21: i can't be a good daddy since i can't be a good man

Aseli ... saya lupa ini Kamis😫😫
Pas diingetin udah siang banget dan wus wus kek apaan tahu🤦🏼‍♀️
Mungkin agak gimanaa gitu, jadi saya minta maaf duluan.

Kalau kurang memuaskan, saya terima kritik dan Insya Allah saya benerin 🤗🙏🏻

Thank you

****

"Gretel ran to set her brother free and they made quite sure that the oven door was tightly shut behind the witch...."

Aku berhenti membaca dongeng Hansel and Gretel karena Banyu sudah mulai tertidur. Padahal tadi siang dia sendiri yang minta diijinkan tidur larut. Mungkin energinya terkuras setelah seharian belajar menembakkan bola ke ring (masih belum ahli) dan bermain superhero denganku, juga Nadhira. Setelah hampir setengah jam lari kesana kemari, teriak-teriak kesal karena Nadhira tidak mau pura-pura mati, dia kembali merengek minta camping. Jadi kami berdua (cuma aku dan Banyu karena siluman ular acting pingsan di saat yang tepat) mendirikan tenda di halaman samping.

"Have a nice dream, Buddy!" bisikku sambil mencium keningnya. Aku menatap Banyu Biru sebentar, memperhatikan alis yang lumayan tebal, bulu matanya, hidung bangirnya, pipi putih yang menyemburat merah jambu saat merasa malu, juga bibirnya yang merah. Aku membayangkan, bagaimana seandainya Banyu masih hidup dan melihat puteranya tumbuh dengan sangat baik seperti sekarang. Bajingan itu pasti akan sangat bahagia.

Aku benci mengakui ini, tapi kadang aku merindukan pria sialan itu.

Puas memandangi superman kecil yang menjadikan tanganku sebagai alas tidurnya, aku beringsut. Pelan-pelan menarik tangan dan menggantinya dengan bantal, khawatir membangunkan Banyu yang sepertinya benar-benar kelelahan. Di sampingnya, Nadhira juga tidur. Matanya terpejam. Tidak ada seringai jahil dan menyebalkan seperti biasa. Posisinya yang miring membuat sebagian rambut jatuh menutupi muka. Dengan gaya seperti ini, dia terlihat tenang, damai ... manis.

Lalu aku sadar, aku belum pernah melihatnya begini.

Kami tidak pernah benar-benar tidur bersama. Satu-satunya malam di Bali saat kami berdua di kamar, aku mabuk berat. Pindah ke rumah, kami tidur terpisah. Dan entah kenapa, menyadari semua ini membuat perasaanku tidak nyaman. Aku ingat, Nadhira pernah bilang kalau aku tidak perlu merasa bersalah saat pernikahan kami tidak berjalan seperti yang seharusnya. Kenyataannya, perasaan bersalah itu tumbuh perlahan ... entah sejak kapan.

Mungkin, sejak malam kemarin di Loewy.

Mungkin, sejak Bimala datang dan aku tidak mengakuinya sebagai isteri.

Mungkin, sejak kami berdua mengucap sumpah di altar.

Atau mungkin, sejak malam itu ... saat aku menyetujui usulnya soal perjodohan kami. Dan tanpa sadar, aku memanfaatkan Nadhira untuk mengalihkan perhatian Mama dan menjadikannya pelarian dari Bimala.

Tapi bukankah dia juga sama? Bukankah dia ... shit!

Kenapa aku tidak tahu alasan Nadhira setuju menikah denganku? Benarkah karena suruhan Papanya? Tapi kenapa aku? Kenapa bukan orang lain? Melihat sepak terjangnya, dia bisa memaksa siapa pun untuk jadi suami di depan Papa. Atau, dia memang memanfaatkanku agar akses keuangannya kembali? Benarkah dia sejahat itu? Padaku? Pada orang yang bahkan belum dia kenal?

Dan kenapa pula aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya?

"Hei...."

"Shit, Nadh!" Kutarik napas mendengar Nadhira yang tahu-tahu bangun dan membuatku kaget. Aku merasa seperti anak baru beranjak dewasa yang ketahuan diam-diam melihat model Baywatch di majalah dewasa. Oh, itu pengalaman pribadi. Memangnya cowok puber mana sih yang tidak suka melihat Pamela Anderson pakai bikini?

"Lo kaget gitu," dia bertanya dan sambil terkekeh tentunya. Nadhira mengangkat tangan lalu meregangkan otot-ototnya yang (mungkin) kaku.

Aku diam saja, memperhatikannya mulai celingukan mencari sesuatu. Bibirnya mengembang samar, menemukan sedotan yang dilempar Banyu saat aku memberinya air mineral. Gara-gara Nadhira bilang kalau cuma anak kecil yang minum pakai sedotan, Banyu langsung melemparnya dan minum dari botol sampai bajunya basah karena tidak terbiasa. Aku cuma geleng-geleng sementara Nadhira tertawa puas.

"Cewek itu selalu bisa nemu sesuatu buat ngiket rambut, ya?" aku meledek melihat polah Nadhira.

"Sentuhaan emaaaas ...," jawabnya sambil mendekatkan dua telapak tangannya ke depan mukaku. "Lo, nggak bakal beneran tidur di sini, kan?"

Aku mengamati lagi sekeliling tenda. Gara-gara Banyu ngotot minta camping, kami mampir ke Ace Hardware tadi siang dan membeli yang paling besar. Aku sedikit menyesal, mengingat kami kepayahan dan aku hampir putus asa karena ternyata tidak semudah kelihatannya.

"Nggak terlalu jelek kok! Cuma semalem aja. Lagian aku nggak mau Banyu bangun terus marah-marah karena ngerasa dibohongin."

Nadhira tertawa pelan. Dia menekuk lutut lalu menumpukan dagu di atasnya dan menatapku. "Lo sayang banget ya sama anak ini."

"Siapa yang nggak gemes sama anak kecil, sih?" aku beralasan.

Sejak pertemuan pertama kami (Banyu masih enam bulan saat itu), aku langsung jatuh cinta dengan matanya yang lebar dan menatap langsung padaku. Dia tersenyum, memamerkan gusi merah mudanya. Tangan kecilnya bergerak-gerak, seolah berusaha menyentuh pipiku. Dan saat aku menyelipkan jariku di genggamannya, mengusapnya pelan dan mencium ujung jarinya yang halus ... dia tertawa.

Aku bersumpah, detik itu juga, Banyu mendapatkan hatiku.

Sekarang, saat aku menoleh dan menatap anak itu sekali lagi, aku masih merasakan perasaan yang sama. Tapi kemudian, terselip perasaan lain; berkembang, menjalar di sela-sela dadaku yang mulai terasa sesak: takut.

Ada ketakutan yang menjangkiti pikiran, membayangkan bagaimana kalau suatu saat nanti aku benar-benar jadi seorang ayah? Apakah aku mampu?

Dan di antaranya, sekelebatan senyum Papa terbayang. Membuat ludahku kelat dan napasku makin sesak.

Kuembuskan napas perlahan.

Pikiranku mendadak kosong. Banyu yang tertidur tidak lagi menjadi objek pandang mataku. Semuanya kabur, menyisakan bias yang cuma mengambang di pelupuk.

"Hei! Lo mikir apa?"

Entah cuma perasaanku atau suara Nadhira memang tidak seperti biasanya. Terdengar lembut. Mungkin efek bangun tidur?

Aku mengangkat bahu, mengalihkan pandangan pada perempuan yang sekarang menatapku dalam dengan senyum menggantung di wajahnya yang diimbuhi guratan merah. "Aku cuma mikir ... gimana kalau suatu saat aku punya...."

Kukembangkan senyum sambil menggeleng berkali-kali, mencibir kebodohanku sendiri. "No! Aku nggak mikir apa-apa," aku berbohong. Tentu saja.

"Ndu, di luar semua kebawelan lo ... gue yakin, suatu saat lo bisa jadi ayah yang hebat."

Demi harga diri, aku bersumpah kalau aku sungguh-sungguh bersusah payah untuk tidak menunjukkan betapa kata-kata Nadhira membuatku terharu. Harusnya aku merasa senang, bangga dengan pujiannya dan atas nama kesopanan, sudah sepantasnya aku bilang terima kasih. Tapi, semuanya tercekat di tenggorokan. Menyiksaku seperti duri ikan saat menyadari kalau aku sama sekali tidak pantas.

Jadi, aku cuma melempar senyum satire yang membuat Nadhira mengangkat sebelah alis. Dalam hati merasa miris, mendengar sindiran yang berbisik lirih: bagaimana aku bisa jadi ayah yang baik, saat aku bahkan tidak tahu bagaimana menjadi suami yang baik.

"Ah, gue tahu!"

Setelah lumayan lama terjebak diam, Nadhira tiba-tiba merangkak keluar dan pergi begitu saja. Aku yang sedikit tersentak cuma bisa melongo dengan kening berkerut melihat kaki telanjangnya berlari-lari kecil di atas rumput dan menghilang ke dalam rumah. Aku tidak tahu apa yang direncanakan otak hiperaktifnya. Jadi aku menunggu sambil berdoa dia tidak melakukan keajaiban-keajaiban lain yang bisa membuat jantungku mendadak berhenti.

"Camping itu nggak komplit kalau nggak pake ini tahu."

Tanpa bisa berkomentar banyak, aku cuma tertawa pelan melihat Nadhira kembali dari dalam rumah dengan tiga botol bir dan gitar tersampir di pundaknya. Sial. Kuharap dia tidak serius mengajakku minum-minum mengingat (menurutnya) aku bisa berubah jadi rewel seperti ibu-ibu tetangga sebelah dikali lima lalu dijadikan satu.

"Bir? No!" aku menolak saat dia menyodorkan satu botol ke depan mukaku. Tapi akhirnya kuterima juga karena matanya melotot. Bukan apa-apa. Aku takut otot matanya putus kalau terlalu tegang begitu. Lagi pula, itu tidak membuatnya terlihat manis sama sekali.

Hold on there!

Manis?

Sejak kapan?

"Kamu sendiri kan yang bilang aku rewel kalau lagi mabok. Ini malah disuruh minum," keluhku yang malah ditertawakan Nadhira yang sedang menggulung pintu tenda. Setelahnya, aku ikut keluar, duduk di sampingnya yang sudah lebih dulu duduk bersila. Ujung rumput yang mulai tinggi terasa menusuk kulit karena aku cuma pakai celana cargo pendek.

"Sebotol doang masa iya sih mabok. Payah lo, ah!"

Aku tersenyum. Nadhira mulai membuka tutup botol dengan gigi, dan saat aku mencoba melakukan hal yang sama.... Boro-boro terbuka, gigiku malah linu. Setelah—lagi-lagi—menertawakanku, Nadhira mengambil alih dan voila ... bir bisa langsung dinikmati. Wanita ini benar-benar multifungsi.

"Menurut gue, lo tuh harusnya jadi guru TK. Jarang-jarang kan tuh ada guru TK cowok. Lo bisa menghayati peran gitu loh."

Aku yang baru menenggak bir, itu juga pelan-pelan, menengok ke arah Nadhira. Memangnya dia tidak kedinginan ya kalau cuma pakai tank top seperti itu? Belum lagi paha yang terekspos karena celananya amat sangat luar biasa pendek.

Shit! Aku menenggak bir lagi.

"Oh, atau buka daycare aja," ledeknya. "Boljug tuh. Lumayanlah kalau itungannya per jam. Apalagi anak-anak bule, lo kasih deh tarif mahal. Tinggal bacain buku udah anteng. Lo bakat kayaknya jadi tukang cerita."

Aku terkekeh. "Kamu mau aku bacain dongeng juga?"

"Dongeng? Banget?"

"Sleeping beauty?"

"Pangeran kodok."

Aku tertawa. "Kenapa? Karena kamu percaya kalau satu ciuman bisa merubah nasib?"

Nadhira menyenggolkan bahunya padaku sambil tertawa juga. "Ciuman gue bikin kita merit. Dan kalau lo nganggep itu ngerubah nasib lo, ya berarti bener, kan?"

Aku sebetulnya mau tertawa juga, tapi entah kenapa malah diam. Pikiranku kembali ke malam itu, saat Nadhira tiba-tiba menciumku di bar. Kami bahkan jadi tontonan bartender, juga beberapa orang yang pasti mengelus dada (mungkin). Dan setelahnya, semua memang berubah.

Hidupku berubah.

Kutelan ludah.

"Coba ada api unggun  sama kembang api. Namanya apa sih kalau yang acara ngumpul gitu...."

"Bonfire party?"

"Ah, iya itu! Kan seru."

Aku menenggak bir lagi. Suasana mendadak lengang. Deru kendaraan di jalanan kompleks terdengar samar. Seperti meledek karena situasi canggung yang mendadak.

"Gue pernah beberapa kali ikut temen-temen camping...."

Aku pasang kuping. Mendengarkan Nadhira yang mulai cerita.

"Paling seneng tuh waktu di Bromo sama Dieng. Langitnya gila. Keren parah bintangnya. Di Jakarta boro-boro bisa liat kayak gituan."

Nadhira ... apa yang belum pernah dilakukannya?

"Asap mulu yang ada," imbuhnya lagi membuatku tertawa.

"Dan asap rokok kamu ikutan nyumbang, Nadh."

Nadhira melirikku sekilas lalu ikutan tertawa. "Iya ya. Abis gimana dong? Suka sepet mulut gue tuh." Ada jeda sebentar lalu dia melanjutkan, "Tapi serius, gue pengin ke sana lagi. Sekalian manfaatin kamera sama lensa baru."

"Nadh...?"

Nadhira menoleh. Mata cokelatnya langsung tertuju ke kegelapan mataku. Tidak cukup tajam untuk membuatku gugup, tapi juga tidak terlalu sendu untuk menyentuh kedalaman hatiku. Hanya saja ... ada sesuatu yang familier. Sesuatu yang rasanya pernah kulihat sebelumnya.

Tapi di mana?

"Ya...."

Sesungguhnya, aku tidak mendengar suaranya dengan jelas. Mungkin terlalu pelan, atau mungkin telingaku yang mati rasa karena hawa malam yang lumayan dingin. Tapi, aku bisa membaca gerakan bibirnya. Pelan, seperti ada tombol slow motion yang ditekan.

"Ehm,"—kutelan ludah—"kita lagi di Bromo, kan?"

Di depanku, Nadhira mengangkat alis tinggi-tinggi. Dia terlihat ingin tertawa tapi dibatalkan dan diganti dengusan pelan. "Lo sinting ya?"

"Oh, itu Orion." Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi, menunjuk ke langit. "Atau scorpio?" Aku menoleh lagi. Ada senyum yang mati-matian kutahan melihat Nadhira mulai tertawa. She's on the game now.

"Wah, bintangnya banyak," teriaknya berlebihan.

Tak mau kalah, dia mulai heboh mengabsen nama-nama bintang yang dikenalnya. Kami sedikit berdebat soal Andromeda yang ada di belahan langit utara. Dia ngotot kalau posisinya di selatan dan cuma nyengir lebar saat aku menyodorkan laman Wikipedia ke depan mukanya.

"Ya udah sih, gitu aja repot," begitu katanya. Sialan memang anak ini.

Untuk membayar rasa bersalah karena saat berdebat tangannya kurang ajar menoyor kepalaku, Nadhira menceritakan kisah romantis tentang Orpheus, putera Dewa Apollo yang ahli bermain harpa jatuh cinta pada Eurydice. Semacam kisah kolosal tentang cinta pada pandangan pertama yang membuatku mengerutkan jidat. Sepertinya aku bisa mengerti perasaan Orpheus. Cinta pertama, sialnya pada pandangan pertama, memang seringkali kurang ajar. Apalagi saat kita tidak berhasil mendapatkannya.

"... begitu Eurydice mati, Orpheus jadi kayak orang linglung. Lalu Persephone bilang, kalau dia bisa mainin harpanya, bikin musik yang keren supaya penguasa dunia bawah mau menghidupkan Eurydice lagi...."

Kurasa, sudah seharusnya ini jadi kisah sedih. Maksudku, seorang suami yang putus asa atas meninggalnya isteri yang sangat dicintai karena racun ular berbisa dan berusaha keras agar para dewa mau memberikannya kesempatan sekali lagi ... bukankah itu sesuatu yang menyentuh?

Tapi cara Nadhira bercerita malah membuatku geli sendiri.

Jadi, aku beringsut pelan, mengambil gitar dan mulai memetik senarnya perlahan. Nadhira menoleh, melempar senyum dan aku meringis.

"Anggep aja aku tuh Orpheus yang lagi main harpa," aku berbisik pelan dan Nadhira melanjutkan ceritanya.

"... dan saking mereka tersentuh sama musiknya Orpheus, Raja sama Ratu dunia bawah tuh sampai ngasih kesempatan sama mereka. Gila...."

Ditambah irama asal yang kumainkan, cerita Nadhira makin terdengar gila.

"The power of music. Keren nggak tuh?"

Aku men-sliding senar gitar sekali dan selesai. Semoga seluruh dunia berbahagia dengan mitos sedih yang kini makin terdengar menyedihkan karena gaya Nadhira yang luar biasa ... menyedihkan.

Aku benar-benar terharu.

"Gue jadi inget La La Land," katanya lagi.

Oh, aku tahu film itu. Film musical pemenang Oscar yang digilai para wanita. Selain sinematografi dan musik yang memang keren, aku tidak punya alasan lain. Anak-anak di kantor heboh gara-gara tokoh prianya yang manis. Nindy berulang tahun dan sudah jadi tradisi untuk merayakannya bersama. Dia menraktir anak-anak nonton dan aku diseret juga. Aku hampir saja tidur di bioskop sampai irama jazz membuat mataku sontak melebar.

"Kamu nonton?" aku bertanya dan Nadhira mengangguk.

"Lo juga?"

Ganti aku yang mengangguk. "Ditarik-tarik Deva yang nggak mau banget jadi gender minoritas tapi juga nggak mau rugi nonton sama makan gratis."

"Dan lo suka?"

Aku mengangkat bahu. "Cerita? Not really. Tanpa sad ending, itu terlalu klise. Tapi applause buat musiknya. It was...,"—aku mengangkat tangan sebatas dada, mencoba mendramatisir—"... no words can say but ... keren. Apa yah.... Jazz, Nadh, jazz.... Ini tuh kayak perfect escape sewaktu jaman tuh serba edm, hiphop...."

"Berkelas!"

"Yes! Banget!"

"Mewah?"

"Absolutely."

"Keren ya."

Kami bertatapan dan saling melempar senyum. "Yeah. Keren. Aku suka."

Tak ingin suasana jadi kikuk karena Nadhira masih menatap mataku, aku buru-buru membuang pandangan dan fokus menatap senar yang memanjang dari headstock sampai ke bridge. Aku bersumpah, aku bisa melihat not-not bertebaran, seolah menggodaku untuk memainkan sesuatu.

And ... I thought I've got something.

Aku menjauhkan handphone saat Nadhira berusaha mengintip, penasaran dengan apa yang sedang kucari di google. Dia baru mundur lagi setelah aku menatapnya galak. Setelahnya, aku memejamkan mata sebentar, berusaha mengingat-ingat alunan musik yang samar-samar. Dahiku berkerut, berusaha menegaskan nada yang mulai jelas. Entah sadar entah tidak, jariku mengetuk body pelan, mencari birama yang tepat.

Mata Nadhira yang tenggelam di gelapnya malam yang makin larut, menyipit saat melihatku menahan senyum. Aku ingin lihat, bagaimana ekspresinya mendengar sesuatu yang akan kumainkan.

"City of stars...."

Aku tidak berniat menyanyi, toh suaraku payah dan aku tidak hapal lirik. Tapi, satu kalimat—dan petikan gitar tentu saja—sudah cukup membuat Nadhira melotot. Oh, aku yakin bola matanya bisa melompat keluar kalau begitu. Dan aku cuma tersenyum melihatnya mengacungkan jari tengah sambil berkata pelan, "Fuck you!"

Itu cara yang aneh untuk bilang terima kasih sebetulnya.

"City of stars, are you shinning just for me...."

"Gue masih nggak habis pikir kenapa lo nggak main lagi," ocehnya begitu aku selesai memainkan lagu. Dia kembali menekuk lutut, menariknya kuat-kuat hingga menekan dada. Dia juga memiringkan kepala lalu menumpukannya di atas lengan sambil menatapku. "Kok bisa ya ada orang yang punya bakat tapi nggak dimanfaatin? Lo nggak bersyukur tahu."

Kukembangkan senyum tipis. "Nggak gitulah, Nadh. Kan aku udah bilang kalau ... kalau ... nggak kepikiran lagi. Ya gitu aja sih."

"Ajarin dong."

"Di google kan ada chord sama tab-nya. Barusan aku liat."

Nadhira menggigit bibir bawah. "Ehm, sebenernya ... gue nggak bisa baca tab!"

Aku akui, pengakuan Nadhira barusan membuatku lumayan kaget. Dia suka main gitar, dia bisa main dengan baik, strumming-nya lumayan dan ... dia tidak bisa baca tabulasi? Jadi selama ini dia menirukan lagu cuma menggunakan ... feeling?

What the heck is going on?

Seorang gitaris atau siapa pun yang suka main gitar, tahu pentingnya tabulasi. Seringkali mereka kesulitan mendapat melodi yang pas cuma dengan mendengarkan lagu. Kadang mereka juga tidak bisa menemukan senar yang harus dipakai hingga terdengar fals karena salah nada. Bahkan meski tempo dan nada sesuai pun, kalau tehnik yang dipakai tidak sama, hasilnya juga beda. Untuk itulah, mereka menggunakan tab dan di saat yang sama, mendengarkan lagu yang akan dimainkan.

Dan, sekali lagi ... Nadhira tidak bisa membaca tab?

Aku tidak tahu kata yang pas untuk menggambarkannya.

Sialnya, aku cuma bilang, "Kok bisa ngikutin?"

Nadhira tampak memutar bola mata. "Lo tadi cuma baca tab nggak pake dengerin dulu juga bisa. Apa namanya kalau bukan hebat? Yang kayak gitu masih bilang nggak punya bakat?"

Mendengarnya, aku cuma menggaruk-garuk kepala seperti orang bodoh. Ini benar-benar perdebatan konyol yang sungguh tidak perlu. Tapi, entah kenapa aku merasa nyaman. Nadhira yang banyak bicara, Nadhira yang tidak mau kalah ... membuat perasaanku menghangat, membuatku kebal pada angin malam yang sesekali menyentuh kulit.

"Jadi... selain nggak bisa baca tab, apalagi yang kamu nggak bisa, Nadh?" Aku memeluk gitar, menempelkan dagu di pinggiran body dan menatap Nadhira yang mengulas senyum manis.

"Gue nggak bisa masak?"

Aku terkekeh. "Okay! Apalagi?"

"Ehm, gue nggak bisa tidur kalau lampu mati."

Oh, aku baru tahu soal ini.

"Gue ... kok lo jadi kepo, sih?"

Aku tertawa lantang. "Emang kenapa, Nadh?"

"Nggak apa-apa juga sih. Lagian kenapa juga deh nanya-nanya?"

Benar juga. Kenapa aku tanya? Memangnya, apa pentingnya buatku?

Tapi, saat mata kami lagi-lagi bertemu, mencoba mengintip ke dalam pikiran yang selama ini sibuk dengan kehidupan masing-masing, aku tahu kalau saat ini ... aku benar-benar mau tahu.

Aku mau tahu ... apa yang tidak bisa dia lakukan.

Aku mungkin juga mau tahu ... apa yang dia suka dan tidak suka.

Aku mungkin saja mau tahu ... apa yang ada di pikiran Nadhira sekarang.

Aku sepertinya mulai ingin tahu ... apa yang Nadhira pikirkan tentangku.

Dan aku mau tahu ... siapa sebenarnya perempuan yang kini duduk di depanku.

Aku benar-benar ingin tahu.

"Aku ...,"—kutarik napas, perlahan-lahan—"pengin tahu soal kamu, Nadh. I really do!"



*****





Who loves La la land? I love la la land. Alasannya? Sama kayak Randu.

Kepo karena banyak yang ngomongin sedangkan saya nggak terlalu antusias sama film musikal (tapi saya suka Sound of Music ding). Di menit-menit awal saya agak boring. Tapi pas Bas main piano, nggak jadi nyerah. Suka banget lagu-lagunya, terutama yang di atas.

Itu yang cover namanya Elijah Park kalau mau kepoin. Saya nemu pas lagi iseng dan langsung masuk list. Kalau yang ada liriknya, saya masih suka versi original. Tapi rekomen juga versinya John Cozart ft Dodie. Banyak yang suaranya lebih bagus, tapi gak tahu kenapa suka sama itu. Mungkin karena lebih simple, nggak kebanyakan atribut. Just like the original one.

Kalau ada yang mau rekomen lagu ke saya, saya terima dengan senang hati😘 Kemarin ada yang kasih rekomen Joao Gilberto dan pas saya kepoin, saya sampe tidur dengerinnya. Saking enaknya maksudnya...

Anyway, see you next chap. And sorry (again) for the mess i've made.

😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top