[ntbamb · 08] - romansa romantika dari balik rak tiga

Sepasang kaki jenjang berbalut sneakers putih menginjak petak-petak batu alam keabu-abuan di taman Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Aksa Nabastala sendiri tahu bahwasanya angin yang berembus hari itu membawa gigil yang menandakan langit yang betah memangku awan keabu-abuan barangkali akan menangis tidak sampai pukul sembilan. Namun, begitu langkahnya diseret menuju lorong panjang yang kanan-kirinya adalah kumpulan bebungaan soka yang mekar beberapa, lelaki itu merasa kalau angin yang menerpa wajahnya berubah agak janggal.

Meskipun pada dasarnya kalau tiap pasang mata yang ada di kampus hampir selalu mengikuti ke mana ayunan langkah pergi, Aksa tidak pernah merasa hampir merasa terintimidasi seperti ini. Biasanya, para mahasiswa—terutama para gadis—memandanginya dengan cara sebagai mana seorang penggemar terhadap idolanya.

Namun, di hari itu, di pagi yang sekiranya masih terlalu dini untuk untuk mendapat cibiran dari berbagai pasang mata yang berkilat-kilat, vokalis Candramawa tersebut merinding setiap mengayunkan selangkah-dua langkah menuju kelasnya. Tanpa memandang ke mana-mana, lelaki itu mengayunkan langkah lebih cepat, berusaha acuh tak acuh pada para mahasiswa yang menelitinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Aksa!"

"Aksa! Woi, Aksa!"

Yang dipanggil namanya mendadak menghentikan langkah, padahal hanya tinggal beberapa meter saja menuju tikungan yang akan menghantarkannya ke kelas di awal hari itu. Aksa berbalik badan karena suara familiar tersebut, mendapati dua lelaki dengan setelan kemeja berlarian agak rusuh menuju padanya.

"Ngilang-ngilang malah bikin gebrakan." Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Putra sehabis berlarian dan berhenti beberapa langkah saja dari Aksa. Napasnya masih tidak beraturan. Serupa dengan Raka, tetapi ditambah dengan jemari telunjuk yang mengarah padanya.

"Betul," Raka menjeda untuk mengatur napasnya yang masih belum stabil, "betul. Kayaknya bakal bikin karir kamu sebagai penyanyi jadi terguncang."

Aksa Nabastala mengerutkan dahinya dalam sekali, masih tidak mengerti ke mana sekiranya arah pembicaraan mereka. Sekonyong-konyong, ia juga teringat ucapan Na yang kira-kira intinya juga serupa. Lelaki itu tidak sempat bertanya kemarin karena situasi yang terlalu canggung. Ia sempat melupakannya saat sedang latihan dan Raka sekarang malah mengungkitnya lagi.

Seolah tidak memedulikan kerutan dalam di dahi temannya, Raka menarik tangan Aksa untuk berlari mengikuti lorong panjang yang lurus, alih-alih berbelok ke ruangan kelas mereka di hari itu. Putra mengikuti dari belakang, sesekali memperbaiki letak tasnya yang merosot dari bahu. Sementara vokalis Candramawa agak sempoyongan karena ditarik berlari dengan cara yang mendadak, ia baru menyadari bahwasanya mereka memasuki kawasan FPBS.

Aksa sempat memprotes bagaimana kedua temannya yang masih tidak berbicara apa-apa. Selain mereka punya kelas yang paling awal, fakta sebenarnya mereka menginjak FPBS adalah hal ganjil. Aksa barangkali punya kepentingan karena ruang latihan band-nya berada di sana—atau tentang si gadis Mozart yang selalu ia kejar-kejar—tetapi Putra dan Raka sama sekali tidak ada hubungannya.

Mahasiswa Ilmu Politik yang ditarik-tarik itu masih belum mengurangi intensitas kebingungan dalam diri. Terlebih, semakin banyak mahasiswa yang memandanginya dengan cara yang janggal—menunjuknya sembari berbisik dengan yang lain, lalu membicarakan sesuatu yang ada di gawai mereka.

Raka memelankan langkah begitu memasuki gedung kawasan FPBS. Ketiganya serempak berderap dengan langkah lebar sembari mengatur napas. Kedua temannya berdiri di depan dan di belakang Aksa, seolah mereka menjadi tameng agar para mahasiswa yang ada di sana tidak terlalu memperhatikan si vokalis Candramawa.

Aksa hampir saja menyemburkan omelan sepanjang lorong fakultas ketika arah jalan yang mereka lalui mengarah pada ruang latihan Candramawa. Namun, alih-alih berbelok ke kiri, Putra dan Raka mengarahkannya menuju papan mading berlatar merah yang sempat dilewatkannya kemarin saat bersama dengan Juna. Lelaki jangkung itu menatap kedua temannya dengan bingung.

Kerumunan tidak seramai kemarin. Namun, Aksa masih dengan jelas mendengar kalau dirinya adalah bahan topik utama yang dibicarakan. Begitu melihat si vokalis mendatangi, kerumunan mendadak memberi jalan, meneliti lelaki itu cukup lama, sebelum akhirnya memilih membubarkan diri begitu saja, menyisakan tiga lelaki yang baru saja tiba.

Vokalis Band Candrawama, Aksa Nabastala Berlutut di Taman FPBS Demi Gadis Jurusan Bahasa Indonesia. Awal dari Hari Patah Hati Se-Universitas?

Aksa Nabastala hampir saja menyemburkan tawa panjang begitu melihat judulnya yang sangat clickbait. Ditulis dengan font Copper Black dengan ukuran super besar, di-bold, dan full uppercase seolah penulisnya berharap artikelnya dapat terlihat dari jarak lima belas meter. Namun, tawa yang keluar dari mulut lelaki itu malah tawa pendek patah-patah yang lebih terdengar seperti mengasihani diri sendiri.

... gadis pianis yang mencari perhatian salah satu orang terkenal di kampus.

... sang vokalis hanya ingin cari sensasi sebelum perlombaan dimulai dua minggu lagi.

... kejadian yang tiba-tiba dan patut dicurigai bahwasanya sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum upacara penyambutan Walikota.

... gadis jurusan Bahasa Indonesia itu hanya ingin menumpang popularitas saja.

Dibanding sebuah buletin informasi yang menuliskan fakta, artikel yang terpanjang tersebut lebih cocok disebut sebagai bualan sang penulis yang iri dengan situasi mereka. Mata Aksa sudah berkilat-kilat dengan api yang berkobar. Tangan yang berada di sisi tubuh jangkung tersebut pun sudah mengeratkan genggaman hingga buku-buku jemari menonjol sangat jelas.

Sekarang ia mengerti maksud dari Na kemarin. Andai saja waktu itu ia penasaran sedikit, maka barangkali lelaki tersebut bisa menghancurkan madingnya saat itu juga. Ia tidak tahu apakah Mira sudah melihatnya atau belum. Namun, yang jelas adalah bahwa berita ini pasti sudah menyebar ke seluruh penjuru kampus—bahkan penjual di kantin—karena gosip akan selalu menyebar seperti kebakaran.

"Berarti bener, selama ngilang, kamu ngejer-ngejer cewek itu?"

Pertanyaan yang terdengar serupa dengan ungkapan yang meluncur dari bibir Putra berakhir berdenging panjang di telinga Aksa. Tangan lelaki jangkung itu tidak tinggal diam, ia berusaha membuka kaca yang melapisi buletin sampah sepanjang tiga halaman itu dari mading berlatar merah. Sang vokalis mencoba menggeser dengan tidak sabaran, padahal ia tahu bahwasanya kaca tersebut terkunci.

"Kak Na pasti bakal marah banget," kata Raka dengan suara lemas dari balik bahu Aksa. Ia hanya berkacak pinggang saja, seolah pemandangan temannya yang hendak menghancurkan mading adalah tontonan pagi yang mengharukan.

Putra yang berdiri di sebelahnya menggangguk menanggapi, pun ikut menonton saja aksi teman penyanyinya. Bahkan ia membiarkan saja Aksa yang hendak mencari-cari batu untuk sungguhan menghancurkan kaca pelapis. "Madingnya dekat ruang latihan."

"Woi, kalian ada yang kenal, nggak, sama orang yang bikin buletin ini?" Teriakan mendadak dari Raka membuat Aksa berhenti mencari batu dari balik tanaman di sekitaran lorong. "Ini bisa dibilang pencemaran nama baik."

Aksa memandangi sekeliling. Seluruh perhatian terpusat pada Raka, mereka semua ingin tahu. Meskipun banyak mahasiswa yang berada di sana, tidak ada yang berani dekat-dekat dengan mading, entah mengapa. Mereka ingin tahu, tetapi tidak ingin mendekat.

Raka berdeham beberapa kali. Si vokalis hanya mengembuskan napas panjang sembari membuang muka. Kalau sudah begini, ia tentu tahu apa yang akan temannya itu katakan.

"Berdasarkan Pasal 310 ayat 1 KUHP yang berbunyi," Raka melirik ke sana-kemari, para mahasiswa menatapnya dengan kilat-kilat penasaran, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak—"

Belum selesai Raka membacakan pasal seperti seorang pengacara yang tengah membela kliennya, seorang gadis dengan kacamata besar menghampiri, lalu mendorongnya menjauh dari mading. Beberapa kunci di genggamannya berbunyi nyaring sekali saat ia berusaha membuka kaca papan mading. Setelah kacanya terbuka, tiga lembar buletin yang sudah menghebohkan sejagat Universitas Adiktama Semesta dicopot dengan paksa begitu saja.

Tidak ada yang tidak terkejut. Raka menganga lebar sekali, Putra hampir tidak bernapas, bahkan sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang sudah siap dilempar Aksa jatuh di ujung kakinya. Lorong dan taman di sekitaran mading mendadak serupa peternakan lebah.

"Udah," kata gadis yang tampaknya adalah salah satu dari anggota klub reportase tersebut. Kertas-kertas di tangannya diremas-remas hingga membentuk gumpalan. "Sorry, ya."

Entah ke mana tujuannya ia mengatakan hal tersebut, sebab si gadis bahkan tidak menatap siapa pun. Ia beranjak dengan cepat dari sana seolah tidak pernah melakukan apa pun.

"Lah, anjir. Masa begitu aja?" Raka berteriak tidak terima. "Tanggung jawab udah bikin heboh sekampus kamu. Heh!" Lelaki itu memekik lagi, tetapi bahkan si gadis tidak menoleh kepadanya sampai kemudian menghilang di belokan perempatan lorong. "Hei, manusia!"

***

Rak-rak menjulang berbaris rapi sana-sini. Setiapnya didesaki buku-buku dengan macam warna dan ukuran, disusun berdasarkan tema utama. Di sisi rak nomor tiga bertuliskan Sastra, meja kayu besar dengan empat kursi ditempati sepasang muda-mudi. Si gadis sibuk membolak-balik beberapa buku, meneliti dengan saksama apa yang dibacanya. Sementara lelaki yang ada di sampingnya malah sibuk memangku wajah dengan sebelah tangan, memerhatikan tiap gerakan yang dilakukan sang lawan jenis. Sesekali ia membolak-balik buku yang diambil dengan asal dari rak entah yang mana.

Aksa Nabastala seperti tidak punya kata jera dalam kamusnya. Meskipun sudah masuk buletin gosip panas terkini di mading Klub Reportase dan menghebohkan satu kampus karena berlutut memberikan bunga pada seorang gadis yang bahkan baru ditemui sekali, ia masih tidak berhenti. Sehabis kelasnya yang bubar lebih cepat setengah jam, ia mendadak menghilang lagi dari pandangan Raka dan Putra untuk menemui Mira lagi. Mengejar gadis itu sampai ke perpustakaan digital yang berada di pusat Universitas Adiktama Semesta.

Padahal, saat masih berada di kelas tadi, Putra diam-diam sudah menasehatinya agar tidak menemui Mira untuk sementara waktu, setidaknya sampai pembicaraan mengenai buletin di papan mading mereda. Lelaki yang hampir selalu memakai kacamatanya di kelas itu bahkan mengatakan bahwa Mira juga tidak suka pada Aksa dan pasti akan merasa terganggu karena mendadak dibicarakan oleh hampir setiap sudut kampus. Kendati demikian, si sulung dari dua bersaudara tetap tidak mendengarkan dan memilih duduk di samping gadis yang bahkan tidak menganggapnya ada di sana.

Untungnya lantai tiga dari perpustakaan digital hampir selalu sepi—setidaknya hanya ada para mahasiswa kutu buku yang bahkan tidak peduli dengan teman sekelasnya—sehingga ia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal menjadi topik panas lagi di mading Klub Reportase. Ia juga masih punya waktu setidaknya satu jam lagi untuk latihan. Jadi, Aksa sama sekali tidak merugikan siapa pun.

"Kamu pasti bingung kenapa aku masih tetap dateng padahal udah kena skandal melalui buletin." Aksa beralih melipat kedua tangan di atas meja, menumpukan dagunya di sana masih dengan memandangi si gadis dari samping. Selama itu, sudut bibirnya hampir tidak pernah absen mengulas senyum.

"Mending kamu pergi," sahut Amira, serupa acuh tak acuh, tetapi lebih banyak enggan merasa diganggu. Gadis itu melirik dengan sudut matanya untuk sedetik saja, kemudian berlanjut fokus pada buku-buku yang sebagian besar berisi dengan sastrawan dunia.

Aksa mengulum senyumnya, menatap buku-buku di atas meja yang hampir semuanya terbuka, lalu beralih pada si mahasiswi Bahasa Indonesia yang masih sangat fokus sampai keningnya berkerut-kerut. "Aku nggak mau, sebelum bantuin kamu."

Amira menutup buku yang sedang dibacanya dengan cara yang mendadak, menimbulkan bunyi debam yang agak menggema. Ia mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menoleh dengan tatapan tajam pada Aksa yang bahkan masih belum mengubah posisi. "Aku nggak mau dibantuin."

"Tapi aku mau bantuin," sahut sang vokalis Candramawa cepat-cepat, membumbuinya dengan cengiran lebar.

Kedua muda-mudi tersebut saling melempar pandang untuk beberapa detik, Mira yang masih bersiteguh mempertahankan ketidaksukaannya dan Aksa masih tidak jera sudah ditolak beberapa kali. Seolah penerimaan terhadap setangkai mawar saban hari adalah kode untuknya agar terus berlari.

Hening menyelimuti kembali. Hanya terdengar suara kertas yang disibak oleh Mira yang kembali fokus, sesekali terdengar pula langkah-langkah kaki yang menjejaki anak-anak tangga, tetapi masih tidak ada yang menempati meja-meja yang ada di sekitar mereka.

Di saat seperti ini, Aksa mendadak teringat kembali keheningan yang menyelimuti panggung sebelum Mozart mengalun dengan anggun. Aroma melati menyeruak di tengah sejuknya ruangan akibat pendingin yang tidak dimatikan meskipun dari luar titik-titik hujan membasahi jendela kaca tembus pandang. Seluruh jalanan basah, para mahasiswa berlarian menghindari tangisan hujan, dan rasanya Aksa sudah menemukan puisi Neruda mana yang cocok untuk dibacakan.

"Dan kau mendengarku dari jauh." Aksa memulai bait puisinya, memandangi lurus-lurus pada pensil yang sengaja diletakkan sebagai pembatas buku. "Pula bahanaku rupanya tak dapat menggapaimu."

Aksa tahu kalau buku yang tepat berada di hadapan Mira tidak lagi disibak lembarannya. Ia melirik sedikit, gadis itu bahkan tidak menatap buku dengan cara seharusnya. Mira hanya berpandangan kosong, entah memikirkan apa. "Biarkan 'ku datang untuk menyerana dalam lengangmu. Biarkan 'ku berbincang dengan bungkammu." 1

"Kau seperti malam," Senyum merangkak naik ke wajahnya. Ada garis pertanda harapan, ada kebahagiaan, ada pula sebersit keputusasaan. Namun, ia tetap memandangi gadis yang selalu disebutnya sebagai gadis Mozart itu seolah jatuh hati sungguhan. "yang penuh keheningan di sela tiap rasi bintang." 1

Masih tidak ada ucap yang terlontar dari bibir gadis yang rambutnya dikucir tinggi dengan pita serupa kelopak melati tersebut. Seolah puisinya sungguhan cocok untuk Aksa yang hanya berbincang dengan hening yang menyelimuti mereka. Mira betah memangku kebisuan, membiarkan sibakan kertas yang dibolak-balik dan goresan pensil yang mengisi udara.

"Aku tau kamu pasti kamu udah milih Neruda." Di antara keheningan yang dibiarkan begitu saja, Aksa mengucapkan kalimat yang membuat gerakan Mira lagi-lagi terhenti untuk menulis di catatannya. Namun, gadis itu tetap melanjutkan seolah tidak mendengar apa pun.

Aksa memperbaiki posisinya menjadi duduk dengan tegak. Ransel hitam yang dibiarkan terabai di meja diraih, vokalis Candramawa itu mengeluarkan sesuatu yang lebih mirip laporan makalah, tetapi dengan sampul tebal berwarna kecokelatan.

Judulnya ditulis dengan tinta hitam tebal, berukuran cukup besar. Poetic Poems, Richest Romantic: Neruda's Nautical. Tidak ada ornamen tertentu dari sampulnya, kecuali tekstur kertas yang tampak agak kasar.

Buku tersebut dipandangi sebentar sebelum akhirnya diletakkan tepat di sisi buku yang sedang Mira teliti. "Ini bukunya, dijamin lengkap, referensi terpercaya."

Mira memandangi Aksa lama sekali, entah mencari apa di sepasang mata yang masih memberi sinar penuh pengharapan itu. Ia menatap buku pemberian sang vokalis dan pemiliknya beberapa kali sebelum akhirnya menaikkan sedikit saja dari sebelah sudut bibirnya. "Syaratnya?"

"Syaratnya?" Aksa mengerutkan dahinya singkat. "Oh, kamu mau pake syarat?" Senyum di wajah Aksa berubah semringah. Ia berucap dengan bersemangat sekali. "Mudah aja, kok. Kamu harus izinin aku buat deketin kamu, kasih kesempatan buka hati kamu—"

Derit kursi yang bergeser membuat kalimat Aksa terpotong begitu saja. Mira bangkit dari duduknya dengan aura yang bahkan lebih dingin dari pendingin ruangan di perpustakaan atau cuaca di luar jendela. "Makasih tawarannya."

"Eh?" Aksa mendadak kebingungan. Ia ikut bangkit kala mendapati gadis itu membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja untuk dimasukkan ke tas biru dongkernya. "Kalau gitu, dateng ke acara perlombaan musik Candramawa di tengah kota sepuluh hari lagi. Gimana?"

Alat-alat tulis miliknya pribadi sudah raib semua. Mira mengembuskan napas panjang sebelum menoleh pada Aksa yang air mukanya kalang kabut. "Kamu ada perlombaan? Bukannya lebih baik kamu giat latihan dibanding ngejar-ngejar cewek nggak jelas begini?"

"Nggak jelas?" Lelaki itu mengulang kalimat Mira dengan nada tidak terima, tetapi lebih banyak bingung.

Buku-buku yang diambil dari rak sebelumnya disusun di sudut meja. Penjaga perpustakaan bilang kalau pengunjung tidak perlu mengembalikan buku pada tempatnya setelah meminjam. Sementara buku dengan sampul kecokelatan dari Aksa dikembalikan lagi pada pemiliknya dengan cara yang agak memaksa.

"Bawa pulang aja bukunya. Aku nggak minat." Sehabis mengatakannya, gadis itu menyandang tas sendiri, lalu beranjak pergi.

"Mira, mira?" Aksa agak berteriak, melirik kanan-kiri kalau-kalau ada yang merasa terganggu dengan suaranya. Lelaki itu memilih untuk mengikuti Mira dari belakang sembari terus berucap. "Kalau kamu terima tawarannya, sehabis perlombaan itu aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi."

Namun, Mira sama sekali tidak menghentikan langkah atau setidaknya berpura-pura mendengarkan ucapan dari seseorang di belakangnya. Aksa tidak lagi mengejar ketika sudah sampai di ujung tangga, sementara si gadis jurusan Bahasa menapak dengan tergesa.

"Mira?" panggilnya lagi, dengan suara agak putus asa. Padahal, Mira juga tidak akan mendengarnya meskipun ia memanggil dengan teriakan sekali pun.

Bahu lelaki itu merosot, ia menuruni anak tangga dengan langkah lunglai. Punggung Mira tidak terlihat lagi, tetapi rasanya Aksa lelah sekali. Ini adalah yang kedua kalinya mencoba. Sungguh, si vokalis Candramawa tidak main-main dengan ucapannya. Kalau untuk yang ketiga kalinya masih tidak berhasil, Aksa berjanji akan mundur saja. Kalau Mira menerima tawarannya, sehabis perlombaan itu, ia juga tidak akan mengganggu lagi.

***

—[13/10/2023 ]—

1 Terjemahan bebas untuk nukilan puisi "I Like For You To Be Still" karya Pablo Neruda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top