuhan, Randu."
"Pa...."
"Om!"
Aku terenyak. Sentakannya singkat, tajam, tapi cukup merangkum semua ultimatum Papa.
"Itu akan membuat saya merasa sedikit lebih baik."
"Pa...."
Akhirnya, pertahananku runtuh bersama getar suara Papa yang mencapai final. Panggilan papa yang dulu selalu diwanti-wanti, bahkan tak sampai di ujung lidah. Kepalanya tertunduk, nyaris rapat dengan dada sebelum akhirnya terangkat ke atas, menerawang ke langit Jakarta yang siang ini berawan.
Pemandangan itu, membuat dadaku memanas. Dosa dan perasaan bersalah membakar habis, meleburkan satu-satunya jejak manusiawi yang kuharap masih layak menjadikanku seorang anak. Sementara kata maaf yang kugumamkan sebagai satu-satunya bahasa yang kukenal, tidak cukup membuat Papa menarik kembali vonisnya.
Jika ini pertarungan, aku kalah telak.
[....]
Pendek ya? iya emang. Cuma yaa.... otak saya mentok segitu doang udah 😆😆
Oh iya, Larry Holmes itu petinju. Seumur-umur cuma kalah 6 kali. Terkenal sama jab-nya yang paling mematikan. Katanya sih, best jab sepanjang masa gitu😌 Saya sih gak kenal, Bapak saya noh yang kenal. temen main gundu katanya.
Btw, yang part kemarin missed nggak sih gara-gara Schrodinger sama Parallel Universe?
Kalau bingung, komen aja ya. daripada nyasar (padahal saya juga gak paham)
Di mulmed lagunya Beck judulnya Lost Cause kalau ada yang belum tahu. Sedih lagunya tuh. Tentang orang yang udah berjuang buat orang yang dia sayang, but at some point, dia akhirnya sadar kalau sia-sia dan gak ada yang bisa dia lakuin lagi. Agak gak nyambung kayaknya ya🤔 tapi ya gimana, touching sih😌 Liriknya tuh kayak ada nyes-nyesnya gitu.
Ini udah mau end ya btw. Enjoy😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top