Yang Perempuan Kamu Apa Ummi?

Ponsel Ayek berdering. Ia menengok layar, Mei Hwa memanggilnya. Ia ragu untuk menerimanya karena di sebelahnya ada ibunya.

"Angkat saja teleponnya!" ujar Zaenab seraya mematikan mixer, pengaduk adonan kue.

Ayek cengar-cengir. Ia meraih ponsel dari atas meja kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. "Udah kuangkat, Ummi!"

Zaenab melotot. "Kasian dia menunggu lama. Jangan suka begitu, kali saja ada kabar penting."

Ayek bangkit, akan menerima panggilan itu di dalam kamar saja.

Melihat gelagat Ayek, Zaenab menghardik, "Di sini saja!"

Terpaksa Ayek mengurungkan niatnya. Ia masih saja memelototi layar, ragu akan menerima panggilan itu atau tidak.

"Dari siapa?" tanya Zaenab.

Ayek cengar-cengir, salah tingkah.

"Siapa?!" Zaenab mendesak.

"Mmmhh, Mei Hwa, Ummi."

Zaneb menatap Ayek lekat-lekat. "Terus kenapa didiamkan saja?"

"Ayek 'kan lagi bantu Ummi bikin kue," dalih Ayek.

"Terima dulu saja!"

Panggilan berhenti. Ayek tak tahu harus merasa lega atau merasa kecewa. Entah kenapa ia merasa malu berbincang lewat telepon dengan Mei Hwa di hadapan ibunya. Padahal beberapa hari lalu, ia santai saja ngobrol dengan gadis itu di teras.

"Kelamaan, sih!" Zaenab mendengus kesal. "Kamu malu teleponan sama Mei Hwa di depan Ummi?"

Ayek diam. Kalau menjawab jujur, ia merasa malu. Kalau menjawab bohong, ia tak berani melakukannya.

Ponsel Ayek berdering lagi masih dari pemanggil yang sama. Malas mengahadapi kecerewetam ibunya, terpaksa ia menerima panggilan itu.

"Hai, Yek!" sapa Mei Hwa dari seberang sana.

Ayek melirik ibunya. "Hai, Mei!"

"Besok kamu ada acara nggak?"

"Mmhh, pagi aku di basecamp, mungkin sore udah di rumah."

"Kamu nggak pengen ke studioku lagi?"

Ayek diam. Jelas ia mau. Sangat mau. Sejak duet kemarin, ia ingin kembali melakukannya. Tapi, sore hari ia harus belanja bahan-bahan kue. Sementara kalau ia ke studio Mei Hwa, kemungkinan besar akan lama berada di sana.

"Kok diam?" tanya Mei Hwa dengan nada harap-harap cemas.

"Ma-mau, mau," jawab Ayek terbata.

"Kutunggu di studio ya?"

"Iya," jawab Ayek ragu.Ia menangkap suara desah yang ia artikan sebagai ungkapan rasa senang.

"Sampai jumpa besok."

"Oke."

Percakapan berakhir, Ayek memandang ibunya. Zaenab pura-pura sibuk dengan adonan yang sedang ia rapikan.

Ada perasaan senang bercampur cemas di hati Ayek. Ia tak mengerti kenapa bisa segelisah ini. Ia merasa senang ada alasan untuk terus bertemu Mei Hwa, namun ia takut ibunya tahu.

"Kalian janji ketemuan?" tanya Zaenab.

Ayek mengangguk. "Mei mengajakku lagi ke studionya."

"Lagi?" Zaenab mengerutkan dahi.

Seketika Ayek menyalahkan diri sendiri yang sudah kelepasan bicara.

"Jadi kamu pernah ke studio dia?" tanya Zaenab penuh selidik.

Ayek mengangguk ragu.

"Lalu, kapan kamu mau ke sana lagi?"

"Besok sore, tapi Ayek ragu, Ummi!"

"Kenapa?"

"Ayek kan harus belanja, besok sore sepulang dari basecamp."

Zaenab mendengus. "Kamu sudah menyanggupi, jangan ingkari kata-katamu."

Ayek terharu mendengar kalimat ibunya. Itu membuatnya menjadi tidak enak hati. "Kalau begitu Ayek belanjanya nanti malam saja, biar besok bahan-bahan kue udah siap."

Zaenab menggeleng. "Tidak usah. Biar Ummi saja yang belanja."

Perasaan tidak enak hati Ayek semakin besar. Meskipun cerewet, ibunya tidak mau membebani banyak hal padanya. Perempuan berusia mendekati setengah abad itu tidak mau merepotkannya hanya untuk hal-hal yang bisa dikerjakannya sendiri.

"Sepertinya Mei Hwa menyukaimu." Zaenab berujar tanpa memandang Ayek.

Ada perasaan senang sekaligus malu di hati Ayek mendengar kata-kata ibunya. "Kenapa Ummi berkata begitu?"

Zaenab menatap lekat-lekat mata Ayek. "Perempuan tidak akan menelepon lelaki lebih dulu jika lelaki itu tidak penting buatnya."

Ayek terkekeh. "Ummi ada-ada saja."

Zaenab membelalakkan mata. "Yang perempuan itu kamu apa Ummi?"

Ayek tertawa lebar. "Jadi dulu Ummi pernah menelepon Abi duluan?"

Zaenab berkacak pinggang. "Jangan mengalihkan topik!"

"Wajar sih. Abi kan ganteng."

Zaenab kesal tapi mendengar kalimat Ayek, ia tertawa.

"Nah, benar kan?" goda Ayek.

Gemas dengan Ayek, Zaenab mengacak-acak rambut anaknya. "Kamu persis almarhum Abi."

Ayek merengkuh bahu Zaenab. "Abi beruntung punya istri Ummi."

"Gombal!" Zaenab menonjok pelan dahi Ayek.

Ayek membalas dengan memeluk ibunya erat-erat. "Aku ingin punya istri sehebat Ummi."

Zaenab melepaskan pelukan Ayek. "Kamu mau istrimu cerewet seperti Ummi?"

"Ayek tersenyum meledek. "Ngga apa-apa, asal sehebat Ummi."

"Gombal lagi!"

"Persis Abi, kan, Ummi?"

Ummi tertawa lebar. Dalam hati ia mengiyakan pertanyaan Ayek.

"Jadi, beneran nggak apa-apa kalau besok sore Ayek ke studio Mei Hwa?"

Zaenab mengangguk. "Tapi, Ummi khawatir."

"Khawatir kenapa, Ummi?"

Zaenab diam untuk beberapa saat. Ia terus mengaduk adonan yang sudah halus. Ia ragu, akan mengatakannya atau tidak.

"Kenapa, Ummi?" Ayek penasaran. Ia tak mau ibunya menyimpan unek-unek.

Zaenab menatap Ayek sendu. Ia bersyukur punya anak satu tapi selalu berusaha membahagiakannya. Anak itu jarang membuatnya kesal, selalu menurut dan rela mengorbankan kesenangan demi dirinya.

Yang selalu membuat hati Zaenab sedih adalah, Ayek kehilangan sebagian besar masa remajanya demi mengurangi beban hidupnya. Sejak SMP anak itu belajar mencari uang dengan berjualan kue keliling selepas sekolah. Saat liburan tiba, Ayek kadang menjadi kernet bus dalam kota. Belum pernah ia melihat anak semata wayangnya itu mengeluh, meski dalam keadaan sakit sekalipun.

Ketika SMA, sepulang sekolah sampai malam hari, Ayek menjadi penjaga rental studio. Itu yang membuatnya memiliki pergaulan dengan anak-anak band.

Kini, ketika sudah populer bersama band-nya, Ayek masih selalu menyempatkan waktu untuk membantu Zaenab membuat kue.

Melihat ibunya melamun, Ayek khawatir. "Ummi kenapa?"

Zaenab tersenyum getir.

Ayek meraih pergelangan tangan Zaenab. "Ummi baik-baik saja?"

"Kamu berhak bahagia. Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu impikan. Meski Ummi yakin kamu cukup tangguh untuk menerima kekecewaan."

"Ummi bilang apa sih?" Ayek tidak mengerti.

"Kamu suka sama Mei Hwa?"

Ayek terdiam, kaget, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari ibunya.

"Ummi berpikir terlalu jauh, ya?" Zaenab mendadak sentimentil.

"Kenapa Ummi bertanya seperti itu?" Ayek meremas jemari tangan Zaenab. "Ayek tidak tahu, Ummi. Setidaknya saat ini menganggap Mei Hwa teman yang memiliki hobi sama. Dan Ayek belum berpikir ke arah yang lebih jauh."

Zaenab diam. Ia paham dengan apa yang dikatakan Ayek.

"Sudahlah, Ummi jangan berpikir terlalu jauh."

Zaenab mendesah panjang. "Apa pun status hubungan kalian, Ummi takut itu akan menjadi masalah. Babah Liem tak hanya protektif, tapi juga kolot."

Ayek terdiam, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Mendadak hatinya gelisah. Bagaimanapun juga, ia ingin dapat terus berhubungan dengan Mei Hwa, setidaknya untuk berdiskusi soal musik. Namun, setelah mengetahui karakter Babah Liem, ia menjadi gamang.

"Babah Liem sebenarnya baik. Hanya saja, trauma hidup membentuknya menjadi orang yang skeptis, kata Mamah Kiew," kata Zaenab.

"Siapa Mamah Kiew?"

"Istri Babah Liem," jawab Zaenab. "Dia yang memberi tahu Ummi kalau rumah yang kita tempati ini dikontrakkan."

"Ummi kenal keluarganya Mei Hwa?"

"Tadinya Ummi hanya kenal Mamah Kiew. Dulu waktu Ummi masih punya toko di pasar, Mamah Kiew adalah pelanggan setia," kenang Zaenab.

"Ayek ingat, toko Ummi dulu jualan perlengkapan dan bahan-bahan kue."

Zanab tersenyum getir, mengingat masa jayanya dulu. Hasan, suaminya, seorang pedagang sukses, punya dua toko. Pada masa itu, mereka hidup berkelebihan. Namun, sejak suaminya divonis mengidap leukemia, satu per satu harta mereka dijual untuk biaya pengobatan dari mulai kemoterapi sampai transplantasi sumsum tulang. Bahkan ayah Ayek itu meninggal dunia dengan mewariskan banyak hutang.

Ayek tahu, ibunya sedang sedih, maka itu ia segera mengalihkan pikiran ibunya dengan hal lain. "Ummi bilang Mamah Kiew pelanggan setia, apa dia jualan kue?"

Mendengar pertanyaam Ayek, Zaenab terkesiap, buru-buru mengahalau perasaan tidak nyaman di dalam hati. Ia mencoba tersenyum. "Enggak, tapi dia suka membuat kue-kue tradisional, terutama makanan khas Tionghoa."

"Seperti kue keranjang yang kemarin kita makan ya, Ummi?"

Zaenab mengangguk. Pikirannya masih saja terkenang masa-masa jaya dulu.

Ayek sedih melihat sorot mata ibunya yang masih kosong. Ia tak akan membiarkan itu berlarut-larut. "Jadi, kenapa Babah Liem menjadi skeptis? Apa dia pernah mengalami trauma atau semacamnya?"

Zaenab menarik napas dalam-dalam. Ia sadar, anaknya tahu dirinya sedang sedih. Maka itu, dengan susah payah, ia tersenyum. "Kamu kepo!"

Ayek tersenyum senang melihat ibunya kembali pada tabiatnya. "Lah, kan Ummi tadi bilang Babah Liem skeptis, maka itu Ayek tanya sebabnya."

Zaenab terkekeh. Suasana hatinya mulai membaik. "Kata Mamah Kiew, dulu keluarga mereka sering mengalami perlakuan rasis dari beberapa orang. Bahkan katanya, tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hanya itu saja yang Ummi tahu. Mamah Kiew tidak menjelaskan lebih detail peristiwanya."

"Wah, kata-kata Ummi seperti orang intelek saja, menyebut rasis dan diskriminatif. Hahaha."

Zaenab mendelik. "Ummi dulu pernah kuliah!"

"Sampai wisuda?"

Zaenab menggeleng. "Keburu Abi melamar!"

"Terus hasilnya cuma ijab sah?"

Zaenab mengacak rambut Ayek. "Hasilnya, Ummi punya anak seganteng ini."

Ayek tersenyum bahagia, melihat ibunya tidak bersedih lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top