November Rain
Studio Mei Hwa cukup mudah ditemukan. Lokasinya strategis, berada di jantung kota Slawi, dilewati empat trayek angkutan kota, membuatnya mudah dijangkau dari berbagai penjuru.
Setelah mendapatkan alamat lokasi, Ayek langsung menuju ke studio milik Mei Hwa. Kabar baiknya, gadis itu sedang berada di sana.
Studio Mei Hwa hanya berjarak satu kilometer dari rumah Ayek. Ia bisa saja jalan kaki menuju ke sana. Namun, ia tak ingin berkeringat saat berada di dekat gadis itu. Parfumnya bisa sia-sia. Maka itu, ia menggunakan jasa ojol. Selain lebih cepat, juga membuatnya tidak tampak kere.
Sampai di parkiran studio, Mei Hwa telah menunggu Ayek. Gadis itu duduk di bangku panjang, dekat pintu masuk.
"Hai, Mei!" sapa Ayek, selepas membayar jasa Ojol.
"Hai, Yek!" Mei Hwa tersenyum manis. Ia berdiri, memberi isyarat kepada Ayek untuk masuk ke studio.
Sebelum masuk studio, Ayek sempat mengamati beberapa anak-anak remaja yang sedang duduk-duduk di area parkiran yang rindang. Banyak pohon di sana, sehingga cukup sejuk meski cuaca sedang panas.
"Ayeeek!" teriak seorang gadis remaja. Tangannya melambai-lambai ke arah Ayek. Sikapnya itu mengundang perhatian beberapa orang di sekitarnya.
Ayek menoleh. Meski tidak mengenal si pemanggil, namun ia merespon dengan balas melambai. Kini sebagian besar orang di area parkir memusatkan pandangan ke arahnya.
Situasi seperti itu sudah biasa bagi Ayek. Ketika berada di keramaian, selalu ada saja yang memanggilnya, mengajak selfi, minta tanda tangan, sampai memeluknya. Bukan hanya perlakuan menyenangkan saja, kadang ia harus bersabar dan bersikap bijak ketika ada seorang ibu-ibu muda tanpa basa-basi menjambak rambutnya. Setelah puas membuat kepalanya sakit, perempuan itu minta maaf seraya beralasan bahwa ia melakukannya karena sedang ngidam.
Ayek mempercepat langkah. Di ambang pintu Mei Hwa masih berdiri menunggunya. Ia pun segera masuk studio.
"Ternyata kamu lebih terkenal dari yang kubayangkan," ujar Mei Hwa.
Ayek mengedikkan bahu, merasa bangga sekaligus berusaha rendah hati.
"Kamu tahu siapa yang tadi memanggilmu?" tanya Mei Hwa.
Ayek menggeleng.
"Dia gitaris band SMAN 1 Pangkah yang punya prestasi seabreg!"
"Serius?"
Mei Hwa mengangguk. "Kia langsung ke atas." Ia berjalan sambil melempar senyum ke arah beberapa anak muda yang sedang menunggu antrian.
Ayek menjajari langkah Mei Hwa. Pandangannya menyisir ke ruang tunggu. Ia menghitung setidaknya ada tiga kelompok kerumunan. Ia yakin mereka adalah anak-anak band. "Banyak juga pelanggan studiomu, Mei!"
"Di era keemasan K-pop, aku senang masih banyak band di kota Slawi." Mei Hwa menapaki anak tangga, diikuti Ayek.
Ayek mengangguk, padahal Mei Hwa tidak sedang memandang ke arahnya. "Lantai pertama tadi rental studio?"
"Iya. Lantai atas buat recording."
"Wah, keren!"
Mei Hwa melirik Ayek. "Band kamu juga punya studio bukan?"
"Studio itu punya Sandi. Band numpang saja."
Kaki Mei Hwa baru saja mendarat di lantai dua. Ia kembali menoleh kepada Ayek. "Kalian tidak ingin punya studio sendiri?"
"Pengennya begitu."
Mei Hwa merentangkan kedua tangannya. "Seperti kubilang tadi, ini ruangan recording. Di sebelahnya lagi ruangan pribadi."
Ayek kagum dengan penataan letak dan dekorasi studio Mei Hwa. Ruangan yang tidak begitu luas dipenuhi vas-vas bunga yang ditata sedemikian rapi. "Pantas saja, studio kamu ramai."
"Kenapa memangnya?"
Ayek mengacungkan jempol. "Baru beberapa menit saja sudah membuatku betah."
Mei Hwa terkekeh. "Syukurlah, karena aku akan mengajakmu duet."
"Aku sudah nggak sabar."
Mei Hwa membuka ruangan yang berada di dekat jendela. "Ini tempat kerjaku, sekaligus tempat cari inspirasi. Aku buka saja ya pintunya?" Ia masuk ke dalam.
Ayek ikut masuk. Aroma harum menyerbak, membuat dirinya rileks.
"Tak banyak benda di ruangan ini kecuali, sebuah gitar akustik, dua vas bunga dan piano ini." Mei Hwa membuka kain penutup piano.
Ayek takjub dengan piano di depannya. Selama menggeluti musik, baru dua kali ia melihat piano akustik. Pertama ketika tampil di festival musik jazz. Kedua, di ruangan ini sekarang. Seringnya ia bersentuhan dengan piano elektronik.
Mei Hwa duduk di depan piano. "Ini ruangan pribadi. Cuman aku yang boleh menyentuh piano ini. Hehehe."
"Aku juga ngga boleh menyentuh?" tanya Ayek serius. Ia tidak yakin Mei Hwa memproteksi piano seketat itu.
"Enggak!" jawab Mei Hwa tegas. "Bukan muhrim!"
Ayek terkekeh. "Ada-ada saja!"
Mei Hwa menunjuk gitar akustik yang berada di sebelah piano. "Kamu pegang itu saja."
"Serius aku ngga boleh menyentuh piano ini?"
Mei Hwa tertawa lebar. "Kamu baperan juga ternyata. Bolehlah. Aku tak sepelit itu."
Kalau bukan Mei Hwa, ingin rasanya Ayek menjitak kepala gadis itu. Ia masih takjub dengan piano di depannya.
"Mau coba?" tanya Mei Hwa.
Ayek menggeleng. "Bukan muhrim."
Mei Hwa tertawa sambil menutup mulut memggunakan telapak tangan. Ia menyukai kelakar Ayek.
Ayek mengusap permukaan kayu piano. Halus sekali di tangannya. "Piano ini lebih praktis buat di studio, tidak membutuhkan banyak ruang. Aku pernah melihat yang lebih besar dari ini di Semarang.
Mei Hwa mengangguk. "Yang besar itu jenis grand piano. Biasanya buat konser, atau buat diletakkan di ruangan yang cukup luas."
"Kalau ini jenis piano apa?"
"Ini piano jenis upright, cocok diletakkan di ruangan kecil seperti ini karena tidak terlalu besar ukurannya."
Ayek mengangguk paham. "Selain ukuran, apa perbedaan grand sama upright?"
"Bedanya di posisi dawai atau senar. Pada piano grand posisimya horozontal, memanjang." Mei Hwa menekan sebuah tuts. "Dari tuts ini senar dipukul ke atas oleh hammer, kemudian balik ke posisi semula memanfaatkan daya gravitasi bumi."
Ayek memperhatikan bagian belakang piano Mei Hwa yang bentuknya mirip lemari. "Kalo piano ini posisi senarnya vertikal ya?"
"Iya," jawab Mei Hwa. "Kalau piano grand mengandalkan gravitasi buat mengembalikan hammer ke posisi semula, kalo piano ini menggunakan pegas."
"Kalau pegasnya rusak?"
"Ganti pegas baru."
"Kalau udah ganti pegas, masih rusak?"
"Beli piano baru "
Ayek dan Mei Hwa tertawa bersamaan.
"Jam dua nanti, aku harus pulang, harus bantuin Mamah di toko. Babah lagi keluar kota."
Ayek melirik arloji di pergelangan tangan. "Masih ada waktu satu setengah jam."
"Jadi duet?" tanya Mei Hwa.
"Boleh." Ayek mengambil gitar. Ia menduduki kursi di sebelah Mei Hwa.
Jari-jari Ayek lincah memainkan dawai-dawai gitar, memastikan suaranya tidak fals.
"Steman gitarnya sudah sinkron dengan nada piano," ujar Mei Hwa.
"Kita main lagu apa?"
"Aku biasanya main lagu era 60-an."
Ayek mengerjap. "Aku seringnya main lagu-lagu yang sedang populer."
Mei Hwa berpikir sejenak. Sebuah ide terbersit di benakmya. "Kita ambil tengahnya saja, gimana?"
"Maksudnya?"
"Kita main lagu era 90-an," tawar Mei Hwa.
"Siap!"
"November Rain sepertinya lagu rock yang manis." Mei Hwa berujar.
"Kamu suka rock juga?"
Mei Hwa mengerjap. "Enggak begitu sih, tapi aku suka lagu-lagunya Guns N' Roses."
"Mantap!" Ayek mengacungkan jempol.
Jari-jari Mei Hwa berselancar lincah di atas barisan tuts. Ia sedang memainkan intro orkestra lagu November Rain. Ekspresinya penuh penghayatan, sesekali memandang Ayek tanpa pernah takut akan salah menekan nada.
Ayek sedikit grogi melihat kepiawaian Mei Hwa. Ia takut permainan gitarnya tak sesuai elspektasi. Namun melihat gadis itu bermain rileks, perasaan itu berangsur hilang.
Durasi Intro lagu November cukup panjang. Ayek menunggu saat yang tepat untuk memainkan gitar. Situasi ini ia gunakan untuk memandang wajah Mei Hwa secara bebas.
Sampailah giliran Ayek. Ia memainkan gitar, sambil menyanyikan lagu.
When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
Mei Hwa semakin bersemangat melihat penampilan Ayek, bernyanyi sambil main gitar. Ia tak menyangka lelaki itu punya suara yang cukup bagus.
Ayek dan Mei Hwa menyanyikan lagu November Rain secara bergantian sambil masing-masing memainkan alat musik. Duet dadakan itu terdengar manis, nyaris tanpa cela, meskipun belum latihan sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top