The 4th Floor

Aku punya kisah yang tidak akan aku lupakan. Itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu. Saat angkatanku melaksanakan kegiatan study banding di salah satu kota yang terkenal akan budayanya.

Kami pergi pada rabu malam dan sampai jam 8 pagi. Kegiatan ini akan dilaksanakan hari kamis dan Jum'at pagi kami bisa pulang. Siang hari dipenuhi dengan kegiatan berkunjung ke salah satu museum tua. Dan malamnya kami beristirahat di hotel, dimana kisah ini dimulai.

Aku sekamar dengan temanku, Jennie. Kamar ini masuk ke dalam kategori minimalis, tidak luas namun nyaman untuk dipakai dua orang. Dinding yang berhadapan dengan pintu masuk didominasi oleh cermin. Bahkan sisi tersebut adalah cermin jika tidak ada balkon. Lalu ada jam dinding yang berhadapan dengan posisi dua tempat tidur, dan di bawahnya ada meja kecil.

"Aku di sini," cetus Jennie dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur sebelah kamar mandi.

Jika kurang paham, begitu aku membuka pintu, ada lorong pendek yang merupakan lebar dari kamar mandi di kamar ini. Dan tentu saja di kanannya terdapat pintu coklat yang jika dibuka adalah kamar mandi.

Aku mendengus menanggapi ucapan Jennie. Aku bukan termasuk orang yang pilih-pilih, tapi entah kenapa ada yang mengganjal jika aku tidur di sana. Sesuatu seperti akan ada hal buruk. Tapi aku tidak percaya akan perasaanku yang kelelahan ini.

Aku pun mencoba tiduran di atas kasur yang akan aku tempati. Empuk dan nyaman. Tapi semua itu kandas seketika saat pintu kamar diketuk. "Kamu yang buka, aku capek," kataku.

"Kamu aja. Nanti aku kasih macaroonku deh!" rujuknya. Dasar Jennie, dia tahu percis apa kelemahanku.

Dengan perasaan yang campur aduk aku melangkah menuju pintu. "Siapa?" tanyaku sebelum membuka pintu. Tapi tidak ada yang menyahut, akhirnya aku buka saja pintu itu. Dan ... tidak ada siapapun.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri memastikan ada seseorang yang bersembunyi, tapi nihil. Saat aku akan masuk kembali, ekor mataku menangkap kaki yang telanjang di kanan. Sangat mulus hingga terlihat ... pucat. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Rasa takut menguasai diriku dan membuatku dengan cepat menutup pintu.

"Siapa, Na?" tanya Jennie.

Perlahan aku menetralkan detak jantungku agar suaraku tidak bergetar. "Anak laki-laki yang iseng."

***

Pukul sudah menunjukan jam 9 malam, ditemani dengan derasnya hujan di luar sana. Ini saatnya aku untuk mebersihkan diri dan beristirahat. Setelah berganti baju dan bersiap untuk tidur, aku menyempatkan untuk memberi kabar kepada orang tuaku. Lantas aku melompat keatas kasur yang empuk lalu membuka aplikasi chat. Kutekan foto ibuku dan mulai mengetik pesan.

Aku sendirian di kamar ini. Jennie yang merupakan salah satu anggota OSIS sedang mengawasi kelakuan anak laki-laki yang selalu membuat onar. Dia bilang jam 10 akan kembali.

Tak terasa aku sudah berada di layar handphone selama setengah jam. Aku mendengar suara pintu yang dibuka. Ah mungkin itu Jennie yang selesai mengawasi anak-anak. Dari ekor mataku, aku melihat ia menuju kamar mandi. Tapi entah kenapa rasanya ada yang mengganjal. Bukan merinding, hanya saja aneh jika dia tidak mengatakan sepatah katapun. Oh mungkin ia lelah, pikirku.

Cukup lama ia berada di dalam hingga akhirnya keluar menggunakan piyama putih. Hanya perasaanku atau bagaimana, wajahnya sedikit pucat. Aku yakin ia kelelahan. "Jen, kamu nakutin pakai baju putih. Gak ada yang lain apa?" Aku mencoba berbasa-basi, tapi wajahnya tetap lesu seperti tadi siang dan berjalan kearah kasur disampingku.

Aku memperhatikan Jennie yang sudah dalam posisi tidur dengan menghadap tembok, yang artinya membelakangi aku. Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengancam. Akhirnya aku membalikan tubuhku dan membelakangi Jennie. Dapat aku lihat dari cermin dihadapanku, bahwa tubuh Jennie bergetar seperti sedang tertawa. Ia memang tidak dapat menahan ketawanya, pasti ia melihat lelucon di tabletnya.

Dengan iseng aku memberi pesan padanya.

Jen, kamu lagi unmood, ya? Tidur sana

Send.

Aku mendengar dering tablet Jennie yang aku yakin itu adalah pesan dariku. Lalu tidak sampai 1 menit, handphoneku bergetar tanda ada pesan masuk. Dari layar utama aku bisa membaca pesannya yang tampil sesaat. Dan itu membuat tubuhku membeku sepenuhnya. Dengan perlahan aku membuka pesan itu takut-takut bukan berasal dari handphone Alex.

Aku kayaknya selesai jam 11. Soalnya guru dateng jam segitu. Jadi, ya ... harus jagain sampai jam 11. Kalau mau tidur, duluan aja -Jennie

Deg

Jantungku mulai berdegup kencang seusai membaca empat kalimat ini. Bau melati tiba-tiba memenuhi ruangan, otomatis bulu kuduk ini meremang. Mungkin saja yang mengirim itu bukan Jennie tapi Alex yang ingin mengerjaiku. Lantas akupun mencoba untuk menenangkan diriku. Berkali-kali aku menarik dan menghembuskan napas sehalus mungkin agar tidak menarik perhatiannya.

Mataku menelusup kearah meja kecil di dekat di bawah jam. Aku mendapati cahaya biru yang kuat, seperti cahaya tablet Jennie saat menyala. Dan benar saja, tabletnya masih tercharger disana! Lalu Jennie tertawa karena apa? Jadi apa pesan itu murni Jennie yang mengetiknya? Jadi ... apa itu?

Tapi lagi-lagi jantungku berdegup tak karuan. Sosok yang tidur di kasur yang akan Jennie tempati bangun menyamping. Dari cermin ini aku dapat melihat rambutnya yang mulai berangsur panjang, makin panjang dan panjang.

Samar terdengar isakan halus yang menyayat hati. Sedih sekaligus ketakutan melanda diriku, entah mengapa. Aku melihat sosok itu menunduk dan bahunya sedikit berguncang.

Aku terus melantukan do'a-do'a dalam hati berharap ini cuman mimpi. Ataupun jika ini nyata, dia tidak menggangguku seperti yang ada di film. Aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Maaf, anda siapa?"

Bahunya berhenti berguncang. Oke, aku melakukan kesalahan yang fatal. Aku melihat kepalanya dengan perlahan berputar. Tidak hanya itu, ia mulai menyanyikan lagu Lengser Wengi.

"Lengser wengi...."

Mendengar suaranya yang pilu, aku segera berlari keluar dan mencari teman-temanku. Aku mengetuk pintu kamar yang diisi oleh Thalia, tapi suara pintu yang terbuka terdengar dari arah kamarku. Dari pada aku harus menunggu, akhirnya aku berlari ke kamar yang lain. Aku mengetuk satu-satu pintu yang ada di sana. Tidak peduli itu dari sekolahku atau bukan. Aku terus berlari hingga tidak ada jalan lagi alias jalan buntu, aku terjebak di lorong ini.

Di ujung lorong terdapat jendela kecil yang dapat memantulkan apa yang berada di belakangku. Aku menjerit ketakutan saat sosok tadi tengah berdiri menatapku. Wajahnya putih pucat dan matanya yang kiri bolong. Hidungnya lecet dan kedua sisi mulutnya robek hingga ke pipi.

Aku merosot ke bawah dan memeluk lututku erat. Aku menangis dan menjerit sekuat tenaga, berharap seseorang keluar dari kamarnya. Di sela-sela jeritanku yang mengalahkan derasnya hujan, aku mendengar suara langkah kaki yang begitu cepat datang ke arahku. Teriakanku makin menjadi kala ketakutan sudah membungkus seluruh tubuhku.

***

Kurasakan hangat mentari menerpa wajahku. Cahaya pula terus menuntut mataku untuk terbuka. Samar terdengar suara kegaduhan dan obrolan. Denan perlahan aku membuka mataku dan mendapati aku bukan berada di kamar ... aku berani bersumpah aku tidak mau mengingatnya.

Tanganku bergerak memegang kepalaku yang terasa berat. "Raina sudah sadar!" kata seseorang dengan suara yang berat. Kalau tidak salah itu suara Selatan.

"Kamu gak apa-apa, Na?" tanya Jennie. "Ini minum dulu," kata Rakha sambil membantu duduk dan menyodorkan segelas air putih. Aku menerima air itu dan perlahan meminumnya. Setelah sadar sepenuhnya, ada Jennie, Selatan, Rakha dan dua orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Yang satu pakaiannya cukup aneh, ia memakai baju yang sejenis dengan pangsi dan ada kalung yang memiliki bandul besar, dan yang satunya memakai setelan jas rapi.

"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan anda," katanya pria berjas itu.

"Ini bukan salah bapak. Sayanya aja yang imannya tidak kuat," balasku sambil berusaha tersenyum. Walau bayangan wajah itu terus menggentayangi otakku.

"Jangan terus dipikirkan. Semakin kamu memikirkannya semakin beliau enggan pergi," bapak yang mengenakan pangsi itu berbicara.

Aku diam. Bagaimana bisa bayangan itu pergi jika kau yang mengalami ini?!

Seusai pihak hotel meminta maaf, kami segera bersiap untuk pulang. Tak lupa aku berterima kasih kepada Selatan dan Rakha yang telah menjagaku semalaman hingga mereka tidak tidur. Mungkin di kemudian hari aku akan naksir salah satu dari mereka, haha.

Semuanya sudah naik ke dalam bis. Sebelum bis yang aku naiki jalan, aku melihat bangunan hotel yang megah inu. Tapi mataku menangkap sosok tadi malam di salah satu lorong di lantai 4 sedang menyeringai kearahku.

***

Karya: CasperMoon

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top