13: how to deal with snake (failed)

Kamis, egen😌
Ada beberapa judul lagu di bawah, semuanya saya suka. Tapi paling-nya sama Santeria. Sayang ya mulmed gak bisa pasang dua video. Khusus freak on leash, awalnya biasa aja, tapi pas Korn duet sama Amy Lee (i lover her) saya jadi crazy over that song juga. Falsetnya itu loh😭😭

Kids jaman now tahu gak ya🤔 saya kids jaman then soalnya😌

Dan entah kenapa saya gak suka kalau denger kata-kata "kids jaman now" 😭😭😭

Oke, saya meracau😌 Sorry

***

Hari ini aku bangun terlalu pagi. Setelah semalam hampir tidak bisa tidur, aku berharap bisa bangun lebih siang. Toh pekerjaan di kantor juga tidak terlalu banyak.  Mungkin dengan begitu, pikiranku bisa fokus dan berhenti memusingkan hal-hal yang tidak kumengerti, seperti (misalnya) kenapa Nadhira tersenyum dengan cara yang tidak biasa?

Tidak biasa?

Tidak biasa?

Errrgh.... Kujambak rambut frustrasi.

Semalam, aku memenuhi tantangan duel Nadhira. Ronde pertama, aku menang mudah lewat Freak on Leash milik Korn, begitu juga ronde berikutnya. Tapi di ronde ketiga, Nadhira menghajarku habis-habisan lewat Are You Gonna Go My Way. Aku ingat wajah menyebalkannya saat menyeringai ke arahku dan bilang kalau dia suka lagu itu sambil mengedipkan sebelah mata. Dia baru setahun saat lagu Lenny Kravitz itu dirilis dan dia bilang suka? Aku ikut prihatin untuk Justin Bieber dan teman-temannya yang kalah saing dengan para musisi 90-an.

Ronde keempat, dia menang tipis. Aku yakin, Nadhira bisa main gitar sungguhan meski aku belum pernah lihat (Nadhira juga tidak pernah bilang). Lagunya memang tidak terlalu susah, Hotel California, tapi rasa percaya diri sepertinya mulai mendominasi permainan Nadhira. Kami bersaing ketat, sebelum akhirnya dia berhasil mendapat seratus strike notes di saat-saat terakhir. Well, she was just lucky.

Ronde kelima, dia dengan angkuhnya bilang aku boleh pilih lagu. Jadi aku pilih Santeria milik Sublime. Terdengar mudah, tapi tidak karena Nadhira mengubah mode permainan menjadi hard. Masalahnya, aku lupa kapan terkahir kali main game ini. Mungkin setengah tahun lalu? Di dua menit pertama, dia menguasai keadaan, tapi di sepertiga akhir Nadhira mulai kewalahan. Dia seperti kehilangan ritme dan tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Nadhira harus mengakui keunggulanku.

"Eat that, Nadh!" ledekku di depan mukanya. Nadhira tidak bereaksi apa-apa selain ... itu tidak bisa dibilang senyum. Dia cuma menarik dua sudut bibirnya ke samping tanpa membuka mulut, lumayan lama sebelum bibirnya berubah menjadi kerutan. Aku makin terbahak. Dia lalu meninggalkanku yang masih tertawa ke dapur dan kembali dengan sebotol bir. Katanya dia masih belum mengantuk dan mungkin mau nonton film, jadi aku meninggalkannya untuk merayakan kemenanganku di kamar.

Langkahku di depan pintu terhenti, begitu juga dengan tanganku yang meraih handle saat dia tiba-tiba teriak dari bawah, "Gue harap, suatu saat lo mau main gitar. Yang asli tapi, bukan cuma game."

Dan saat itulah, aku melihat senyumnya yang ... tidak biasa. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi itu bukan gayanya.

Senyum manis itu ... bukan Nadhira.

Awalnya, aku tidak peduli, tapi sebelum mataku tertutup dan mencoba tidur yang akhirnya gagal, entah kenapa kata-katanya (juga ekspresi wajahnya) terus-terusan mengusik pikiranku, membuat rasa kantuk lari jauh-jauh. Menjelang subuh, aku baru bisa tidur meski cuma sebentar.

Saat aku turun, Nadhira—seperti biasa—sedang duduk dengan kaki terangkat sebelah. Tapi kali ini, tidak ada musik dan kupingnya juga bebas dari headset. Dia sepertinya fokus ke handphone.

"Ehem!" Aku berdeham. "Kamu ngapain?" Nadhira masih cuek dan tidak menjawab. Aku sangsi dia sadar kalau aku berjalan melewatinya dan membuka kulkas untuk mengambil air putih. "Nadh?" aku memanggil lagi.

"Menurut lo pakai aplikasi ini gue bisa jago bahasa inggris nggak?"

Aku melongo, tapi cuma sebentar.

"Gue harus ngapalin delapan kata sehari," katanya lagi tanpa menoleh ke arahku.

"That's good! Dan delapan kata pertama yang muncul di kepala kamu apa?" aku iseng bertanya sebelum menenggak air putih di tangan.

"Yes, or, no, fuck, shit, sex, snake...."

Damn! Kutepuk-tepuk dadaku yang mendadak sesak karena tersedak. "What the.... Belajar apaan? Masa kata-kata kayak gitu yang kamu apalin sih?"

Nadhira menengok ke arahku. Tatapannya datar dan mulutnya sibuk mengunyah roti tawar yang baru saja dijejalkan ke mulut. "Lah, kan tadi lo tanya kata yang pertama muncul di kepala gue, bukan yang mau gue apalin?"

Padahal aku cuma minum tapi tenggorokanku seret seperti makan salak sepat (ini pengalaman pribadi). "Ya ya ya ... snake. Suit for you." Kuletakkan gelas di wastafel, lalu bersiap pergi sebelum Nadhira bicara aneh-aneh lagi. Sepertinya dia memang selalu mengatakan semua hal yang muncul di kepalanya. Sialnya, kepalanya seperti kotak pandora: bikin penasaran tapi juga membuat orang menyesal setelah membukanya. Pikiran Nadhira berisi hal-hal ajaib, mistis, mengerikan, teror, peta—

"Apa?"

"Pe-ta-ka."

Sial! Aku keceplosan.

"Petaka? Apaan sih? Tadi lo bilang snake."

Aku mengangkat bahu, melempar senyum lebar sambil mengacak-acak rambutnya yang membuatku sakit mata. Oh, sepertinya tanganku mulai auto-moving saking tidak tahan ingin menjambak rambut sialan itu. "Yep! Aku bilang, you are snake." Aku tertawa luar biasa keras.

Nadhira mencebik pelan, "Berapa banyak ular yang lo tahu?"

"Satu! Ular kobra. Manipulatif. Bahaya. Berbisa" Aku berjalan mendekat ke arahnya. Punggungku sedikit membungkuk, membuat wajah kami cuma berjarak beberapa senti, membuatku bisa menghidu aroma alkohol yang menguar dari mulutnya yang sedikit terbuka. "Kamu!"

Nadhira terkekeh pelan dan sejujurnya, aku lumayan terkejut. Apa dia sama sekali tidak tersinggung? Baguslah. Dengan begitu, aku bebas memanggilnya ular. Terdengar cocok untuk Nadhira.

"Randu...,"—Nadhira berdeham, matanya menatapku tak berkedip,—"nggak semua ular punya bisa. Lo tahu piton kan, Ndu? Lo tahu gimana piton menghabisi mangsanya?"

Napasku tercekat, mendengar setiap kalimat yang diucapkan Nadhira dengan penuh penekanan. Sepertinya, ini mulai tidak lucu. Oke, aku tahu piton atau sanca. Mereka....

"Piton ahli kamuflase, jago renang dan lumayan sabar. Sewaktu dia lihat mangsa, dia akan memastikan mereka lengah."

Kutarik napas perlahan-lahan.

"Begitu momennya pas, dia akan langsung serang. Oh, kalau lo nggak tahu, piton bisa bergerak satu mil per jam."

Aku tidak suka Nadhira menatapku seperti sekarang. Kata orang, mata itu seperti jendela terbuka untuk melihat ke hati dan pikiran. Tapi Nadhira tidak begitu. Matanya, seperti senjata untuk menarik perhatian lawan, seperti magnet yang membuat siapa pun yang menatapnya tak bisa lagi menolehkan muka.

"Piton akan melilit kuat-kuat di leher, di tangan atau di perut ... sampai oksigen berhenti."

Aku mencoba membuka mulut, tapi mendadak ototku kelu.

"... semakin mangsanya berusaha kabur, lilitan semakin kuat, sampai dadanya mau pecah saking sesaknya. Rasanya sakit, kan?"

Kutelan ludah. Ah, tenggorokanku betulan sakit.

"Beruntung kalau ketemu piton ukuran besar, penderitaannya mungkin nggak akan terlalu lama karena langsung kehabisan napas. Tapi patah tulang sih pasti. Atau mungkin...." Nadhira yang cuma setinggi pundak akhirnya bangun. Perlahan. Kepalanya mendongak, menatap mataku tanpa rasa takut. Mungkin, dia memang tidak pernah punya rasa takut.

"Ehm, Nadh...."

"... lambungnya pecah karena dililit terlalu kuat. Lalu darah masuk ke rongga perut dan terjadi nyeri hebat yang ... gue nggak bisa bayangin." Nadhira menggeleng pelan, lalu melanjutkan, "Terlalu banyak darah keluar lalu kehabisan. Belum lagi tulang remuk, dada sesak, kepala sakit karena kurang oksigen."

Kepalaku mulai berdenyut.

"Percaya deh, Ndu, itu cara mati yang paling menyiksa sampai akhirnya mereka cuma bisa berharap dalam hati ... semoga di kehidupan berikutnya mereka bisa jadi ular."

Sesaat kami cuma diam, saling berpandangan. Aku sampai bisa mendengar detik jam di tangan, juga jantungku yang berdebar tak karuan.

"Kalau gue jadi ular, gue nggak perlu punya bisa."

Tidak ada kalau. Dia memang ular. Dan aku seperti sedang berhadapan dengan ular yang marah, yang melilit tubuhku dan tidak akan membiarkanku lepas sebelum hancur.

Aku bisa melihat seekor piton di mata cokelatnya yang menusuk kegelapan mataku.

Lalu ... Nadhira tersenyum. "Gue nonton itu di film." Nada suaranya kembali normal, membuat suasana yang tiba-tiba mencekam langsung cair, membuatku menyumpah dalam hati. Oh, aku tidak akan pernah—tidak sekali pun—menonton film tentang ular lagi.

Nadhira kembali duduk (aku betulan bersyukur dalam hati) dan mulai menghabiskan sisa roti lapis di piring.

"Ehm, aku berangkat, ya." Kuembuskan napas, menetralkan jantung yang mulai kembali normal. "Oh, jangan nonton film ular lagi."

Aku berbalik, bersiap pergi. Setelah yang terjadi barusan, satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang adalah keluar dari rumah, minum secangkir teh sambil mendengarkan Dave Koz. The Beatles juga boleh. Apa saja, asal bisa membuat pikiranku bersih dari bayang-bayang ular berwajah Nadhira yang berkelebatan.

"Randu! Tadi baru tujuh...." Baru sampai di ambang pintu, Nadhira memanggil lagi. Aku berbalik, mengerutkan kening saat mendapati Nadhira yang tersenyum. Sinar matahari menerobos jendela yang berada tepat di belakangnya, membuat wajahnya terlihat cerah seperti malaikat. Sayangnya aku terlanjur tahu, kalau dia itu setengah siluman.

"Tadi lo tanya, delapan kata yang pertama kali muncul di otak gue. Gue baru jawab tujuh."

Aku mendengus pelan. Memangnya apa urusanku, lagi pula aku cuma iseng tadi.

Tak ambil pusing, aku berbalik lagi, meneruskan langkahku yang sempat terhenti. Aku tidak peduli apa kata kedelapan. Aku tidak peduli apa yang ada di pikiran Nadhira. Aku juga tidak peduli, kalau aku mungkin saja berhalusinasi saat mendengar suara serak—mirip Nadhira—meneriakkan sesuatu yang sekarang menggaung di kuping bahkan setelah mobilku meluncur ke jalanan dan terjebak hiruk pikuk Jakarta:

heart....

***


Aku melirik lagi jam di tangan kiri yang sudah menunjuk angka dua. Waktu seringkali bergulir terlalu lambat, padahal kita ingin sedikit adanya percepatan. Belakangan aku memang berharap bisa melompat ke tahun depan. Mungkin saat itu aku sudah bebas dari jeratan ular piton seperti Nadhira. Mungkin saat itu, aku sudah bisa menikmati udara bebas.

Sayangnya, sebelum sampai ke sana ... aku harus melewati hari ini.

Dan aku tidak suka.

Sabtu ini, Mama mengundang keluarga Nadhira ke rumah. Yah, semacam makan malam santai dua keluarga yang baru dipersatukan lewat pernikahan penuh kutukan antara aku dan Nadhira. Sejak pulang dari Bali, kami memang belum berkumpul lagi. Aku dan Nadhira baru sekali ke rumah papanya, makan siang sama-sama sebelum beliau terbang ke Surabaya untuk seminar tentang sesuatu yang aku tidak tahu—berhubungan dengan kesehatan pastinya. Aku lebih sering mengunjungi Mama sendiri, mampir sebentar setelah meeting di luar. Jangan tanya bagaimana rewelnya Mama: menanyakan kabar Nadhira, kapan kami menginap di rumah, Nadhira suka makan apa (aku hampir keceplosan bilang dia lebih suka minum), kapan hamil.... Yang terakhir biasanya membuatku mendadak kena serangan migren.

Aku tidak ingin mengecewakan Mama, tapi ... kedatangan seorang bayi dalam pernikahan kami jelas sebuah bencana.

Dan  sekarang, si pembawa bencana itu belum juga keluar dari kamar.

"Nadh, buruan dong!" teriakku dari bawah. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di balik pintu yang sekarang tertutup. Aku belum melihatnya sejak semalam. Waktu aku pulang kerja, Nadhira tidak ada.  Sampai aku beranjak tidur tengah malam, dia masih belum pulang. Pesan terakhirnya jam sembilan bilang kalau dia mungkin pulang telat. Aku menduga dia berpesta di club, mabuk-mabukan, bersenang-senang dengan teman-temannya yang ... yang ... aku tidak kenal satu pun teman Nadhira.

Dan pagi tadi waktu aku bangun, pintunya juga masih tertutup.

Tak sabar, aku akhirnya naik ke atas, mendatangi kamarnya yang berada tepat di samping kamarku. Saat aku membeli rumah ini, aku sengaja membuat kamar bersebelahan. Kalau suatu saat aku menikah (jangan tanya siapa yang ingin kunikahi) dan punya anak, aku ingin memastikan anakku selalu berada di dekatku. Sesederhana itu. Setelah Nadhira pergi, kurasa ada baiknya aku memanggil pendeta untuk menyucikan kamar dengan doa-doa dan semacamnya.

"Nadh...,"—aku mulai mengetuk pintu—"kamu lama banget, sih. Kamu nggak lupa pasang baterai jam, kan? Nggak lupa kita ke rumah Mama, kan? Ayo dong!"

Belum ada jawaban dan aku mengetuk lagi. "Nadh...."

Masih tidak ada jawaban. Mungkin Nadhira butuh gedoran. Jadi, aku mengangkat tangan tinggi-tinggi, bersiap memukul dan....

"Heh, lo berisik tahu nggak?" Dia akhirnya membuka pintu, menggerutu dan masuk lagi ke dalam, meninggalkanku yang cuma melongo bego.

"Sumpah lo itu jauh jauh jauh lebih ribet dari cewek," racaunya sambil menguncir rambut seperti ekor kuda. Tangannya tampak terampil melilit ikatan dengan lapisan rambut hingga tertutup semua. Bagian samping juga di... di... dibuat sedemikian rupa (apa sih namanya kalau rambut dianyam) sebelum disatukan dengan sisa rambut yang lain.

Setidaknya, rambutnya tidak terlalu ekstrem kalau dibuat seperti itu.

Dua hari lalu, aku memang wanti-wanti ke Nadhira untuk menjaga sikap—juga penampilannya. Aku tidak mau dia seenaknya di depan Mama atau di depan papanya setelah kami menikah. Bukankah dulu dia bilang ini seperti bermain peran? Jadi aku juga ingin memainkan peran suami yang bisa menjaga tingkah isterinya. Lagipula, aku belum mau membuat Mama shock apalagi dengan rambut seperti itu.

Hanya saja....

Kutelan ludah.

Hanya saja....

Aku tidak mengira akan menemukan Nadhira dengan rok kuning mustard berbahan satin yang menjuntai sampai lutut. Tank top putih ketat membuat dadanya membusung, juga menegaskan pinggangnya yang ramping. Ditambah gaya rambut seperti itu, Nadhira tampak seperti perempuan manis.

"Daripada lo bengong di situ, mending masuk dan bantuin gue pake ini," perintahnya sambil menunjukkan sebuah kalung ke arahku.

Sebelah alisku terangkat.

"Randu!" Nadhira menyentak dan aku tersentak (oh, tentu saja).

"Ehm, ya?"

"Bantuin dong! Plis...."

Aku pasti salah dengar. Nadhira bilang "plis"?

Sebelum dia menyadari tingkahku yang mendadak canggung—aku sendiri tidak tahu kenapa, aku berjalan mendekatinya. Nadhira menyerahkan kalung putih dengan liontin hati padaku, lalu memutar tubuh dan menyibakkan rambutnya ke depan.

"Ini dikasih sama Mama," ujarnya setengah berbisik.

Aku maju selangkah, merapatkan tubuh hingga tanganku bisa menjangkau lehernya yang jenjang. Nadhira pasti menyemprotkan parfum di situ, karena aroma harum dan manis lagi-lagi masuk ke hidung lalu dengan cepat menyebar ke paru-paru. Pikiranku dipenuhi potongan gambar green peer, lemon, cedar, bunga violet dan kijang musk melompat-lompat sekarang.

"Oh, ya?" jawabku asal sambil memasangkan kalung ke lehernya. Rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar kulit kecokelatan menarik mataku untuk terus turun, menikmati lekukan yang pernah menyembunyikan wajahku saat kami bercin—

Bukan!

Bukan bercinta!

Kami tidak bercinta!

Kami hanya ....

Seks!

Ya, itu cuma seks.

Itu cuma pelampiasan nafsu.

Itu bukan bercinta.

"Randu...."

Kubuang napas pelan. Aku tidak sadar kalau tadi aku menahan napas.

Saat Nadhira menggeliat, saat itulah aku sadar kalau aku melakukan kesalahan. Harusnya aku tetap menahan napas karena udara yang terembus dari mulutku justru menyentuh kulitnya yang kini meremang.

Ya Tuhan ... kembalikan pikiranku. Aku harus tetap waras.

"Ndu...," Nadhira memanggil lagi.

"Hem."

Dia berbalik. Gerakannya yang dramatis membuatku harus bersusah payah menahan desir darah yang turun ke selangkangan, terutama saat mataku mendapatkan mata cokelatnya. Tidak seperti biasanya, tatapan Nadhira sama sekali tidak mengintimidasi. Matanya terlihat tenang seperti anak kucing yang baru saja diselamatkan dari jalanan.

"Gue pikir kalau gue pakai ini, Mama bakalan seneng," katanya lagi.

Kutelan ludah, menyadari tubuh Nadhira yang kini menempel padaku. Ganti bulu tanganku yang sekarang meremang, saat tak sengaja bersentuhan dengan kulit tangannya yang terbuka.

"Kamu ..."—kutarik napas dalam-dalam—"kamu nggak pakai tank top doang kayak gini, kan?"

Shit! Apa tadi aku benar-benar mau bilang ini?

Nadhira terkekeh pelan. Senyum di wajahnya yang bersih dari bedak—sepertinya dia cuma mengoleskan lipgloss—terkembang samar. Matanya masih menatapku, membuatku bisa melihat pantulan wajahku sendiri di sana.

Ini cuma perasaanku atau waktu memang benar-benar melambat sekarang?

Meski tidak ingin mengakuinya, Nadhira memang menarik. Dia bukan tipe perempuan dengan riasan, attitude kemayu yang artificial atau gerakan seksi yang dipaksakan. Dalam dirinya, dalam caranya menatap, dalam setiap keyakinan yang dimilikinya, ada sebuah kualitas yang membuat orang merasa terikat. Ia menarik perhatian sama mudahnya dengan magnet menarik serpihan logam. Dan itu seperti sesuatu yang alamiah, mudah diterima, datang dengan sendirinya tanpa butuh banyak usaha.

Dalam dirinya, ada magis yang bisa membuat tanganku seperti ingin bergerak sendiri.

Dan saat itulah aku berharap...

waktu...

benar-benar...

berhenti...

di sini....

"Ya nggaklah!"

Aku tersentak! Lagi.

Nadhira berlalu dari hadapanku yang kini sibuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia mendekati ranjang dan mengambil kemeja denim yang teronggok di atasnya.

"Tenang aja, gue pake ini kok!"

Aku masih berdiri, memperhatikan Nadhira yang sekarang menggulung lengan kemejanya sampai siku dari pantulan kaca. Kancingnya dibiarkan terbuka, menciptakan kesan casual tapi tetap manis. Sepertinya, aku terlalu banyak menggunakan kata manis hari ini.

"Ready!" pekiknya pelan. "Yuk, jalan!" Dia kembali melewatiku, mengambil kacamata hitam di atas meja rias, membuat aroma manis (aku memakai kata ini lagi) kembali menyeruak.

Tapi ... tak tahu kenapa, aku masih saja berdiri.

Waktu di pikiranku, belum dimulai lagi.

Sialnya, aku bahkan tidak mengerti.

"Randu!"

Aku menoleh, menatap Nadhira yang sudah berdiri di depan pintu.

"Ayo dong! Tadi bawel ngeburu-buruin gue. Sekarang malah diem doang di situ!"

Aku tersenyum kecut saat Nadhira berlalu ... meninggalkanku yang masih berdiri kaku.

Apa yang terjadi barusan?


***

Pesan moral :

Sewaktu ketemu ular, nggak sengaja nginjek misalnya, jangan langsung kabur. Percaya deh, dia bisa gerak cepat.
Kalau merasa terganggu, ular biasanya gak langsung serang, tapi dia waspada dengan mengangkat kepala. Ular itu penglihatannya gak tajam, agak ngeblur tapi dia punya semacam sensor panas. That's why, kalau lagi kayak gitu, kita diem aja. Sebisa mungkin kurangi gerakan (sambil mikir pastinya, ada sesuatu yang bisa dipakai gak kalau tiba2 dia beneran menyerang)
Ular cuma mengancam, kalau kita gak terintimidasi, dia akan pergi. Begitu kepalanya gak tegak lagi, you're free to leave.

Please jangan tanya dari mana saya tahu. Dan jangan tanya, ini pesan moral macam apaaa 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top