14: how to deal with family

I'm pretty sure ... i mean, i'm really really really sure, ini Kamis🤔
Atau siapa pun yang bikin kalender di rumah saya, dia nulis dua kali hari Kamis.
Maybe, he got drunk😌




***


Inget ya, Nadh,"—aku melepas seatbelt begitu kami sampai di depan rumah Mama—"jangan ngomong aneh-aneh! Jangan bertingkah aneh-aneh! Jangan ngasal, yang sopan, jangan ngero—"

Braaaak.

Nadhira keluar dan menutup pintu mobil begitu saja tanpa mendengarkanku. Sialan anak itu.

"Nadh, tunggu dong!" aku memanggil lagi begitu turun dari mobil. Nadhira yang sudah sampai di teras cuma menoleh tak acuh.
"Nadh...."

"Apa sih, Ndu?" sentaknya saat aku lari dan menarik tangannya. "Lo bawel banget bener, deh!"

"Jangan pakai lo-gue dong, Nadh. Terus jangan panggil aku pake nama di depan Mama sama Papa. Itu nggak pantes."

Bola matanya berputar jengah. Aku tidak peduli reaksinya karena aku harus memastikan dia tidak membuat onar. Sampai detik ini, Mama tidak tahu seperti apa Nadhira sebenarnya. Dan kurasa, dia tidak perlu tahu.

"Oh, iya," aku melanjutkan,"kalau Mama nanyain rambut kamu, bilang aja—"

"Eh, kalian udah dateng...."

Sempurna! Aku belum selesai bicara dan Mama lebih dulu keluar. Wajahnya yang kelihatan menua tampak semringah melihat Nadhira. Senyum Mama lebar, matanya berkilat menyenangkan, membuat peganganku di tangan Nadhira terlepas. Ada rasa hangat menjalar di dadaku melihat Nadhira memeluk Mama seperti seorang anak yang merindukan ibunya.

"Iya, Ma. Tadi lumayan macet," Nadhira berbohong.

"Mama suka deh rambut kamu. Lucu," komentar Mama.

Oke, ada yang salah di sini. Kenapa Mama malah bilang lucu? Dulu waktu Rara mengecat rambut jadi burgundy Mama ngomel-ngomel karena katanya terlihat seperti anak badung. Tapi sekarang Mama bilang rambut Nadhira lucu. Di mana logikanya?

"Bagus kan, Ma! Tapi perawatannya jadi lumayan repot, mesti sering-sering ke salon."

Aku melongo! Apa-apaan ini? Kenapa mereka malah akrab? Sejak kapan? Dan seolah lupa kalau aku anak kandung Mama slash anak laki-laki satu-satunya slash darah dagingnya masih berdiri seperti orang tolol, mereka berdua masuk ke rumah.

"Biarin aja, kan ada Randu. Kalau dia pelit sama kamu, bilang ke Mama...."

Mendadak, aku merasa jadi antagonis di cerita Anak Yang Tertukar. Sialannya lagi, aku bahkan tidak tahu sinetron itu betulan ada atau cuma khayalanku saja.

Karena tidak mungkin terus berdiri di luar (memikirkan keanehan yang tidak terduga barusan juga sia-sia) aku mengikuti mereka. Di ruang tengah ada Theo, keponakan Nadhira, sedang tiduran di sofa sambil main game. Kuusap kepalanya pelan saat aku tanya soal sekolah yang cuma ditanggapi dingin, entah karena dia tidak suka sekolah atau tidak suka game-nya terhenti. Dia akhirnya bangun dan duduk setelah menjawab "nggak tahu" waktu aku tanya di mana orang tuanya.

Kulihat Mama dan Nadhira langsung ke dapur yang memang tanpa sekat. Satu-satunya yang memisahkan dapur dan ruang tengah cuma kabinet putih tempat Mama memajang keramik koleksinya. Ada satu fotoku dan Papa di sana. Aku mungkin sekitar enam tahun saat duduk di kap mobil tua dan beliau berdiri sambil merangkulku yang memakai topi bisbol. Itu Chrysler hitam tahun 1951 yang diwariskan Yangkung. Aku ingat, bagaimana Papa membersihkannya setiap minggu; mencuci, mengelap sendiri, buru-buru meng-kompon kalau lecet; belum wax rutin setiap 2-3 bulan.   (yangkung = Eyang Kakung = kakek)

"Randu!" Panggilan Mama seperti palu Thor yang menghancurkan mobil kesayangan Papa jadi debu halus—tentu saja di kepalaku. "Bantuin papanya Nadh bakar ikan tuh buruan, Dimasnya lagi nganterin Nanda beli jeruk nipis."

Tanpa menjawab, aku langsung keluar ke taman samping. Om Wis ... maksudku Papa (terakhir kali aku salah memanggil Om, pria setengah abad ini melotot seperti kepala sekolahku di SMA dulu kalau melihat murid telat masuk) mengusap peluh yang menetes di dahinya.

"Biar Randu aja, Pa." Setelah menyalami Papa, aku buru-buru mengambil alih tugasnya.

"Yang kering, ya. Biar gurih. Buntutnya enak nih, Ndu, buat dicemilin." Aku terkekeh mendengar cara Papa mengatakannya. Dia seperti anak kecil yang tak sabar menunggu film kartunnya dimulai.

"Karsi-nya tinggi loh, Pa, kalau gosong-gosong," ledekku lagi. "Nanti pasien Papa komplain, dokternya ngajarin nggak baik."   (Karsi=karsinogen)

Papa menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa, "Sekali-kali nggak apa-apalah, Ndu. Eh, si Nadhira ke mana?"

Belum sempat aku menjawab, Nadhira sudah muncul. Sebelah tangannya menggenggam botol colla saat menyalami Papa.

"Itu rambut kamu apain lagi sih, Nadh?!"

Aku lumayan kaget saat Papa tiba-tiba bersuara keras. Ada kemarahan yang coba ditahan. Matanya melotot seperti ingin melompat keluar dan punggungnya menegak saat melepas tangannya dari genggaman Nadhira. Beliau tampak terkejut tapi Nadhira sepertinya tidak terlalu peduli. Wajahnya tetap santai, seolah kekagetan Papa memang hal yang wajar.

"Ehm, Pa...," aku berusaha menenangkan amarah Papa sebelum benar-benar meledak.

"Ya diwarnailah, Pa. Kan Papa bisa lihat sendiri," sahut Nadhira datar. Aku yang shock sekarang. Di mana sopan santunnya?

"Berapa kali Papa bilang Papa nggak suka kamu aneh-aneh, Nadh? Kamu kayak perempuan nggak bener tahu? Kamu itu udah nikah, harusnya—"

"Pa...,"—aku memberanikan diri menyentuh pundak Papa—"sebenernya itu Randu, Pa!"

Shit! Aku ngomong apa?

"Hah?" Papa memutar badan ke arahku. Keningnya mengerut seolah meyakinkan diri kalau barusan dia salah dengar. "Maksudnya? Dia bilang dulu sama kamu? Terus kamu kasih ijin? Masa kamu biarin sih isteri kamu kayak gitu modelnya." Aku yang kena semprot sekarang.

Kutarik napas dalam-dalam.

"Pa, sebenernya tuh Nadh—"

"Sebenernya Randu yang minta tolong sama Nadhira buat jadi model iklan shampoo, Pa!"

Terkutuklah mulutku yang lancang mengeluarkan kalimat-kalimat maksiat!
Sekarang bukan cuma Papa yang melotot, tapi juga Nadhira. Dia sepertinya tidak mengira aku mengatakan hal seperti ini. Dan sejujurnya, aku sendiri tidak tahu karena semuanya terjadi begitu saja. Aku tidak sempat berpikir. Yang aku tahu, aku tidak mau ada keributan.

Itu saja!

"Jadi, Randu ada proyek iklan, Pa. Prospeknya bagus dan karena waktu mepet kita sedikit susah cari model buat demo. Randu tawarin sama Nadh dan dia mau. Makanya rambutnya diwarnai kayak gitu. Nanti Randu suruh Nadhira balikin lagi."

Sebagai penutup, aku melempar senyum—sebaik mungkin—dan sedikit tampang 'merasa bersalah'.

Di depanku, Papa akhirnya mendengus pelan. Dia menelisik kegelapan mataku—mungkin mencari tanda-tanda kebohongan yang tidak akan dia temukan—lalu beralih ke Nadhira. Aku menggeleng pelan, saat kulihat Nadhira mencoba membuka mulut—mungkin berusaha membantah.

"Bukan Nadhira yang nyuruh kamu ngomong gitu kan, Ndu? Papa tahu banget anak ini. Dia susah diatur, suka bikin onar."

Aku tertawa pelan, mencoba bersikap sesantai mungkin. "Nggaklah, Pa. Minggu besok mulai take gambar. Papa mau Randu kirimin videonya nanti?"

Papa tidak lagi menatapku dan mengalihkan perhatiannya pada Nadhira. "Papa pikir kamu aneh-aneh lagi, Nadh!"

Kuembuskan napas lega. Dari ujung mata, kulihat Nadhira menenggak lagi colla-nya.

"Kamu itu udah nikah. Kasihan sama suami kamu kalau kamu banyak tingkah. Emangnya nggak malu kalau Randu ketemu koleganya tapi penampilan kamu kayak gitu? Belajar jadi isteri yang baik, Nadh, kayak mama kamu, kayak Nanda."

Nadhira cuma melirik ke sana-sini. Aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang seperti anak kecil ketahuan mengambil makanan sebelum cuci tangan.

Papa akhirnya menghentikan ceramahnya setelah mendengar suara Nanda dan Dimas. Kulihat Nanda langsung ke dapur, menyerahkan kantong plastik yang dibawanya ke Mama. Dimas bergabung bersama kami. Dia menepuk bahuku sebagai pengganti salam dan menawarkan diri untuk membakar ikan tapi kutolak. Setelah basa basi sebentar, Papa dan Dimas kembali ke ruang tengah, menonton siaran ulang Moto GP di tivi.

"Ternyata selain sensitif, masokis, melankolis, lo juga bego, ya!" Nadhira mendekat ke arahku. Dia menyenggol lenganku yang sedang membalik ikan lalu terkekeh pelan.

"Sorry kalau nggak bisa jadi suami idaman sesuai harapan kamu," jawabku sinis.

Bukannya minta maaf, dia malah tertawa.
"Itu cara om-om menghadapi masalah, ya? Tapi sebenernya gue nggak pernah anggap itu masalah, sih!" Aku mengerutkan kening dan Nadhira buru-buru menambahkan, "Kemarahan Papa maksud gue. Udah biasa."

Mulutku membulat, mengucap 'oh' pelan yang aku yakin Nadhira tidak bisa dengar. "Kadang-kadang bohong dikit perlu. Lagian kamu emang beneran mau jadi model demo aku, kan kamu udah kalah duel." Aku menerima botol colla yang disodorkan Nadhira dan menenggak sisanya. "Sekalipun orang tua salah, kita harus tetap jaga sikap, Nadh."

"Ya ya ya. Jaga sikap. Untung cuma sehari. Betewe, kalau deal, kasih gue mobil," ledeknya sambil tertawa. "Eh, kekeringan tuh ikannya. Jangan kering-kering dong!"

Aku buru-buru memeriksa ikan yang kubakar. "Loh, tadi Papa kamu minta yang kering."

Nadhira melirikku sekilas sambil mengangkat bahu. "Oh, Papa. Iya, pada suka yang kering, sih. Selain ikan nggak ada?"

"Kamu nggak suka?"

"Ehm ... doyan." Nadhira merobek bungkus permen loli  yang dia ambil dari saku kemeja. "Mulut gue pahit nggak bisa ngerokok," jelasnya sambil menjejelkan permen ke mulut.

"Doyan sama suka kan beda, Nadh. Kamu sukanya apa?"

"Udang. Ada nggak?  Tapi, gue apa aja doyan kok." Nadhira tersenyum samar sebelum berbalik dan mulai melangkah, menjauh dariku.

Waktu kecil, Papa suka mengajak aku dan Rara jalan-jalan sore. Dengan mobil tuanya, kami berkendara ke kota tua, melihat bangunan-bangunan lama. Papa akan mengulang-ulang cerita masa kecilnya saat pertama kali pindah ke Jakarta dari Surabaya, dari Yangkung yang mulai buka toko kelontong kecil-kecilan sampai jadi agen besar di pasar. Sebelum pulang, kami selalu mampir ke Cikini dan membeli kue di Tan Ek Tjoan. Aku paling suka gambang yang bertekstur keras dan Rara suka bimbam yang jauh lebih lembut. Rasanya, roti itu menjadi pelengkap wisata mingguan kami.

Suatu sore, Papa mengajak kami ke sana. Aku seperti biasa memilih gambang. Aku sudah hampir memakannya waktu Papa menepuk pundakku. Dia berjongkok, hingga pandangan kami sejajar. Aku tidak pernah lupa senyumnya saat beliau bilang, "Randu, bimbamnya habis dan Rara nggak suka gambang. Jadi gimana?"

Di usiaku saat itu—sembilan tahun kalau tidak salah—aku tentu saja tidak peduli. Aku bahkan tidak mau repot-repot memikirkan kenapa Papa harus memberi tahuku soal itu atau kenapa Rara tidak membeli saja yang lain. Tapi saat kulihat Rara merengut kecewa, aku mengembalikan lagi roti yang kupegang dan aku bilang, "Randu nggak jadi beli deh, Pa."

Di kepalaku, masih jelas terekam senyum Papa yang lebar, matanya yang jauh lebih cerah dibanding matahari sore yang biasnya jatuh di wajah gagahnya. Tadinya, aku pikir aku akan kecewa. Tapi saat Papa membelikan kami berdua es krim, aku bersumpah ... itu es krim paling enak yang pernah kumakan.

Sore ini, aku memang tidak melihat ekspresi yang sama seperti di wajah Rara dari Nadhira. Tapi entah kenapa aku tidak bisa mengenyahkan senyum miringnya dari kepalaku.

"Nadh!" aku memanggil, menghentikan langkahnya yang sudah hampir mencapai teras.

Nadhira berbalik, menatapku sebentar lalu melanjutkan langkah sambil berkata, "Gue nggak akan bilang makasih."

Alih-alih kesal, aku malah tersenyum. Entah kenapa.





*****





"Mas Randu inget nggak sih kita dulu beberapa kali ngobrol kalau Mas lagi nganterin Tante arisan?"

Aku berdeham pelan, berusaha mengurangi rasa tidak nyaman karena pertanyaan Nanda. Selesai makan, aku, Nanda dan Dimas mengobrol di teras samping; Nadhira dan Theo menonton tivi sementara Papa sama Mama mengobrol di depan.

"Ah, nggak inget pasti Mas Randu," tukas Nanda karena aku cuma cengar-cengir tak jelas. "Ingetnya Nadh doang nih."

Dan sejujurnya ... aku juga tidak ingat Nadhira sama sekali. Aku ingat, sering mengantar Mama ke sana-ke mari, dulu, juga ada beberapa kilasan-kilasan samar. Tapi aku sendiri tidak tahu pasti, jadi aku cuma meringis memalukan saat Nanda dan Dimas geleng-geleng kepala menahan geli. Mereka lupa ya kalau di antara mereka semua, aku yang paling ... ehm, tua.

"Nadhira gimana, Mas? Nggak aneh-aneh, kan?"

Kedua alisku terangkat. Aku harus bilang apa? Aku kan tidak mungkin bilang kalau Nadhira membuat tensiku naik, kepalaku migren, jatah umurku berkurang dan tagihanku melonjak? Sebagai gantinya, aku cuma melempar senyum dan menggeleng pelan sambil menjawab, "Nggak kok."

Perempuan yang seumuran Rara ini terkekeh pelan. Begitu juga dengan Dimas yang akhirnya bangun dari duduk, lalu menepuk bahuku beberapa kali dan masuk ke ruang tengah, bergabung dengan Theo. Kulihat Nadhira sudah tidak ada, mungkin ke kamar. Entahlah.

"Dia anak baik kok. Cuma agak ... ehm, beda?"

Aku yang tertawa sekarang. Tentu saja beda, aku manusia normal dan Nadhira setengah siluman.

"Rambutnya Nadh, bukan Mas yang suruh, kan?"

Aku berhenti tertawa. Dan sebelum aku membuka mulut lagi, Nanda buru-buru melanjutkan, "Dia emang sering gonta-ganti padahal tahu kalau Papa nggak suka. Dulu malah pernah rambutnya digunting-gunting sama Papa, tapi tetep aja nekat."

Aku diam, mendengarkan. Lagi pula, aku tidak tahu harus berkomentar apa.

"Malah akhirnya sama dia dipotong cepak, pendek banget kayak cowok. Udahlah warnanya tuh merah yang rich gitu. Jaman-jaman vokalis Linkin Park sapa deh yang rambutnya merah juga."

"Mike Shinoda," akhirnya ada sesuatu yang bisa kukatakan.

"Iya, dibikin kayak gitu. Bayangin aja gimana marahnya Papa. Makanya dia dipindah ke Bali, ke tempat Om Gusti. Tapi Nadh ya tetep aja kayak Nadh. Dia selalu punya cara buat bikin Papa kesel."

Aku tersenyum kecut. Aku tidak tahu apa aku butuh cerita seperti ini sekarang.

"Pernah deh kalau nggak salah aku baru-baru masuk kuliah, Nadh juga masuk SMA, kita nyobain rokok. Yah, dibandingin sama dia, aku lebih payah sih. Aku takut kalau Papa marah. Tapi pas itu kita bener-bener penasaran...."

Aku bersiul pelan, tapi sepertinya Nanda tidak peduli.

"... terus pas masuk kamar, Papa nyium baunya kan. Nadh ngaku kalau dia yang ngerokok tapi dia ngelarang aku kasih tahu Papa kalau aku juga ikutan. Aku tadinya nggak setuju sih, ya masa cuma dia yang dihukum nggak dikasih uang jajan. Tapi Nadh bilang, lebih baik Papa nggak percaya sama satu orang daripada dua-duanya, toh dia udah kadung dicap bandel."

Sejujurnya, ini bukan cerita yang kuharapkan.

"Ehm, kalau aku boleh tahu, kenapa Mas Randu bohong sama Papa."

Kenapa? Aku harap aku bisa menjelaskan. Sayangnya, aku sendiri tidak tahu kenapa. "Aku nggak bohong, kok. Aku emang minta tolong Nadhira soal demo iklan itu."

"Setelah atau sebelum dia ngecat rambut?"

Kubuang napas jengah, menyadari tatapan Nanda yang menuntut. "Ehm ... setelah," kataku setelah menimbang beberapa saat.

Tak tahan, aku dan Nanda akhirnya tertawa bersama.

"Jujur ya, Mas...." Ada jeda sejenak. Nanda tampak berpikir, sebelum bicara lagi, "Tapi aku minta maaf dulu, nih sebelumnya."

Kutegakkan punggung. Nanda, menggeser kursi yang didudukinya, mendekat ke arahku.

"Tadinya aku nggak yakin waktu Nadhira bilang dia setuju dijodohin. Soalnya, dia bolak-balik dikenalin sama temen Papa dan ada aja ulahnya sampai tuh cowok kesel dan akhirnya ngebatalin sendiri. Bahkan sampai kalian nikah pun aku masih nggak yakin loh."

Haruskah aku bilang kalau aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kami lakukan sekarang?

"Tapi ngelihat Mas Randu sama Nadhira sekarang, pikiranku berubah, Mas. Dan aku beneran bersyukur banget sama Tuhan karena Mas yang jadi suaminya Nadh. Aku yakin, dia bisa berubah kalau sama Mas Randu."

Entah cuma perasaanku atau bagaimana, ada kelegaan di wajah Nanda. Berbeda dengan Nadhira, Nanda lebih mirip manusia padahal mereka (seharusnya) punya gen identik. Jadi saat dia tersenyum, aku tahu dia memang tersenyum, bukan sinis atau mengintimidasi seperti Nadhira. Dan entah kenapa, dia malah membuatku merasa berdosa melihat senyumnya yang tulus.

Sejak menyetujui pernikahan ini, aku tahu kalau hal-hal seperti ini pasti akan terjadi. Bagaimana orang-orang di sekitar kami menaruh banyak harapan. Mama, Rara, Papa dan sekarang Nanda. Aku sudah bersiap untuk berbagai kemungkinan dan yang terburuk, tentu saja, kekecewaan banyak orang atas perceraian kami nanti. Tapi aku salah. Mempermainkan harapan mereka ... akan jadi kesalahan terbesar yang harus kutanggung seumur hidup.

"Mas," panggil Nanda lagi. Kupandangi wajahnya yang sedang menatapku intens. Secara fisik, Nanda lebih mirip Papa. Aku belum pernah melihat mamanya, tapi kutebak Nadhira lebih mirip dia. "Mas pernah baca Hollow City punya Ransom Riggs."

Aku menggeleng pelan.

"Nadhira suka sama Millard."

Dan aku tidak mengerti di mana relevansinya.

"Nan...," suara Nadhira yang tiba-tiba membuatku terkesiap, membuat mulutku yang terbuka ingin bertanya lebih lanjut langsung terkatup rapat. Aku bisa membayangkan dia berdiri di ambang pintu, di belakangku, menatap Nanda yang cuma melirik sambil berusaha tersenyum. "Papa udah mau balik tuh."

"Ah, iya. Keasyikan ngobrol."

Hampir berbarengan, aku dan Nanda bangun dari duduk lalu bersama-sama bergabung dengan yang lain yang sudah menunggu di teras depan. Theo bolak balik menguap sambil mengucek-ucek matanya yang memerah. Dimas sudah duluan masuk mobil sementara Papa masih berpamitan ke Mama.

"Kapan-kapan nginep dong di rumah. Gue kangen," pamit Nanda sambil bercipika-cipiki dengan Nadhira."Boleh kan, Mas, kalau Nadhnya aku pinjem," lanjutnya padaku.

Aku cuma mengangguk kaku yang ditanggapi Nanda dengan senyum lebar.

Begitu semua pergi, Mama langsung masuk ke rumah, sementara Nadhira berdiri di teras, menungguku mengunci pagar.

"Gue tidur sama Mama, ya?" katanya begitu aku selesai dan menghampirinya.

Dahiku mengerut, tapi cuma sebentar. Kupikir itu ide bagus. Aku hampir lupa, selama di rumah Mama kami harusnya jadi suami-isteri normal. Dan membayangkan tidur seranjang dengan Nadhira tanpa mabuk saja sudah membuatku salah tingkah lebih dulu.

Jam baru menunjukkan 21.30 saat aku keluar dari kamar mandi dan langsung masuk ke kamar. Sejak pindah ke rumah sendiri enam tahun lalu, aku jarang menginap. Paling kalau ada acara atau Rara datang dari Jogja.

Setelah memastikan posisiku nyaman, aku mengambil handphone dan menyalakan facetime. Aku tahu ini  konyol, tapi sejak obrolanku dengan Nanda tadi, aku tidak bisa berhenti memikirkan buku yang dia maksud. Aku belum pernah baca buku itu dan waktu browsing, sepertinya itu buku fantasy.  Jujur saja, aku kurang berminat pada buku-buku semacam itu. Jadi, aku menghubungi satu-satunya orang, yang kupikir bisa membantu.

"Hei ... tumben kamu telepon jam segini," sapa perempuan di seberang. Senyumnya lebar, tatapan matanya lembut dan itu membuat perasaanku menghangat. Biasanya, aku akan berlama-lama menikmati sorot mata yang selalu kurindukan itu, tapi hari ini ... ada hal lain yang membuatku penasaran.

"Yah, sibuk?"

"Ehm,"—Bimala melirik jam tangannya sekilas—"aku punya sepuluh menit sebelum masuk kelas."

"Oke, make it quick. Berapa banyak buku yang kamu baca?"

Melihat wajah Bimala yang mendadak berubah bingung, aku langsung menyesali basa-basi sialanku barusan. Apa aku selalu sebodoh ini di depannya?

"Ehm, sorry. Maksudku, kamu pernah baca Hollow City?"

"Ransom Riggs?"

Senyumku pun mengembang lebar. "Yep! Please, habiskan sepuluh menitmu buat cerita anything you know tentang ... Millard!"




****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top