[ntbamb · 01] - mozart mengalun, neruda sedang ayun-temayun
karena dari banyaknya alunan nada yang ditebar,
surat-surat cinta yang mumur dilalap hujan lebat barang sebentar,
lalu berpasang-pasang hati yang ditunggu dengan sabar,
pada akhirnya hanya akan ada satu potongan yang pas,
hanya satu ruang untuk sepasang manusia saling menyelaras.
***
"Jadi ini beneran nggak ada yang bisa?"
Napas terhela panjang di sela-sela derap-derap langkah yang tergesa-gesa. Pagi hampir beranjak siang dan gerah yang hadir kian memekat. Kepanikan melanda tiap orang di auditorium dengan dominansi warna hitam, merah untuk tirai, dan string lights berwarna emas.
Gadis yang berucap tadi memandangi tiap wajah yang kebetulan tidak punya pekerjaan untuk diselesaikan, kecuali ... tentu saja yang membuat riuh auditorium menjadi kalang kabut. Pangkal hidungnya dipijat singkat, sebelum ia berpaku tatap penuh harap pada seorang laki-laki berkemeja putih dengan rompi hitam yang tidak dikancing. Ia tengah bersandar sembari bersedekap di sebuah meja yang digunakan untuk menampung tas-tas para mahasiswa yang mengikuti kegiatan sekaligus menjadi pengisi acara di auditorium hari itu.
Sadar bukan hanya pemimpin ekskulnya saja yang memandang, laki-laki itu berdecak. Rambut legam yang hampir menyentuh dahi itu disugar ke belakang. "Kalau aku bisa, aku nggak bakal diem aja, Kak Na."
Naya—atau lebih suka dipanggil Na—menyipitkan mata, agak skeptis. Papan kerani yang menjepit kertas-kertas urutan kegiatan hari itu dipeluk sedikit erat. "Aku pikir kamu lebih seneng berdiri di belakang dibanding di atas panggung, Sa."
Laki-laki itu tak membalas. Aksa Nabastala, mahasiswa tahun kedua jurusan Ilmu Politik itu memilih mengalihkan pandangan ke balik tirai yang terbuka lebar. Memampangkan beberapa mahasiswa yang sibuk ke sana-kemari memperbaiki dekorasi di atas panggung. Hanya karena sebuah pesan, penata panggung sekarang sibuk mengubah ornamen sana-sini.
Sebenarnya bukan hanya penata panggung atau penata acara yang harus kalang kabut, tetapi band kampus yang harus naik ke atas panggung hari itu juga kena imbasnya. Itu sebabnya sekarang para anggota band dan pemimpin ekskul sedang berdiri saling berhadapan. Aksa tahu sendiri, pada akhirnya dia yang akan harus menjadi penyelamat lagi. Namun, tentu saja ia tidak akan bisa melakukannya lagi kali ini.
"Jadi ini gimana?" Seorang lelaki lain yang baru saja meletakkan gitar listrik di atas meja menghampiri. Rautnya tak kalah frustrasi dengan beberapa mahasiswa lain yang berdiri melingkar itu. "Kalau penyambutan Pak Walikota beneran pakai band kita, aku nggak yakin kita bakal ninggalin kesan yang baik buat dia."
Na mengusap rambut model bob-nya dengan gerakan asal-asalan. Sudah berantakan dan dia juga frustrasi karena tidak bisa menemukan jalan keluar. "Haduh, lagian kenapa juga, sih, baru dikasih tau sekarang kalau Walikota sukanya lagu-lagu klasik? Mana semua anak musik nggak ada yang bisa."
Hampir semua orang yang berdiri di sana serempak mendesah panjang dan putus asa. Na melirik Aksa lagi, menggigit bibir dalamnya. "Sa?"
"Aku nggak mau kalau disuruh nyari orang yang bisa, apalagi disuruh tampil pake lagu klasik." Bahu laki-laki itu merosot. "Aku juga kesel kalau akhirnya nggak jadi manggung gini padahal udah latihan seminggu penuh cuma buat kunjungan dadakan."
"Arghhh, Rio!" Na memekik lantang. Bahkan mahasiswa yang berdiri memperbaiki ornamen di atas panggung sampai hampir terjungkal karena terkejut. Laki-laki yang sedari tadi hanya memutar-mutar stik drum saja di samping Aksa bergegas melangkah mendekat. Tampaknya ia linglung sejenak. "Coba kamu cari anak dari fakultas mana aja yang bisa main lagu klasik. Harus sekarang juga, paling lama satu setengah jam. Abis makan siang Pak Walikota udah dateng soalnya."
"Kalau nggak ada yang mau?" Laki-laki lain yang menyahut. Seseorang yang berdiri di sebelah Na yang masih menyetel kunci bass entah untuk apa. Padahal, aksi panggung mereka juga akan dibatalkan.
Hening sejenak sampai akhirnya raungan mengisi ruang di antara mereka. Na berjongkok, papan kerani dibiarkan terabai di lantai, ia mungkin menangis di balik telapak tangan yang menutupi wajah itu. Para anggota band berubah air muka menjadi sedikit cemas. "Aku beneran mau nangis ini, sumpah. Ya daripada dipandang aneh, mending kita nggak usah pake tampilin band-nya. Acara yang lain juga bakal nutupin itu, kok."
"Aku tau siapa yang bisa, Kak."
Meski suaranya tidak sebesar pekik, semua pasang mata menatap pada gadis yang sedang berusaha mengatur hela napasnya. Barangkali benar-benar kembali ke sana dengan langkah yang dipacu terburu-buru. Titik-titik keringat yang membasahi dahinya juga tampak jelas. Na bangkit, memasang wajah penasaran dan menuntut pada salah satu anggota band-nya yang hilang sejak tadi.
"Mira." Gadis berkucir tinggi itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Amira, anak Bahasa tahun kedua. Dia bisa main lagu-lagu klasik pakai piano."
"Dia setuju untuk tampil, kan?"
Atmosfer kepanikan makin memekat sebab gadis itu tak kunjung menyahut. Namun, ketika anggukan dan senyum semringah diulas, senyum lega dan bekunya kecemasan mulai mencair.
***
Auditorium meremang ketika pria paruh baya bersetelan jas hitam dan kemeja putih rapi baru saja menyamankan diri di kursi merah penonton. Tirai emas yang mengilap bergoyang singkat, lalu sejenak kemudian terbuka sepenuhnya. Lampu dari atas panggung menyala, merah muda. Gema dari riuh tepuk tangan mengudara ketika seorang gadis ber-dress serupa keping-keping salju selutut menampakkan diri di sebelah piano.
Rambutnya dicepol, hanya menyisakan anak-anak rambut yang berhasil lolos di tengkuk dan dekat telinga. Ada tiga atau empat melati yang diselipkan di kepangan rambut. Benar-benar serupa bidadari. Gadis itu menunduk singkat, memberi hormat pada tamu yang membuatnya harus mendentingkan tuts di hari yang cukup gerah itu.
Langkah diayun pelan. Hening menyelimuti auditorium kala derit kursi di depan piano itu terdengar. Gadis berkulit kuning langsat itu sudah menyentuh pianonya, tetapi belum melantunkan macam-macam bunyi. Penonton di kursi merah, tim sukses, dan penampil lain yang tepat berdiri di balik tirai yang menghubungkan belakang panggung dan undakan pentas mulai menunggu dengan resah dan panas dingin. Sedang mengira-ngira apakah gadis bercepol bunga melati itu benar-benar bisa diharapkan atau tidak.
Detik yang bergerak sedikit menegangkan itu mulai berganti helaan napas lega. Mozart baru saja mengudara, Symphony 40 in G minor, K. 550, movement pertama membuat hampir seisi auditorium terbuai, terpana. Nada yang terdengar familier di telinga setiap orang, tetapi barangkali sudah lupa atau tidak tahu kalau nada-nada itu adalah salah satu kepingan dari sebuah musik klasik.
Lantas di sudut lain panggung, vokalis yang seharusnya bernyanyi di acara penyambutan itu berakhir tercenung. Bukan sebab gagal membuat pentas menjadi miliknya, tetapi ada debar yang sedang meronta di rongga dada ketika lagu makin lama dan makin jauh dilesakkan masuk menemui jantungnya. Dibanding terkagum-kagum dengan talenta si gadis, laki-laki itu lebih takjub dengan cara jemarinya yang menari anggun di atas barisan tuts piano.
"Cantik," gumamnya di sela alunan nada yang hampir berujung.
Semua orang tersenyum bahagia, berpekik rendah dengan bangga disertai macam-macam pujian terpesona, tetapi Aksa bahkan tak butuh tersenyum atau memekik untuk mengungkapkan betapa ia lebih terkagum-kagum. Entah dari cara jemarinya melincah anggun di atas tuts piano, atau punggung yang penuh kepercayaan diri itu, atau mungkin wajahnya yang sedikit berkerut-kerut seolah sedang takut untuk menekan not yang salah, atau barangkali sinar di matanya yang menunjukkan gadis itu sedang senang kalau bisa menyentuh alat musik melodi.
Aksa hanya perlu menatap dengan sinar yang berpendar menyilaukan dari mata itu, sedang berusaha memberi tahu si gadis kalau ia sedang mendengar puisi-puisi cinta Neruda bersahut-sahutan mendengingkan telinga. Laki-laki itu sedang dibawa menjauh dari tanah, dan ia seperti bisa terbang ketika melihat dua sayap putih yang membentang dari punggung si gadis pengalun Mozart.
Ketika Aksa sedang berayun dibuai Neruda, Mozart selesai mengudara. Ia kembali menapaki tanah kala tepukan meriah menyambangi gendang telinga. Kursi berderit singkat ketika si gadis bidadari yang masih berusaha mengembangkan kedua sayap lebarnya itu bangkit dan menunduk memberi hormat beberapa kali kepada para hadirin.
Di sana, di titik di mana kepala memutar dan dua pasang mata saling bersua singkat saja, napasnya tercekat serta jantungnya berhenti berdetak. Cupid tiba-tiba muncul dari balik piano dan anak-anak panah menghujam dadanya.
Hanya karena denting Mozart yang menyambangi telinga tidak tahu diri, lincah jemari yang menari, Aksa Nabastala sedang merasakan perasaan bernama jatuh hati.
***
♪ — [24/09/21 - 22.57] —♪
♪ — [28/07/23] — ♪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top