2: because she said so
"One two three four five, once I caught a fish alive. Six seven eight nine ten, then I let it go again."
"Why did you let it go?"
"Cause it bit my finger so."
"Which finger did it bite?"
"This little finger on my right"
Aku tidak bisa menahan tawa saat pria kecil dengan wajah menggemaskan yang tampil di layar laptop itu mengakhiri lagu sambil memamerkan kelingking kecilnya. Pipinya yang gembil menyemburat merah, mata hitamnya menyala lebar, sementara tangannya bolak balik menyingkap rambut kribonya yang bandel.
"You did a great job, Big Man!" pujiku membuatnya semakin girang.
"I could sing another song."
Bocah itu menjawab bangga, membusungkan dada sambil menggigit bibir hingga dua gigi kecil mengintip di rautnya yang semringah. Aku ingat enam bulan lalu saat mengunjunginya di Virginia. Saat itu dia tergila-gila dengan burung—katanya sih masih sampai sekarang—dan tidak berhenti mengoceh sepanjang petualangan kami di Zoological Park. Ah, rasanya baru kemarin dan aku sudah rindu mengangkat tubuh mungilnya di atas pundakku.
"Uh-huh? Show me!" perintahku seraya melipat tangan di dada.
"I can sing mommy's song too."
"What song?"
"You give me some—"
"Hey! You shouldn't sing that song! Not suit for a big man like you," potongku cepat saat menyadari lagu apa yang sedang dia nyanyikan. Pasti dia menirukan mommy-nya yang dari dulu memang menyukai lagu itu. James Morrison never dies!
"But Mommy loves it," sanggah bocah empat tahun itu lagi.
"Really? And ... do you know what else she might loves?"
Dia mengangguk antusias, merasa puas karena punya jawaban untuk semua pertanyaan yang kuberikan. Sepertinya, itu membuatnya merasa hebat.
"I do! Mommy loves me, and ... Daddy. Sometimes, I hear she said that she loves Dad—"
"Banyu! It's Barney's breakfast time, okay? You promised me!
Banyu, pria kecil yang suka bernyayi berlalu pergi setelah mengucapkan "bye" pelan. Sirat kecewa terlihat jelas, disempurnakan dengan mulutnya yang merengut lucu dan membuat tawaku kembali meledak. Rengekannya untuk mengobrol sebentar lagi cuma dibalas dengan pelototan dan gelengan tegas.
"Who's Barney?" tanyaku pada sosok perempuan yang kini menggantikan wajah Banyu di layar. Bibirnya yang cuma dipoles pelembab menyunggingkan senyum, lengkap dengan lesung di pipi kiri yang membuat hatiku kembali tercuri. Tangannya bergerak, mengikat rambut ikal cokelat miliknya asal hingga anak-anaknya sembarangan keluar, melambai dan menarikku dalam pikat yang—masih—begitu kuat.
Kuhela napas pelan, tak ingin menampakkan kecewa yang—diam-diam—kusembunyikan di dada.
"Dia yang ngubungin kamu duluan tadi?" Bibir yang selalu mencuri perhatian itu bergerak, memuntahkan kata yang mengobati sedikit rindu meski cuma lewat pengeras suara.
"Yep!" Kuangguk-anggukkan kepala.
"He misses you a lot. Dari kemarin dia ngerengek mulu mau telepon kamu, mau pamerin Barney ke kamu."
"Barney? I heard that name twice dan aku masih nggak paham, makhluk apa Barney ini. Apa dia semacam kadal ungu?"
Konon, mata perempuan itu tempat berkumpulnya anasir yang berpotensi menyihir para masokis berhati lemah pendamba drama percintaan. Entah siapa yang membisikkan kalimat nista itu di telingaku, karena sumpah demi kelahiranku yang katanya sudah ditunggu-tunggu keluarga besar, aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, mata cokelat di sana, yang terpisah ribuan mil di belahan dunia sana, berhasil membuat hatiku terasa penuh, hingga tak ada tempat untuk perempuan lain, bahkan diriku sendiri. Terutama, saat dia tertawa seperti sekarang ini.
"Oh, shit! Kalau dia dengar kamu ngatain Barney kadal, bisa bisa dia nggak mau ngomong sama kamu sebulan."
Aku tertawa lagi, membayangkan wajah imut Banyu yang memberengut. Aku ingat, dua bulan lalu bocah itu cerita tentang teman yang katanya baru pindah dari Manhattan. Seorang gadis kecil berkulit cokelat, bermata hijau tua. Siapa namanya? Cass? Chez? Sial! Usia sugguhan memakan ingatan ternyata. Pokoknya, gadis kecil yang badannya jauh lebih besar dari Banyu itu sering sekali menggangunya saat bermain di taman dan itu membuatnya kesal. Sewaktu dia bercerita, aku hampir kelepasan karena tak tahan melihat ekspresinya. Oh, wajahnya itu selalu sok serius tiap kali cerita. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan karisma semacam itu. Mungkin dari kakeknya yang pengusaha kelas kakap, entahlah. Dan sekarang, lagi-lagi aku tertawa saat Bimala cerita bagaimana dia merengek minta dibelikan seekor iguana—you heard me—untuk dipelihara.
"Kamu bayangin dong, Ndu. Tahu kan aku geli sama binatang-binatang model gitu. Dia minta anjing aku masih oke, lah ini? Kadal? Gelik tahu nggak sih lihat mukanya yang kayak monster."
"Iguana lebih tepatnya."
"Kadal!"
"No, Bi! Itu Iguana. Mereka punya semacam spike di pung—"
"I don't fucking care. Kelihatan sama di mataku. Ah, anyway ... I gotta go."
Refleks, kuklirik penanda waktu di kanan bawah. Jam delapan malam yang artinya jam delapan pagi di sana dan itu saatnya dia harus kerja.
"Bi!" panggilku sebelum dia benar-benar mematikan sambungan face time.
"Ya?" Matanya melebar, menampakkan bias kecoklatan dahsyat yang menyeretku seperti ombak menghempaskan kapal pencari ikan. Mengombang-ambingkan perasaanku sebelum akhirnya karam. Aku bisa tenggelam di sana dan ... aku rela.
"Um, nothing. I just ... miss you!"
Di sana, di layar selebar tiga belas inchi, seraut wajah yang telah mengisi hatiku sejak kami masih berseragam putih abu tersenyum manis. Ada pemakluman, juga terenyuh yang sungguh tak ingin kuterima. Bimala tahu apa yang kuinginkan, sementara aku tahu apa yang tak boleh kuharapkan.
"I miss you too."
Dan satu kalimat itu, yang akhirnya menjebakku dalam perangkap siksa batin yang kupelihara sendiri, beranak pinak lalu meyebar lewat darah, mengantarkanku pada ketenangan gulita yang kupinjam sejenak dari langit malam.
Sebentar saja, biarkan kunikmati ilusi ini. Bermain-main dalam sandiwara di mana akulah sang pemenang yang berhasil mendapatkan hatinya. Karena cuma saat malam, aku tak perlu dihadapkan pada kenyataan, kalau aku tak akan pernah jadi siapa-siapa.
*****
"Ini pemaksaan namanya, Ma! Randu nggak mau!"
"Mama nggak minta pendapat kamu, Randu. Mama udah bilang, kan, kalau kamu masih ngeyel juga, Mama yang cariin isteri buat kamu!"
"Ma...." Aku mendesah frustrasi. Bagaimana tidak? Mama ternyata serius soal urusan nikah-nikahan ini. Aku sampai pusing menghadapi Mama yang pemaksa.
Sebetulnya, aku sudah punya feeling kalau untuk inilah Mama menyuruhku datang ke rumah. Tadi aku sudah membawa-bawa urusan kerjaan sebagai bentuk penolakan, tapi dasar Mama, dia kembali mengungkit soal usia yang kapan saja bisa diputus Sang Pencipta. Dan jadilah aku yang tolol ini tampak makin tolol terjebak jaring manipulasinya.
Parahnya, Mama bukan cuma mendoktrin urusan nikah, tapi juga memaksaku bertemu dengan anak temannya semasa kuliah. Siapa namanya tadi? Wicaksono? Wibisono?
"Kamu temui dulu, Randu. Kamu dulu pernah ketemu kok kalau kamu lagi nganterin Mama arisan sama almarhum tante Wied. Sekarang cantik loh, Ndu. Mama udah lihat fotonya."
Kubanting tubuh ke sofa. Tanganku yang bebas sempat meraih remote dan memainkan channel sembarangan. Ada wajah salah satu angel Victoria Secret melintas, lalu berganti soft drink, lalu mobil—entah apa, lalu ... hei aku tahu karakter kartun itu. Ehm, kalau tidak salah judulnya Jake and The Pirate?
Beberapa bulan lalu Banyu memamerkan vest baru, boot hitam, kemeja putih, dan mengikat jidatnya dengan kain merah, persis seperti Jake. Saat itu dia bilang mau mencari harta karun dan mengalahkan Kapten Hook sambil mengacung-acungkan pedang kayu.
"Randu!"
Sialan!
"Mama lagi ngomong, kamu malah nonton kartun. Gimana, sih?"
Tak peduli omelan Mama yang sekarang dilampiaskan dengan cubitan di lengan, aku malah tertawa melihat Kapten Hook dikejar piranha.
"Ndu, kamu sayang Mama, kan?"
Sialan lagi! Sumpah demi Tuhan aku tidak pernah suka adegan seperti ini. Aku memang pria dewasa; angka 34 juga cuma tinggal hitungan bulan. Tapi, sampai sekarang aku selalu luluh kalau Mama sudah mengeluarkan jurus pamungkasnya seperti ini. Memangnya siapa yang tega kalau perempuan yang sudah melahirkan kita bicara melas dengan sorot sayu dan sentuhan di punggung tangan yang hangatnya terasa sampai ke ulu hati?
Aku sedikit berlebihan, tapi inilah faktanya. Sekalipun aku terganggu dengan racauan Mama, sekalipun kata 'ya' tidak akan menjadi jawaban dari semua ocehan Mama, tetap saja beliau akan selalu jadi orang yang kebahagiaannya kuprioritaskan.
"Ma ... Randu bahkan nggak kenal, Ma. Gimana Randu bisa nikah sama dia?"
Kumatikan tivi, melenyapkan Jake yang kini berganti dengan wajah Mama yang mengiba. "Mama nggak minta kamu langsung nikah, Randu. Kamu temui dia dulu."
Aku diam, mencerna kata-kata Mama yang sungguh tak ingin kudengar.
"Kamu kepala keluarga gantiin Papa, Randu. Kalau kamu kayak gini gini aja, kamu nggak kasihan sama Mama? Siapa yang urusin Mama nanti kalau udah tua?"
Kupejamkan mata, memikirkan betapa ambigunya kata 'nanti'. Aku pernah terjebak, sekali dan hingga kini, pada harapan kosong yang dibawa-bawa kata nanti. Percaya bahwa nanti akan menawarkan gambar besar tentang rumah merah muda yang selalu kusebut dalam doa. Percaya bahwa nanti, dengan helaan napas lega, rona muka bahagia dan senyum merekah, aku bisa menulisi judul dalam satu lembar hidupku dengan kata cinta. Tapi, kemudian aku tahu kalau 'nanti' tak pernah memiliki tolak ukur yang pasti, atau mungkin ... tidak sama sekali.
"Rara kan perempuan, Ndu. Kalau perempuan itu ikut keluarga suami. Tapi kalau kamu itu beda."
Kutelan ludah yang kian kelat. Sekarang Mama bawa-bawa adik semata wayangku yang tinggal di Jogja, mengikuti suaminya yang dokter saraf.
"Bayangin kalau Mama mati besok. Kamu nggak kasihan apa? Nggak nyesel kamu?"
Bagaimana kalau aku saja yang mati?
"Mama belum sempat lihat kamu nikah, belum sempat gendong cucu dari kamu. Mama belum—"
"Ma!"
Aku tidak bermaksud membentak. Demi Tuhan, aku tidak berani. Aku juga tidak tahu setan mana yang masuk dan membuatku lepas kendali begini. Sumpah aku menyesal, terutama saat Mama tersentak dan refleks memegangi dadanya.
"Ma, maaf, Ma. Randu nggak bermaksud bentak Mama. Tadi Randu kelepasan, Ma!"
Di depanku, perempuan yang masih tampak ayu itu cuma menatap nanar saat aku bangun dan berlutut menyampaikan ampun. Ada merah samar terarsir di mata cokelatnya yang mencelang. Dan aku yakin, bukan cuma cengang yang sedang dirasakan, tapi mungkin juga sekelumit lara karena disentak.
Aku ingat, dulu pernah melakukan hal serupa. Suatu hari saat masih di bangku SMA, aku pulang dengan seragam kotor ampun-ampunan. Mama langsung histeris apalagi melihat sudut bibirku yang berdarah, juga pipi kanan lebam. Lalu ... keluarlah segala wejangan mulai dari nilai rapor yang turun, kecanduan basket, punya teman yang hobi tawuran, sampai ... ah, aku sampai lupa apalagi nasihat berkedok omelan yang mirip rentetan senapan mesin. Saking lelahnya, aku kelepasan dan tidak sengaja membentak Mama. Sebetulnya, itu tidak bisa disebut bentakan, tapi ... nadaku memang lebih tinggi dari yang seharusnya. Detik itu juga, air mata Mama tumpah dramatis, sampai Papa mencabut uang jajanku seminggu sebagai hukuman.
Malamnya, Papa menemuiku di kamar. Kami bicara panjang lebar dan aku bahkan ingat beliau bilang kalau perempuan menangis karena mereka peduli; mereka menangis karena mereka sayang, dan perasaan mereka lembut karena menampung cinta yang besar, yang mungkin tidak akan pernah sanggup dipikul kaum pria. Dan itu malam terakhir sebelum Papa meninggalkan kami semua karena hipertensi emergency yang menyebabkan beliau jatuh di kamar mandi.
Saat itu, aku tidak paham. Tapi, setelah setahun berlalu, setelah seorang perempuan datang dan menyentuh hatiku, merumahkan dirinya sendiri bahkan tanpa sempat kusadari ... aku diam-diam berjanji dalam hati, tidak akan pernah menyakiti perasaan perempuan yang kusayangi.
[...]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top