17: when they met and i became a fool
Saya tahu ini Senin. But, who cares??? 😌😌
*****
"Nadh ...! Buruan dong!"
Kalau aku berharap kami—aku dan Nadhira—bisa bersikap layaknya manusia normal setelah dua hari berinteraksi seperti dua makhluk beradab di rumah Mama ... aku salah.
Tidak sepenuhnya.
Tapi ... ya, agak meleset.
Seminggu ini, Nadhira memang sedikit—cuma sedikit—manusiawi. Setidaknya dia tidak betulan membakar dapur setelah lupa mematikan kompor saat memasak air. Dia berdalih mengira Mbak Rum—pembantu harian yang kusewa—sudah pulang dari warung setelah disuruh membeli rokok, jadi dia berlama-lama mandi. Mendengarnya, aku hampir tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Oh, dua hari lalu aku mendengar suara gitar dari kamarnya. Ternyata dia mampir ke rumah Mama dan membawa salah satu gitar dari gudang. Kupikir kata 'mampir' terlalu manipulatif untuk sesuatu yang aku yakin, dilakukan dengan sengaja dan terencana. Sebelumnya, dia merengek minta John Lenon yang luar biasa itu berharga dipindah ke rumah kami ... ehm, ke rumahku. Tentu saja aku menolak. Yang ini, aku juga masih bisa menahan kesal karena paling tidak, dia memilih gitar biasa.
Berita (sedikit) bagusnya, dia tidak memecahkan apa pun dan yang paling bagusnya, dia tidak terlalu membuat onar saat kami mulai take gambar untuk demo iklan. Yah, aku akan anggap kalau membuat kami menunggu hampir dua jam lebih karena dia bangun kesiangan setelah minum tiga botol bir malam harinya bukan hal yang besar. Selama aku melupakan bagian Rio yang mengomel tentu saja.
Mengingat itu semua, membuatku sadar kalau bisa jadi, bukan Nadhira yang jadi sedikit manusiawi tapi aku yang mulai bisa memberikan toleransi.
Setidaknya, sampai pagi ini.
"Nadh...!" aku teriak lagi sambil menggedor pintu kamar mandi. Lebih tepatnya, kamar mandiku. "Kamar mandi kamu kenapa lagi sih?"
Tidak menjawab.
"Nadhi—"
"Berisik!" semprotnya, di depan mukaku, begitu pintu terbuka. "Lo pelit banget asli deh. Kalau emang buru-buru pake aja kamar mandi bawah."
Aku melongo. Kenapa aku yang harus turun? Aku melirik ke sana-sini, memastikan aku ada di kamar sendiri. "Perlengkapan mandi aku di sini. Ini kamar aku. Ini kamar mandi aku. Kamu yang numpang, harusnya kamu yang turun," omelku yang malah membuatnya cekikikan. "Lagian kamar mandi kamu kenapa lagi, sih? Mampet lagi?"
Dia mengangguk sambil nyengir lebar. "Kayaknya gara-gara gue buang pembalut di situ deh."
Tarik napas, embuskan. Hanpir semua artikel pengendalian emosi menyebutkan soal pengaturan napas seperti ini: inhale fresh air, exhale every shits of Nadhira.
Berhubung aku belum ingin merusak pagi ini dengan omelan, jadi aku mendorong tubuhnya dari pintu dan buru-buru masuk ke kamar mandi. "Dasar jorok. Aku akan pura-pura nggak denger alasan kamu barusan."
Begitu masuk, aku langsung menyalakan shower dan mengguyur tubuhku dengan air hangat. Titik-titik air menyentuh saraf dan itu sungguh membuatku rileks. Rasanya seperti ada tangan-tangan kecil yang memijat dengan lembut.
Selesai mandi, aku mengoleskan foam ke muka dan sebagian leher. Aku jarang, hampir tidak pernah, memelihara kumis dan jenggot sampai terlalu tebal. Dulu Banyu sering meledek katanya aku mirip gay tiap kali habis bercukur. Sialan memang mulutnya. Mentang-mentang Bimala suka pria berjenggot, dia merasa paling manly—meski itu benar.
Shit, kenapa aku memikirkannya?
"Kamu ngapain di situ?!" aku setengah menyentak (lumayan kaget juga) saat keluar kamar mandi dan ternyata Nadhira masih ada di kamarku. Dia seenaknya berbaring di kasur sambil menonton Lion King. Refleks, aku memegang handuk yang melilit pinggang, memastikan ikatannya kuat. Itu refleks yang bodoh sebetulnya.
"Gue tadi iseng lihat-lihat koleksi dvd punya lo, terus nemu ini deh. Gue kan jadi pengin nonton lagi. Kok lo sweet sih punya film ini."
Aku mendecih pelan, mendengar nadanya yang sok memelas.
"Kenapa sih lo pegangin? Takut lepas ya? Kaku banget, bukannya gue udah bolak balik lihat lo telanjang"
Aku memilih mengabaikan ocehannya lalu buru-buru mengambil kemeja dari lemari.
"Gue nangis kayak bayi waktu bapaknya mati. Sumpah pengin gue cakar-cakar itu musuhnya. Siapa sih namanya?"
"Scar," aku menyahut singkat sambil melirik adegan yang aku ingat juga membuatku dan Rara menangis. Memangnya siapa yang bisa lupa bagaimana dengan heroiknya Mufasa, sang ayah, menyelamatkan Simba lalu didorong dari tebing oleh saudaranya sendiri hingga jatuh dan mati terinjak-injak sekawanan rusa kutub.
Setelah Dead Poet Society, rasanya tidak ada lagi film selain Lion King yang membuatku merinding menahan tangis. Aku sampai mencari kesana kemari dan baru kudapatkan tahun lalu saat Bimala mengirimkannya dari Virginia.
"Nanti jangan telat, Nadh. Aku nggak enak kalau schedule jadi mundur gara-gara kamu ketiduran. Mereka juga kan punya kerjaan lain, kasihan kalau waktunya jadi kebuang. Dan pake baju yang bener!" aku mengingatkan yang bahkan tidak ditanggapi Nadhira. Siang ini kami akan me-review video untuk demo iklan. Aku memang biasa mengumpulkan semua tim kreatif berikut model sekalian sebagai bentuk apresiasi, termasuk menghemat waktu kalau ada komplain atau hasil yang kurang memuaskan. Semalam aku sudah menawarinya berangkat sama-sama, tapi ditolak. Katanya malas kalau menunggu terlalu lama.
"Lo ... abis cukur jenggot, ya?"
Seriuosly? Aku ngomong panjang lebar dia malah mengomentari jenggotku yang baru saja dipangkas habis?
Nadhira bangun dari rebahan dan bersila di ranjang. Aku harusnya mengingat ekspresinya saat ini, karena semuanya terlihat jelas. Tapi bodohnya, aku malah sibuk menggulung lengan kemeja sampai ke siku.
"Lo pake cukuran yang baru atau yang udah ada di sana?"
Sampai di sini, aku masih belum curiga apa-apa. "Itu yang udah dibuka emang baru kok. Kemarin aku mau pake tapi nggak jadi. Emang kenapa?"
"Ehm ... itu...."
Akhirnya otakku bekerja apalagi saat muka jahilnya makin kentara.
"Itu apa?" aku curiga melihat mulutnya terkatup rapat, berusaha keras untuk tidak tertawa. Aku jelas punya tebakan ... tapi terlalu mengerikan."Kamu ... ngap-ngapain, Nadh?"
Dia cuma memutar bola mata ke atas.
"Kamu pake buat apa?"
Dan dia tertawa. Demi Tuhan, aku benci tawanya.
"Nadh...!" aku menyentak. Kedua tanganku terangkat di pinggang dan aku masih menunggu dia menegaskan bagian mana dari tubuhnya yang yang yang ... arrgh!
"Gue lupa mau ngasih tahu tadi," katanya masih sambil tertawa.
Aku mulai sesak napas sekarang. "Kamu pake buat apa?"
"Lo pikir aja buat apaan!"
"Di bagian mana?" aku masih berusaha.
"Kira-kira kalau cewek ... bagian mana?" dia malah menantang. Alisnya naik turun dan sumpah aku ingin mencakar-cakar mukanya.
Kutarik napas banyak-banyak. Di mana oksigen saat aku membutuhkannya? "Kamu ... kamu,"—aku menunjuk—"Kamu jorok banget sih, Nadh. Ini kan buat muka aku. Masa mukaku kamu samain kayak...," aku tidak tega melanjutkan. Rasanya aku ingin meledak sekarang.
Nadhira bangun dari duduk, berjalan ke arahku. Dia mendekatkan wajah dan dengan kurang ajarnya malah menertawakanku yang mulai mengetatkan rahang. Badanku rasanya panas dan seperti ada yang teriak-teriak di kepala. Dadaku berdebar dan ... aku tidak suka.
"Marah...?" dia bertanya pelan.
Aku mulai menghitung dalam hati; satu sampai sepuluh.
"Sorriiii...." bisiknya panjang. Perlahan.
Aku menghitung lagi: sampai tiga puluh kali ini. Mulutku sudah gatal mau mengomel tapi tiba-tiba, perempuan sialan ini tertawa lagi sambil menepuk pipiku.
"Tegang banget lo kayak abis diapain. Gue cuma pake buat kaki doang kok. Dikit itu juga. Bagi duit makanya buat wax."
Bisa kubayangkan ekspresinya saat keluar dari kamarku sambil tertawa keras. Sangat keras. Kuharap sarafnya putus dan dia tidak bisa lagi tertawa.
Jika suatu saat, negara ini melegalkan pembunuhan dalam 24 jam seperti The Purge, aku jamin ... Nadhira adalah orang pertama yang akan kutembak kepalanya sampai otaknya berceceran.
Seharusnya ... begitu.
Tapi entah kenapa, aku malah (akhirnya) ikutan tertawa.
****
"Wraaaap!"
Teriakanku di ruang meeting disambut dengan sorakan dan tepuk tangan tim kreatif. Rio manggut-manggut sambil tertawa di kursinya, Nindy mengoceh heboh entah apa. Tapi yang paling senang jelas Deva. Wajahnya semringah seperti playboy baru dapat mangsa.
Dan di antara mereka semua, cuma Nadhira—dia duduk di sebelah kananku—yang terlihat santai sambil main handphone dan mengulum lollipop.
"Gue bilang juga apa, Mas. Item lurus itu mainstream. Cewek jaman sekarang suka rambutnya dimacem-macemin, tapi perawatannya repot. Makanya aku sengaja buat seperti ini buat menunjukkan ke orang-orang, kalau mereka bebas ngapain aja rambut mereka tanpa takut rusak."
Aku manggut-manggut mendengarkan. Entah berapa kali Deva mengoceh tentang ini.
"Udah bikin janji sama Pak Willy?" tanyaku yang dijawab Deva dengan gelengan.
"Nin," aku memanggil Nindy yang duduk di ujung. "Bikinin janji sama Pak Willy minggu ini, ya!"
"Gue curiga mereka tetep minta mbak Nadhira deh, Mas. Kalau iya, gimana?" Deva berbisik yang membuatku kontan melirik Nadhira yang sekarang cekikikan sambil menatap layar handphone.
"Nggak bisa! Cari aja yang lain. Bayar! Suruh bikin rambutnya kayak gitu."
"Deva berdecak, "Posesif."
Aku tak ambil pusing dan cuma mendengus pelan. "Kalau nggak ada lagi, semua boleh balik ke ruangan. Rio, settingan jangan ganti lagi ya. Saya tunggu sampai besok siang terus langsung kasih ke Deva aja," aku membubarkan meeting. "Sekali lagi makasih semua buat kerja kerasnya. Nindy, jangan lupa atur secepatnya, ya, dan sekalian delivery buat makan siang semua, terserah mau pesan apa."
Kalimatku terakhirku langsung tenggelam karena teriakan dan siulan sumbang yang membuat senyumku mengembang lebar. Aku tahu ini tidak ada apa-apanya dibanding dedikasi mereka untuk kantor ini. Tapi aku ingin mereka tahu kalau aku benar-benar menghargai apa yang sudah mereka berikan.
"Mas Rio!" panggilan Nadhira yang tiba-tiba membuatku refleks menoleh dan Rio yang sudah sampai di pintu berbalik. "Jangan lupa, lo punya utang sama gue."
Aku mengerutkan kening. Hutang apa? Mereka ada hubungan apa? Kenapa aku tidak tahu?
"Sip! Gue ready kok, kapan aja asal jangan dadakan."
Aku tidak suka ini. Aku bahkan tidak tahu mereka akrab. Sejak kapan?
"Minggu aja, ya?" teriak Nadhira lagi.
Rio mengacungkan jempol dan tertawa seolah aku tidak ada. Dia tahu tidak sih kalau Nadhira ini isteriku.
Tunggu!
Kenapa aku sewot?
"Nanti kita wa-an, ya," balas pria 27 tahun itu sebelum akhirnya pergi.
Oke, aku tidak tahan diam. "Kamu ... mau ngapain sama Rio."
Nadhira mengalihkan pandangan dan menatapku sebentar lalu kembali menekuri layar. "Gue minta ajarin motret. Pas itu gue kasih lihat jepretan gue, komposisinya nggak oke katanya. Ya gue minta ajarinlah."
"Kok nggak bilang sama aku?"
Nadhira kontan menoleh, membuatku sadar kalau barusan aku terdengar ... konyol? "J-jangan aneh-aneh loh ya, Nadh. Aku nggak mau ada orang yang tahu kalau kita...."
Nadhira mendekat, menatapku lekat-lekat lalu tertawa. "Lo konyol banget sih."
Sialan! Semoga mukaku tidak memerah karena itu sungguh tidak lucu.
"Gue udah, kan, nggak ngapa-ngapain lagi?" tanyanya.
Ruangan meeting lengang, cuma ada kami berdua. Kupandangi Nadhira yang sekarang memasukkan hanpdhone ke tas. Sepertinya dia bersiap untuk pergi. "Kamu ... mau kemana lagi abis ini?"
Dia diam sejenak lalu menjawab, "Ehm, gue ada urusan sih, tapi nggak penting-penting banget. Kenapa?"
"Nggak makan dulu?"
Nadhira mengangkat alis tinggi-tinggi, tampak geli dan itu membuatku alisku jadi ikut-ikutan terangkat. "Lo mau ngajakin gue makan siang aja ribet banget."
Melihat senyumnya yang kalau diterjemahkan ke bahasa manusia jadi 'gue tahu gue keren', aku rasanya ingin menjedotkan kepalanya ke meja. "Iya, ini kan udah jam makan siang. Jadi sekalian aja."
"Pelit. Udah gue bantuin tapi cuma ditraktir makan siang doang. Lo nggak lihat tadi hasilnya keren. Sekalian dong makan malem."
Aku tersenyum dan mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut iklan shampoo yang sepertinya akan membuatku menang proyek. "Iya nanti malem kita makan sama-sama juga. Kamu yang pilih," kataku sambil merapikan notebook, bersiap kembali ke ruangan.
"Restoran bintang lima? Eh, tiga nggak apa-apalah. Pokoknya, gue nggak mau yang murah loh ya. Kapan lagi soalnya."
Keningku mengernyit, pura-pura berpikir lalu tertawa lagi, "Iya ... yang mahal.'
"Makan seafood?"
"Iya, kamu boleh pesan apa aja."
"Wine? Nggak mau yang abal-abal!"
Aku mendesah, "Iya, nge-wine juga. Apa aja. Ngebir juga boleh asal jangan mabok. Terserah kamu."
"Gue yang pilih tempatnya?"
Aku mengembuskan napas. "Iya, Nadh."
"Gue mau...."
"Nadh!" aku memotong cepat. Dia ini memang nggak bisa dikasih hati sedikit, ya. "Aku ke ruangan dulu balikin ini. Lalu kita makan. Dan selama itu, kamu bisa bikin list apa aja yang kamu mau buat nanti malem. Oke?"
Mata Nadhira membulat sampai-sampai aku yakin kalau matanya bisa lompat keluar seperti di film horor murahan. "Tumben lo nggak pelit?"
Aku sudah hampir mencapai pintu saat mendengar ledekan Nadhira yang anehnya malah membuatku tertawa geli. Jadi, sebelum aku benar-benar keluar, aku membalas, "I'm not that bad."
***
Langkah kakiku terasa ringan. Dan di kepalaku, seperti ada musik akustik yang menemani perjalananku kembali ke ruangan. Aku seperti tidak punya beban, mungkin karena satu pekerjaan berhasil diselesaikan. Di rungan sebelah, ada Deva yang sibuk menelepon entah siapa. Dia membiarkan pintunya terbuka lalu mengacungkan jempol saat melihatku melambai. Dia punya keyakinan untuk proyek kali ini, dan kalau sampai berhasil ... aku yakin dia akan teler sampai pagi.
Aku baru mau membuka pintu saat Nindy memanggilku dari mejanya, "Pak, bentar,"—dia menutup speaker telepon dengan telapak tangan—"besok Rabu gimana? Pak Willy punya waktu sejam sebelum makan siang."
Tanpa banyak berpikir, aku langsung mengangguk dan kembali meraih handle pintu setelah bilang 'oke'. Rencanaku sederhana; menyimpan notebook, mengambil kunci mobil dan dompet di laci, juga mencabut handphone dari charger. Oh, aku mungkin akan mampir sebentar ke toilet. Aku lupa tidak pakai gel rambut tadi pagi, jadi terlihat sedikit berantakan. Entahlah. Tidak yakin, sih, tapi kurasa begitu.
Sayangnya, semuanya bubar.
Rencanaku berantakan. Dan lebih buruk lagi, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan saat melihatnya berdiri di sana, di tengah ruangan, memandangi foto berukuran besar di dinding: fotoku dan Banyu saat kami berangkulan di depan Hard Rock setelah soft launching Maximize Advertising.
Aku tidak bisa memikirkan hal selain kata-kata Matt Haig di Reasons to Stay Alive: how to stop time, kiss.
Pertama kali berciuman (aku masih 15 tahun) rasanya mengerikan. Aku dan Sarah—pacar pertamaku di SMP—malu-malu mendekat dan terlalu tegang kalau ada yang memergoki kami di rumahnya sore itu. Jujur saja, aku penasaran. Sarah gadis yang manis dan waktu tahu dia sepertinya menyukaiku, aku tidak tahu reaksi lain selain mendekatinya. Dan hari itu, saking tegangnya, aku mencium giginya yang meringis (mungkin panik). Kupikir, seharusnya, waktu seperti berhenti. Tapi waktu cuma melambat dan semuanya berlalu dengan cepat begitu tubuhnya menjauh.
Jadi, kalau aku punya kesempatan bertemu Matt Haig, aku mungkin akan memintanya mempertimbangkan faktor lain. Kalau dia tanya, aku akan menjawab: aku tidak harus mencium seseorang. Aku hanya perlu dia menatapku, melihat ke kegelapan mataku dengan sorotnya yang lembut, lalu tersenyum ... seperti sekarang.
Untukku, cuma satu orang yang bisa melakukannya: Bimala Sasmitha.
"Ini foto kapan? Kok aku baru lihat,"—dia menoleh sekilas, lalu kembali memandangi foto—"Aku nggak suka ah lihat kamu di situ, terlalu kurus."
Itu kalimat yang panjang untuk diartikan sebagai 'hai'.
"Ruangan kamu nggak banyak berubah. Minimal geser meja atau ... sofa maybe? Daripada membelakangi jendela, kamu nggak kepikiran buat dibalik biar bisa lihat pemandangan di luar? I think it would be great."
Dan aku masih diam.
Otakku mendadak beku. Ada perasaan aneh yang membuat saraf-saraf di tubuhku kaku hingga terlalu sulit meski untuk sekadar senyum.
"Kamu nggak mau kasih aku welcome hug, daripada ngelihatin aku kayak ngelihat ... hantu? Honestly, it's a bit weird," protesnya. "Atau kamu mau aku yang kesitu? Tapi jangan harap aku mau meluk. I'm not that easy."
Kurasa ini saatnya menarik napas dan kembali ke kenyataan.
Meski Bimala bilang kalau dia tidak akan memelukku, toh dia tetap melakukannya saat aku merentangkan tangan lebar-lebar. Ada rasa haru yang menyeruak, bercampur rindu yang sepertinya sudah hampir mengkristal. Semuanya luruh, begitu saja, dalam sentuhan tangannya yang mengusap punggung dan menenangkan jantungku yang berdetak liar.
"I miss you ... so much," aku mengaku.
Bimala melepas pelukannya lalu menangkup pipiku dengan kedua tangannya yang hangat. "Kamu ... gemukan, ya. Kacamata mana? Udah nggak pake? Katanya biar kelihatan pinter."
Aku tertawa. "Aku laser. Totally free now."
Bimala menatapku dalam dan aku bersumpah aku rela menenggelamkan diri di sana. "You look better," komentarnya sebelum melepas tangannya dan menjauh dariku. Seolah sadar kalau yang dilakukannya bisa membuatku menanggapi terlalu berlebihan, Bimala membuang pandangannya ke luar jendela, menatap mobil-mobil yang seliweran. "Jakarta nggak banyak berubah."
"Kamu kapan pulang? Kok nggak kasih tahu? Banyu mana? Kenapa nggak diajak juga? Aku kangen sama dia," berondongku.
Bimala mengedipkan sebelah mata. "Surprise," jawabnya sambil tertawa. "Banyu di rumah Mommy. Tadi aku ada urusan dikit. Niatnya itu baru besok mau nemuin kamu bareng sama Banyu, tapi ... tanggunglah. Tadi aku sekalian lewat daerah sini soalnya."
"Kamu di sini tinggal di mana? Kamu ... stay, kan?" tanyaku ragu-ragu. Aku ingat Bimala bilang kalau dia belum punya niat kembali ke Indonesia, but this question is worth to ask.
"Kemarin sih di apartemen, tapi kayaknya nanti mau ke tempat Mommy deh. Dan ... aku belum tahu sampai kapan. Yang jelas sampai visaku selesai."
Aku menyesal sudah bertanya.
"Jadi ... karena visa?"
Bimala tersenyum lagi. Dia mendekat, lalu berdiri di sebelahku, ikut-ikutan menyender di meja. Tangannya mengusap lenganku pelan, membuat senyumku mengembang getir.
"Visaku tinggal beberapa bulan lagi. Tadinya mau bulan depan tapi kebetulan aku ada beberapa urusan jadi ya sekalian."
"Dan aku nggak ada dalam urusan itu, kan?" Ini terlalu satire dan ... menyedihkan. Di dalam kantong celana, tanganku mulai bergerak gelisah.
"Kei mau ada pameran minggu depan. Kebetulan Mommy sama Bert mau ke Utrecth, jadi aku kayaknya mau nemenin Kei. Oh, ada undangan dari Bright Horizon sama ada temenku yang mau nikah...."
Aku mengedikkan bahu dan mendesah pelan.
"Terus Banyu ngerengek minta pulang...."
Sebelah alisku terangkat.
" He said he missed you and wanted to see you...."
Aku menoleh dan lagi-lagi mendapatkan mata cokelatnya yang selalu tersenyum. "So, here I am. You know that I can't say no for you."
"But you did. You said no when I asked you."
Bimala menarik tangannya lalu melipatnya di depan dada. Matanya menerawang, menatap foto yang kini terpampang di depan kami berdua. "I love that pic," katanya sambil menyandarkan kepala di bahuku.
Ada jeda sejenak yang rasanya terlalu lama, sangat lama, sebelum aku sadar kalau bersama Bimala semuanya selalu terasa mudah.
Ada banyak alasan untuk jatuh cinta padanya. Bukan melulu karena wajahnya yang cantik atau matanya yang hangat dan penuh keyakinan. Dia perempuan yang selalu tahu apa yang dia inginkan dan itulah yang akan dia lakukan. Dia tahu bagaimana bersikap. Dia tahu bagaimana menempatkan diri.
Dan dia tahu ... bagaimana itu selalu membuatku jatuh hati.
Mencintai Bimala ... tak pernah terlalu sulit.
Bersama Bimala, waktu terasa berhenti.
Meski dia membuatku patah hati berkali-kali.
Lalu jatuh cinta, lagi dan lagi.
Bersama Bimala, aku lupa segalanya.
Lupa dengan batas yang tak boleh kulangkahi.
Lupa dengan hati yang terlarang untuk dimasuki.
Aku bahkan lupa, kalau sekarang ada Nadhira yang....
Shit!
Seperti ada yang menampar mukaku, aku mendadak sadar kalau Nadhira sedang menunggu di lobby sekarang. Harusnya aku cuma sebentar. Harusnya....
"Randu, lo ngapain aja, sih? Lama banget. Gue udah kayak manekin nungguin lo."
Sial!
Kalau tatapan Bimala bisa membuat waktuku seperti berhenti, maka omelan Nadhira barusan seperti tinju Hulk yang membuatku terlempar ke gedung sebelah.
Semuanya terjadi begitu cepat dan aku tidak sempat memikirkan apa-apa, termasuk bagaimana harus mengenalkan Nadhira pada Bimala yang terkesiap dan sekarang bergantian menjatuhkan pandangan padaku lalu ke perempuan yang ... kunikahi.
"Lo nggak bilang kalau lo ada tamu," Nadhira berkata pelan, menatapku yang sekarang cuma berdiri kaku seperti orang tolol. Oh, tentu saja ... aku memang tolol.
"Ehm, Nadh, kenalin ini ... Bimala."
Bibirku gemetar. Dan kalau harus mengaku, tubuhku juga gemetar sekarang.
Apa yang harus kubilang pada Nadhira?
Terlebih lagi, apa yang harus kubilang pada Bimala?
Ragu-ragu, kutatap Bimala yang memandangku datar, seolah menungguku menjelaskan. Dahinya berkerut dan aku tahu dia sadar kalau ada hal yang kusembunyikan. Semuanya terlalu jelas, tergambar di wajahku yang mulai berkeringat.
"Ehm, Bi, ini Nadhira. Dia...."
Apa yang harus kukatakan?
"Nadhira," seolah tak sabar, Nadhira dengan cepat mendekat dan mengulurkan tangannya ke depan Bimala. Sesungging senyum tergambar jelas, dibarengi tatapan matanya yang (selalu) penuh percaya diri. Tidak ada keraguan, saat bibirnya yang dipoles lip gloss bergerak pelan, "Sepupunya Mas Randu!"
Di dalam kantong celana, jempolku tak bisa berhenti memutar cincin kawin yang melingkar di jari manis. Cincin yang juga melingkar di jari Nadhira yang kini menjabat erat tangan Bimala.
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
👆🏻👆🏻👆🏻lagu lama. Yang angkatan ehm .. gold (harus sebut apa coba🤧🤧) pasti tahu lagu itu. Yang jaman now, coba denger deh. So much worth to listen😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top