25: how to turn back time
☝☝ play that song. Enaaak banget. Kata saya sih😀
****
Tatapan lembut Nadhira adalah hal pertama yang kulihat saat memiringkan badan ke kiri. Disusul segaris senyum tipis, sebelum akhirnya berubah menjadi seringai nakal. Rasanya seperti plot twist menyebalkan saat tokoh utama, pria dan wanita, bertemu dan mendadak ada truk melintas lalu menabrak si pria begitu saja.
Ralat!
Kurasa, sebaiknya tokoh wanita saja yang ditabrak.
“Sumpah, ya, lo kayak biksu baru lepas perjaka. Santai aja lagi, Ndu."
Berengsek! Haruskah dia mengatakan hal semacam ini?
"Kayaknya lo harus mulai mikirin olahraga yang pas buat lo deh."
Triple berengsek!
Aku tidak ingin membela diri, tapi kemarin aku tidur larut, bangun lebih pagi, meeting dan semalam … baru tidur setengah jam. Ditambah … rasanya sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku mengurus diri sendiri.
Don't judge! Tapi 90% pria kehilangan keperjakaan di tangan sendiri. Jadi jangan heran kalau terkadang kami menghabiskan waktu di kamar mandi sedikit lebih lama dari biasanya.
“Aku capek,” jawabku pelan, terluka.
Sialannya, Nadhira malah tertawa. “Iya gue tahu kok.”
Pelan, jarinya bergerak, mengusap alisku, turun ke pipi, rahang, janggut, bibir dan berakhir dengan menarik hidung yang membuatku mengerang. “Lo lucu banget bener deh,” ledeknya lagi.
“Aku nggak lucu, Nadh!” aku protes. Demi Tuhan, aku lebih tua dan dia bilang lucu?
“Lo lucu tahu. Lo sadar nggak kalau sekarang muka lo merah?”
Terima kasih untuk Nadhira dan mulutnya karena sudah mengingatkan.
“Aku ngantuk, Nadh. Kamu nggak?”
Aku memperhatikan Nadhira yang tersenyum sekali lagi sebelum untuk berguling meraih handphone dan menyalakan musik. Setelahnya, dia kembali memiringkan badan, menghadap ke arahku. Satu tangannya terselip ke bawah pipi, dijadikan alas yang membatasi kulit wajahnya menyentuh bantal.
“Ngantuk dikit,” jawabnya sambil mengangguk.
Aku tersenyum. Di sekitar kami, suara gitar mengalun pelan.
Rasanya … nyaman.
“Ndu?” Nadhira memanggil.
“Ya?”
“Lima menit lagi aja ya, abis ini baru gue balik ke kamar.”
“Terserah kamu aja, Nadh.”
Dia tersenyum. Suara gitar, masih terdengar pelan.
Rasanya … semakin nyaman.
“Ini lagu apa?” Sebelah alisnya terangkat saat menanyakan judul lagu yang kumasukkan ke playlist-nya beberapa jam lalu.
“Left My Love. Enak, ya?"
Dia mengangguk lagi. “Lagu jaman di bulan masih ada cokelat juga?”
Aku tertawa. “No. Ini baru kok. Kamu harus berhenti dengerin lagu-lagu komersil, Nadh!"
“Nggak juga, ah. Angkatan lo itu gold abis. Itu lagu komersil tapi gue suka."
"Kalau yang ini? Suka?"
Nadhir berdeham pelan lalu menarik napas panjang. "Gitarnya enak banget. Keren. Gue baru tahu."
“Nggak semua hal harus kamu tahu, Nadh.”
“Iya sih,” sahutnya pendek.
Setelahnya, Nadhira tidak bicara apa-apa lagi sementara aku mulai kesulitan menahan kelopak mata yang terasa semakin terasa berat. Di luar kokok ayam mulai berisik, berbarengan dengan azan masjid.
Matahari akan datang sebentar lagi.
Mataku semakin berat ... semakin sulit ditahan.
Kegelapan mulai datang membayang.
“Bye, Randu.”
Suaranya lembut.
Aku merasa seperti … ada tangan yang mengusap kepalaku, menyelipkan jari-jarinya di rambutku yang lumayan tebal. Rasanya seperti saat aku tidur di bangku, di bawah pohon ketapang, di atas pangkuan Bimala.
“Gue balik, ya!”
Suaranya semakin lembut.
Aku merasa seperti ada gravitasi yang menarik tubuhku, ingatanku, mengembalikanku ke sebuah tempat dengan cahaya remang-remang. Irama musik house menghentak. Awalnya pelan,lalu semakin keras.
"No i don't wanna know, where you've been or where you're going...."
Aku tahu lagu ini.
"It ain't me ... It ain't me."
Aku pernah di sini.
Aku duduk di bangku, di balik meja tinggi dengan banyak botol bir di atasnya. Satu tanganku terjulur ke depan sementara kepalaku tergeletak lemas di atas meja.
Lalu, ada tangan kecil terulur, bergerak turun dari kepala, ke wajah, rahang, hingga akhirnya sampai ke telapak tanganku yang terbuka.
Tangan itu menggenggam tanganku.
Tangan itu ….
“Nadh!” aku memanggil. Tidak terlalu keras tapi cukup membuat Nadhira yang sudah berdiri dengan kedua tangan berusaha menutupi tubuh polosnya menoleh. Mata cokelatnya yang sayu menatapku.
Kuulurkan tangan, mencoba meraih bayangannya yang mulai kabur. “Stay here, please! Just like the way you did.”
"Lo inget?"
Tidak ada gerakan. Tidak ada apa pun. Sekarang justru terdengar suara khas Norah Jones yang bolak balik mengucapkan sunrise … sunrise … sunrise.
Looks like morning in your eyes.
Matahari terbit sebentar lagi.
“Stay here, Nadh! Di sini aja, sama aku!”
Mataku semakin berat.
Detik berikutnya, aku bisa merasakan sesuatu yang hangat menjalari tubuhku, menempel di kulitku yang telanjang, menyentuh dadaku yang berdebar tenang. Dan lagi-lagi tanganku bergerak sendiri, menariknya lebih dekat, memeluknya, menghapus sela yang tersisa.
“Ndu?”
“Ya?”
“Jangan sadar. Gue lebih suka kalau lo nggak sadar.”
“I won’t, Nadh! I won’t.”
Kueratkan pelukanku.
[....]
Pendek? I know. i'm so sorry😞
First, saya minta maaf karena absen dua minggu terakhir. Sekali update cuma segini. Fyi, part ini saya tulis dua minggu lalu, jadi bukan baru juga. Tapi gak saya publish karena (imo) bisa merusak bab sebelumnya, tapi kurang match sama next bab. jadi, baru saya update sekarang.
Second, saya minta maaf lagi karena mungkin untuk minggu depan saya absen lagi. Mungkin agak lama. for personal reason😝😝
All i can say is, saya pasti selesain cerita ini. Sekali lagi, maaf dan makasih buat supportnya.
Tenang, yang ini gak akan digantung kek cerita yang ... ah, sudahlah😆😆
Have a great day everyone😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top