[ntbamb · 03] - memangkas ruang sela

Sudah dua hari atau ... tiga barangkali. Raka dan Putra terlalu malas menghitungi sudah berapa banyak sahabat mereka memberi pujian kekaguman pada sosok gadis pianis yang manggung baru sekali. Suka termenung sembari tersenyum sendiri saat kelas berlangsung sudah menjadi tontonan paling membosankan. Aksa sepertinya tidak juga kapok meski ditegur beberapa dosen yang masuk.

"Samperin, gih," suruh Raka. Bola matanya masih belum berhenti bergulir di antara Aksa dan gadis berbaju lila yang duduk sendiri di gazebo berpayung tak jauh dari gazebo tempat mereka.

Aksa masih bergeming. Sebelah tangannya menumpu dagu, memuja di dalam hati dengan raut semringah terhadap gadis berambut panjang terikat yang saban hari menghias gulungan rambutnya dengan tiga atau empat melati. Raka geleng-geleng saja. Meskipun pemandangan Aksa yang seperti itu sudah biasa, tetap saja rasanya geli juga. Ia memilih berkutat lagi dengan laptop yang menyala di depannya. Mengabaikan si lelaki dengan poni yang hampir menyentuh dahi itu senyum-senyum tak jelas seperti orang kesurupan.

Namun, ketenangan di salah satu gazebo taman FPBS itu hanya berlangsung singkat saja. Aksa berjingkat sebab sebuah buku tebal baru saja mendarat mulus di kepalanya. Memang tidak sakit, tetapi Aksa terkejut saja karena Putra yang semena-mena mengganggu waktunya untuk mengagumi.

"Rese!" Aksa bergerutu sembari menatap tajam. Putra yang sedang menyesap es jeruk malah tampak tak bersalah sama sekali. "Makanya cari cewek sana."

"Udah ketemu." Putra balas menatap setelah meletakkan cup es jeruk miliknya. "Udah dideketin juga. Kamu aja yang nggak punya nyali, cuma liatin dari jauh gini."

"Eh? Kamu udah punya pacar, Put? Kok nggak cerita? Terus aku kau anggap apa?"

"Jijik, Ka. Jauh-jauh!"

"Kok gitu, sih, Mas?"

"Jauh-jauh atau aku siram?"

"Denger, Put. Menurut Pasal ...."

"Ya, terserah kamu."

"Anjir, gitu doang?"

Giliran Raka yang dipukul dengan buku tebal berisi biografi politikus-politikus paling berpengaruh di dunia. Selain terlalu banyak omong, Putra juga meminta Raka dengan bahasa lain untuk melihat sahabat mereka. Aksa memandangi buku-buku di meja, jemarinya bertaut resah, dan senyum aneh yang terpatri tadi juga hilang. Kian berganti kerut-kerut di bibir, dahi, dan sekitaran mata.

Raka menatap Putra sekilas, dia beralih menggeser duduk ke dekat Aksa dan menepuk-nepuk pundak kokoh yang sekarang tampak sedikit layu itu. Senyum aneh tadi memang agak mengerikan, tetapi sedikit murung begini bukan Aksa yang mereka kenal. "Nggak pa-pa, Sa. Mungkin bukan jodoh. Kamu kurang gerak cepet."

"Iya kali, ya, Ka."

"Hah?" Raka dan Putra serempak saling mengerutkan dahi. Padahal Raka asal bunyi, Putra pun paham kalau kalimat-kalimat tadi hanya mencairkan suasana. Namun, kalau tepat sasaran begini—

"Kalian bener. Gerak lama bikin rezeki dipepet orang."

Kedua lelaki yang masih kebingungan itu saling bersitatap lagi. Aksa mulai berbicara melantur. Namun, Putra yang penasaran akhirnya melirik ke gazebo tempat tadi Aksa terus-menerus menatap dengan mata berbinar. Ternyata di sana permasalahannya.

Gadis yang dia ketahui bernama Mira itu tidak lagi sendiri. Ada tiga orang lelaki yang mengantre memberikan buket bunga, cokelat, atau kado yang dibungkus apik. Entah untuk apa, tetapi mungkin Mira mulai terkenal sejak menjadi pianis dadakan di acara penyambutan walikota.

Di kejauhan, Putra tahu sendiri kalau Mira berusaha menolak dengan tidak menanggapi sama sekali. Sayangnya, Aksa pasti tidak mau melihat lagi. Lelaki itu sudah telanjur patah hati. Dia mengayunkan langkah pergi tanpa melihat ke mana-mana lagi.

***

"Hei, bubar, bubar!"

Nyaring ucap menginstrupsi. Gadis berponi itu bergerak buru-buru menjadi benteng di depan sang kakak yang diam-diam mengembuskan napas lega. Ayu tidak lagi ayu seperti namanya, ia memberenggut di depan tiga lelaki yang hendak memberikan Mira macam-macam hadiah.

"Aku cuma mau ngasih hadiah sama dia. Kamu jangan halangin gitu," kata salah seorang dari mereka. Tingginya terlalu menjulang, mata sayu, dan kulit sawo matang. Namun, matanya terlalu memancarkan sinar agresif. Demi apa pun, Ayu tidak akan merestui laki-laki itu dengan kakaknya.

"Lagian kamu siapa dia? Nggak usah larang-larang." Lelaki di sebelah kanannya menyahut. Ada sebuket mawar merah mencolok berada di pelukannya. Baunya memang semerbak. Namun tentu saja, tidak mengenali saudari dari seseorang yang akan diberi hadiah juga termasuk tindakan tidak terpuji bagi Ayu. Gadis berponi itu juga tidak akan memberikan restunya.

Ayu berkacak pinggang. Bibirnya masih memberenggut, sedangkan matanya menatap laki-laki yang memegang buket bunga itu dari atas sampai bawah. "Nggak kenal aja sok banget mau kasih hadiah. Pergi jauh-jauh sana!"

"Tapi setidaknya terima ini dulu." Lelaki berkemeja hitam menyodorkan buket cokelat yang mungkin isinya lebih dari sepuluh batang cokelat. Ayu menggeleng keras. Kakaknya bisa langsung kena diabetes kalau cara PDKT-nya begitu.

Ayu menggeram. "Enggak, enggak! Sana pergi!" Gadis itu mendorong-dorong tiga laki-laki dari gazebo tempat mereka bernaung. Ayu kalah tenaga tentu saja sebab mereka hanya bergeser sedikit dari tempatnya.

"Ihh, sana pergi! Lempar pake sepatu mau?" Ia menunduk sedikit hendak melepas panshoes hitamnya. Namun, tiga lelaki tadi sudah hilang entah ke mana ketika Ayu ingin melayangkan sepatu di genggaman.

Senyum puas tercetak di wajah itu. Sayangnya, belum sampai lima detik, Ayu sudah hampir menjatuhkan rahang bawahnya sebab ucapan dari Mira. Belum lagi, kakaknya itu bergerak keluar dari naungan gazebo mendahului Ayu.

"Kamu, sih, datangnya lama."

Salah Ayu kalau dosennya betah di dalam kelas? Ayu rasanya ingin sekali berteriak di telinga Mira. Namun, gadis berponi itu berakhir dengan menghela napas sembari meniup poni yang hampir menutupi mata itu.

Ayudia Latifah tersenyum terlampau lebar. Niatnya ingin memberi cengiran manis, tetapi ia malah berakhir tampak seram.

"Makasih, Ayu," katanya di balik punggung sang kakak yang malah terdengar seperti sarkasme. Hanya bertahan dua detik saja sebelum si gadis bungsu itu memberenggut dan berjalan sembari menghentakkan kaki menyusul Mira.

Mira berhenti melangkah, kepalanya menoleh sedikit ke belakang. Ia tersenyum tipis. "Sama-sama, Kak Mira."

Sang adik menganga sebentar. Mau tidak habis pikir, tetapi gadis di hadapannya ini adalah kakaknya sendiri. Sudah sangat biasa kalau Mira selalu bersikap menjengkelkan. Sekali lagi Ayu menghela napas. Ayo sabar, dia kakakmu tersayang.

Hentakan sepatu yang terdengar membuat sunggingan di bibir Mira kembali naik. Menjahili adik kesayangannya itu menyenangkan. Sehabis ini, Mira akan memberikan banyak hadiah untuk Ayu. Gadis itu terlalu banyak menjahili dan menyusahkan selama ini.

Amira Friska hampir mengayunkan lagi langkah yang sempat terhenti. Namun, ia tidak jadi melakukannya sebab dengung sorakan di mana-mana tiba-tiba menyentak rongga telinganya. Belum lagi, seorang lelaki telah berlutut di hadapan Mira dengan setangkai mawar putih yang tersodor menghadapnya.

Laki-laki itu tersenyum, kegugupan tercetak kentara di dahinya. "Terima bunganya, ya. Bolehkan aku mendekatimu."

Telinga Mira pengang. Waltz of the Flower milik Tchaikovsky sekonyong-konyong mengalun tersendat-sendat di udara—seolah menemaninya dalam kebingungan dan ketidakpahaman seperti orang bodoh yang tiba-tiba ditunjuk-tunjuk. Padahal, sebenarnya komposisi itu tidak benar-benar mengalun. Earworm-nya seperti punya masalah dengan suasana tak terduga ini.

Gadis itu tidak tahu apa yang membuatnya pening. Langit yang terlalu cerah hingga mentari bahkan hampir membakar, kerumunan mahasiswa yang membentuk lingkaran dengan sorai memekakkan, atau seorang pemuda setengah berlutut di depannya sembari menyodorkan setangkai mawar—menunggu untuk mendapat sambutan.

Mira hanya ... bingung dan terkejut. Matanya bahkan hampir tak berkedip menatap lelaki berkemeja hitam dengan celana kecokelatan yang menyentuh permukaan rumput. Wajahnya memang familier, tetapi gadis itu lupa pernah melihat wajah dan tatapan yang seperti itu di mana.

Sepertinya semesta sedang membuat lelucon keduanya hari ini.

"Kamu ... mau, kan?" Laki-laki itu bersuara lagi, memastikan. Suaranya bahkan ikut bergetar. Barangkali takut jika permintaannya ditolak mentah-mentah.

Bahkan hingga netra cokelat gelap di tubuh tegap yang masih berlutut itu, seolah memancarkan harap yang tak sudah-sudah. Mira memaku tatap saja; masih bingung dengan suasana yang terlalu mendadak. Bahkan lebih mengejutkan dibanding tiga orang lelaki yang beberapa waktu lalu tiba-tiba mendatangi.

Mira mengulum bibirnya, hendak mengeluarkan kata-perkata yang menggantung di ujung lidah. Namun, kalimatnya berakhir ditelan lagi. Sorak dan kerumunan membuatnya sakit kepala. Ia pening. Ingin lari; menjauh. Pergi ke tempat yang tidak ada manusianya.

Ia hanya ingin menyalahkan pada satu hal. Acara penyambutan walikota yang membuatnya harus berakhir menjadi pianis dadakan. Seharusnya ia menolak dengan sangat keras ketika Ayu mengajukan namanya pada seorang gadis yang mengaku sebagai salah satu anggota band kampus. Seharusnya Mira tidak mau saja didandani anggun oleh adiknya. Seharusnya ia tidak perlu naik saja ke atas panggung dan melarikan diri dari kampus. Namun sepertinya, Mira sudah terlalu terlambat untuk menyalahkan kejadian lampau untuk peristiwa yang baru saja.

Mira bersyukur. Tempatnya berdiri yang terasa seperti lem itu segera memuai. Seorang gadis menariknya keluar dari kerumunan, hendak membawanya pergi ke tempat sepi. Meninggalkan keramaian yang serempak mendesah kecewa membubarkan diri.

Pun serta tubuh yang masih diam berlutut dengan bahu merosot kecewa. Juga dengan mawar putih bersih yang diturunkan perlahan hampir menyentuh tanah.

Gadis itu tak tahu apa yang membuatnya tak memalingkan wajah dari tubuh tegap itu. Mira mendesah pelan, meminta Ayu melepaskan genggamannya sementara ia menghampiri lagi lelaki yang menunduk kecewa itu.

"Sini mawarnya."

Bayangannya seolah melindungi pemuda itu dari teriknya mentari yang membakar. Mira hanya berucap dengan nada teramat datar, tetapi membuat efek keterkejutan pada laki-laki itu. Ia mendongak, berdiri tergesa, menatap tak percaya.

"Hah?"

Ia sepertinya linglung, tetapi Mira tidak mau tahu itu. Ia kembali hanya untuk mawarnya. Tidak tahu mengapa. Intinya Mira hanya ingin mawarnya.

Gadis itu menatap netra yang penuh dengan binar harapan itu sebentar. Ia mengambil setangkai mawar merah itu dari tangan si lelaki. Entah siapa yang pantas dilabeli sudah hilang akal sekarang; laki-laki asing tiba-tiba meminta izin untuk mendekati, atau Mira yang kembali hanya untuk mengambil bunga mawarnya.

Setelahnya, Mira beranjak lagi. Melangkah meninggalkan jejak-jejak harapan yang tanpa sadar berderap seperti simfoni di sebuah konser klasik; penuh imaji—menguar dari kepala lelaki itu. Ia tersenyum lagi, bersitahan memaku dan mematri lebih indah; seolah meyakinkan diri bahwa ia bisa.

***

♪ – [19/12/21 - 10.49] – ♪
♪ – [11/08/23] – ♪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top