19: How to be a moron

Happy holiday 🎉🎉

Di atas guitar cover Malibu-nya Miley cyrus. Saya naksir banget. Kalau mau yang full, sejauh ini paling enak (imo) punya Boyce Avenue.

*****

           

Anak itu duduk di sana, di bangku, di bawah pohon ketapang. Rambut panjangnya ditiup angin dan sepanjang aku perhatikan sejak tadi, dia terus menunduk. Mungkin gelisah menunggu orang tuanya? Tapi, saat kulihat seorang pria berjas putih menghampirinya sebentar dan meninggalkannya lagi, aku tahu—entah bagaimana—dia tidak menunggu siapa pun.

Dia hanya duduk di sana....

Kurasa ... dia suka ada di sana.


****

"Mas! Mas!"

"Eh, ya?" Aku tergagap. Sepertinya aku melamun, karena sepanjang yang bisa kuingat, tadi aku sendirian di ruangan. "Kenapa?"

"Kenapa-kenapa. Mata lo baca tapi otak lo nggak tahu ke mana, Mas. Gue panggil-panggil lo kagak nyaut," sahut Deva sambil cengengesan.

Melihatnya, aku refleks melirik akta notaris yang sedang kupelajari—tadi.

"Nih proposal! Final buat besok." Deva menepuk-nepuk map merah di mejaku sambil melotot. Mulutnya komat-kamit seperti ikan koi kehabisan napas. "Cek dulu, lo kan paling ribet. Typo satu biji aja rewelnya kayak nggak dikasih jatah seminggu."

Aku terkekeh, lalu mengibas-kibaskan tangan untuk mengusir pria 28 tahun itu. "Ntar gue baca."

Tapi aku masih belum minat membaca. Bahkan dokumen yang sekarang ada di pangkuanku pun masih ada di lembar yang sama; halaman dengan namaku dan Banyu Adibhrata sebagai pendiri perusahaan. Sudah sejak lama aku ingin menghapus nama Banyu dan menggantinya dengan Bimala, tapi dia tidak pernah setuju. Aku bisa mengerti. Sayangnya, aku merasa seperti punya beban. Jadi, mumpung dia ada di Jakarta, kurasa aku akan mencoba lagi. Sedikit memaksa kali ini karena Bimala harus tahu kalau keputusannya punya tanggal kadaluwarsa.

Sewaktu mengambil handphone untuk menelepon Bimala, aku baru tahu kalau ada beberapa chat yang masuk. Wajah Nadhira memakai kacamata hitam tentu saja paling menarik perhatian. Dan kenapa aku baru sadar kalau kami jarang mengobrol di whatasapp atau telepon?

Bulan lalu, kalau Nadhira melakukan hal seperti sekarang, aku pasti langsung ngomel. Dia baru saja mengirim gambar lensa canon komplit dengan pesan "transaksi pertama". Aku tidak terlalu paham soal kamera tapi aku tahu harganya pasti di atas sepuluh juta.

Sekarang, aku cuma bisa menarik napas dalam-dalam, membayangkan David Garrett menggesek biola memainkan Air Overture no.3 milik Bach. Lumayan untuk menekan emosi yang kadang-kadang susah dikendalikan.

Jadi setelah mengembuskan napas kuat-kuat, aku membalas pesannya: Nice pic!

Tidak sampai semenit pesan berikutnya masuk: Tadinya mau ambil EF24-105 tapi mahal, jadi gue ambil yang ini. Lumayan lo bisa ngirit empat jutaan.

She said ... what? Kupijat pelipis untuk mengurangi pening, sementara tangan kiriku mengetik balasan selanjutnya: itu ... keputusan yang sangat bijak.

Setelah menunggu lumayan lama dan tidak ada chat lagi yang masuk, aku memutuskan untuk memeriksa proposal untuk meeting besok. Banyak yang berubah dari draft bulan lalu. Ada rombak besar-besaran di konsep yang akhirnya terealisasi berkat bantuan Nadhira.

Omong-omong soal anak itu ... dia menelepon sekarang.

"Lo nggak lagi minum obat sesak napas, kan?" Aku bisa membayangkan ekspresi nakalnya yang menahan tawa dan tentu saja, komplit dengan alis yang naik turun.

Aku berdeham pelan sok berwibawa, "Aku terima cicilan, kok. Tapi bunga dihitung."

"Gober! Gue curiga otak lo bikinnya pake koinan yang dilebur terus dicetak dan disumpelin ke kepala."

Aku tertawa, "Kamu harusnya dapet gelar master of nyinyir, Nadh."

"Belum bisa ngalahin lo yang rewelnya mirip ibu-ibu sebelah rumah dikali lima terus dijadiin satu."

Keningku mengerut mendengarnya. Apa aku separah itu? Otakku yang selama ini cuma menampung kosakata manusia berusaha keras untuk paham sampai di batas mana kadar kerewelanku menurut mutan macam Nadhira, tapi yang kudapat cuma, "Kamu kenal ibu-ibu sebelah?" Dan tentu saja itu membuat Nadhira terbahak-bahak.

"Ketemu di abang-abang tukang sayur yang keliling. Dia lagi nawar apaan tau dan sumpah itu merepet banget kayak petasan orang betawi kalau kawinan. Tapi tenang, lo kalau ngomel masih juara kok."

Sialan! "Atau kayak kamu sekarang."

"Oh, gue lagi seneng," kilahnya cepat.

"Oh, ya? Karena udah beli lensa?"

"Iyalah, apalagi. Eh, tapi kok lo mendadak jadi suka beramal gini, sih?"

Kuharap dia tidak serius dengan pertanyaan barusan. "Kan aku bilang, aku terima cicilan. Nanti aku tinggal kurangi jatah bulanan kamu."

" Oh nggak apa-apa kok. Gue juga tinggal gesek kalau butuh apa-apa."

Aku cuma geleng-geleng, memutar-mutar kursi yang kududuki hingga mataku memicing saat tidak sengaja bertatapan dengan sinar matahari yang menerobos jendela. Ada senyum spontan yang tak bisa ditahan. Sepertinya ada yang salah di saraf mukaku. Mungkin usia berpengaruh juga. Entahlah kurasa aku akan cari artikel soal ini nanti.

"Ndu?"

"Hem?"

"Kok lo diem? Gue udahan, ya. Gue ada urusan."

Aku menarik senyum tipis. "Terima kasih kembali, Nadhira. Oh iya, lain kali kalau duel yang serius, ya."

Setelahnya, aku tidak mendengar suara apa-apa selain napasnya yang terdengar samar, cukup lama hingga suasana sedikit menjengahkan. Aku sampai berpikir, mungkin lebih baik aku berpura-pura tidak tahu kalau malam itu Nadhira sengaja mengalah. Tapi sekali lagi, dia membuatku tertawa dengan jawaban yang seenaknya.

"Kalau menang, makin-makin deh gue perfect-nya."



****



"Uncle Raaaaann!"

Suasana Loewy yang petang ini tidak terlalu ramai, membuat suara cempreng Banyu lumayan menyita perhatian. Beberapa orang menoleh saat dia melompat turun dari kursi lalu lari ke arahku yang baru sampai di pintu masuk.

"I miss you."

Aku cuma bisa mengeluarkan 'ouch' pelan saat bocah hampir kribo itu menubrukkan tubuhnya ke pelukanku. Tangan kecilnya menarik-narik kemeja, berusaha membebaskan diri karena aku merengkuhnya kuat-kuat. Begitu mulutnya bilang ampun, baru aku melepas dan menatap mata gelapnya yang berbinar. Gigi-gigi kecilnya menggigit bibir bawah, bersamaan senyum yang muncul malu-malu. Ada semburat kemerahan di pipi gembilnya yang putih saat aku menatapnya kagum.

Dadaku terasa sesak. Inikah yang dirasakan seorang ayah saat melihat puteranya tumbuh sempurna?

"You are ... so tall! Like a real big man!" Kuusap-usap kepalanya yang sejajar denganku. Matanya melebar, tampak bangga dengan dirinya sendiri. "Oh, and you gain some weights too," kataku lagi. Napasku ngos-ngosan, berusaha bangun dari jongkok sambil mengangkat Banyu yang memang sungguhan bertambah berat. Makan apa sih anak ini?

"Berapa sih beratnya sekarang, kok aku berasa tua ngangkat dia," gurauku yang membuat Bimala tersenyum. Dia mengangkat bahu lalu memeluk dan mencium pipiku, setelah aku menurunkan Banyu dan membiarkannya duduk sendiri tentu saja.

"Kamu emang tambah tua kok. Dan harusnya kamu sadar, kalau udah pantes punya anak sendiri sekarang."

Aku terdiam. Senyum girang karena akhirnya bisa bertemu Banyu lenyap, berganti kecanggungan yang buru-buru kututupi dengan gerakan tangan memanggil waiter. Seorang pria berseragam hitam putih mendekat, tapi belum juga sampai di meja Bimala sudah menginterupsi, "Tadi aku pesenin kamu lamb chops. Aku inget kamu bilang kamu suka lamb chops di sini. Is that okay?"

"Actually, aku mau pesen itu." Bimala tampak lega. Pundaknya kembali rileks setelah aku melempar senyum dan memesan minum.

"Hei!" Aku mencolek Banyu yang sepertinya sedang konsentrasi membangun peradaban dinosaurus. Seekor Brontosaurus dipasangkan dengan dino lain yang aku tidak tahu jenisnya. Kurasa itu bisa jadi pasangan bahagia yang sedang menanti buah hati berwujud ... ehm, akan kupikirkan nanti jenis persilangannya. Setidaknya sebelum seekor Tyranno tiba-tiba datang dan menyerang mereka. "They need a superhero to kick that T-rex."

Bocah kecil itu mengalihkan pandangannya padaku. "I am superhero," jawabnya lantang. Dia membusungkan dada, matanya menatapku berani dan itu membuatku terkekeh geli. Tapi, kemudian bibirnya yang mengerut langsung terbuka lebar saat aku menyodorkan superman ke depan mukanya.

"I left mine at home. Mommy said that I don't need to take him with me. Her eyes wide open like a monster," ocehnya membuatku tertawa. Apalagi saat kulihat Bimala benar-benar melotot.

"I'm afraid of monster. Are you?" dia mengoceh lagi dan aku menggeleng. "Daddy is not afraid. He is very brave. He killed monsters so they do not scare me. He will come home when all monsters die. I will fight with Daddy."

"Banyu!" Bimala memanggil pelan, menghentikan ocehan bocah yang baru genap empat tahun itu. "Kill t-rex and save dino's family. Like ... now!"

Aku mengusap kepala Banyu pelan karena bibir merahnya yang merengut malah semakin manyun.

"What is that mean?" Aku mengangkat tangan, menanyakan kekonyolan macam apa yang dilakukan Bimala. "Suatu saat nanti dia akan pulang? What kind of bull— sori," aku buru-buru meralat karena ingat ada anak kecil yang tidak seharusnya mendengar kata-kata kurang sopan, "kebohongan macam apa yang kamu bilang sama dia?"

Bimala tampak mengangkat alis, "Kadang kamu nggak punya banyak pilihan. He keeps asking, everyday, kenapa ayahnya tidak datang di hari ayah dan anak di sekolah. Dia tanya dimana surga dan kenapa Banyu tidak bisa pulang menengoknya. I'm trying and ... don't judge me." Alih-alih membalas tatapanku, dia menikmati minumannya yang baru diantar.

"You're trying?"

Perempuan yang cuma lebih muda beberapa bulan dariku ini menarik napas dalam-dalam. Dibanding berusaha menjelaskan, tampaknya dia lebih kesulitan meyakinkan diri. "Aku akan ajak dia ke makam."

Meski pelan, aku bisa merasakan dia mencoba mengumpulkan keyakinan. Aku tidak tahu sejak kapan karena dia memang tidak pernah membicarakan hal seperti ini. Dan aku juga tidak pernah bertanya, mengira itu bisa saja menyinggung perasaannya.

Aku percaya, sekuat dan setegar apa pun seorang wanita, selalu ada ruang kosong di sudut hatinya yang bisa dengan mudah disentuh hingga pertahanannya runtuh. Sama seperti Mama yang diam-diam menangis sambil menatap foto Papa, aku yakin, Bimala juga demikian. Kadang ketegaran itu tampak dipaksakan, meski dia akan buru-buru menyembunyikannya lewat senyuman—seperti sekarang.

Dan itu membuat dadaku seperti diremas.

"Runaway du du du du du...." Nyanyian Banyu membuatku refleks tersenyum. Kupandangi mulutnya yang menggemaskan karena terus-terusan bilang du du, sementara kedua tangannya sibuk memperagakan T-rex yang kabur dikejar Superman. "Runaway du du du ... runaway du du du du."

"Kamu jadi ke Jogja?"

Bimala yang sedang memotong-motong steak untuk Banyu menatapku sebentar lalu mengangguk tegas. "Yeup. Besok malem."

"Banyu? Kamu bawa? Kamu yakin? Kamu di sana mau ribet ngurusin Kei, kan?" berondongku dan itu membuat wajah Bimala mengernyit. Apa yang salah? Aku kan cuma tidak mau Banyu sampai terbengkalai karena Bimala sibuk menemani Keira. Baru-baru ini, seorang seniman yang aku tidak tahu namanya, mengajak adik ipar Bimala itu untuk ikut serta di sebuah pameran di Jogja. Dan karena usia Kei yang bahkan belum mencapai 17, dia tidak mungkin pergi sendiri.

"I have no choice. Aku nggak mungkin biarin Kei pergi sendiri tapi aku juga nggak mungkin ninggalin Banyu sama Papi. Ya nggak papa juga sih sebenernya, cuma nggaklah. Kamu tahu sendiri dia sibuknya kayak apa."

"Aku nggak setuju, ah!" tukasku tiba-tiba dan itu membuat Bimala makin sebal. Oh, aku bisa lihat dari wajahnya yang mendadak menguarkan hawa permusuhan. "Aku tahu aku bukan—"

"Let's go hunt ... du du du du," Banyu kembali menyanyi, padahal sebelah pipinya masing menggembung penuh makanan. T-Rex datang lagi dan Superman masih belum berhasil menangkapnya.

"Stop singing!" Bimala mengangkat tangan sambil melotot, tapi anak itu sepertinya tidak terlalu peduli.

"Jangan ngomel," aku melarang dan sekarang aku yang dihadiahi pelototan.

"What is ngomel?"

"It means, you need to obey my words!" Bimala menyela sebelum aku menjelaskan.

"Grumpy?" anak itu membantah lagi dan aku tertawa.

"It is, Man!" aku mengajaknya tos dan Banyu menonjok tanganku pelan. Melihat Banyu yang tersenyum bangga, aku mendadak punya ide. "Tinggalin Banyu sama aku!"

Perempuan yang terlihat jauh lebih matang dibanding terakhir kali aku melihatnya, menghentikan aktivitas makannnya lalu menatapku dengan mata menyipit. "Hah? Kamu bilang apa?"

Tanpa bermaksud mengabaikannya, aku kembali menatap Banyu, "Hei, Buddy. What do you think about staying over? With me? Well as you know, I'm not really a good singer but I know some good songs."

"Baby shark?" Bisa kulihat bagaimana mata Banyu melebar.

"Ehm, yeah."

"The airplane song?"

"A bit."

"The dinosaurs?"

Oke, kurasa kalau dilanjutkan dia bisa mengabsen semua lagu sampai larut malam. "Ehm, no but I have youtube. Is that okay?"

"Randu, jangan ngajarin yang—"

"Cool!" Satu teriakan Banyu membuat Bimala terdiam dan aku tersenyum puas.

"Kamu kan harus kerja. Anak ini nggak bisa diem dan aku nggak mau dia ngerepotin kamu. Dia baik-baik aja sama aku. Cuma dua hari dan—"

"Cuma dua hari! Case closed!" Aku mengangkat tangan. "Aku emang kerja, tapi nggak sesibuk Om Bas. Dua hari nggak masuk bukan masalah. Lagian siapa bilang dia ngerepotin? I can handle it, you know I'm good with kids."

Bimala menghela napas. Aku tahu dia sedang berpikir.

"Trust me!" Memberanikan diri, aku meraih tangan Bimala di atas meja. Kulitnya masih sehalus dulu, hangat dan terasa begitu pas dalam genggaman tanganku. "Aku bukan orang asing. Dia aman sama aku." Kuulas senyum karena pada akhirnya, aku tahu dia akan menyerah. Dia bisa menolak saat aku menawarkan diri untuknya, tapi dia tidak akan pernah tega menolak saat aku memberikan perhatianku untuk Banyu.

"Jangan sampai aku lagi di sana dan kamu bawel karena nggak tahan sama mulutnya yang nggak bisa diem loh, ya!" ancamnya dan aku tertawa.

Menit berikutnya rasanya terlalu cepat. Aku tidak tahu, apa bumi memang melakukan percepatan, atau kehadiran Bimala seperti supercharger yang mampu mendongkrak tenaga mesin hingga jam dinding lari secepat kuda hitam. Saat aku iseng melirik jam tangan yang merangkak ke angka delapan, aku baru sadar kalau dinner kami yang terlalu cepat.

Begitu piringnya diangkat, Banyu kembali membangun habitat dinosaurus. Pose gagah superman yang meninju ke atas rasanya terlalu mencolok dibanding sekumpulan binatang purba yang (katanya) harus melewati drama panjang dulu sampai akhirnya diijinkan Bimala untuk ikut serta.

Sesekali aku ikut terlibat, membantu Papa Dino mencari Baby Dino yang kata Banyu belum pulang padahal sekolah sudah selesai (aku bersyukur karena baby dino bisa naik level jadi sarjana nantinya). Papa Dino khawatir kalau T-Rex yang marah ingin balas dendam dan menjadikan anak kesayangannya itu mangsa, sementara Superman harus kembali ke Kyrpton karena Thor dan Loki ingin menguasai planet itu. Bimala tertawa keras saat aku menyampaikan niat ikut kelas dongeng karena menebak prospeknya lumayan bagus. Dia menumpukan dagu ke tangan, menatap kami berdua yang semakin sibuk karena Mommy Dino mau punya baby lagi.

"Aku nggak tahu kalau mereka punya live music juga," kata Bimala tiba-tiba, dan itu membuatku sadar kalau sekarang ada suara gitar akustik yang memenuhi ruangan. Kurasa ini saatnya aku cuti jadi Dino dan kembali menjadi manusia.

"Biasanya nggak. Mungkin lagi ada acara," aku berkomentar pendek.

"Lagunya enak. Eh, gudang masih komplit?"

Aku mengembangkan senyum lebar. "Masih."

"What a really long time. Astaga aku lupa, Mama apa kabar? Berapa lama aku nggak ketemu, ya? Rara masih di Jogja? Minta nomornya dong kali aja bisa ketemu nanti."

"Nanti aku kirim," aku menjawab ragu. Aku tidak yakin sebetulnya. Bagaimana kalau mereka bertemu sedangkan aku belum bilang padanya soal Nadhira. Aku tidak ingin Bimala tahu dari orang lain, tapi aku juga masih belum—

"Aransemennya enak," dia berkata lagi. Melihat Bimala yang antusias, aku jadi ikut tertarik dan mulai mendengarkan.

You would explain the current, as I just smile
Hoping that you'll stay the same and nothing will change.
And it'll be us, just for a while
Do they even exist?

Suaranya tidak terlalu istimewa, tapi ya ... aransemen-nya memang lumayan. Saat aku memejamkan mata, menajamkan pendengaran di tengah-tengah restoran yang mulai ramai, aku bisa membayangkan tangan-tangan yang terampil memetik gitar. Memang (sepertinya) tidak ada tehnik sulit, tapi temponya pas dan pola strumming-nya benar-benar ... bagus? Aku tidak tahu kata yang tepat untuk sesuatu yang terasa begitu pas, begitu sesuai dengan kebutuhan tanpa adanya additional aneh-aneh.

Dan itu membuatku tak tahan menengok ke belakang, melihat siapa pun yang sekarang sedang memainkan gitar.

Dan rahangku mau lepas rasanya.

Aku tahu pria itu. Jenggot tipisnya memang sudah semakin tebal, menyatu dengan jambang panjang di kedua pipinya. Tapi aku tidak akan lupa bibirnya; bibir kehitaman karena sering merokok yang pernah mengulum senyum saat aku pertama kalli bertemu Nadhira di sini. Dia .. bartender itu, yang memberiku segelas sauvignon.

Dan sekarang dia tersenyum lagi. Bukan padaku. Tapi pada seorang perempuan yang juga sedang memainkan gitar bersamanya.

"Itu ... sepupu kamu, kan? Siapa namanya?"

Komentar yang benar-benar terlambat dari Bimala.

Sialnya, dia malah melambaikan tangan pada Nadhira yang melempar senyum.

"She's good. Ngingetin aku ke kamu. Dia kerja di sini?"

Aku cuma melempar senyum kaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena aku memang tidak tahu apa-apa. Kepalaku mendadak kosong. Tenggorokanku kering dan rasanya ludahku jadi pahit menyadari (sekali lagi) bahwa aku tidak tahu apa pun soal Nadhira. Dan entah bagaimana, itu membuatku prihatin pada diri sendiri.

Perempuan itu, siapa dia sebenarnya?

Dengan perasaan tak karuan yang aku sendiri tidak paham kenapa, aku memberanikan diri kembali menoleh, mendapatkan mata cokelat gelap Nadhira yang lagi-lagi tak terbaca. Jendela yang pernah terbuka, kini tertutup rapat dan aku merasa asing. Dadaku rasanya seperti dihantam sesuatu, saat sekelebatan pikiran melintas begitu saja:

Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti seorang bajingan keparat yang ketahuan sedang berselingkuh.



*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top