[ntbamb · 04] - candramawa
Ada yang salah di kelas Hubungan Internasional kali ini. Bukan gema dari suara dosen yang disebabkan hening kelas yang terlampau kentara. Bukan pula layar proyektor yang kemiringannya tidak simetris, barangkali si dosen pria itu masih tidak mengerti cara mengaturnya. Namun, ada beberapa gadis yang sesekali melirik pada Aksa dengan tatapan aneh. Beberapa lelaki juga menatapnya tidak suka.
Laki-laki jangkung dengan rambut hampir menyentuh dahi itu merapatkan giginya. Memilih mengabaikan penjelasan detail perdetail yang sebenarnya hampir seperti dongeng sebelum tidur. Ia beberapa kali pula memergoki orang-orang yang bersikap aneh di kelas hari itu. Perbedaan yang cukup mencolok dibanding hari-hari sebelumnya.
"Kenapa semuanya tiba-tiba ngeliatin kayak gitu?" bisik Aksa sembari mendekatkan kepala pada laki-laki di sebelahnya.
Sejenak, Aksa hanya mendengar kertas yang dibolak-balik sebelum balasan sesungguhnya. "Lupa abis ngapain?"
Aksa memandangi Putra dengan kernyitan di dahi yang cukup kentara. "Emangnya aku abis ngapain?" Sayangnya, Putra hanya membalas dengan helaan napas panjang sembari terus menulis di kertas bindernya.
"Eungh ...."
Seseorang baru saja melenguh pelan tetapi panjang di samping Putra. Beberapa pasang mata yang kebetulan menduduki kursi yang dekat dengan mereka bertiga menoleh dengan tatapan bingung. Bisa-bisanya, padahal kelas HI belum juga berjalan setengah jam. Belum lagi, dosen yang satu ini tidak akan masuk melebihi empat puluh lima menit hanya untuk memberi dongeng sebelum tidur.
Aksa dan Putra serempak memukul kepala Raka hingga laki-laki itu tersentak dan terbangun. Setelah itu, lelehan air liur yang mengalir dari sudut bibirnya diusap. Di luar kelas saja banyak bicara tentang pasal ini dan pasal itu. Kalau sudah masuk kelas, agenda Raka dengan cepat berubah menjadi tidur. Tidak heran kalau semisalnya nanti Raka akan menjabat menjadi salah satu anggota DPR.
"Put, help me. Mereka kayak mau makan aku. Yang cewek-cewek juga biasanya senyum-senyum, ini malah kayak sinis gitu."
Putra diam. Membalas ucap hanya dengan lirikan tajam. Laki-laki itu memperbaiki letak kacamatanya lalu menulis poin penting yang dijelaskan sang dosen. Putra memang memiliki mata minus, tetapi ia hanya memakai kacamatanya ketika hendak membaca atau sedang kelas seperti ini.
Kelas HI di hari itu ternyata usai lebih awal. Setelah bercakap singkat mengenai kuis pada pertemuan selanjutnya, dosen lelaki berjas abu-abu itu keluar dari kelas.
Aksa hampir saja bangkit hendak keluar sebelum Raka berdiri di depannya dengan senyum yang sedikit aneh. "Traktirannya, Sa," katanya bersemangat, sembari mengulurkan tangan kanan.
"Dalam rangka?" Aksa mengernyit tak paham. Jaka itu memilih menggeser tubuh sahabatnya lalu beranjak keluar beriringan dengan Putra.
Raka mengikuti dari belakang dengan semangat. Kontras sekali dengan beberapa menit lalu; muka bantal dan air liur yang menetes selama kelas berlangsung.
"Udah berani confess ke gebetan?" ucap Raka sedikit ragu.
"Diterima aja belum."
"Bunganya diambil, nggak masuk itungan?" Putra yang menyahut. Sedikit penasaran mengapa Aksa tidak terlalu bersemangat meski sudah ada yang diterima walaupun bukan perasaannya.
"Yaelah, Sa. Kamu tau, Putra sampe menganga lebar banget pas tau kamu berlutut gitu di taman. Sampai ...," Raka menjeda sebab tawanya tiba-tiba mengudara di lorong fakultas yang sedikit lengang, "helikopter sampai bisa mendarat di lidahnya Putra."
Putra memukul kepala Raka menggunakan buku. "Yang ileran di kelas HI nggak usah sok hebat."
Hampir saja Raka meluncurkan protes, seorang gadis berkucir pita merah menghampiri. Langkahnya ringan, ada senyum yang membuat wajahnya semakin manis.
"Eh, Sa. Kebetulan!" Bia tersenyum terlalu lebar pada Raka dan Putra bergantian hingga matanya tersisa seperti bulan sabit. "Kak Na nyuruh seluruh anak band kumpul. Latihan buat lomba di pusat kota dua minggu lagi. Bisa sekarang, nggak?"
Aksa berpikir sebentar sebelum mengangguk setuju. "Oh, bisa, bisa. Duluan, ya, guys!" Lantas, kedua muda-mudi itu beranjak dengan langkah lebar, menjauh dari dua laki yang masih terpaku di tempatnya.
"Eh, anjir. Sa! Cheese cake di café depan gimana jadinya?" pekik Raka tak terima. Menggema lagi di lorong itu.
Lagi, untuk yang ketiga kalinya di hari itu, Putra mendaratkan buku tebalnya di kepala Raka. "Beli sendiri, lah."
"Put, bisa nggak usah pukul kepala?" protesnya. "Aset ini, aset. Kalau geger otak, mau ganti pake otak kamu?"
"Otak kambing banyak terbuang, Ka. Santai aja." Putra menyeringai sembari menaikkan sebelah alisnya. Cuaca yang panas begini membuatnya ingin minum jus jeruk dengan es yang melimpah. Laki-laki itu beranjak menuju kantin dengan langkah santai.
"Anj—Put!"
***
Jaraknya yang memuai atau memang suasana sama sekali tak melandai? Aksa merasakan hawa yang kentara dingin meski ia tahu jika atap di atas mereka terbakar sengat matahari. Laki-laki jangkung itu melirik sedikit pada gadis berkucir di sebelahnya. Kening Bia berkerut dalam, tampak tak nyaman. Belum lagi pandangannya yang memancarkan banyak tanda tanya. Apakah gadis itu baik-baik saja?
"Mau cerita, Bi?" Aksa memegang pundak Bia pelan. Berharap Bia tersadar dari lamunannya yang entah apa.
"Hah?" Gadis itu tersentak. Ia linglung singkat saja dan langsung menatapi Aksa dengan bingung. "Kenapa? Aku nggak kenapa-napa. Haha."
Namun, tawa di ujung kalimatnya terdengar dipaksa. Belum lagi, Bia juga cepat-cepat menoleh ke arah lain lagi. Pada poster-poster yang ditempeli di sepanjang dinding lorong menuju ruang musik misalnya. Atau pada bunga-bunga soka yang hari itu mekar cukup banyak. Entah pula pada rerumputan hijau yang beberapa di antaranya digunakan sebagai alas duduk beberapa mahasiswa. Apa saja. Bia barangkali berusaha agar tak terus menerus saling berpandangan dengan Aksa.
Langit di atas kepala mereka sedang cerah-cerahnya, tetapi wajah gadis yang selalu mengucir rambutnya dengan pita merah itu sedikit mendung.
"Bener?" Aksa memastikan, sebab jawaban sebelumnya membuat laki-laki itu agak skeptis.
Helaan napas panjang mengudara. Bia menoleh pada Aksa lagi. "Kamu mau aku senyum?" Dara berwajah bulat itu melebarkan senyumnya, sebaris gigi-gigi putih terpampang di sepanjang perjalanan mereka menuju ruang musik. "Nih aku senyum. Kurang lebar apa lagi coba?" Tak lupa, Bia juga membubuhkan beberapa kekehan kecil untuk meyakinkan.
Setidaknya, tawa yang tak seberapa itu berhasil sedikit menghangat mendung di wajah itu. Aksa mulai percaya, ia ikut tersenyum kala Bia tersenyum terlampau lebar.
"Eh, Bia. Itu di gigi kamu ada cabe."
Gadis itu membelalak. Belah bibirnya buru-buru dirapatkan, kantung celana tergesa dirogoh. Namun, begitu melihat pantulan wajahnya menyengir di depan layar gawai yang tak dihidupkan, Bia menghujami Aksa dengan pukulan-pukulan kencang di bahu.
"Aksaaa!" pekiknya geram. Beberapa mahasiswa yang melewati mereka menggeleng saja sembari tersenyum simpul. "Nggak ada. Kamu nipu!"
Si lelaki hanya tertawa saja sembari menangkis pukulan-pukulan yang datang bertubi. Bagaimana pun, Aksa sedikit bisa melunturkan mendung meskipun belum tahu awan hitam apa yang sedang menutup langit yang cerah di hari itu.
"Makanya jangan manyun gitu. Jelek. Kayak nenek-nenek," ejek Aksa.
Serangan Bia berakhir juga. Ruang musik sudah di depan mata, mereka hanya perlu beberapa langkah lagi dan kebersamaan mereka akan berakhir. Gadis itu bersedekap, memberenggut sembari membalas ketus. "Iya, Kakek."
Aksa tertawa lagi, meski tak sekeras sebelumnya. Namun, barangkali saja akan sampai terdengar oleh siapa saja yang telah menunggu di ruang musik. Dengan sisa senyum yang masih terpatri di muka, jaka itu menepuk-nepuk puncak kepala sahabatnya pelan. Kerutan di bibir Bia mengendur, hampir berganti ulasan senyum yang berusaha ditahan. Tangan Aksa yang menepuki kepalanya dan wajah laki-laki itu ditatap bergantian.
"Kamu cantik, Bi," kata Aksa di sela perlakuan menepuki kepala sahabatnya sejak SMA itu. Ia suka memanggil Bia dengan sebutan 'Bi'. Terdengar seperti tengah memanggil kekasih. Bahkan banyak juga yang salah paham. Belum lagi hanya Aksa yang memanggilnya seperti itu. Bia juga tidak pernah protes. Menurut Aksa, panggilan yang seperti itu unik. "Kamu juga manis, jago main musik, plus pinter," lanjut jaka itu. "Seriusan nggak punya pacar?"
Bia menahan tangan di atas kepalanya untuk berhenti. Aksa malah beralih merangkul. Mereka saling beradu pandang, bersamaan tak melanjutkan langkah untuk membuka pintu. "Kamu aja yang jadi pacarku gimana, Sa?"
Ada sinar yang berpendar dari mata Bia yang agak sipit. Katanya, gadis itu memang punya darah Cina, dari ayah. Aksa memang sudah menerka sejak lama, tetapi pendar-pendar di netra itu selalu menyilaukan ketika mereka selalu bergurau seperti ini. Aksa hanya ... barangkali tidak mengerti.
Pada akhirnya, laki-laki itu berakhir tertawa lagi.
"Padahal nggak lagi ngelawak."
Rangkulan dilepas paksa. Bia mungkin akan merajuk lagi, tetapi masalah membujuk adalah hal mudah baginya. Sebelum membuka pintu putih di depan mereka, Bia memberikan dua tiga cubitan yang rasanya tak main-main di pinggang Aksa.
"Iya, Bi. Aw! Aduh, jangan gitu."
"Ini, nih. Ini ...," keluh seorang laki-laki dengan topi hitam yang terbalik. Rio namanya. Dia menunjuk-nunjuk Aksa dan Bia yang baru saja masuk ruangan dengan stik drum. "Ini salah satu contoh pasangan lovey-dovey nggak tau tempat."
Laki-laki lain menimpali sambil berdecak. Sembari menggendong gitar listrik, ia menggelengkan kepala seolah tengah menambah bensin di kobaran api yang telah dipantik Rio. "Enak bener bucin di jalan diliatin orang-orang. Nggak sadar apa, ya, di sini pada nungguin sampe lumutan."
Aksa mengembuskan napas keras-keras. "Apaan, sih, Sat? Kita cuma temen. Perlu dieja juga nggak, sih?" Kemudian, laki-laki itu berjalan agak malas menuju meja dan mengambil tumpukan kertas-kertas yang disatukan dengan penjepit.
Gitar listrik tergesa dilepas dari gendongan. Seorang jaka melangkah terlampau bertenaga menghampiri Aksa yang sibuk membolak-balik kertas yang isinya lirik-lirik lagu. "Satria, ya, Satria." Ia menunjuk Aksa tak terima. "Jangan main singkat-singkat nama, dong," gerutunya tak terima. Bukan salah sang ibu yang memberi nama seperti itu, tetapi memang dasarnya teman-teman Satria yang suka memancing kata-kata kasar.
Gitar di pelukan Satria hampir saja melayang ke kepala Aksa jika saja Rio tidak menahannya. Pekik panik menggema sebentar sebelum akhirnya tergantikan dengan riuh tawa. Candramawa nama mereka. Sudah berdiri hampir satu setengah tahun oleh Na—manajer, ketua klub musik, sekaligus mahasiswa tahun ketiga jurusan musikologi.
Na hanya menggabungkan tiap bakat yang ada pada para juniornya. Namun, Candramawa yang membawa kehangatan selalu menjadi rumah. Nama Candramawa sendiri dicetuskan oleh Na pula. Gadis itu bilang, setiap anggotanya punya putih dan hitamnya masing-masing. Malah sebenarnya, mereka disatukan sebab hitam dan putih akan saling melengkapi.
"Padahal, kamu bisa nelpon Aksa aja, loh, Bia." Na yang baru saja memasuki ruang musik tiba-tiba menyahut. Ia tersenyum geli sembari menatap Aksa dan Bia bergantian.
"Bia aja yang pengen berduaan sama Aksa!" pekik Satria dan Rio bersamaan. Kedua laki-laki itu saling menatap tak suka sebentar kemudian.
"Udah? Ini lomba di depan mata, loh," protes laki-laki lain yang duduk di sofa kecoklatan dengan bass di pangkuannya. Matanya berkilat-kilat agak malas, barangkali sudah lelah dengan cengkeramaan band mereka yang tidak jauh-jauh dari pembahasan Aksa dan Bia yang katanya teman tetapi terlalu berlebihan untuk disebut demikian.
"Ah, sensi mulu bawaannya, Bang," kata Satria sembari tertawa. Disambut pula dengan Rio yang riuh lebih menggelegar. Aksa berdecak, sedangkan Bia memangku mendung lagi di mukanya sembari menghampiri keyboard di sudut ruangan.
"Ya udah, kalau lagunya disamakan kayak lagu untuk penyambutan kemarin, gimana?"
Na membuka bincang yang mulai serius itu ketika seluruh anggota sudah berkumpul membentuk lingkaran dengan senjata masing-masing.
Seluruh anggota melihat satu sama lain sebelum akhirnya mengangguk setuju.
Namun, Bia buru-buru mengangkat sebelah tangannya sembari bergumam panjang kala Na memeriksa kertas-kertas entah apa di papan kerani yang selalu dibawa ke mana-mana itu. "Kalau nambah lagu boleh, nggak, Kak? Maksimal tiga, kan? Nanti aku yang nyanyi."
Na mendongak, berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Kamu mau bawain lagu apa?"
Bia tersenyum simpul. Ponsel dari sakunya dikeluarkan lalu diperlihatkan pada Na. Manajer Candramawa itu menatap gawai dan Bia bergantian dengan cara yang aneh, membingungkan para anggota yang lain. Sebelum tanya penasaran mengudara, Na buru-buru menyetujui dengan senyum menenangkan.
***
♪ – [13/04/22 - 20.54] – ♪
♪
– [17/08/23] – ♪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top