9). Tarot Reader

Tamara sebenarnya tidak ahli benar dalam membaca kartu tarot, hanya saja dia mengakui kalau dia bisa memanfaatkan intuisinya dengan baik sehingga membuatnya terlihat sangat ahli dalam bidang itu.

Faktanya, kartu tarot bisa dibaca oleh semua orang. Bahkan kartu tersebut bisa didapatkan dengan mudah lengkap dengan buku panduan, sehingga pembaca kartu tarot yang masih amatir pun bisa mempelajarinya. Tantangan yang sebenarnya adalah terletak pada memunculkan intuisi dan rasa kepercayaan diri yang tinggi.

Menurut Tamara, membaca kartu tarot lebih seperti seni dalam berkomunikasi, karena ini tidak semata-mata melibatkan intuisi dan kepercayaan diri saja, tetapi juga kepercayaan dari penarik kartu tarot tersebut. Karena seperti yang sempat dikatakan oleh Alvian, tidak semua orang percaya pada kartu tarot meski tidak sedikit pula yang mempunyai persepsi sebaliknya. Kartu tarot hanyalah sebuah alat, bahkan tidak sedikit yang menganggap itu hanyalah sebuah permainan.

Pelengkap lainnya adalah, masing-masing pembaca tarot mempunyai caranya sendiri dalam menarasikan cerita pada setiap gambar dalam kartu tarot, yang mana mereka harus bisa menganalisis apa maknanya dan melakukan prediksi seakurat mungkin, supaya bisa menghubungkannya pada kehidupan realita si penarik kartu.

Stand bazaar yang direncanakan oleh Alvian telah disampaikan pada Naura, yang rupanya sesuai prediksinya, mendapat tanggapan positif. Meskipun demikian, sama seperti Naura yang perfeksionis dalam melakukan segala hal, Alvian tampaknya tidak ingin melewatkan sesi yang tidak ada bedanya dengan istilah 'geladi bersih', yang artinya latihan sebelum hari H pementasan yang sesungguhnya.

Caranya tidak lain tidak bukan adalah menyuruh Tamara membaca kartu tarot untuk mereka (terkecuali Nevan yang tidak akan mau diajak kerja sama), termasuk Harris dan Vica yang menawarkan diri sebagai bentuk dukungan pada Tamara.

"Bukannya tahun lalu kalian udah pernah narik kartu tarot?" protes Tamara, disambut oleh tatapan nyolot oleh duo Harris dan Vica.

Tamara menghela napasnya lantas mengocok kartunya dengan gerakan lincah, yang langsung saja memancing kekaguman dari teman yang lain. Bahkan murid di luar anggota stand bazaar Alvian juga ikut menonton. Untungnya sekarang jam istirahat kedua sehingga mereka tidak perlu khawatir akan dihukum karena tidak fokus pada pelajaran.

Tamara tidak hanya mengocok dengan cara biasa, tetapi dia juga melakukan trik Riffle Shuffle, yang mana caranya adalah membagi dua pak kartu lantas menyisir masing-masing kartu dengan kedua jempol tangan hingga semuanya tergabung dalam satu pak dengan keren.

"Gue selalu suka cara Tamara ngocok kartu kayak gitu," puji Vica dengan ekspresi lucu, sementara yang lain terpesona dengan keahlian Tamara. Alvian yang hampir tidak pernah memuji orang lain karena terlalu narsis terhadap dirinya saja sekarang tampak melongo takjub.

Tamara yang masih duduk di bangkunya dengan anggun lantas tidak mengatakan apa-apa, seakan dia sedang berada dalam dunianya sendiri. Cewek itu mengakhiri pertunjukan dengan menyebarkan kartu tarot di atas meja, membentuk setengah lingkaran dengan gerakan mistis.

"Ya ampun, kenapa gue merinding begini ya?" celutuk Clarissa yang tubuhnya gemetar sekilas dengan situasi ini, apalagi ekspresi Tamara sekarang tampak begitu serius. "Untung aja ya kita lagi di tempat terang begini."

"Tamara gitu loh. Lo belum denger aja caranya menganalisa kartu tarot kayak gimana," timpal Harris yang posisi duduknya tepat di sebelah Clarissa karena semuanya harus merapat supaya bisa menonton Tamara.

"Oke, sekarang siapa yang mau duluan?" tanya Tamara dengan suara yang agak lain dari biasanya. Sengaja dianggunkan, mungkin?

"Gue," jawab Alvian sembari mengangkat sebelah tangannya, mengabaikan Nevan yang menatapnya dengan tatapan mencela karena mengkhianati dirinya untuk percaya pada ramalan tersebut.

"Oke. Topiknya apa? Pilih salah satu karena waktu kita nggak banyak. Juga, waktu hari H nanti gue juga akan memberlakukan aturan yang sama. Satu kartu untuk satu topik dalam sekali konsul."

"Bukannya biasa tiga kartu?" tanya Vio yang tidak disangka-sangka mau bertanya.

"Soalnya gue sendiri yang baca kartu tarotnya dan itu bukan hal gampang. Kecuali kalo ada yang bersedia jadi partner gue, gue akan pertimbangkan."

Namun sayangnya, tidak ada yang berminat untuk mengajukan diri ber-partner bersama Tamara.

"As expected," kata Tamara dengan dengusan pelan. "Oke, lanjut ke yang tadi. Jadi lo milih topik apa?"

"Yang umum aja," jawab Alvian tanpa menimbang karena dia jelas tidak mau kepo dengan tarot cinta.

"Oke kalo gitu lo boleh narik satu kartu."

Alvian menggeser keluar salah satu kartu dengan jari telunjuknya, yang segera dibalikkan oleh Tamara.

Hasilnya adalah Wheel of Fortune (X).

Tamara terdiam sejenak untuk memperhatikan gambar pada kartu tarot tersebut, memancing ketegangan di antara mereka. Alvian sekarang tampak harap-harap cemas, seakan sedang menunggu hasil tes ujiannya.

"Oke, dari yang lo liat disini, judulnya adalah roda keberuntungan. Meski ini jelas adalah ramalan yang positif dan maknanya memang lo lagi beruntung, tetapi lo nggak bisa mengabaikan gambar roda disini. Seperti yang kita tau, roda yang berputar tidak selamanya di atas begitu pula sebaliknya. Ada saatnya lo bakal berada di titik terendah pada roda. Ini yang disebut sebagai takdir yang tak terelakkan. Sesuatu yang bisa lo gapai akan menjadi milik lo, tapi sebaliknya lo nggak akan bisa memaksakan apa yang bukan jadi milik lo.

"Nasihat yang bisa gue berikan ke elo adalah, seperti roda yang mempunyai sumbunya, lo harus bisa memusatkan ke diri lo sendiri. Ikuti arusnya dan lo bakal nemuin keputusan terbaik sehingga secara perlahan lo bisa naik ke posisi paling atas," lanjut Tamara dengan narasinya yang begitu dramatis, sempat membuat semua orang memandangnya takjub lagi.

"Keren banget," puji Talitha bersungguh-sungguh yang posisinya berada tepat di balik bahu Tamara. "Kalo lo ngaku anak peramal, gue bakal percaya sama lo."

Harris menatap semuanya yang bisa diartikan seperti ini; tuh-kan-gue-bilang-apa.

Alvian mengacungkan kedua jempolnya pada Tamara. "Nggak salah deh gue ajak lo gabung stand gue. Gue yakin stand kita bakal dapat pengunjung paling banyak."

"Oke. Ada lagi yang mau ngeramal?"

"Gue," jawab Harris dan Clarissa bersamaan, yang lantas saling memandang dengan tatapan mencela.

"Oke, Clarissa. Lo boleh narik kartunya."

"Kenapa bukan gue?" protes Harris.

"Lo udah nyobain pengalamannya waktu kelas X tahun lalu. Gantian dong," kilah Tamara tidak peduli sementara Clarissa menarik satu kartu.

"Topik apa, Sa?"

"Cinta," jawab Clarissa yang lantas mendapat tatapan penuh ledekan oleh Alvian meski dia tidak sampai hati membuli cewek itu.

Tamara membalikkan kartu pilihan Clarissa. Ace of Pentacles.

"Seperti kartu remi, Ace menduduki peringkat tertinggi dalam permainannya dan juga mencerminkan simbol tunggal. Di kartu tarot juga sama, Ace melambangkan permulaan dalam segala sesuatu. Kalo diibaratkan, itu kayak benih baru sebelum berkembang menjadi buah. Jadi, karena topik lo berkaitan dengan cinta, kemungkinan besar lo akan mulai menata perasaan lo untuk seseorang."

Otomatis tidak ada yang membuang kesempatan mereka untuk meledek Clarissa habis-habisan dengan pekikan 'cieee' yang berirama, membuat yang diledek merasa agak risih dan segera saja wajahnya memerah.

"Oke, jadi penampilan gue oke, kan?" tanya Tamara pada Alvian dengan sebelah alis terangkat setelah suasana heboh kembali netral.

Alvian mengangguk. "Tapi kayaknya lo juga menikmati dunia tarot deh. Lanjut aja kalo gitu."

Tamara mengecek waktu pada jam dinding di kelas mereka. "Jam istirahat udah mau selesai. Kita udahan aja, ya? Yang minat diramal bisa lanjut pas hari H."

Terdengar nada protes dari sebagian besar murid yang tampaknya telah dibuat jatuh cinta oleh performance dari Tamara.

"Pas hari H mesti bayar dong!" protes Vica.

"Gue belum diramal," rengek Harris dengan kernyitan pada alisnya.

"Gue juga."

"Gue juga."

"Gue juga."

Tamara menghela napas panjangnya sementara Alvian memberikan cewek itu tatapan penuh semangat seakan dia ketiban durian runtuh.

"Gue yakin pas acara amal nanti, kita bakal dapat penghasilan paling tinggi," bisik Alvian dengan kepala yang didekatkan ke arah Tamara meski itu tidak berguna karena mereka masih merapat satu sama lain sehingga bisikannya tetap terdengar.

Tamara ikut mendekatkan kepalanya ke arah Alvian lantas berkata, "Enaknya di elo. Gue pastiin punggung gue bakal pegal seharian pas hari H."

"Tenang aja, Ra. Gue bakal mampir ke stand buat mijitin lo," kata Harris dengan senyum lebarnya.

"Heh, Ris. Kita cuma berdua loh yang jaga stand," kata Vica memperingatkan dengan tatapan kesal.

Harris balas menatap Vica dengan tatapan seakan baru menyadarinya, kemudian mencebikkan bibirnya.

"Tenang aja, ada gue kok," hibur Clarissa.

"Loh, lo kan buat kopi sama gue," protes Alvian. "Kecuali lo bisa membelah diri."

"Gue bukan amuba, sori-sori aja," balas Clarissa terhina. "Vio bilang bakal urus bagian kasir trus Talitha yang nawarkan menu ke pengunjung berhubung visualnya lebih menarik."

Seusai mendengar penjelasan Clarissa, para anggota stand kopi kecuali Tamara lantas menoleh pada Nevan secara bersamaan seakan ada banyak tangan tak tampak yang memaksa kepala mereka untuk menghadap ke arahnya.

Nevan yang gagal paham tampak begitu bingung dengan banyaknya pasang mata yang menatapnya sekarang secara serentak. Dia mengernyitkan alisnya dan balas menatap mereka satu per satu dengan tatapan galak.

"Kayaknya tinggal Nevan yang tersisa," kata Vio dengan jemarinya yang menempel pada dagunya.

Talitha mengangguk. "Kebetulan banget mereka sebangku, jadi kalau dia jadi partner-nya Tamara, ya lumayanlah."

Alvian lantas menjentikkan jarinya dengan semangat. "Bener. Akan lebih bagus lagi kalo Nevan bisa ikut baca kartu tarot. Jadi konsulnya bisa langsung dua orang dalam satu waktu."

Nevan memelototi Alvian dengan garang, jelas tidak terima dengan gagasan ini.

"Nggak perlu, gue bisa sendiri." Tamara merasa dia perlu berinisiatif sebelum Nevan menunjukkan taringnya. "Lagian baca kartu tarot itu nggak gampang walau buku panduannya bisa dihapal. Intuisinya harus ada dan gue rasa Nevan nggak akan mungkin bisa."

"Lo remehin gue?" tanya Nevan yang malah semakin tersulut emosi.

Tamara sebenarnya sama sekali tidak berniat untuk menyindir Nevan, dia hanya berusaha untuk membantu cowok itu supaya terbebas dari beban karena membantunya, tetapi sepertinya dia salah lagi.

"Gue salah lagi kayaknya," kata Tamara dengan nada datarnya. "Lo harusnya tau apa maksud perkataan gue."

"Nggak, gue nggak tau karena gue nggak mau tau," balas Nevan yang selalu saja emosi.

"Jadi, mau lo apa sekarang?" tanya Tamara sementara semua anggota saling melirik satu sama lain karena perang dingin di antara keduanya.

"Kasih buku panduannya ke gue sekarang," perintah Nevan dingin, yang tidak habis-habisnya membuat Tamara gagal paham.



Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top