22: how to be a human for newbie

Ini baru namanya maljum🤧
Maaf, karena terlalu mendalami peran sebagai kacung kampret dan pengguna jalan yang menderita gara-gara macet yang ruar biasa🤧

Ini pake jurus kebut lagi, dan saya open sama kritik. Before and after, thank you😘

Oh, di mulmed lagunya Austin yang Never Come Back Again 👆🏻👆🏻



***




"Uncle Raaan!"

Banyu yang sedang fokus memperhatikan Nadhira menuang sereal, langsung melompat turun dari kursi makan dan lari ke arahku. Tangan kecilnya terentang lebar, selebar senyumnya yang memamerkan deretan giginya yang putih bersih. Aku bisa membayangkan bagaimana Bimala dengan dua tangan di pinggang menatap Banyu galak dan menyuruhnya gosok gigi sebelum tidur. Atau saat matanya melotot nyaris keluar karena Banyu merengek minta permen.

"Where's my morning kiss?" Kuangkat tubuh kecilnya tinggi-tinggi. Dia tertawa saat aku menyurukkan dagu ke sela-sela leher dan membuatnya kegelian karena bakal jenggot yang mulai tumbuh. "I want my morning kiss," aku menggeram dan Banyu makin tertawa.
Waktu bangun, Banyu masih tidur di tenda dan aku langsung masuk ke kamar untuk mandi. Jadi, aku merasa berhak menuntut satu ciuman dari Superman berhati besar ini.

"Lo beneran ternyata, ya! Gue ogah ah, Ndu," Nadhira langsung menyentak begitu aku yang sudah berkemeja rapi kembali mendudukkan Banyu di kursi makan. "Nih, udah!" katanya lagi sambil mendorong mangkuk ke ujung meja. Melihat sarapannya siap, Banyu menggoyangkan kepalanya seperti bobble head yang bergerak-gerak karena kepala dan badan cuma disambung per. Dalam sekejap, mulut kecilnya langsung dipenuhi sereal. Aku tertawa melihat mulut Banyu belepotan susu sementara badan mungilnya ikut bergoyang sekarang.

"Pagi, Nadh." Aku melempar senyum, Nadhira mencibir. Oh, pintu kamarnya juga masih tertutup rapat waktu aku masuk kamar tadi. "Semalem jadi jalan-jalan ke Bromo?"

Perempuan yang bahkan belum mandi itu mendengus keras. Senyum miring menahan kesal (sepertinya begitu) tersungging di bibirnya yang merah alami. "Ada badai pasir."

Aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Sebagai gantinya, keningku berkerut seperti squidward. "Oh, gitu? Padahal BMKG nggak ada kasih warning apa-apa pas aku telepon."

Dia mendengus lagi. "Oh, kayaknya itu gara-gara ada pesawat Asgardian yang mendarat deh."

"Aku pikir tesseract udah diamanin jadi mereka nggak perlu ke bumi lagi."

"Bukan karena itu kok. Di sana ada tsunami, semua hancur, Asgard berantakan dan Hela mati bunuh diri. Mereka sebetulnya tertarik pindah ke planet Mann tapi lo tahu kan ya, ternyata dia bohong soal kelayakan planet. Jadi ...."

"Stop it!" aku menyela, karena kalau dibiarkan Nadhira bisa membuat satu cerita komplit tentang semesta dan semua keanehannya. "So, si mbak mana? Belum dateng?"

"Udah, lagi belanja. Dan gue masih menolak keras karena harus jagain si kribo."

"Aku cuma sebentar, Nadh."

Nadhira melotot lagi. "Nggak! Lo yang bawa bocah albino itu ke—"

"I'm not albino!" Banyu protes. Sebagian sereal menyembur dari mulutnya yang penuh.

Nadhira cuma menoleh sebentar, tak peduli dan kembali ngomel, "Intinya, gue nggak mau jagain bocah petakilan kayak dia. Masa gue jadi musuhnya mulu, sih! Kalau dia mau diajak main pingsan-pingsanan sih nggak apa-apa."

"Jadi, kamu maunya jadi jagoan? Superwoman?" Tak tahan, aku tertawa. Tapi karena mata Nadhira melotot lagi, jadi aku menyumpal mulut dengan segelas air putih.
"Maaf, Nadh. Kamu juga kan tahu sendiri, semalem Deva baru info. Kita cuma punya hari ini, karena Pak Willy mau ke Thailand dan baru balik bulan depan. Aku cuma sebentar kok, paling juga sejam."

"Sejam? Lo hidup di mana sih, Ndu. Lo perjalanan aja udah sejam, belum meeting-nya, belum...."

"Tiga jam!"

"Bullshit!"

"Bad word!" Banyu menyela lagi. Sendok dalam genggamannya teracung ke arah Nadhira. "Mommy will be mad if you use bad words."

"Shut your fuckin mouth and eat!" Nadhira membalas tak kalah sengit.

"Uncle Raaan...."

Yang terjadi selanjutnya seperti déjà vu. Bibir kecil Banyu melengkung ke bawah, matanya berkaca-kaca sementara Nadhira cuma memutar mata meledek.

"Stop it, Nadh!" Kuulurkan tangan untuk mengusap rambut kribo Banyu yang lumayan tebal. Dewasa nanti, dia pasti akan terlihat sama persis dengan ayahnya. "She's just kidding. Don't take too hard," aku berusaha mendiamkan sebelum Banyu benar-benar menangis. "Sebelum jam tiga, aku udah pulang."

Nadhira menatapku jengah. "Lo harus banget dateng, ya? Nggak bisa cuma Deva aja?" dia bertanya dan aku menggeleng. "Ergh, sialan!"

Di depanku, Nadhira menopang dagunya sambil manyun. Matanya menatapku galak, mungkin berharap aku membatalkan niat. Tapi aku harus apa?

Semalam, Deva tiba-tiba telepon. Katanya, asisten Pak Willy menghubunginya soal presentasi sebelum beliau harus business trip ke Thailand Sabtu ini. Kami punya waktu satu jam setelah makan siang dan tentu saja tidak akan kami sia-siakan. Masalahnya, siapa yang akan menjaga Banyu karena aku tidak mungkin membawanya bersamaku.

Oh, bicara soal semalam, kami—aku dan Nadhira—mengobrol sampai lewat tengah malam soal banyak hal. Nadhira cerita, waktu SD dia melawan anak laki-laki yang badannya dua kali lipat lebih besar setelah meledek dan menarik-narik rambutnya. Papa sampai dipanggil ke sekolah karena Nadhira kecil menendang di tempat yang tepat. Aku bicara soal kelemahan fisik pria di bagian ... lupakan. Aku tertawa sangat keras, sebagai wujud simpati sebagai sesama pria sambil menahan ngilu membayangkan kalau aku yang ada di posisi anak itu.

Tapi, lebih dari itu ... aku mengagumi keberaniannya. Nadhira tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri.

Aku dengan jujur menyampaikan compliment untuk sikapnya dan entah siapa yang mabuk duluan (kurasa Nadhira berubah jadi manusia), suasana mendadak terasa intim. Nadhira berhenti bicara sementara aku tak bisa lagi memalingkan muka. Waktu seperti melambat dan aku menikmati setiap detik yang kuhabiskan—tanpa sadar—hanya dengan melihat sorot matanya. Nadhira bukan pencerita yang hebat tapi sepertinya dia suka didengar dan aku bahkan tidak tahu kalau aku bisa jadi pendengar yang baik. Setidaknya, tadi malam.

Dan telepon Deva datang di saat-saat yang pas—benar-benar pas, membuatku gelagapan, menyadari kalau aku terlalu lama memandangi wajahnya. 

"Gue nggak ngerti dia ngomong apa, Ndu."

Aku terkesiap.

"Kalau nanti dia ngomong aneh-aneh terus gue nggak mudeng gimana?"

Aku tersenyum.

"Kalaupun gue ngerti nih ya, gue juga nggak tahu harus jawabnya kayak gimana...."

Aku tertawa.

"Randu, ih!"

Dia mulai kesal dan aku makin terbahak.

"You did great last night," aku berusaha menenangkan.

Nadhira menegakkan punggung. Mata cokelatnya menatapku sok sinis. "Great? Lidah gue kaku ngomong sama dia. Gue berasa idiot dan lo bilang great? Nggak sekalian lo nyuruh gue ngapalin lagu Do Re Mi, Ndu!"

Aku sungguhan tidak ingin tertawa, tapi muka Nadhira yang kesal benar-benar hiburan. Aku jarang melihatnya seperti ini. "Bagus dong, Nadh. Daripada kamu ngapalin delapan kata doang sehari pake aplikasi apaan tuh, dan sekarang juga aku yakin kamu udah bosen pasti. Mending langsung praktek dong. Yang penting sama-sama paham, kan?"

Bibir Nadhira komat-kamit dan aku makin geli. "Sama-sama paham kepala lo. Gue nggak paham tauk!"

Aku benar-benar ingin melanjutkan ini, tapi jam sudah menunjuk angka sepuluh dan aku harus pergi. Jadi, aku mengabaikan Nadhira dan mengalihkan perhatianku ke Banyu. "Hei, Buddy," aku memanggil hingga mata polos bocah itu menatapku. "Uncle harus pergi sebentar. Ada semacam pekerjaan. Kamu stay di rumah bersama aunty. Kamu okay?"

Hampir bersamaan, aku dan Banyu menatap Nadhira yang sepertinya kesulitan menahan bola matanya untuk tidak lompat keluar. "Kok lo ngomong indo sama dia...."

Aku pura-pura tak mendengar. "Aunty kurang bagus speak in English, jadi dia akan bicara Indonesian...."

Banyu menatapku lagi dan aku melanjutkan, "Help her and help your self. Mengerti?"

"Mengerti, Uncle Ran!"

Aku mengepalkan tinju dan mengulurkannya ke depan Banyu yang tersenyum lebar, mengajak tos. Aku tertawa keras, terutama melihat muka keki Nadhira yang merah padam, setidaknya sebelum tiba-tiba ada sendok melayang dan tepat kena kepala. Untung tidak terlalu keras.

"Geez, Nadh! Bahaya nih." Aku manyun sambil mengusap-usap pelipis yang jadi sasaran ngamuk Nadhira.

"Lo kenapa nggak bilang dari kemarin sih kalau nih bocah albino bisa...."

"Aku bukan albino!" Banyu menyentak.

"Diem lo!"

"Nadh!" Aku mengingatkan.

"Lo juga diem!"

Refleks, aku langsung tutup mulut. Banyu juga. Berdua kami diam, mendengarkan Nadhira yang marah-marah karena merasa dikerjai. Yah, secara teknis aku tidak berniat mengerjai ... tapi kapan lagi aku bisa membuatnya sewot begini. Jadi, sepanjang (hampir) sepuluh menit, aku dan Banyu harus duduk manis seperti murid yang ketahuan mencontek, sementara Bu Guru Nadhira memberikan wejangan soal betapa tidak sopannya bicara dengan bahasa alien di depan manusia.

Kurasa, Nadhira lupa kalau dia itu siluman yang sedang menjalani peran sebagai manusia.





***




Selain tidak bisa tidur kalau lampu kamar mati, Nadhira juga sering susah tidur. Itu kenapa dia sering terjaga sampai hampir pagi. Dia berubah jadi makhluk nocturnal sejak kenal clubbing dan sialnya, itu sejak SMA. Yang paling parah, dia pernah tidak tidur selama dua hari berturut-turut tanpa alasan yang jelas. Dia mengaku kalau dia bahkan tidak mengantuk sama sekali. Dan di hari ketiga, dia tidur seperti orang mati dari jam sebelas siang sampai keesokan paginya.

Mendengarnya, aku cuma geleng-geleng kepala.

Nadhira pemakan segala. Dia doyan makan apa saja; sayur, daging, semuanya, tapi paling suka udang. Sayangnya, Nanda alergi udang. Jadi udang hampir tidak pernah ada di menu makan keluarganya. Dulu, waktu mamanya masih hidup, beliau akan memasak khusus untuk Nadhira. Tapi setelah meninggal, dia harus makan di luar ... and she did it, meski dia tahu kalau Papa tidak suka karena dia jadi sering melewatkan makan malam bersama.

Aku cuma bisa tersenyum karena tidak ingin membuatnya merasa dikasihani. Oh, aku tidak kasihan. Aku hanya ... entahlah.

Aku cuma ingat kalau aku, Rara, Mama dan Papa hampir selalu makan sama-sama.

Nadhira suka komedi romantis dan aku hampir melotot mendengarnya. Kupikir dia akan menyebut The Bride of Chucky saat aku tanya film apa yang dia suka. Padahal, aku yakin dia bisa sangat mendalami peran jadi Tiffany, pacar Chucky yang berubah jadi boneka setan. Tapi kemudian aku ingat, Nadhira baru enam tahun saat film itu rilis di pasaran. Bagian ini, aku sedikit kecewa. Ditambah, Mila Kunis terlalu manis untuk jadi aktris yang dia suka.

Dunia ... kadang tidak bisa dimengerti.

Tapi yang paling mengejutkan, justru saat dia bilang kalau dia tidak menangis sama sekali saat mamanya meninggal. Dia ada di sana, di rumah duka, menatap jenazah di dalam peti mati tanpa air mata. Dia bilang dia tidak tahu kenapa. Saat aku tanya bagaimana perasaanya, Nadhira menatapku dengan pandangan tak terbaca dan berkata, "Gue nggak tahu. Gue cuma tahu kalau gue akan baik-baik aja."

Aku tidak akan lupa tatapan Nadhira semalam, seperti aku tidak akan lupa ... bagaimana aku melihatnya dengan cara yang berbeda.

Nadhira ... terlihat seperti manusia.

Aku hampir—hampir saja—menanggapi ceritanya sebagai manusia beradab yang tersentuh dan menyimpulkan itu sebagai kisah menyedihkan, sebelum akhirnya dia cerita soal tendangan mautnya itu dan aku tertawa tentu saja.

Nadhira memang ahli merusak suasana. dan aku sunguhan tidak tahu harus bersyukur atau malah sebaliknya.

Selain itu—ini yang dilakukannya padaku sekarang, Nadhira tahu bagaimana menyita perhatian.

Sepanjang jalan, ditemani album folk Austin Plane, aku tidak bisa membuang Nadhira dari pikiranku. Saat lagu Never Come Back Again terputar, aku bisa melihatnya tertawa, tersenyum, dan menyeringai menyebalkan. Aku bahkan bisa dengan jelas membayangkan alisnya yang melengkung rapi, mata cokelatnya yang selalu hidup, juga bibirnya yang tipis tapi sedikit penuh di bawah.

Aku melihat Nadhira seperti adegan film terpantul di kaca.

Dan aku tersenyum, menatap si tokoh utama yang seolah melempar senyum padaku.





***



Aku menekan klakson mobil keras-keras. Kemana sih perginya security? Harusnya mereka stand by di pos dan membukakan palang pintu untuk masuk ke kompleks. Tapi sekarang tidak ada dan aku benar-benar kesal.

"Malam, Pak Randu. Maaf ya, Pak." Seorang bapak berkumis lebat buru-buru masuk ke pos setelah melihat wajahku dari jendela mobil yang turun setengah.

"Kemana sih, Pak?" tanyaku retoris tanpa bisa menyembunyikan wajah tidak sabar.

Tak ingin memperpanjang lagi, aku langsung menginjak gas begitu barrier gate terbuka. Jujur, aku sedikit tak enak hati pada Pak Sapto karena bicara ketus. Tapi, aku sendiri juga heran kenapa rasanya aku ingin buru-buru sampai di rumah.

Ah, Banyu. Pasti karena Banyu.

Napas berat terembus saat mataku melirik jam yang menunjuk angka delapan. Aku terlambat, sangat-sangat terlambat, padahal sudah janji ke Nadhira kalau akan sampai di rumah sebelum sore. Ini ulah Deva. Gara-gara dia telat datang, kami harus mengejar Pak Willy sampai ke airport untuk menunjukkan demo iklan. Beruntung, beliau mau menunggu. Meski bilang akan mempelajarinya lebih dulu, tapi aku optimis. Wajah puasnya tidak bisa disembunyikan.

Akibatnya, aku terjebak macet sampai jam segini. Nadhira agak kesal waktu aku telepon tadi, tapi sepenuhnya mereka baik-baik saja. Yah, setidaknya aku yakin kalau suara anak kecil yang kudengar di telepon itu real dan bukan rekaman bocah lain. Jadi aku yakin, Nadhira belum kehilangan jiwa kemanusiannya hingga menjadikan Banyu mangsa untuk makan siang. Perempuan itu mengoceh soal imbalan besar yang harus kubayar kalau aku ingin Banyu tetap utuh yang terpaksa kusetujui. Aku agak tersinggung sebetulnya karena nyawa bocah menggemaskan itu ternyata cuma dinilai satu loyang pizza.

"Gue nggak mau tahu, Ndu. Lo harus ngijinin gue bawa Gibson lo ke rumah!"

Sepertinya aku harus setuju. Yah, untuk memastikan Nadhira tidak membakar rumah, memutilasi Banyu dan membuangnya di Kalimalang, atau menggunduli rambut anak itu yang kuduga bisa mengakibatkan depresi berkepanjangan.

"As your wish, Nadh!"

Sampai detik ini, aku masih bisa mendengar tawanya memantul-mantul di kepalaku.

Anehnya, aku ingin mendengarnya lagi.

"Nadh...," aku memanggil setelah melempar kunci mobil  dan meletakkan pizza di atas meja. Rumah tampak sepi. Tidak ada suara Nadhira apalagi Banyu. Televisi mati, dapur sepi, halaman kosong dan aku memanggil lagi.

Nihil.

Tidak ada jawaban.

Tak sabar, aku menaiki satu-persatu anak tangga. Pintu kamar Nadhira tertutup, tapi saat kubuka, ada Banyu tidur di ranjangnya. Bocah itu memakai lagi kostum superman-nya. Tangan kecilnya memeluk guling, membuatku kontan tersenyum menatap wajahnya yang lugu.

"Nadh?" aku masih berusaha, mengira Nadhira ada di kamar mandi. Tapi lagi-lagi tidak ada jawaban.

Setelah mencium kening Banyu, aku pun beringsut, berniat keluar mencari Nadhira yang entah sekarang sedang berperan jadi siapa. Mungkin hollow woman seperti Millard?

Saat aku memutar badan, saat itulah mataku menangkap sesuatu yang tergeletak di atas nakas, di samping tempat tidur. Sejujurnya, tidak ada yang istimewa yang seharusnya membuatku peduli pada selembar kertas broken white dengan huruf emas melingkar-lingkar. Tapi saat menyadari kalau undangan itu robek (hampir) jadi dua bagian, aku sedikit penasaran.

Dahiku terlipat samar, membaca dua nama asing yang belum pernah kudengar sebelumnya. Tadinya, kupikir Banyu yang tidak sengaja merobek. Namun, entah kenapa pikiranku memunculkan hal lain. Apalagi saat aku melihat koyakan—persis di tengah-tengah—yang memisahkan nama Nara dan Elias.





***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top