ACT II: CHAPTER 7

Madison kembali terikat dengan aromatik khas medikamen. Lagi-lagi ia terbaring payah di dalam ruangan rumah sakit. Segalanya menjadi terlihat lebih kontras dengan sekuritas. Madison bahkan sudah mulai memikirkan kematian. Bisa bertahan sampai detik ini pun rasanya sudah sangat melegakan. Madison masih hidup. Itu keajaiban besar. Apalagi Jung Taehyung sempat eksesif saat Madison terbangun. Ia memublikasikan realitas bahwa Madison mati dalam beberapa sekon; tanpa napas, tanpa detak jantung, murni tidak hidup.

Singkat cerita, insiden jemala Jungkook Scheiffer itu mutlak membuat Madison merasakan kegelapan yang luar biasa. Secara otomatis Taehyung lebih memilih untuk membawa Madison ke hospital dibandingkan membersihkan segala evidens kriminalitas yang jelas eksis di dalam kamar. Madison secara otomatis harus diberikan perawatan intensif karena reaksi hipersensitif yang sangat berlebihan, bahkan sempat kehilangan fungsi pernapasan sepenuhnya.

Itu dua hari yang lalu, Madison tidak akan melupakan bagaimana keajaiban semacam itu bisa datang. Ia berpikir karena Madison harus memberikan kebohongan absurd yang belum Madison temukan itu dan murni mendapatkan Jisa kembali, makanya Tuhan belum mau mengambil Madison dan membawanya ke surga—atau mungkin neraka.

Tapi sebenarnya Madison ingin mati. Ia putus asa.

Jisa menghilang. Diikat seperti kambing guling.

Darah. Hewan tanpa kepala.

Darah. Kaki yang dipotong.

Darah. Kepala manusia tanpa tubuh.

Ia tidak sanggup jika harus menemukan esensi mengerikan lainnya hanya karena kebohongan yang entah apa itu. Walaupun ujungnya Madison tidak sanggup untuk pergi karena ia menginginkan Jisa. Selain itu, Taehyung menjaganya dengan baik. Dia yang terbaik. Pria itu kuat dan—Jung Madison sangat bersyukur karena ia memiliki Jung Taehyung yang senantiasa menjadi pusat komposurnya.

“Sekarang, bolehkah aku tahu soal Jungkook?”

Taehyung berdeham kecil. Ia nampak ragu-ragu untuk menjawab. Kemungkinan besar khawatir akan reaksi yang akan diberikan oleh Madison nantinya. Namun, Madison meyakinkan Taehyung dengan usapan subtil di punggung tangan Taehyung. Sebuah pertanda yang menjelaskan bahwa Madison baik-baik saja dan akan mencoba untuk tetap stabil.

“Saat aku pulang dan punya intensi untuk membersihkannya, kepala Jungkook Scheiffer sudah menghilang. Mungkin pelakunya kembali mengambilnya dan hanya ingin memberi tanpa peringatan bahwa level polemik ini memang serius. Selain itu—” Taehyung menjeda. Sekali lagi nampak terlihat penuh keraguan. Lima detik terdiam tanpa suara selain napas yang tersenggal kecil. Tapi ia tetap melanjutkannya, “Coral meninggal dunia,” tambah Taehyung. “Jungkook Scheiffer dibunuh di lift bangunan Westfold News Centre. Tidak ada alasan yang tepat untuk semua ini, Jungkook ataupun Coral. Namun, sepertinya Jungkook sudah menjadi target, sementara Coral hanya secara tidak sengaja melihat kejadian pembunuhan itu … makanya ia ikut dibunuh dengan sayatan dalam di leher.”

Pada saat itu, Madison menepati janjinya untuk tetap stabil. Ia mencoba tenang meskipun fakta-fakta itu terlampau membombardirnya. Ia tak habis pikir—bahkan Coral … dia hanyalah perempuan baik-baik yang tidak pantas mendapatkan ajal yang semengerikan dan segila itu.

Sebenarnya kebohongan apa yang dimaksudkan oleh orang tersebut?

Madison yakin, itu bukanlah kebohongan yang ringan. Mungkin itu menyakiti hati, mentalitas, dan fisikal orang tersebut. Itu mengapa person anonimos itu kehilangan akal hingga absolut merancang kriminalitas teregulasi; penculikan, ancaman, dan pembunuhan. Agaknya Madison harus lebih cepat menyadari inti polemik ini; soal kebohongannya.

“Lantas, keningmu kenapa?”

“Mobil otomotif putih itu merepetisi fragmen. Intinya, aku menabrak bangunan dengan friksi yang cukup keras karena mobil itu mendorong mobilku sangat intens,” balas Taehyung. “Tapi tidak apa-apa, itu hanya luka kecil.” Luka kecil, katanya. Itu bahkan hingga memubliksikan darah. “Maaf aku tidak sadar soal kepala itu. Sepertinya itu ditaruh saat aku kehilangan kesadaran karena tabrakan itu.”

“Mobil—”

Jisa hilang. Diikat seperti kambing guling.

Mobil otomotif putih—berjumpa dengan Jemima di lahan parkiran depan tatkala perempuan lesbian kelas kakap itu nyaris memasuki mobil otomotif putihnya.

“Mobil itu—”

Taehyung mendapatkan tanda peringatan di situ. “Maddie-honnie, are you okay?”

Sejemang, Madison hanya menatap langit-langit ruangan yang pucat, diam tanpa menunjukkan reaksi apapun. Segala fungsi tubuhnya tak mengenali proses kerja. Madison menjadi lambat. Predestinasi aneh yang ia miliki membuatnya kehilangan visi dan misi. Kendati fakta soal Taehyung yang sempat mendapatkan mara bahaya itu harusnya membuat keterkejutan besar, dia menabrak dan berdarah, mobil otomotif putih, tapi Madison tak memiliki pilihan ekspresi yang harus dipublikasikan. Antara terlalu banyak perasaan yang menyatu atau memang tidak ada sama sekali.

Apa yang akan terjadi jika Madison menyadari kesalahannya? Sayangnya Madison belum memiliki apapun untuk disampaikan.

Dari penampilannya, Madison lebih buruk daripada Jung Taehyung. Epidermis seolah kekurangan vitamin dengan warna pucat, terutama pada irasnya. Memikirkan Jisa sekaligus basis dari teror pembunuhan bukanlah hal yang simpel. Itu berat sekali—seperti gada, berton-ton besi, atau bahkan seperti univers. Madison pikir, ia bisa mati kapan saja. Sekarang. Besok. Kapanpun.

Bahkan indera pendengarannya seolah tak berfungsi. Padahal Jung Taehyung terus memanggilnya, mengajak berkonversasi untuk intensi sekedar membuat rileks, sekaligus panik sebab reaksi dadakan Madison. Ia hanya ingin Jisa, tanpa hukuman, teror lagi, atau apapun. Madison siap untuk bersitatap secara direk dengan orang anonimos itu asalkan semua ini berakhir jelas dan cepat.

Madison belum tahu apa kesalahannya jika tidak ada petunjuk jelas, objek dan subjeknya.

Jika itu Jemima—berjumpa dengan Jemima di lahan parkiran depan tatkala perempuan lesbian kelas kakap itu nyaris memasuki mobil otomotif putihnya—apa dasarnya?

“Maddie. Hei!” Agaknya suara Taehyung mulai merangsek pada auditori, samar-samar. Madison menoleh ke samping, hanya itu. Figur Taehyung yang perfek menunjukkan visual yang pelik. Taehyung membungkuk dengan kepala berhadapan dengan figur Madison sendiri. Dan Madison bisa merasakan sentuhan bak elektron tegangan tinggi pada kedua sisi wajahnya.

“Madison.”

Lagi-lagi vokal bariton itu. Teror manis.
“Madison. Sayang?”

Dan Madison kembali eksesif. Ia terjebak pada situasi tolol, antara ingin mati dan menyerah atau terus bersama Taehyung dan kontinyu menghadapi teror hingga ia bisa mendapatkan kembali Jisa—yang diikat seperti kambing guling. Ia mengudarakan vokal random dengan makna jelas yang bersatu-padu—sakit, emosi, keinginan, spirit, dan putus asa. Menangis lagi, menggemakan makna kerapuhan yang konkret.

Jantung hati kenya tersebut seolah berpacu, tapi sumpah, sesekali rasanya seolah terhenti begitu saja. Tatkala bayangan Jung Jisa Bee yang meloloskan kurva inosen dengan vokal-vokal random yang belum sepenuhnya terlatih; tatkala Jung Jisa Bee tertawa penuh gemirang di angkasa atas influensi permainan pesawat Jung Taehyung; atau tatkala Jung Jisa Bee kadangkala membuat kelimpungan karena kelikat aktifnya; pada intinya Madison menginginkan itu semua lagi.

Kenapa orang anonimos tolol ini membuat permainan seolah dia adalah Tuhan yang tengah menghakimi dosa Madison?

Butuh waktu yang lama dari biasanya bagi Taehyung untuk menenangkan isteri yang tengah mengalami ekspresi yang hiper. Begitu kenya tersebut merintih dan menangis seolah tertimpa katastrofe paling berat, Taehyung kelimpungan bukan main. Ini berbeda dari biasa atau—ya, mungkin problematika ini telak memberi influensi pada mentalitas Madison. Taehyung tak pernah melihat Madison seeksesif ini. Menjerit, menangis, lantas terdiam; selanjutnya merepetisi fragmen terus-menerus. Yang terdengar adalam emosi dan keputusasaan.

Madison Bee sangat menyayangi Jisa. Itu asal muasalnya.

“Aku ingin mati.” Madison bingung.

“Hei! Maddie, lihat aku! Jangan pernah pergi!”

Madison Bee sangat menyayangi Jisa. Itu asal muasalnya.

“Aku—” Madison ingin hidup dan kembali menyatukan familinya.

Jung Taehyung terlihat terpukul. Gelap dan surut. “Maddie.” Vokal bariton eksklusifnya merendah dan serak. “Aku tidak tahan lagi. Aku minta maaf, aku minta maaf.” Sebab Madison sedang tidak merasa fokus, jadi ia tidak memberi reaksi meski rasanya—untuk apa Jung Taehyung mengatakan hal semacam itu? Menyesal dan lagi-lagi merendah diri. Madison tak membutuhkan itu. Tapi Taehyung terus menguar konteks ucapan yang similar. “I’m sorry, Maddie.”

Taehyung juga sangat menyayangi Jisa. Itu asal muasalnya.

Pria itu juga marah, sedih, dan panik. Seluruh perasaan itu tercampur dalam hati. Ia menggenggam tangan Madison seraya membuat fokus Madison kembali eksis lagi. Madison menatap dengan vibrasi yang sedikit terlihat. Turbulensi pada level maksimum. Taehyung mutlak tak kapabel mendapatkan hal ini lagi. Hukuman ini terlalu berat dihadapi. Taehyung tidak ingin kehilangan Madison. “Aku akan segera menghentikan predestinasi ini dan menemukan jawabannya, Maddie,” katanya, “I won’t let you be like this. I’m sorry.”

Taehyung rasa ini cukup—semuanya sudah keterlaluan.

he made this happen

Lagi, seperti ini lagi.

Malam ini, lagi-lagi Madison tidak menemukan eksistensi Taehyung. Pria itu pergi dengan intensi mulia dengan meninggalkan secarik kertas putih dengan bolpoin bertinta hitam di atasnya. Di sana tertera tulisan krusial bahwa Jung Taehyung akan mencari eksistensi mobil otomotif itu lagi, yang mana itu mungkin akan membawa Taehyung pada hasil finalnya, yakni Jisa dan kebebasan. Madison tidak tahu apakah usaha Taehyung efektif atau tidak, tapi ia bersyukur karena Taehyung selalu menepati janjinya. Kendati Madison selalu dibuat pening oleh permintaan maaf Taehyung yang sumpah tidak ingin didengarkan oleh Madison—Taehyung tidak pernah membuat kesalahan dan ia selalu menjadi pria yang hebat, pendamping dan ayah.

Madison terbaring dengan iras menghadap ke atas. Ia terdiam lagi tanpa tahu harus melakukan apa selain memikirkan Jisa dan Taehyung. Ia punya asa besar bahwa Jisa akan kembali, Taehyung berhasil menjadi hero terhebat, dan familinya akan kembali—dan sekali lagi, Madison siap untuk bersitatap dengan person anonimos itu untuk memublikasikan kebohongan yang ia maksudkan. Madison ingin bebas. Madison tidak ingin merepetisi fragmen soal potongan tubuh atau darah-darah merah kental yang berbau anyir—dan gambaran tragis Opsir Fischer atau Jungkook Scheiffer, juga Coral si inosen yang ikut mati terbunuh. Satu kebohongan—yang mungkin berhubungan dengan Jisa—sama sekali tidak sebanding dengan nyawa-nyawa berharga tersebut. Dan Madison harap, Jisa masih hidup.

Sedetik kemudian, Madison terdistraksi oleh dering ponsel. Taehyung memang dengan sengaja membawakan ponsel Madison untuk berkomunikasi; itu penting di saat situasi seperti ini sedang mendominasi. Di situ, tertera asma Jung Jimin yang absolut memberi invitasi panggilan. Secara pelan-pelan Madison menyamping dan mengambil ponsel itu, lantas menerima panggilannya.

Selama beberapa saat, di sana hanya ada kesunyian yang mencumbu udara. tapi Madison bisa menangkap bahana kehancuran dari seorang Jung Jimin. Ya, Coral meninggal, dibunuh, tragis. Dari apa yang Madison ketahui, kendati Jung Jimin itu terlihat seperti pria dengan titel pemain wanita, lama-kelamaan Madison tahu dan sadar bahwa Jimin menyatu dengan Coral. Mereka bahkan memilik intensi untuk melakukan pernikahan.

“Aku turut berduka atas Coral.” Madison membuka konversasi.

Dia yang melakukan ini.” Begitulah jawaban Jimin. Tidak ada korelasi sama sekali hingga menimbulkan kerutan heran di kening Madison.

Madison beringsut bangun. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang hospital. Ia bersiap untuk kejutan di episode terbaru. Jimin memberikan konteks pernyataan yang cukup mencurigakan dan Madison ingin mendengarkannya dengan baik-baik. Secara general ia siap untuk warna lain atas predestinasi ini. Ia sempat eksesif, tetapi Taehyung berhasil meyakinkannya bahwa semua ketololan ini akan segera berakhir. Madison senantiasa mau atau tidak mau harus bertahan, karena mati bukanlah hal yang tepat.

Entahlah, sejujurnya Madison tidak punya keyakinan yang cocok.

“Siapa?” balas Madison.

Untuk pertama kalinya Madison melihat Jimin dalam sudut pandang yang berbeda. Ia bukan total pria kuat tanpa hati. Pria itu hasai atas eksiden dadakan yang menimpanya, secara spesifik adalah Coral Johansson. Ada tangisan, desahan frustasi dan kalut, juga—ketakutan. Ini Jimin yang baru Madison lihat.

Opsir Fischer, Jungkook Scheiffer, Coral—sebenarnya ada apa, Madison? Katakan padaku apa yang terjadi.” Vokal Jimin bervibrasi—Jimin mencintai Coral. “Bahkan … apakah kau melihat berita baru lagi bahwa Jemima Dorsch meninggal. What’s happening, Maddie?”

Madison stagnan. Jika itu Jemima—berjumpa dengan Jemima di lahan parkiran depan tatkala perempuan lesbian kelas kakap itu nyaris memasuki mobil otomotif putihnya—kenapa ia malah meninggal?

Maka kini probabilitasnya hanya satu, yakni Jimin. Tetapi untuk apa Jimin melakukan hal ini, bahkan hingga membunuh Coral, seseorang yang dipuja-puja oleh Jimin—lebih daripada Madison. Mungkin ada ribuan posibilitas. Joon, Hanagami Joon, misalnya, tapi lagi-lagi itu nonsens. Jika memang bukan Jemima, Jungkook, atau Jimin yang terang-terangan merasakan ketakutan magnifisen ini, atau Joon yang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan Madison, lantas siapa lagi? Apakah orang lain yang hanya sekedar main-main? Tidak mungkin.

“Aku—”

Jimin menyela. “Maddie, Coral meninggal, orang-orang meninggal. Sebenarnya kebohongan apa yang kaumaksudkan?”

Madison menggeleng. “Aku tidak tahu, Jimin.”

Jimin mendesah frustasi lagi. “Aku akan mengubah ini menjadi panggilan video.”

“Kenap—” Madison tercekat akan jeritan. Ia otomatis memublikasikan vokal kencang yang melengking setelah Jimin mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Jimin sama sekali tidak menyorotkan kamera pada wajahnya, melainkan objek lain yang absolut jadi basis kenapa Madison mendedau keras. Jemala pria Scheiffer yang menurut pengakuan Taehyung sudah hilang itu pada hakikatnya tidak benar-benar hilang, objek itu berada bersama Jimin. Kepala Jungkook Scheiffer yang sudah makin membusuk dan hancur itu memenuhi layar ponsel Madison.

Namun, Jimin segera mengubah kameranya. Layarnya menunjukkan visualisasi hancur peroman pria perfek itu. “Jangan pernah berpikiran bahwa huruf J itu adalah aku. Aku bukanlah orang yang melakukan ini,” katanya. “Aku tidur dan aku terbangun dengan aroma busuk di sampingku dan kepala ini berada di spot kosong ranjang. Aku bahkan belum pulih dari kehancuran karena Coral, lalu tiba-tiba orang gila itu menyimpan ini di sampingku. Lantas tadi … aku mendengar berita bahwa Jemima Dorsch mati terbunuh di mobilnya.” —Jemima dengan mobil otomotif putih. “Aku yakin ini ada kaitannya dengan polemik yang kauberitahukan tempo lalu, dan—”

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa orang itu membunuh hanya untuk kebohongan absurd?

Madison mendapatkan reaksi atas visual Jungkook tadi. Garbanya seolah tengah mengalami siklon besar. Mual, dan rasanya ingin mengeluarkan seluruh isi perut … atau bahkan usus-ususnya bisa saja ikut menjadi muntahan karena evidens kriminalitas itu. Secara general, ia juga mengingat hewan tanpa kepala, opsir tanpa kaki, dan darah, dan segala macamnya. Madison terus-menerus menghitam.

Kau dan Madison yang membuatku seperti ini, katanya. Ada surat bermaterial karton hitam dengan tinta merah, disimpan di samping kepala Scheiffer. Beberapa menit lalu sebelum Jemima meninggal, Jemima memintaku untuk menolongnya, mengantarnya ke kantor polisi karena apa yang terjadi padanya karena kesalahanku dan Madison—dan kau tahu dia tidak ingin berinteraksi denganmu, makanya ia meminta pertolonganku.

Bagaimana bisa itu terjadi? Kebohongan apa yang dimaksud? Madison, Jisa, orang-orang yang terbunuh, dan Jimin. Madison tidak paham.

Seseorang meminjam mobil otomotif putih milik Jemima. Jemima memberikannya karena yang meminjam bukanlah orang asing. Ia berpikir kalau mobil itu dipinjam untuk sekedar hal-hal kecil. Tapi setelah ia mencoba menghubungi polisi karena mobilnya dipakai untuk tindakan kriminal, Jemima malah terlanjur terbunuh.” —Jemima dengan mobil otomotif putih. Pada kenyataan, itu bukanlah Jemima. Bukan Jimin. Bahkan sama sekali bukan Jungkook. “Coral melihat pembunuhan Jungkook, makanya ia ikut terbunuh. Saat itu aku dan Coral sedang melakukan panggilan suara. Tragedi Jungkook, Coral, peminjaman mobil, dan Jemima, itu merujuk pada orang yang sama.”

Madison termangu. Dia merasakan tubuhnya memanas, tetapi ada dingin yang juga merangsek ke dalam tubuhnya. Kenya itu mencoba membuat stabil jantung dan alat pernapasannya karena ia pikir Jimin akan memublikasikan identitas orang gila itu. Sampai pada final fragmen, Jimin mulai membuka suara, memberikan jawaban konkretnya hingga Madison eksesif lagi. Iya, benar, Madison melupakan orang lain dengan nama berawalan letter J. Jimin bersuara, “Kebohongan apa yang kaubuat padanya?” Ia memberi pertanyaan sejemang, membuat preambul yang mendebarkan. “Jung Taehyung. He made this happen.”  

[TBC]

jung taehyung, katanya. percaya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top