[ntbamb · 05] - empat nama teruntuk dua usia
Lelaki jangkung dengan kemeja biru muda dan ransel hitam mendengar musik yang menggema ke seluruh penjuru rumah ketika kakinya baru saja melewati pintu ganda berwarna cokelat terang. Alat pengeras suara terdengar mengalunkan lagu cardigan milik Taylor Swift dari lantai dua, tetapi sudah beberapa langkah memasuki rumah, Aksa masih juga belum menemukan satu orang pun.
Petang yang membawa jingga di ufuk barat mengisyaratkan kedatangan malam dengan segera ketika Aksa memutuskan berbelok ke arah dapur. Ia hendak membayar segala keletihan di kampus sepanjang hari dengan menenggak air dingin dari dalam kulkas. Di saat itu, ia mendengar seorang wanita berusia awal empat puluh tahunan sedang bersenandung riang sembari mengayunkan sudip di depan kompor menyala dan kuali berisi brokoli tumis.
"Bunda?"
"Oh, ya, astaganaga brokoli gosong!"
Aksa memandangi bundanya yang heboh sendiri sambil mengayunkan sudip seolah sedang mengayunkan pedang. Si putra sulung menaikkan sudut bibirnya dengan perasaan geli dengan tangan bergerak membuka lemari pendingin perlahan.
Padahal, rasanya Aksa juga hanya memanggil dengan suara santai. Namun, bundanya sebegitu terkejut seolah sedang diserang.
"Aksa Nabastala!" Bundanya berbalik menghadap sang putra yang sedang menenggak segelas air dingin. "Kamu membuat Bunda kaget," gerutunya dengan air mukanya yang kusut, wanita itu mengembuskan napas keras.
Api di kompor mendadak dipadamkan, wanita itu beralih memukul bahu Aksa terlampau kencang hingga bagian intro dari alunan lagu august milik Taylor Swift ternoda suara mengaduh beruntun.
"Padahal Kakak manggilnya pelan." Aksa tertawa kecil sehabis bundanya selesai memukuli.
Sebotol air yang dikeluarkan dari kulkas dimasukkan kembali. Dengan gelas kosong di tangan, si putra sulung bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas bekasnya.
"Namun, Bunda tetap kaget," sahut wanita berusia empat puluh tahunan itu yang malah terdengar seperti merajuk. Tangannya sibuk memindahkan brokoli tumis yang asapnya masih mengepul-epul dari kuali ke piring persegi cukup besar. "Untung tadi belum memindahkan sayurnya. Kalau tidak, sudah habis semua menjadi santapan ubin."
Aksa Nabastala tersenyum saja dari depan wastafel, menatap dari samping bundanya yang masih belum berhenti bersungut-sungut hanya karena terkejut dipanggil.
Nama Aksa adalah nama yang diberikan oleh sang bunda. Aksa berarti jauh, tetapi sang bunda lebih suka dengan makna mata. Nabastala—langit, berharap kalau anak sulungnya itu memiliki hati dan kecerdasan setinggi langit.
Tentu saja, yang paling menakjubkan adalah fakta bahwa wanita dua anak itu suka membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus sejak menginjak Sekolah Menengah Pertama. Kepada siapa pun bundanya berbicara, ia akan selalu berucap seolah sedang berada di era yang kuno sekali.
Mahasiswa Ilmu Politik itu baru saja hendak beranjak menuju kamarnya, tetapi kedatangan seorang gadis belia yang masih memakai seragam putih biru dongker seolah membuatnya mengurungkan niat.
"Bunda, speaker-nya matiin, dong," kata gadis itu setengah merajuk. "Mala mau ngerjain PR, jadinya nggak fokus," lanjutnya sembari melirik Aksa.
Tanpa menoleh, Bunda menyahut, "Bukannya kamu dari atas? Kenapa tidak bisa nonaktifkan sendiri saja?" Wanita itu meletakkan sepiring penuh brokoli tumis tidak jauh dari kompor. Sebelum memindahkan kuali kotor ke wastafel, Bunda menyuruh Aksa agar bergeser ke tempat lain.
"Mala nggak pinter, Bun," sahut si gadis muda, bibirnya mengerucut sedikit.
Nirmala Jatmika namanya, si anak bungsu. Nama yang lagi-lagi diberikan oleh sang Bunda. Saat ini, ia menginjak kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Gadis itu memang tumbuh dengan wajah ayu seperti sang bunda—dengan mata layu nan bersinar, alis seperti semut beriring, kulit kuning langsat, hidung kecil, dan pipi agak berisi. Sebenarnya ia cukup sopan, tetapi kadang-kadang sudah adu mulut dengan Bunda karena selera musik yang berbeda.
"Padahal kemarin bisa menggantinya dengan lagu Hitam Merah Jambu. Masa tidak bisa bagian menonaktifkan." Air keran dinyalakan, bunyi kelontang karena kuali dibolak-balik dan mengenai wastafel memenuhi seisi dapur, menodai alunan lagu milik Taylor Swift yang tiada habisnya.
Nyeri di pelipisnya mendadak muncul. Sesaat, Aksa merasa menyesal karena telah ingin tahu pembicaraan adik dan Bunda. "BLACKPINK, Bun," kata satu-satunya lelaki di sana.
"Ah, iya, itu." Bunda mengangguk-angguk beberapa kali sembari melumuri seluruh kuali dengan sabun. "Kita harus mencintai bahasa Indonesia."
"Tapi Bunda dengerin lagu—"
"Sstt!" Wanita dua anak itu berbalik menghadap Mala terlalu cepat. Telunjuknya yang penuh busa mengacung tepat di depan bibir. "Si Penjahit Cepat, tidak boleh diganggu gugat." Kemudian, wanita itu kembali dengan urusannya, melumuri piring-piring kotor lainnya bekas memasak dengan sabun.
Kalau sudah mempermasalahkan si Penjahit Cepat—Taylor Swift, Bunda tidak akan mau diganggu gugat. Ia adalah penggemarnya sejak tembang Shake It Off rilis pertama kali. Tidak heran kalau begitu pulang dari kampus, ia akan selalu mendengar satu album penuh milik penyanyi tersebut terputar. Sementara Mala biasanya akan merengek minta lagunya dimatikan karena sudah mati bosan.
"Sudah, Mala nanti saja kerjaan PR-nya setelah makan malam." Bunda melirik dari bahunya, menatap sang anak gadis dari atas ke bawah. "Gantilah baju sebelum membantu Bunda menyusun makanan di meja. Ayah akan pulang sebentar lagi. Aksa, tolong matikan pengeras suaranya di atas sembari bebersih."
Sebelum beranjak, lelaki bermata setajam elang itu mengacak rambut adiknya sambil tertawa geli. Aksa buru-buru bergerak menjauh menuju anak tangga ketika Mala hendak meraih tangannya untuk digigit.
"Padahal Mala nggak dengerin lagu BLACKPINK, tapi lagunya Aideul." Meskipun sudah tidak terlihat lagi, tetapi Aksa masih bisa mendengar gerutuan sang adik. "Hish, Bunda, mah!"
Benar sekali. Selain merengek, Mala menunjukkan protes dengan mengganti lagunya. Yang Aksa tahu, setahun terakhir adiknya itu cukup menggemari lagu-lagu dari sekumpulan gadis-gadis Korea Selatan. Tidak tahu juga yang mana sebenarnya. Namun, yang pasti, bundanya kesal sekali kalau si Penjahit Cepat sudah diganggu dengan Hitam Merah Jambu.
"Nonaktifkan saja pengerasnya, Aksa, jangan diganti dengan lagu Hitam Merah Jambu!" Teriakan Bunda menggema dari lantai bawah ketika anak jakanya dengan iseng mengganti alunan lagu menjadi milik sekumpulan gadis yang adiknya sukai. Aksa tertawa terbahak di samping pengeras suara.
"Itu (G)I-DLE, Bundaa." Sahutan dari Mala terdengar agak samar, tetapi ucapan gadis belia itu selanjutnya malah terdengar kencang sekali seolah sangat bersemangat. "Kak Aksa jangan dimatiin dulu, Mala mau dance Queencard sampai habis!"
Aksa hanya menggeleng saja sembari mengintip dari lantai dua ketika adu mulut antara dua perempuan itu dimulai lagi, berusaha menodai alunan lagu K-Pop rasa hiphop berjudul Queencard tersebut. Padahal, Aksa juga penyanyi—anggota band kampus. Sangat disayangkan kalau Mala dan Bunda sama-sama tidak mengidolakannya.
***
Seluruh penjuru rumah memang terasa sangat senyap tanpa denting piano yang berasal dari lantai dua. Bukan hanya karena rumah berlantai dua tersebut hanya terisi oleh dua kakak beradik, tetapi juga oleh sebab penghuninya tidak terlalu suka mengeluarkan suara terlalu berisik. Pengecualian jikalau salah satu dari mereka tidak mau menuruti yang lainnya.
Amira Friska yang lebih sering menyentuh alat musik melodi itu. Kadang-kadang melantunkan keping-keping milik Beethoven atau Rachmaninoff, tetapi lebih sering mengalunkan Mozart.
Ayudia Latifah sebenarnya juga bisa bermain piano. Namun, si bungsu hanya bisa mendentingkan dua komposisi saja; Swan Lake milik Tchaikovsky dan Waltz No. 2 milik Shostakovich. Itu juga masih belum lancar. Ia lebih sering melihat partitur¹ saat berkonser.
Namun, di malam itu tidak ada lantunan komposisi apa pun. Bahkan partitur yang menampilkan halaman Hungarian Rhapsody milik Liszt di atas piano dibiarkan tidak tersentuh begitu saja. Dua gadis penghuni rumah bukannya menghilang, melainkan tengah duduk di meja makan lantai dasar, menghadapi semangkuk besar sup ayam dengan kentang dan wortel.
"Kakak nggak kepala batu, kan?"
Tanya bernada penasaran dan sedikit dibumbui tawa geli itu berasal dari laptop terbuka di atas meja yang sama. Seorang pria berusia hampir separuh baya yang mengutarakannya. Kalau diperhatikan kembali, ia duduk sembari membelakangi kaca besar, memperlihatkan lampu-lampu gedung pencakar langit yang berpacu siapa paling terang.
"Makin ke sini, makin batu, Pa," sahut Ayu. Ia mengambil sepotong ayam dan beberapa sendok kuahnya ke piring yang sudah diisi nasi putih. "Masa kemaren, tuh, ya, lebih milih mainin The Four Season daripada check up."
"Berarti yang salah pianonya." Layar laptop yang menampilkan wajah Papa agak bergoyang karena ponsel yang digunakan tengah berpindah tangan. Dasi biru di leher pria itu dilonggarkan, ia juga tampak melepas jas putih yang merupakan ciri khas dari seorang dokter. "Menurut kamu, kita apain, Yu?"
Si bungsu hampir saja menjawab ketika Mira menaruh beberapa potong kentang dan wortel ke piringnya. Ayu menoleh pada sang kakak terlalu cepat, menampilkan air muka yang berkerut-kerut sebab menahan kesal. Gadis yang paling muda beralih memindahkan kedua jenis sayuran itu ke piring kakaknya yang malah hanya berisi sayuran saja.
Alih-alih mengomeli adiknya yang tidak ingin makan sayur, Mira memilih mengebuskan napas panjang sebelum menjawab Papa. "Kakak masih di sini, loh." Kemudian berlanjut menyuapkan sesendok kentang dengan nasi ke mulut.
"Jangan degil, Kak. Ayu begitu juga buat kamu," kata Papa lagi, dengan suara lembut. Ia menyisihkan sebuah senyum meskipun putri sulungnya hanya membalas dengan dehaman pendek. "Tau begitu, kemaren nggak Papa beliin piano baru."
"Pa, mending didonasikan aja pianonya." Ayu menyahut setelah menenggak segelas air putih. Meskipun Mira memandanginya dengan tatapan tajam, si bungsu malah memberinya lidah yang terjulur sebentar sebelum memandangi Papa melalui layar laptop lagi.
"Enak di sana, Pa?" Mira memandangi pria yang hampir tidak dilihatnya secara langsung itu selama hampir enam bulan terakhir. "Mau berubah kewarganegaraankah?" Si sulung mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis.
Pria yang hampir menginjak paruh baya itu hanya tertawa saja menanggapi ucapan anak gadisnya. Papa sangat sibuk karena profesinya sebagai dokter ahli syaraf. Beberapa kali juga kedua gadis itu menyarankan agar membuka praktek di Indonesia saja atau bekerja di salah satu rumah sakit di sini. Namun, ada saja alasan untuk menolak.
"Ayu juga mau ke Singapura, Pa." Ayu menyahut ucapan kakaknya dengan suara bersemangat. "Mau liat patung Merlion sama pegang air liurnya langsung."
"Pasien Papa belum sembuh total, Sayang." Pria itu menyahut sembari mempertahankan senyum lembut yang sama. Meskipun kerutan di sekitaran mata dan dahinya tercetak cukup jelas, ia masih terlihat sama tangguh seperti sepuluh tahun lalu. "Papa juga sekalian nyari kabar baik di sini. Kalau nemu, kita jalan-jalan bertiga, ya."
Alasan ini adalah alasan yang selalu papanya gunakan. Masih ada pasien yang membutuhkan dan sedang mencari kabar baik untuk dibawa pulang. Dua hal tersebut akan selalu ada di setiap panggilan mereka.
Mira memilih fokus dengan makanannya saja, menyuapkan dengan pelan nasi beserta kentang wortel yang sepertinya sudah dibiarkan terlampau lama. Ia makan terlalu perlahan, sembari memikirkan sampai kapan kabar baik yang dicari Papa akan datang, sampai kapan waktunya untuk mereka berkumpul seperti keluarga pada umumnya. Oleh karena kematian sang Mama empat tahun lalu, Papa seolah lebih sering menghabiskan waktu dari negara satu ke negara lain hanya untuk mencari kabar baik.
"Mau oleh-oleh boleh, Pa?" Si bungsu bertanya semangat sekali sampai wajahnya hampir menyentuh layar laptop.
"Kamu mau apa?" Papa bertanya dari seberang sana. Kacamatanya dilepas, ia menggaruk hidung dengan senyum merekah.
"Patung Merlion, Pa."
Bukan Ayu yang menyahut, tetapi Mira. Baik si bungsu dan Papa serempak membisu dengan mata berkedip-kedip, sementara si sulung bersikap acuh tak acuh dan memilih menghabiskan sup kentang wortelnya tanpa melihat ke mana-mana. Namun, tiga detik berikutnya keheningan di rumah terlampau cepat terisi dengan tawa panjang yang menggemakan seluruh penjuru ruangan, baik dari si bungsu maupun pria dari seberang panggilan.
***
¹ Bentuk tertulis atau tercetak pada komposisi musik.
♪ – [10/08/23 - 13.19] – ♪
♪ – [25/08/23] – ♪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top