12: how to be a snake for dummies
Saya update siang, jadi masuknya Kamis dong ya, bukan maljum. Dan entah kenapa berasa ada yang nggak lengkap☹️☹️ #halaaah
kemarin lagi iseng buka pinterest nemu foto di atas, terus mendadak pengin bikin scene Banyu😍😍
Mwahahha. What do you think? Kiyut banget gak sih?
*****
"Sinting!"
Nadhira kembali mengalihkan pandangan ke tivi, tak peduli dengan mataku yang melotot mendengar syarat yang dia minta kalau aku ngotot minta bantuannya jadi model untuk demo iklan yang sedang kukerjakan. Aku hampir-hampir lupa caranya bernapas sementara Nadhira asyik makan es krim coklat. Bukannya menanggapiku, dia malah tertawa, menonton spongebob mendonorkan pita suara pada squidward yang justru benci suaranya.
Kutelan ludah. Kelat, pahit ... bikin perut mual kepingin muntah.
"Nggak boleh ya udah," ledeknya. "Lagian yang butuh kan lo, bukan gue."
Aku mendengus. "Kamu nggak sekalian aja minta mobil, Nadh," sarkasku.
"Oh, gue mau minta sih tadi, cuma waktu gue tahu ini cuma demo jadi gue pikir keterlaluan. Kalau ternyata goal, baru deh gue minta." Nadhira menatapku yang masih melongo lalu tersenyum lebar. Rasanya, aku ingin merobek mulutnya.
"Nih, sekarang lo pikir ya, Ndu." Nadhira meletakkan es krimnya di meja, lalu mengangkat kedua kaki ke sofa dan bersila menghadap ke arahku. "Kalau lo cari orang, susah sih tapi ya anggap aja lo dapet, lo harus bayar. Sebut aja dua juta, biaya ke salon lo yang tanggung. Lo keluarin kas kantor, tunai! Kalau gue ... gue nggak minta tunai. Gue cuma minta satu CC lo. Yang bayar juga kan gue. Lo rugi apa? Nggak ada, kan? Malah lo yang untung lagi."
Aku makin melongo.
"Gimana?" Nadhira menjentikkan jari, membuatku terkesiap. "Mau cari orang lain dulu?"
Ludahku makin kelat, makin pahit ... makin bikin perut mual.
Ini semua gara-gara Deva! Dia yang mencetuskan ide untuk memakai Nadhira. Aku sudah bilang untuk cari orang lain saja, tapi dia ngeyel.
"Nih ya, Mas, kalau kita cari orang lain udahlah susah, lama, bayar pula. Lagian rambutnya udah keren gitu. Tinggal shoot aja, Mas, bisa langsung mulai. Seminggu kelar, kasih ke Pak Willy. Kalau mereka nggak puas, kita masih punya sisa waktu buat revisi. Ayo dong, Mas. Chance kita besar, nih. Lagian, kalau sama Mbak Nadhira nggak perlu bayar, Mas. Rejeki suami sama aja rejeki isteri, kan?"
Aku ingin lompat dari gedung saat itu juga. Bagaimana aku harus jelaskan ke Deva kalau hubunganku dan Nadhira tidak seperti suami-isteri pada umumnya?
Bagaimana aku harus bilang kalau Nadhira akan mengambil setiap kesempatan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan?
Bagaimana aku harus membuatnya mengerti kalau Nadhira menikmati penderitaanku?
Bagaimana aku harus membuktikan kalau Nadhira itu manusia setengah siluman?
Kutarik napas dalam-dalam....
Setelah dua hari maju-mundur, akhirnya malam ini aku nekat juga dan ya ... aku menyesal.
"Woi!" Nadhira teriak di depan mukaku. "Gimana, Beb? Bonus service, deh. Nggak usah pake kondom, tapi di luar?" Sebelah alisnya terangkat, membuatku sesak napas. Senyumnya miring, seperti tokoh antagonis di sinetron hidayah. Ah, aku mendadak diserang migren.
"Mau nggak?"
Kuembuskan napas berat, tepat di depan mukanya. "Nggak!"
Alah-alih kesal, Nahdhira malah tertawa. Setelah menjitak kepalanya, kutinggalkan Nadhira di sofa ruang tengah, bersama es krim cokelat dan spongebob yang juga terbahak-bahak.
"Ntar juga lo balik lagi ke gue!" teriaknya lagi.
Dia ... gila!
***
"Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday, My Big Man. Happy birthday to you...."
Aku tersenyum, bersamaan dengan lagu yang selesai dinyanyikan Bimala untuk Banyu. Anak itu kelihatan ganteng dengan kostum superman. Dia tertawa hingga lesung pipinya terlihat (mengingatkanku pada lesung pipi ibunya), tak sabar ingin segera meniup lilin ulang tahun. Saat Bimala selesai bernyayi, Banyu langsung meniup lilin sampai mati dan membuatnya ngomel.
"Make a wish first, Banyu!"
Banyu tertawa nakal dan ritual tiup lilin pun diulang, tapi lagi-lagi dia melakukan hal yang sama.
"I don't want anything else. I already have you," katanya polos lalu memeluk Bimala yang menahan haru (aku bisa melihat dari senyum dan matanya). Ah, mataku sedikit—cuma sedikit—memanas. Aku sungguhan berharap ada di sana bersama mereka.
Kuusap kepala. Rasanya rambutku sudah terlalu tebal. Mungkin ini kenapa belakangan kepalaku terasa berat (selain gara-gara Nadhira tentunya). Pipiku mengembung, persis ikan buntal, menyesali ingatanku yang benar-benar payah. Selama lima tahun, baru kali ini aku lupa ulang tahun Banyu. Kalau bukan karena rekaman video yang dikirim Bimala, entah kapan aku baru akan mengingatnya.
"Uncle Raaannn...."
Kusentuh layar, membayangkan tanganku benar-benar merasakan kulit Banyu yang halus saat dia meneriakkan namaku. Mataku tak bisa berpaling dari mata hitamnya yang polos, hidup dan selalu antusias. Banyu mewarisi garis muka ayahnya. Mereka punya alis yang sama, bibir yang sama, bahkan hidung yang sama. Tapi matanya.... Meski irisnya gelap seperti milik Banyu, tapi dia memiliki sorot mata Bimala. Dan aku tidak akan pernah lupa, bagaimana sorot seperti itu selalu menatap langsung ke kedalaman mataku. Menimbulkan getaran yang aku tahu, cuma dia yang bisa begitu.
Aku ingat saat dia datang ke tengah lapangan, mengambil bola basket dari tanganku dan memaksaku berbagi lapangan dengan timnya. Aku menolak tentu saja. Bukan karena jadwal sudah diatur dan hari itu jatah tim basket laki-laki, tapi karena entah kenapa, aku suka melihatnya mengetatkan rahang. Aku suka saat matanya menantangku, berusaha mengintimidasiku dengan keberaniannya yang selalu dikagumi teman-temanku yang lain.
Hari itu, dia menantangku. Kalau kalah, aku harus mengikuti kemauannya untuk berlatih sama-sama. Sebetulnya, itu ide yang bagus, karena dengan begitu, kami bisa latihan lebih sering. Cuma ada satu lapangan basket di sekolah, dan jadwal dibagi dua: Selasa untuk anak laki-laki, dan Rabu untuk anak perempuan. Aku bisa memenangkan duel one on one itu—seharusnya. Bimala, meski dia hebat, tetap saja bukan lawanku. Skor terakhir bisa saja kurebut kalau aku masuk ke low post lalu melakukan lay up (I'm good at this), tapi aku mengurangi dorongan saat jump shoot hingga bola cuma membentur pinggiran ring. Aku kalah dengan selisih satu poin. Yang tidak Bimala ketahui ... akulah pemenang sesungguhnya.
"I miss you, Uncle Ran...."
Banyu teriak lagi dan aku tidak tahan untuk tidak tertawa.
"We're going to Disneyland. I'm gonna ride a rollercoaster. I'm not afraid. I'm a brave man, like daddy, like superman. Do you know superman? Once Daddy was superman's best buddy. He hit bad guy. And kicked them all in their asses. I'm as strong as Daddy...," dia terus meracau dan aku semakin gemas. "I'm strong .... Errrgggh...," dia teriak sambil menggeram dan memukul dadanya seperti kingkong. Bimala tertawa. Aku ikut tertawa.
"Okay, that's enough. Say bye." Bimala akhirnya membuat teriakan anak kecil yang hampir kribo itu terhenti.
Cepat-cepat Banyu mendekat ke kamera, memonyongkan bibir seolah dia betulan mau menciumku. "Bye Uncle. Bye bye bye...."
No! Aku tidak mau selesai. Aku belum mau videonya mati. Aku mau lihat lagi. Aku ingin melihat senyumnya yang menggemaskan lagi. Aku belum puas menatap wajah Bimala. Aku belum—
"Wooow...."
Demi Tuhan, apa yang dilakukan wanita ini di sini? Tidak bisakah dia memberiku ketenangan—sedikit saja—di ruang kerjaku sendiri?
"Lo baru beli guitar hero?" Tanpa permisi (dan seingatku dia memang tidak pernah minta ijin soal apa pun) Nadhira nyelonong masuk ke ruangan pribadiku. Diambilnya box Guitar Hero IV komplit dengan guitar console yang baru kubeli minggu lalu dari book shelve yang menjulang tinggi. Cepat-cepat kututup macbook sebelum Nadhira menyadari apa yang sedang kulakukan. Aku tidak tahu kenapa refleks melakukannya, tapi aku sungguhan tidak ingin menjelaskan apa pun mengingat jiwa ingin tahunya yang kadang menyusahkan. Lagipula, itu sama sekali bukan urusannya, kan?
"Pelit banget sih diumpetin di sini?"
Kubuang napas jengah. "Hem," sahutku tak acuh.
"Pinjem, ya!" rayunya sambil mendekat ke arahku. Belahan dadanya terlihat karena terlalu menunduk, membuatku menelan ludah. Wajahnya tepat di depanku, membuatku bisa merasakan napasnya yang beraroma mint. Dia pasti baru gosok gigi.
"Nggak! Baru kemarin NFS aku kamu patahin. Nanti yang ada, itu kamu patahin juga."
Nadhira mendengus sebal, tapi aku tidak peduli. "Ye, kan gue udah minta maaf nggak sengaja."
Aku masih bergeming dan pura-pura sibuk memainkan handphone.
"Dasar Gober!" ledeknya. Aku terkekeh. Dari ekor mata, kupandangi Nadhira yang mulai melihat-lihat koleksi buku yang kutata rapi. Dia terlihat tertarik, tapi mungkin tidak. Entahlah. Di mataku, dia selalu begitu. Dua hari lalu, waktu melihat foto-foto hasil bidikan Rio juga dia sepertinya antusias.
"Gue belum pernah masuk sini kayaknya ya? Dan ini buku lo kenapa bahasa inggris semua, sih? Nggak ada yang bahasa indo gitu? Gue dengerin orang ngomong aja pusing, apalagi baca setebel itu? Lo dulu kuliahnya gimana? Nggak pusing emang?"
Aku tidak menjawab ocehannya.
"Apaan nih? The Art of Client Service? Ha! Kalau The Art of Seduction gue tahu!"
Aku terkekeh lagi sambil geleng-geleng. "Oh ya? Kamu baca? Itu kan bahasa inggris juga."
Nadhira menengok ke arahku. "Gue? Nggak bacalah! Cuma diceritain isinya. Gue suka bagian Cleopatra."
Aku mengangguk paham. Sebetulnya, aku juga tidak pernah baca buku itu. Bimala yang cerita. Katanya, itu semacam literasi tentang esensi rayuan, manipulasi, cara menanamkan pengaruh dengan sangat halus—mungkin hampir tidak terdeteksi—dalam sejarah. Penulisnya bahkan memasukkan nama-nama besar seperti Casanova, JF Kennedy, Einstein, Josephine Bonaparte dan yeah ... Cleopatra. Aku ingat, Bimala juga menggunakan kata-kata seperti logical and manipulative seduction of ultimate power trip yang bisa membuat seseorang—bahkan masyarakat—fall under our spell.
Aku bergidik membayangkan buku menyeramkan semacam itu. Sebetulnya, di kepalaku lebih terdengar seperti Buku Panduan Menjadi Siluman Ular Untuk Pemula. Yeah, I thought so.
"Jadi ... mana buku yang nggak ditulis pake bahasa alien?"
Aku berusaha keras untuk tidak tertawa. "Mulai dari ujung kanan. Lagian, kenapa nggak belajar bahasa alien juga?"
"Pertama, gue nggak punya antena di kepala. Kedua, gue dewi yang nyasar ke badan manusia, jadi mau nggak mau gue mesti bisa ngomong bahasa mereka—"
Ah, ya ... dewi ular. Aku mendengus geli.
"... ketiga, kalau gue fasih bahasa alien juga, apa menurut lo gue nggak terlalu sempurna? Masa gue nggak punya kekurangan sama sekali, sih?"
Aku yakin dia tadi cuma makan es krim, tanpa shabu-shabu.
"Tapi, asal nggak panjang-panjang, gue bisa kok. Cuma males ngapalin vocab aja."
Aku menganguk-angguk sok paham.
"Pelajaran Dari Daud?"—Nadhira mulai mengabsen buku—"The Fatherhood Principle, Lelaki Tua dan Laut, yang ini gue tahu, Of Mice and Man, gue juga tahu."
Aku tersenyum miring.
Nadhira mengacungkan telunjuk, menyusuri judul-judul yang dibacanya. "Hidup lo nggak bahagia banget ya. Nggak ada komik Marvel atau Gober Bebek gitu? Atau.... Shit! Tsamara Amany, Curhat Perempuan—Soal Jokowi, Ahok dan Isu-Isu Politik Kekinian ... banget?"
"What? Apa yang salah?" Kurentangkan kedua tangan, menghadap Nadhira yang menatapku seperti sedang menatap alien hijau yang punya antena.
"Ehm, setelah semua buku-buku nggak manusiawi itu, ditambah politik? Gue ikut berduka ya, Ndu.... Oh, gue nggak kenal penulisnya betewe. " Dia mengangkat bahu, membolak-balik buku entah mencari apa.
"Mahasiswi komunikasi. Masih dua satu, politikus muda yang idealis, ketua DPP parpol dan baru-baru ini dia maju jadi calon legislatif. Cantik, pinter, paket komplit kan? Dia seksi."
"Jadi ini cara pria tiga puluhan yang lagi menuju fase om-om menilai cewek? Cantik, muda, ngomongin politik? Itu seksi, ya?"
"Smart is the new sexy."
"Oh, ya? Terus menurut lo, kategori smart itu apa? Bikin buku? Bisa bahasa alien? Lulusan luar negeri kayak lo? Punya title dan nggak DO?"
Oke, ini berlebihan. Aku tidak bermaksud menyinggungnya, itu pun kalau dia merasa tersinggung. Begitu mengembalikan buku ke rak, Nadhira berjalan ke arahku—pelan. Mata cokelatnya menatap langsung ke mataku, tanpa takut, tanpa canggung. Setiap geraknya pasti, penuh percaya diri dan ... manipulatif.
Kutegakkan punggung.
"Gimana kalau gini, smart itu sewaktu seseorang bisa tetap jadi dirinya sendiri dan bisa menempatkan dirinya di setiap situasi? Kalian biasa pakai istilah apa? Surviving skill?"
Kutelan ludah.
"High adaptive behavior?"
Sebelah alisku terangkat sekarang. Jadi, dia kenal istilah itu juga?
Nadhira berhenti, tepat di depanku. Tangannya bertumpu di kedua pegangan kursi yang kududuki. Dia menunduk, memangkas jarak di antara kami, membuat aroma downtown kembali menyesaki hidung.
"Jadi ... mana definisi smart yang lebih lo suka? Intelejensi? Atau attitude? Kemampuan menciptakan solusi cepat saat dia mendapat masalah? Atau"—Wajah Nadhira semakin dekat, hidungnya menyentuh puncak hidungku—sewaktu seseorang bisa menciptakan banyak strategi untuk mendapatkan apa yang mereka mau?"
Napasku tercekat. Jarak kami begitu dekat—terlalu dekat, dan aku berdoa semoga Nadhira tidak perlu menyadari jantungku yang berdetak terlalu cepat?
Rasanya, seperti aku baru saja menginjak ekor ular, lalu dia marah dan mengangkat kepala; menantangku dengan leher terjulur panjang, siap menghabisiku dengan bisanya yang mematikan.
Oke, ini berlebihan.
"Um, Nadh...,"—kuangkat tangan di depan dada, menciptakan sedikit jarak untuk bisa bernapas lega—"do not take it seriously. Maksudku ... ehm, aku sama sekali nggak—"
"I do not!" potong Nadhira cepat. Matanya masih menatapku, tajam, membuatku seperti baru saja melakukan dosa besar. "It seems like, you love smart woman, isn't it?" dia berkata lagi, pelan dan penuh penekanan.
Lalu, sudut bibirnya terangkat naik, membentuk seringai dingin yang membuatku bergidik ngeri. Aku yakin, di tubuh Nadhira bersemayam makhluk paling mengerikan yang pernah ada. Dan yang bisa kulakukan di sini, di depan Nadhira yang seperti menikmati siksaanku di bawah intimidasinya, cuma melongo.
"Hah! Kalau pelan-pelan sih gue bisa. Kecil," pekiknya sambil tertawa.
Apa-apan tadi?
Nadhira menjentikkan jari, setelah kembali berdiri tegak. Seringainya hilang, berganti senyum nakal seperti anak kecil yang akhirnya berhasil mendapat es krim lagi setelah merengek seharian. Dan dalam kasus ini, itu bisa jadi senyum kemenangan setelah membuatku seperti orang tua tolol yang cuma bisa diam dipermainkan anak kecil. Demi Tuhan, aku jauh lebih tua darinya.
"Smart woman, isn't it? Apa itu ya namanya tadi? Question tag? Eh iya bukan sih?" dia mulai meracau lagi sementara aku masih melongo. "Gampang! Kalau gue privat, sebulan gue pasti udah kayak native."
Aku mendadak sesak napas.
"Atau gue privat aja ya?" tanyanya retoris.
Tak peduli reaksiku yang masih syok melihat kelakuannya, Nadhira berbalik dan berjalan keluar. Hanya Tuhan yang tahu betapa besar rasa syukur yang kupanjatkan dalam hati. Sayangnya, belum sempat aku menarik napas, Nadhira tiba-tiba muncul lagi di ambang pintu dengan senyum tertahan.
"Gue mau nantangin lo!"
Oke, apa lagi kali ini?
"Itu!"—jarinya menunjuk guitar hero yang masih diam di salah satu kotak rak buku—"kita main lima ronde. Kalau lo menang, gue mau jadi model di demo iklan yang lo buat. Gratis!"
Tak dipungkiri, aku sedikit tertarik.
"Kalau aku kalah?"
Nadhira tersenyum lagi. "You don't wanna know!"
Aku terkekeh. Aku bahkan belum menjawab apa-apa dan Nadhira sudah menghilang. Sosoknya yang cuma pakai hotpants dan tanktop hitam memang tidak terlihat, tapi aku bisa mendengar suara tawanya, keras, menyebalkan, sambil teriak "I fuck English!"
Siluman ular profesional itu ... benar-benar sudah gila.
****
So, who's gonna win the battle😌
Everybody knows, but how???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top