[ntbamb · 07] - buletin papan nama

Pemandangan gerbang keluar yang buram mendadak terisi penuh. Aroma melati yang mengisi indera penciuman menguap hilang begitu saja ketika sesosok lelaki dengan mata tajam berdiri di hadapannya. Bahu Aksa tersentak sedikit, ia hampir saja terjerembab ke belakang saking terkejutnya.

"Ngapain di sini?" tanya Aksa dengan nada agak protes, seolah tidak terima kalau ide-ide dalam kepalanya mendadak direnggut paksa.

Arjuna Dewala tidak langsung menyahut. Mata serupa elang yang dibingkai dengan rambut alis yang hampir menyatu itu memandangi Aksa terlalu intens, dari kepala sampai kaki, lalu kembali lagi.

"Ngapain vokalis Candramawa di sini?" Basist Candramawa itu akhirnya mengeluarkan suara. Tanpa emosi, tanpa nada tertentu. Dibanding bertanya, lebih cocok disebut sebagai ungkapan. "Itu pertanyaan yang bener."

Aksa Nabatasta berkedip-kedip memandangi lelaki di depannya yang masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Mahasiswa Ilmu Politik itu membuang wajah, menatap pada lorong panjang yang kanan-kirinya ditanami bunga terompet kuning cerah. Sebab keterkejutannya atas kedatangan salah satu anggota Candramawa, ia malah menanyakan hal yang seharusnya ditanyakan pada diri sendiri.

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik berjarak setidaknya tiga fakultas dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Dibanding dirinya, Arjuna tentu adalah seseorang yang lebih berhak bertanya karena berasal dari sana, di program studi Seni Musik.

Aksa mendadak membulatkan matanya, menoleh lagi pada Juna yang tidak lagi memandang dengan tatapan tajam. Apakah basist Candramawa itu sudah tahu apa yang dikerjakan Aksa di sana? Kalau dia sedang mengejar-ngejar mahasiswi Bahasa, menguntit dari kelas sampai parkiran fakultas dengan tergesa-gesa?

Juna mengalihkan perhatiannya ke balik bahu Aksa. Barangkali jejak-jejak langkah yang diseret dengan tergesa itu membuatnya menjadi ingin tahu. Tanpa melihat sekali pun, sang vokalis Candramawa tahu bahwasanya pasti sedang ada yang terjadi sehingga beberapa mahasiswa mendadak menyeret langkah dengan tergesa.

Mahasiswa Seni Musik itu menatap Aksa sebentar, sebelum akhirnya beranjak pergi dengan arah yang berlawanan dengan para mahasiswa yang berlangkah cukup lebar dan cepat. "Pasti vokalis Candramawa nggak lupa kalau sekarang ada latihan. Karena kayaknya akhir-akhir ini dia lebih sering latihan fisik dibanding latihan pernapasan."

Tentu saja Aksa mengerti maksud Juna. Padahal perlombaan di pusat kota kurang dari dua minggu lagi, tetapi Aksa malah sibuk berlarian di sekitaran FPBS dan hampir selalu telat datang ke latihan musik yang sudah dijadwalkan Na. Kadang-kadang juga Aksa tahu bahwa anggota band yang lain memilih untuk berlatih tanpanya yang merupakan poin utama dalam perlombaan tersebut.

Namun, Aksa juga perlu mencari tahu si gadis Mozart.

Mahasiswa Ilmu Politik itu meringis sembari mengikuti langkah Juna yang ada di depannya. Dibanding sebagai rekanan, mereka lebih cocok sebagai kepala dan buntut. Kalau begini, malah Aksa lebih suka jika Putra dan Raka saja yang memergokinya saat sedang menatapi Mira. Setidaknya ia tidak merasa terintimidasi seperti ini.

Mendadak gadis bermata sipit yang hampir selalu mengenakan pita merah untuk mengucir rambutnya muncul di kepala. Aksa hampir saja menanyakan Bia pada Juna karena mereka satu kelas dan biasanya juga gadis itu yang selalu menjemputnya kalau ada latihan. Namun, melihat air muka Juna yang tidak bersahabat, mahasiswa Ilmu Politik itu memilih bungkam saja.

Atap di atas kepala barangkali hampir meleleh sebab mentari terlalu bersemangat. Akan tetapi, paving block di bawah kaki serupa jembatan es dan embusan angin yang harusnya membawa gerah malah meniupkan udara yang membuat bulu kuduk Aksa meremang. Memang, dari seluruh anggota Candramawa, Juna adalah satu-satunya anggota yang paling ia hindari. Meskipun ia dingin pada semua orang, tetapi pada Aksa merasa bahwa ada penambahan yang tampaknya serupa dengan ketidaksukaan.

Sebelum berbelok di perempatan lorong panjang menuju ruang musik, Aksa sempat menoleh ke belakang, di mana para mahasiswa lain tergesa mengayunkan langkah ke suatu tempat. Dari kejauhan, sekumpulan mahasiswa mengerubungi papan mading yang dilapisi flanel merah terang, ditutupi dengan kaca tembus pandang yang bisa digeser.

Aksa tidak tahu apa yang membuat mereka semua begitu penasaran dengan papan mading tersebut. Ia hanya tahu kalau papan mading itu milik klub reportasi—klub yang serupa dengan majalah infotainment berjalan, selalu menulis gosip terkini dari setiap penjuru kampus, memajang setidaknya minimal lima gosip perhari.

Ia tidak tahu sepanas apa berita sehingga sekeliling mading tersebut tampak sangat sesak—bahkan kehebohannya masih terdengar meskipun Aksa sudah berbelok di perempatan. Namun, tentu saja lelaki itu juga penasaran.

"Kok Juna yang jemput? Biasanya Bia."

Pertanyaan sekaligus ungkapan tersebut mengudara tepat sesaat setelah Aksa melangkah masuk beberapa langkah di belakang Juna. Seorang lelaki dengan beanie yang duduk di belakang set drum yang mengatakannya. Dengan stik drum yang diputar-putar di jemari, Rio memandangi langkah Aksa yang bergerak mendekati meja di ujung ruangan.

"Artinya kapal barukah?" Sahutannya kompak terdengar bersama gitar akustis yang dipetik dari sudut yang berlawanan. Satria menaikkan-turunkan kedua alisnya dengan irama tertentu, menatap dua lelaki yang baru saja masuk ruangan bersama dengan cara yang aneh secara bergantian.

"Juna-Aksa?" tanya Rio bersemangat, hampir menaiki kursi di belakang set drum dengan kedua kakinya.

Satrio bersiul-siul panjang, diikuti dengan tawa renyah yang membuat si vokalis hampir meremukkan catatan berisi lagu-lagu yang akan ditampilkan. Sementara Juna malah terlihat seolah tidak mendengar apa pun, malah asik menyetel kunci gitar bas dari tempatnya.

"Aksa-Juna nggak, sih?" Satrio melanjutkan tawanya, memenuhi isi ruangan, bahkan masih belum berhenti ketika pintu ruangan dibuka dengan paksa.

"Heh, Satrio!" Pekikan menghentikan siulan panjang dan tawa menggema dari Satria dan Rio. Na menutup pintu ruangan dengan kasar. "Kenapa tiba-tiba ngomongin pelangi, ha? Emangnya ketukan kalian udah senada?"

"Satria, Kak." Si pemilik nama mendengkus tak suka. "Kenapa nama bagus begitu diganti-ganti?"

"Sat-Rio." Na mengeja dengan jarinya, menunjuk Satria dan Rio bergantian. "Satria-Derio. Kalau bisa sekali dua, ngapain harus nyebutin satu-satu." Air muka seriusnya berubah sedikit, kakak tingkat mereka itu menaikkan sedikit sudut bibirnya.

Drummer dan gitaris Candrawama tersebut hampir saja melontarkan protes. Namun, air muka Na berubah menyeramkan lagi ketika pandangannya jatuh pada Aksa yang memandanginya sembari memegangi buku catatan lagu-lagu. Gadis tersebut bergerak beberapa langkah menuju pada sang vokalis.

"Kakak baru tau kerjaan kamu di luar ruangan ini, Aksa." Na mengembuskan napas terlalu panjang. "Kalau buletin di mading itu nggak secara sengaja Kakak liat, mungkin Kakak nggak bakalan tau, ya."

Aksa tidak menyahut apa-apa, hanya memandangi manajernya dengan pandangan heran dan takut. Lelaki itu masih tidak mengerti ke mana sebenarnya arah pembicaraan mereka.

"Dua minggu aja, kamu bisa fokus dulu, Sa?" Na memegang bahunya, meremas sedikit, seolah meminta pengertian. "Jangan bikin masalah dulu. Kalau boleh jujur, lomba ini lebih penting daripada sekadar ngejar-ngejar cinta monyet kamu."

***

"Cowok yang tadi, tuh, siapa, Kak?"

Keheningan rumah mendadak dipecah dengan tanya yang penuh dengan keingintahuan, serempak dengan langkah yang diayun konstan menjejaki tiap-tiap anak tangga. Kalau dipikir-pikir, Ayu bisa saja menanyakan hal serupa sesaat setelah mobil SUV hitam pemberian Papa bergerak meninggalkan pelataran kampus. Namun, si bungsu malah memilih mengutarakan isi kepalanya sehabis pintu utama rumah dibuka setelah nyaris di sepanjang perjalanan mendengar opera Swan Lake dari kaset yang pernah dibelikan Papa.

"Orang gila," sahut Mira setelah mendudukkan diri di depan piano.

Ia menghela dan mengembuskan napas panjang berkali-kali, seolah baru saja melewati salah satu hari yang paling melelahkan sepanjang hidupnya. Meskipun jemari hampir menyentuh tuts, kepala si sulung malah menatapi sebuah vas kecil putih yang memang sengaja diletakkan di samping partitur komposisi musik milik Shostakovich, Waltz No. 2.

Vas putih itu digores tinta biru tua, membentuk dua angsa yang saling menempelkan dahi. Kata Papa, itu adalah vas kesayangan Mama. Selalu diisi dengan beberapa tangkai Gypsophila dan diganti setiap hari Rabu.

Namun, di beberapa hari ke belakang, Gypsophila mendapati penghuni asing yang menempati rumahnya. setangkai mawar putih yang hampir kekuningan, tangkainya lebih kokoh dan panjang tampak sangat kontras dengan bunga kecil-kecil dan tangkai rapuh Gypsophila.

Pemandangan Amira yang melamun memandangi sebuah kejanggalan di vas kecil itu tentu tidak luput dari mata Ayu. Si bungsu bersandar di tepi pagar besi pembatas lantai dua, memandangi sang kakak yang bahkan masih belum melepas tasnya.

"Kok Kakak mau nerima bunga dari orang gila?"

Amira tidak menjawab. Meskipun Ayu menunggu untuk beberapa waktu lamanya, tetapi sang kakak tetap bungkam. Namun, pandangan Mira dengan cepat beralih menuju partitur yang terbuka atau tuts piano yang masih dibiarkan terabai. Seolah, ia juga bertanya-tanya mengapa pula mawar putih tersebut berakhir berpindah tangan begitu cepatnya, mengapa mawar putihnya berakhir di vas yang sama dengan bunga kesukaan mereka.

Ayudia sudah tahu Mira luar dalam. Kakaknya tidak pernah mau menerima apa pun dari orang asing. Katanya hadiah itu hanya basa-basi, latar belakangnya adalah menginginkan sesuatu yang lain. Namun, untuk pertama kalinya Ayu melihat Mira menerima hadiah dari orang yang bahkan tidak pernah ditemuinya. Kalau ia telisik lagi, lelaki yang berlutut di depan Mira tempo hari dan mengejarnya hari ini, sudah jelas meminta balasan hati. Sesuatu yang sekiranya akan sangat sulit diberikan.

Pembicaraan mendadak terputus begitu saja. Ayu berharap kalau kakaknya bersedia menyentuh tuts karena sudah menghadapinya selama beberapa lama, setidaknya untuk memecah hening yang menyelimuti mereka. Namun, Mira malah memilih membolak-balik partitur dengan asal, seolah isi kepalanya sudah berantakan dan tercecer di mana-mana.

Dari memandangi sang kakak yang kiranya tampak seperti orang kebingungan, Ayu beralih mengeluarkan gawai dari saku celana. Tepat sebelum menyeret Mira untuk masuk mobil, si bungsu sempat melihat sesuatu dari papan mading yang katanya khusus dibuat untuk Klub Reportase.

Ayudia tidak tahu apa yang sedang membuat Mira gamang—kalau ditebak sepertinya masih berkaitan dengan lelaki yang memberinya mawar putih itu. Namun, barangkali sesuatu yang sempat diabadikan melalui kamera ponsel tersebut bisa membuat seisi rumah yang sepi tidak lagi terasa hening.

"Eh, Kakak masuk headline kampus sama orang gila."

Gesekan antar kertas partitur tidak lagi terdengar. Empat tuts ditekan mendadak dan tegas. Dari kelopak matanya, Ayu melihat kalau Mira sudah memutar kepala menghadapnya, memberi tatapan ingin tahu dan berang sekaligus.

Besi pembatas ditinggalkan begitu saja. Kaki Ayu berderap mendekati sang kakak yang mencoba mengintip ponsel yang sedang si bungsu bawa. Begitu gawai diangsurkan, kedua mata Mira membulat. Singkat saja, yang terlalu cepat tergantikan dengan pandangan tak suka dengan decakan dongkol.

Saat pertama kali melihat judulnya, Ayu pikir artikel tersebut hanya gosip biasa yang memang akan selalu ada di setiap kampus. Namun, setelah melihat foto-foto acara penyerahan bunga saban hari, Ayudia mendadak merasakan kalau jantungnya jatuh dan berguling di bawah kaki.

Wajah kakaknya terpampang dari segala sisi, membuat semua orang yang awalnya tidak peduli kalau Mira menempati kelas mereka, menjadi seseorang yang mendadak terkenal seantro kampus hanya karena remeh-temeh artikel gosip dan menerima bunga dari vokalis band ternama kampus.

"Tapi kok di sini malah keliatan kalau Kakak yang gila, ya?" Ayu bersuara lagi, bernada jenaka setelah gawai dikembalikan. Kakaknya tidak bersuara apa-apa, hanya menebar kedongkolan dari depan piano menuju sofa yang tidak jauh dari sana.

Dibanding Mira sendiri, Ayu yang lebih kesal. Besok, gadis itu akan menemui siapa saja orang yang terkait dengan pemajangan artikel gosip yang membuat kakaknya mendadak jadi artis kampus.

"Caprice No. 5." Alih-alih menanggapi dengan seharusnya, si sulung malah bertingkah seolah tidak pernah mendengar sebaris kalimat tanya dari adiknya. Gadis dengan rambut panjang terkucir itu merenggangkan tangan tinggi-tinggi setelah meletakkan tasnya di sisi kanan kaki. "Mana?"

Ayudia Latifah sampai berkedip-kedip beberapa kali. Ia mengambil tempat duduk Mira sebelumnya dan memandangi sang kakak dari sana. Si bungsu mendesah panjang dahulu sebelum menyahut. "Susah, Kak. Itu, kan, buat biola. Masa Ayu harus jadi Paganini dulu." Ayu mengulum senyumnya. "La Campanella aja, ya, Kak? Kan Paganini juga."

"Susah." Mira menyahut setelah berdecak. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tas, membolak-balik isinya setelah melirik sekilas. "Lagian itu bukan punya Paganini, tapi Listz."

Tidak lama, Amira beranjak setelah meninggalkan buku catatan di atas meja menuju kamarnya. Ayu memandangi saja tiap langkah yang dijejak si sulung, heran dan dongkol. Begitu pintu kamar berdebam tertutup, si bungku membalikkan bangku, menghadapi delapan puluh delapan tuts piano. Matanya beralih pada partitur yang terbuka, menampilkan komposisi milik Vivaldi yang telah diaransemen agar bisa dimainkan untuk piano, L'inverno—Winter dari set konserto Le Quattro Stagioni—The Four Seasons"

"Diliat dari mana pun, Winter yang lebih susah."

***

—[06/10/2023 ]—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top