1: when the day is done
Usia nggak ada yang tahu, Ma! Positif ajalah mikirnya. Nggak usah kejauhan, yang penting sehat. Jangan pikirin yang lain-lain!"
"Nah itu kamu ngerti, Ndu! Usia nggak ada yang tahu. Kalau Mama mati besok terus belum sempat lihat kamu nikah gimana?"
"Ma!"
"Inget umur, Randu! Kamu udah kepala tiga! Adek kamu udah mau punya anak dua, kamu malah santai-santai gini. Kamu kok nggak kasihan sih sama Mama yang udah tua dan kepengin main sama cucu sendiri."
"Emangnya Nael bukan cucu Mama?"
"Yang dari kamu!"
"Ya kan—"
"Pokoknya Mama nggak mau tahu, kalau kamu nggak bisa cari sendiri, Mama yang cariin."
"Ma, nggak bisa gitu dong."
"Kamu homo?"
"Hah?!"
"Awas ya kalau sampai kamu sukanya sama laki-laki juga. Mama nggak rela!"
"Ya nggaklah, Ma!"
"Kalau gitu buktiin sama Mama! Pokoknya tahun ini kamu harus nikah! Titik!
"Titik!"
"Apanya yang titik, Pak?"
Di sampingku, Nindy mencondongkan tubuh. Lehernya yang panjang semakin panjang karena melongok ke map tipis berisi proposal iklan yang sedang kubaca. Tak kunjung mendapat jawaban, matanya yang penasaran menantang mataku, lalu menelisik wajahku seperti mencari jawaban sebelum akhirnya tersenyum mengejek.
Kutelan ludah. "Ini nih, proposal kamu banyak yang salah titiknya."
"Lah?" protesnya lagi. Dari ekor mata, kulihat dia berusaha menelan sesuatu—mungkin ludah—untuk menghilangkan rasa tak enak begitu menyadari refleks tolol sialanku barusan.
Kuembuskan napas pelan; mencoba mengatasi serba tingkah yang kentara, juga mencoba membuang percakapan dengan Mama semalam yang kembali terputar di kepala. Entah sudah berapa kali perdebatan kecil semacam itu terjadi di antara kami. Tadinya, aku masih santai menanggapi setiap kali Mama tanya kapan kawin. Tapi lama-lama gerah juga kalau terus-terusan didesak. Tidak tahu saja dia kalau anaknya ini sudah sering kaw—
"Bapak bilang titik, apanya yang titik, Pak?" tanya asisten yang masih saja penasaran. Dasar tak tahu malu, padahal dia pasti tahu kalau aku tidak sengaja.
"Ini ... titik! Proposal kamu titiknya banyak yang salah!" sanggahku. Sok berkuasa, kuangkat map untuk produk make up terbaru itu tinggi-tinggi, membuat Nindy yang masih berdiri di sampingku mengernyit sebal.
"Yee ... Bapak tuh bengong tahu barusan. Orang itu cuma tinggal tanda tangan doang, kan tadi siang udah saya revisi, Pak! Bapak juga udah oke, kenapa sekarang jadi ngurusin si titik."
Karena titik yang luar biasa menyebalkan berusaha memberi batas. Dalam kasusku, ada ratusan titik berkoloni dan menyusun konspirasi tingkat tinggi untuk menjatuhkanku dengan serangan mulut Mama yang bertubi-tubi, pola tak beraturan tapi sialan efektif. Dan lihat betapa mereka mulai melakukan ekspansi dengan menguasai mulut karyawan kesayanganku ini sekarang! Heuh, kalau begini terus aku bisa betulan sinting.
"Ya udah, nih!"—kulemparkan map itu ke meja—"Eh, si Deva udah balik belum?"
"Kayaknya belum, Pak. Saya sih belum lihat," terang Nindy lagi sembari mengambil map.
Aku manggut-manggut mendengar jawaban Nindy. Deva itu graphic designer yang baru setahun bergabung dengan Maximize Advertising, perusahaan iklan yang kurintis bersama almarhum sahabatku sejak enam tahun lalu.
Merasa tidak ada yang perlu dibicarkan lagi, Nindy akhirnya pamit yang cuma kutanggapi deheman pelan. Saat mataku tak sengaja melihat jarum jam dinding di angka dua, tak sadar aku pun mengumpat lagi, ingat kalau aku belum makan siang. Ah, pikiranku benar-benar ruwet. Masa iya sih aku harus menuruti kemauan Mama untuk buru-buru nikah. Lagipula aku juga sudah lama tidak berhubungan dengan perempuan.
Eh, tunggu!
Memangnya kapan aku benar-benar punya hubungan? Kalau sekadar em-el sih okelah, tapi kalau menjalin hubungan? Benar-benar hubungan? Terakhir dekat dengan perempuan itu kan ... sial, aku lupa.
"Nin," panggilku saat gadis berkuncir kuda itu hampir menghilang di pintu. "Umur kamu berapa?"
"Dua lima. Kenapa, Pak, tanya-tanya umur saya?"
"Kamu belum kepikiran buat nik—"
Kutelan lagi kalimatku barusan, apalagi saat melihat muka Nindy yang senyam-senyum meledek. Otakku pasti kurang waras kalau berniat mendiskusikan soal pernikahan dengan gadis ini.
"Kok nggak dilanjut, Pak? Mau nanya saya kapan nikah? Bapak mau nyariin jodoh buat saya? Apa Bapak diem-diem...."
"Apa?!" sentakku yang malah dibalas gadis bertubuh ramping itu dengan tawa lebar.
"Nggak, Pak! Bercanda ya ampun."
Setelah memamerkan sederet gigi dipagari behel hijau yang membuat senyumnya lumayan manis, juga dua jarinya yang membentuk V, Nindy kabur dan meninggalkanku yang kini merasakan kebas di pipi.
Daripada pusing memikirkan desakan Mama, aku memutuskan bangkit dan pergi. Baru saja melewati pintu, suara Nindy membuat langkahku terhenti sebentar; membuat mataku tak bisa dikendalikan untuk melirik ke ruangan sebelah: ruangan milik Deva yang dulu ditempati sahabatku.
Bahkan setelah tiga tahun berlalu, aku masih bisa membayangkan Banyu di sana, duduk diam bersama tumpukan kertas dan pensil. Dia itu konseptor handal, ide-idenya brilian. Dan harus aku akui, di masa-masa awal perusahaan kami berdiri, konsepnya berhasil membuat beberapa perusahaan mempercayakan iklan produknya pada kami.
"Bapak mau keluar kantor? Jam tiga kan kita meeting bahas pitching iklan shampoo itu," tanya Nindy lagi dari balik mejanya.
Ah, iya! Kok aku bisa lupa sama sekali, ya. Padahal aku sendiri yang mengagendakan meeting itu minggu lalu. Sepertinya, ingatanku mulai terkikis dimakan usia. "Ada Deva, kan? Saya cuma mau cari angin sebentar."
"Cari jodoh, Pak, bukan cari angin!"
Mendenger ledekan Nindy—yang kesekian kali, mataku rasanya mau copot dari rongga. Hebatnya, karyawan kesayanganku itu malah kegirangan menerima hadiah pelototan tajam dariku sebelum pergi. Aku benar-benar butuh udara segar dan kuharap, angin akan membawa serta penat yang menumpuk di kepala tanpa meninggalkan bekas.
Aku butuh sesuatu untuk membuat isi kepalaku ringan dari semua urusan, dari ocehan Mama, dari pekerjaan, juga ... darinya.
Kuembuskan napas panjang, mengawali langkahku keluar dari kantor.
****
Di dunia ini, ada beberapa macam orang. Ada yang pendiam dan penyendiri, tapi ada juga yang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Tipe kedua, kadang sedikit ... um, menggangu? Tapi, kadang juga bisa lumayan menghibur kok. Tahu kan ya, semacam penggembira pesta. Serius, kadang melihat mereka bersusah payah melakukan apa saja—termasuk hal konyol—cuma untuk menarik perhatian orang itu ... lucu.
Lalu, ada juga tipe ketiga. Jenis orang yang tidak pernah berusaha menonjol, tapi selalu stand out from the crowd. Tipe orang yang tidak perlu bersusah payah menyedot perhatian, karena dia ... memang begitu. Beruntunglah mereka yang masuk dalam golongan ini. Mereka seperti punya semacam pesona, daya tarik, atau apalah namanya yang membuat orang menoleh meski tanpa artificial attraction aneh-aneh.
Dan perempuan itu ... salah satunya.
Dari pertama kali dia masuk ke Loewy—casual bistro bargaya klasik tempatku sekarang duduk menikmati rasa apricot dan lemongrass segar dalam segelas Cloudy Bay Sauvignon—bisa kulihat beberapa pasang mata yang mengikuti langkah kaki jenjangnya menuju bar, lalu duduk di sebelahku. Jarak kami cuma satu stool kosong, hingga aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Aku tidak terlalu memperhatikan, sumpah Demi Tuhan. Tadi aku cuma melirik sekilas, terutama saat kulihat si bartender melambaikan tangan. Jelas kalau mereka saling kenal. Mungkin gadis itu sering ke tempat ini.
"Tumben jam segini," sapa pria berjenggot tipis yang sedang mengeringkan gelas bir.
See?
Perempuan yang cuma mengenakan kaus putih longgar dan jeans belel itu mengangkat dagunya yang lancip sambil mendudukkan pantat di stool. Eh, aku bilang tidak memperhatikan ya? Kok tahu sampai sedetail ini? Ah, shit!
She's attractive and I'm just a fool to resist. Heuh, fucking stupid moron!
Hmm ... aku tidak memaki. Aku tidak biasa memaki. Barusan itu, pikiranku yang bicara. Dan ... ya, stupid moron itu terlalu mendramatisir. Tapi, memangnya aku peduli?
"Bete, mau cari pemandangan!"
Itu juga bukan aku! Itu perempuan tadi yang sekarang sedang menikmati bir dingin langsung dari botol. Tak bisa dicegah, bola mataku mengarah ke sudut, mencuri-curi pandang dan menembus bra hitam di balik kausnya yang terlalu tipis, sementara tanganku sibuk memutar-mutar korek di tangan. Rambut-rambut halus di kupingku yang bergetar karena suaranya yang sedikit serak, ikutan menggelitik sensor tawa mendengar jawaban yang seenaknya.
Pemandangan macam apa yang dia cari di tengah Jakarta, siang bolong begini?
"Hari ini lumayan sepi. Yah, kecuali kalau lo mau banting setir ke bule. Tuh di teras banyak yang ngelirik dari lo masuk," jawab si bartender lagi.
Oh, jadi kita punya tokoh menarik di sini; gadis cantik dan alkohol yang tidak bernafsu dengan ras kaukasia. Seperti tertampar—mungkin sadar kalau aku sudah menguping—kukembalikan pandangan ke tempat yang seharusnya, ke warna kuning pucat yang langsung kutenggak hingga tandas. Seketika, mulutku dipenuhi rasa manis yang lembut, kaya, dan segar karena tonjokan terakhir dari white wine yang kupesan.
"Hei! Hei!"
Aku terkesiap.
Dada yang tidak terlalu besar adalah permandangan yang pertama kali kulihat saat menoleh ke sumber suara. Cup bra yang tercetak jelas, tak mampu ditutupi sempurna oleh serat tipis yang membungkus tubuh langsingnya. Perempuan itu, yang menarik perhatian pria sejak langkah pertamanya, berdiri di depanku dengan alis terangkat.
"Ya?" tanyaku pelan. Kedua mata yang sempat kurang ajar dan mengirim pesan vulgar ke otak kini menemukan warna cokelat lembut di matanya yang mencelang.
"Korek! Boleh pinjam korek?"
"Oh, sure."
Refleks aku pun bangun. Gadis itu mendekatkan tubuhnya padaku, membaui udara di sekitar kami dengan aroma green peer yang manis—sedikit mengingatkanku pada seseorang. Jari lentiknya bergerak cepat, menyelipkan sebatang rokok putih di antara kedua bibirnya yang tampak lembab, sementara matanya melirikku dengan berani. Aku cuma bisa berharap, semoga masih bisa mempertahankan harga diriku sebagai pria di bawah intimidasinya.
"Thanks," katanya lagi begitu ujung rokoknya terbakar sempurna.
Tak ingin terlihat seperti orang tolol—tolong diingat kalau pikiranku sedang tidak karuan—langsung saja kukeluarkan beberapa lembaran merah dari dompet untuk kuletakkan ke atas bar. Kuanggukkan kepala pada gadis yang telah kembali ke bangkunya, juga pada bartender yang mengulum senyum karena tingkah rikuh yang membuatku kikuk.
"Downtown." Gadis itu berkata lagi, tanpa menatapku kali ini.
"Ya?"
"Parfum gue downtown kalau lo suka."
Tahu apa yang kupikirkan saat mendengarnya?
Sebuah tawaran! Tawaran untuk menikmati aromanya sepanjang malam, mengendus hawa tubuh bercampur keringat di antara parfum yang membuat kepayang. Tawaran yang membuat sesuatu di dalam tubuhku mendadak berkedut, berbisik pelan seperti derik jangkrik tengah malam.
Dan saat pikiranku sepenuhnya terdistraksi, saat itulah dering telepon menyeretku kembali.
Bimala calling.
*****
Akhirnya, publish juga. Aneh ya bab satunya. So, it's a yay or nay? Hmm, tell me🤗🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top