11: how she ruined my life
Hiii ... aseli ya ini ngebut.🤣😂😂
biasanya, sebelum publish saya udah nulis dua hari sebelumnya. Ini sampai tadi jam 10 masih kosong blong. jadi, maaf-maaf kalau rada ... ngeselin?😌😌
jangan bully Nadh ya kalau bikin emosi.
Inget lo, maljum. malam penuh berkah🙈🤗
Di atas, lagu lama, tahun 2000 kalau gak salah punya Rufus King. Ada yang tahu film Bring it on yang bikin namanya Kirsten Dunst naik? Ini salah satu soundtracknya. Saya sih suka.😍
***
PRAAANG
Gerakan tanganku yang sedang mengancingkan kemeja terhenti sebentar. Cuma sebentar. Langsung lanjut lagi setelah semua karbondioksida di paru-paruku keluar. Sebetulnya, aku lebih berharap sesuatu—tidak boleh disebut namanya—yang lain yang keluar (dari rumah). Paling tidak, aku bisa menghemat biaya barang-barang yang pecah (jangan tanya berapa banyak yang sudah dipecahkan)
Akhir-akhir ini Jakarta makin panas, makin macet—sudah pasti—tingkat stress bertambah (semoga bukan cuma terjadi padaku), tapi di rumah ini suasananya lain. Di sini dingin, gelap, pengap seperti gua di jaman es. Jadi jangan heran kalau masih banyak monster dan siluman berkeliaran. Oh, di rumah ini ada siluman. Matanya dingin, taringnya selalu berlumuran darah, kulitnya bersisik, dan tentu saja ... berbisa. Sejak sebulan dia tinggal di sini, di sebelah kamarku, suasana makin mencekam. Aku benar-benar seperti pithecanthropus yang harus terus-terusan sembunyi kalau tidak ingin bertemu monster.
Oke, ini jahat. Tapi aku tidak suka berbohong. Jadi aku akan berkata jujur. Nadhira menyulap rumah ini menjadi dingin, angker dan....
Yeah you make me feelin all those butterflies inside.
In your locker I would hide, the truth
It's only you I see. You're just what I need.
Shit!
Bicara tidak jelas itu namanya meracau. Dari tadi, dari kemarin, dari beberapa hari yang lalu ... aku meracau (kecuali saat aku bilang Nadhira itu siluman). Yang benar, Jakarta gerah karena—mungkin—sudah mulai masuk musim hujan, tapi belum hujan (bagaimana menjelaskannya?). Yang sunyi, tenang, damai seperti cerita-cerita utopis ... itu dulu. Dan sekarang? Twisted! Setidaknya, dengar saja musik yang disetel Nadhira pagi-pagi (catat ini: pagi-pagi). Alternative Rock for god sake. Tidak bisakah dia memasang musik yang lebih manusiawi seperti Frank Sinatra, The Beatles, MLTR kalau perlu. Atau pasang saja koleksi akustiknya. Itu jauh jauh jauh lebih nyaman.
Waktu aku turun, Nadhira sedang duduk di kursi makan. Seperti biasa, sebelah kakinya diangkat dan jarinya sibuk mengetik di handphone—paling chatting. Ada cangkir yang masih mengepul. Tinggal cicipi saja, kalau kopinya manis berarti semalam dia cuma minum sedikit, kalau pahit artinya dia banyak minum, mungkin mabuk. Tapi, aku tidak yakin apa Nadhira bisa benar-benar mabuk.
Dua minggu lalu, jam setengah tiga pagi dia meneleponku minta dibukakan pintu. Katanya kuncinya jatuh entah di mana dan jalannya sempoyongan. Mungkin dia minum bergalon-galon bir dan menurutku itu bisa jadi takaran mabuk seorang Nadhira. Hasilnya, aku melarangnya mabuk di luar. Sebagai kompensasi dia boleh minum di rumah yang sungguh sangat disesali, karena sekarang kulkasku dipenuhi bir.
"Mecahin apa lagi kamu?" tanyaku sinis sambil membuka kulkas dan mengeluarkan kotak cornflakes.
Nadhira melirik sekilas, alisnya terangkat sebelah. Jelas dia tidak dengar kata-kataku barusan. Jadi, aku mendekatinya, mengambil handphone dari tangannya dan mematikan musik.
"Kamu mecahin apa?" aku mengulang lagi.
Nadhira tersenyum jahil lalu merampas lagi handphone-nya sambil menjawab enteng, "Muglah. Gue tuangin air panas, eh pecah. Jelek berarti. Lo mesti beli yang lebih bagusan lagi tuh."
Kuhela napas jengah. "Palingan juga kamu abis pake buat ngebir pake es batu."
Dia nyengir sebentar lalu sibuk lagi dengan handphone.
"Udah panggil tukang sedot WC?" Aku menuang cornflakes ke mangkuk, menyiram susu dan duduk di depannya.
Nadhira mengangkat wajah, menatapku sebentar lalu nyengir lagi. Aku tahu artinya."Ah, gue lupa!"
Aku cuma geleng-geleng sambil berusaha menikmati sarapan.
"Lo nggak bosen apa makan itu mulu?"
Kuputar bola mata. "Yang cewek siapa? Yang jadi isteri siapa? Yang harusnya ngurusin makan aku siapa? Kamu, kan?"
Nadhira mendecih pelan. "Elah, lo nggak pernah bahas begituan kalau lagi ngeseks sama gue!"
Aku berhenti mengunyah. Makanan langsung kutelan meski tenggorokanku rasanya seperti kena radang. Tadinya aku masih berharap, malaikat yang dulu sempat merasuki Nadhira waktu di Bali akan datang lagi. Tapi sepertinya dia juga tidak betah karena aura gelap siluman ini terlalu kuat. Dan ya, sebulan ini kami bercinta sebanyak ... ehm, tiga kali. Ah, bukan empat kali. Tiga kali Nadhira yang minta, dan sekali aku yang minta, tapi itu karena seharian dia menggodaku dengan berkeliaran pakai bikini. Terakhir, dia masuk ke kamarku jam dua pagi. Mulutnya bau alkohol dan dia bilang tidak bisa tidur. Aku ngantuk sebetulnya tapi tangannya mulai menyentuh ... lupakan! Setelahnya, dia kembali ke kamarnya dan tidak bangun sampai aku berangkat ke kantor. Oh, ya kamar kami terpisah. Nadhira yang minta dan aku langsung setuju.
"Lagian, waktu itu gue bikin nasi goreng lo nggak mau makan," dia beralasan lagi.
"Itu pedes banget, Nadh. Aku nggak pernah makan pedes kayak gitu."
"Tinggal minum apa susahnya, sih!" katanya, masih tanpa menatapku.
"Jangan lupa panggil tukang, Nadh. Aku bisa telat terus kalau rebutan kamar mandi. Kecuali kalau kamu inget waktu."
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Nadhira sampai closet-nya mampet. Mungkin dia membuang botol bir di situ, entahlah. Akibatnya, empat hari ini dia tiba-tiba masuk ke kamarku, memakai kamar mandi, berlama-lama di sana karena terlalu malas turun ke bawah dan ... aku tidak suka.
"Weekend jadi, ya?" Nadhira meniup kopinya pelan, lalu menyeruputnya sampai bunyi. "Lo nggak bisa bikin alasan ada urusan apa gitu dan gue harus nemenin lo ke sana. Please? Gue tahu lo nggak bakal suka bermanis-manis. Lagian lo nggak capek apa ekting jadi pasangan baru yang happy gitu. Eh, tapi gue nggak pura-pura, kok. Gue seneng-seneng aja."
Aku mendengus pelan. "Mama udah wanti-wanti dan aku nggak mau ngecewain Mama." Sarapanku masih ada setengah, tapi mendadak aku kenyang. Hari Sabtu besok Mama menyuruh kami ke rumah. Ada semacam barbeque party tapi cuma keluarga saja. Papa dan kakak Nadhira juga akan ada di sana. Jujur, aku juga malas sebetulnya. Tapi waktu semalam telepon, Mama memastikan lagi kami akan datang. Aku mana tega kalau beliau sudah antusias begitu?
"Aku berangkat." Tak ingin berlama-lama, aku akhirnya pamit. "Jangan bakar rumah! Jangan pecahin semua perabot! Jangan lupa panggil tuk—"
"Eh, Randu! Bagi duit dong."
Langkahku terhenti. Lagi? "Minggu kemarin kan udah aku transfer. Masa udah abis, sih? Kamu kan nggak bayar apa-apa. Jangan keluyuran teruslah, Nadh."
Dia mengangkat bahu santai. "Yang kemarin gue beliin kamera. Punya gue di rumah Papa males mau ngambil."
Kepalaku mendadak sakit. Dia bilang beli kamera se-enteng bilang beli nasi padang.
"Gue mau ngecat rambut. Item tuh boring tahu, kayak hidup lo." Lalu dia tertawa keras.
"Nggak ada!"
"Jangan pelitlah sama isteri. Masa sejuta doang perhitungan banget. Gue ganti kalau Papa udah balikin kartu kredit gue."
Oh iya, minggu lalu aku baru tahu kalau ternyata semua kartu kredit Nadhira disita papanya. Dia cuma punya satu ATM. Janjinya akan dikembalikan setelah dia menikah (lebih tepatnya, kalau saat itu dia mau menikah). Dan meski aku berusaha menepis jauh-jauh, tetap saja aku berpikir mungkin ini yang membuat Nadhira setuju menikah denganku. Dia ingin akses keuangannya kembali. Waktu tahu, aku rasanya ingin menenggak semua bir di kulkas.
Kutarik napas dalam-dalam. "Kamu cat rambut di mana semahal itu?"
"Kenapa? Mau ikut? Eh stylist di sana keren-keren tahu. Ada yang khusus cowok juga. Mereka bisa bikin ... apa sih namanya yang kayak digambar gitu? Coba deh, Ndu. Itu rambut lo kayak om-om banget sumpah dilihatnya. Ya gue tahu sih lo udah om-om, cuma ya nggak gitu-gitu banget jugalah. Kalau kita jalan bareng gimana? Gue kan jadi kayak simpenan om-om yang—"
"Nanti aku transfer begitu sampai di kantor!"
Aku menyerah, seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah. Seperti yang selalu kulakukan. Seperti yang memang seharusnya kulakukan kalau tidak ingin masuk koran pagi karena tuduhan pembunuhan seorang suami yang sakit hati pada isterinya.
Aku meracau lagi.
Dan sebelum aku benar-benar keluar, aku masih mendengarnya tertawa sambil teriak, "Kamu nggak mau kasih morning kiss sama aku, Beb?"
Aku dengar di berita, Jakarta mungkin akan semakin panas, semakin macet, dan tingkat stress semakin bertambah.
***
"Kita punya waktu berapa lama?"
Aku menengadah, menatap langit-langit yang warna putihnya mulai kusam. Sepertinya, kantor ini harus dicat ulang.
"Tiga minggu, Mas."
Kujambak rambut frustrasi. Di depanku, Deva masih anteng di kursinya, menungguku memutuskan sesuatu. Begitu juga dengan beberapa staf lain. Nindy duduk di ujung, berseberangan denganku dan tampak sibuk menulis sesuatu.
"Ada referensi nggak, kira-kira siapa gitu?" aku bertanya lagi. "Kamu nggak bisa, Nin? Rambut kamu kan panjang tuh. Cocoklah jadi model iklan shampoo. Timbang kibas-kibas doang depan kamera bisa kali."
Nindy mengangkat wajahnya dan menatapku sambil manyun. Bibirnya yang lebar makin mirip Donald Duck kalau begitu.
"Sarkasnya kebangetan amat sih, Pak? Saya sih nggak apa-apa, tapi kalau proposal nggak tembus jangan salahin saya, ya."
Aku tertawa pelan. "Artis baru deh. Model kelas dua kelas tiga gitu. Atau temen siapa tawarin, kali aja mau bantu. Bayarnya yang murah-murah aja. Kalau nanti demonya oke, kontraknya dapet, kita pakai lagi. Dev, koleksi cewek lo nggak ada yang bisa kita pake, nih?"
Kontan semua orang di ruang meeting tertawa. Apa yang salah?
"Gue sih mau aja, Mas pakenya, asal Mas jangan ikutan pake juga ya," kelakar Deva membuat wajahku kontan memanas. "Kalau ketahuan isterinya, ntar gue lagi yang disalahin."
"Anak setan emang lo! Ya udah, seminggu ini coba cari-cari dulu, deh yang bisa diajak buat bikin demo. Pilih dua atau tigalah, usahain. Sepuluh hari mulai shoot bisa, kan? Nin, jangan lupa contact si Rio, ya. Kita pakai dia aja. Saya kurang suka sama jepretan Dewa. Ttengil juga anaknya, saya males."
Segera setelah semua orang mengiyakan, aku pun bangun, keluar dari ruang meeting. Di jalan menuju ruangan, aku mengobrol dengan Deva soal iklan shampoo yang sedang kami kejar ini. Dengar-dengar sih, target market mereka setelah lokal itu Singapore, Malaysia dan Thailand. Kalau tembus, akan jadi proyek lumayan untuk kami semua.
"Rambut hitam itu biasa, Mas. Udah banyak iklan shampoo yang modelnya tuh rambut panjang, lurus gitu. Cuma susahnya ya itu, siapa modelnya. Apalagi baru buat demo, beda kalau udah jadi iklan. Jarang yang mau rambutnya diwarna-warnain kayak ... anjing! Keren!"
Langkah kami berdua terhenti, sama seperti kalimat Deva yang menggantung dan berakhir dengan makian, tepat di depan pintu ruanganku yang terbuka. Kulihat Deva melongo seperti orang tolol. Dan saat kuikuti arah pandangnya, aku ikut-ikutan berubah jadi idiot.
"Nadh!"
Di sana, di dalam ruangan, Nadhira sedang berdiri menghadap tembok. Dia memakai jeans hitam, t-shirt tipis putih yang ditutup jaket kulit hitam juga. Kacamata hitam (untungnya, sneakernya warna putih) masih menutupi mata cokelatnya. Rambutnya tergerai, jatuh bebas di punggung, membuatku menelan ludah melihat warna ... hijau? Bukan. Biru? Ah, aku tidak tahu.
"Hei! Gue lagi lihat ini,"—Nadhira menunjuk foto lanskap sebuah gedung tua hadiah dari Rio, fotografer lepas yang biasa kusewa jasanya—"keren parah. Siapa yang foto? Kamu, ya? Ajarin dong." Dia melepas kacamata, lalu melempar senyum yang dibalas Deva dengan canggung.
"Ehm, Mas, gue ke ruangan dulu deh. Nanti kalau ada perkembangan lagi gue info ya," pamitnya kemudian.
"What the hell did you just do with your hair, Nadhira!" aku menyentak keras begitu pintu tertutup. Aku kesal. Bagaimana tidak? Rambutnya ... ya Tuhan. Apa itu? Ungu? Biru? Hijau? Mulai dari akar sampai sepertiga bagian warnanya ungu gelap. Apa ya istilahnya, dark purple? Lalu memudar berubah ke biru gelap, memudar lagi sampai jadi baby blue dan terakhir ... hijau? Aku tidak yakin itu hijau.
Yang ada di kepalaku sekarang cuma ekspresi Mama kalau melihat rambut semacam itu.
"Keren. kan? Gue nemu di pinterest tadi pagi. Pas gue kasih sama tuh bencong, dia bisa katanya. Ya udah, gue bikin aja!"
Aku terduduk di sofa, menatap Nadhira yang senyum-senyum meledek. Dia menggigit bibir bawah, tapi rasanya dia sedang menggigit egoku sekarang. Kepalaku mendadak sakit lagi. Tubuhku juga lemas seperti habis bercinta semalaman.
"Kamu mau ngapain ke sini, Nadh?"
Nadhira, siluman ular, putri Lucifer, medusa (silakan tambahkan sendiri sisanya) mengembangkan senyum lebar. "Mau kasih lihatlah. Biar lo tahu kalau duit lo tuh dipakai dengan semestinya."
Kutelan ludah yang mulai terasa pahit.
"Oh, tenang, tukang udah dateng tadi pagi. Jadi gue nggak akan numpang ke kamar lo lagi. Yah ... kecuali kalau kita...."
"Nadh! Do something with your hair. Bayangin komentar Mamaku sama Papa kamu dong kalau lihat penampilan kamu kayak gitu," aku memohon. I really do.
Nadhira mencebik. "Nggak, ah. Enak aja. Ini lama tahu bikinnya, lo seenaknya aja suruh gue ganti warna. Minimal tiga bulan deh, atau sampai gue bosen dan nemu yang lebih oke lagi. Lagian ya, Ndu, Papa udah kebal kali sama gue."
Bisa kubayangkan bagaimana stress-nya Om Wis, maksudku Papa, menghadapi Nadhira.
"Lo tuh terlalu kaku, Ndu. Percaya deh, Mama tuh jauh lebih santai dan gue jamin dia nggak bakal syok lebay kayak lo sekarang. Yah, dikitlah."
Kupikir, virus meracau mulai menyerang Nadhira juga.
"Udah ah, gue cuma mau ngasih lihat doang. Gue pulang malem, ya. Tapi nggak usah kuatir, gue nggak akan mabok kok. Minum dikit doang paling."
Kupijat pangkal hidung, berharap bisa mengurangi pusing.
"Dan ... duit gue abis. Bagi buat ongkos dong." Dia mengulurkan tangan, ke depan mukaku. Daripada tambah pusing, aku langsung saja mengeluarkan dompet dan memberinya beberapa lembar ratusan ribu. Mukanya langsung berubah semringah.
"Thanks, Hubby!"
Nadhira bergerak cepat, membuat mataku nyaris keluar dari rongga karena apa yang dilakukannya. Mulutku menganga, lumayan lebar dan yang pasti memalukan. Sisanya, aku cuma bengong memandangi pintu yang menutup setelah tubuh Nadhira lenyap sambil memegangi pipi kiri.
Anak itu, dia seenaknya mencium pipiku. Kadang, dia membuatku merasa seperti om-om yang betulan punya pacar ABG.
Aku baru mau bangun dan melanjutkan pekerjaan saat Deva nyelonong masuk dan menghampiriku antusias. Terlalu antusias malah.
"Mas, gue udah nemu!" katanya riang.
"Nemu apaan? Nemu calon bini? Bagus, deh!"
Deva mengikutiku yang pindah duduk di kursi kerja. Dia berdiri di sampingku, menumpukan kedua tangannya di permukaan meja. "Ish bukanlah, Mas. Nemu ide berikut cast-nya."
"Oh, ya? Siapa?"
"Isteri Mas!"
Berita terakhir: Jakarta masih gerah, matahari bersinar ganas, macet merajalela (dengar-dengar sampai ke tol Karawang) dan tingkat stress sudah mencapai puncak.
That fuckin Nadhira ... she ruined my life, nicely.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top