8). Charity Bazaar

Alvian merasa seperti ingin menari setelah mendengar gagasan dari Naura terkait bazaar amal yang akan diadakan bulan depan. Untuk kali pertama, cowok itu merasa dua kali lebih menghargai wali kelasnya itu. Gagasan tersebut tentu akan menguntungkannya dalam mempromosikan diri sebagai ketua OSIS, karena jabatan itu telah menjadi incarannya sejak dia menginjak tahun pertamanya di SMA.

Rencananya, persiapan bazaar amal akan menjadi ajang penentuan Ketua dan Wakil Ketua OSIS tahun ini sehingga semakin besar partisipasinya, semakin besar peluang yang akan didapat oleh murid tersebut.

"Jadi, bagi kalian yang berminat menjadi pengurus OSIS, kalian bisa mendaftar langsung ke saya," jelas Naura. "Dan sebagai wali kelas kalian, saya tetap mengharapkan partisipasi dari murid lainnya karena terlepas dari jabatan tersebut, kalian tetaplah siswa-siswi SMA Berdikari. Partisipasi dalam bentuk apa pun akan saya hargai. Kalian boleh mendirikan stand secara berkelompok dengan teman geng kalian. Bukankah semakin ramai yang ikut, semakin seru?"

Suasana kelas masih sama sepinya, yang jelas memberikan jawaban pada Naura bahwa gagasan terakhirnya tidak semenarik itu. Mungkin hanya Alvian dan Clarissa saja yang bersemangat pada acara ini.

Naura menghela napasnya. "Saya sebenarnya tidak mau memaksa kalian berpartisipasi, tetapi kalau hasilnya jauh lebih sedikit dari perkiraan, saya terpaksa mewajibkan kalian dengan risiko pertimbangan dalam penilaian akhir."

Kini, terdengar protes dari sejumlah murid dan sebagian tampaknya tidak senang dengan gagasan berikutnya.

"Tampaknya kalian harus diancam dulu baru mau dengar," komentar Naura dengan senyum miringnya. "Kepala Sekolah mempercayakan saya untuk menjadi penanggung jawab acara bazaar ini, jadi saya tidak mau mengecewakan siapa pun karena saya termasuk pribadi yang perfeksionis--sayangnya. Jadi, saya benar-benar mengharapkan partisipasi kalian. Saya beri waktu tiga hari lagi sebelum saya mengambil keputusan. Jadi, pikirkan baik-baik stand yang ingin kalian pamerkan tahun ini."

"Yes!" seru Alvian bersemangat sementara Naura pamit dari kelas untuk diganti dengan guru berikutnya. "Kayaknya Tuhan bener-bener memberikan jalan buat gue jadi ketua OSIS. Kalian harus milih gue loh, ya."

Alvian lantas menyebarkan pandangannya ke semua orang yang bersedia mendengarnya tanpa terkecuali sedangkan Clarissa tampak tidak senang.

"Kalo ketua OSIS-nya songong begini, lo nggak bakalan menang. Percaya deh sama gue."

"Sayangnya gue nggak percaya sama lo, jadi gue nggak akan kalah," balas Alvian dengan tatapan meledek. "Emang siapa lagi yang bisa ngalahin gue? Dari pengamatan gue sama mereka yang punya potensi jadi ketua OSIS, gue rasa gue yang paling memenuhi kriteria."

"Kriteria? Kayak ikut ajang pemilihan Mister and Miss aja," celetuk Harris yang mendengar obrolan mereka sedari tadi di bangkunya. "Meski ada beberapa hal yang nggak gue sukai dari lo, gue akuin lo punya bakat jadi pemimpin. Kalo terpilih, lo harus sering-sering adain event yang berkaitan dengan kuliner, ya."

"Pikiran lo makan mulu, heran deh gue!" seru Tamara yang tidak tahan untuk tidak berkomentar. "Soal stand tahun ini, lo berpartisipasi nggak?"

"Harus dong," jawab Harris dengan senyum merekah, lantas tatapannya menerawang ke atas. "Gue sama Vica sepakat mau buka stand kebab. Lo mau gabung?"

"Hmm, kayaknya nggak deh. Thanks ya." Tamara menolak secara halus karena dia tidak bisa membayangkan dirinya membuat kebab dengan kemampuannya yang minim jika dikaitkan dengan masak-memasak. "Kalo buka stand photobooth mungkin lebih menarik kali, ya?"

Tidak disangka-sangka pertanyaan dari Tamara memancing minat Vio yang menatapnya dengan penuh semangat. "Photobooth? Nice idea. Can I join?"

"Yeah. Why not?" jawab Tamara yang sebenarnya masih canggung dengan Vio dan dia terselamatkan oleh tatapan ingin tahu Talitha yang mengintip dari balik tubuh Vio.

"Photobooth?" ulang Talitha dengan tatapan bertanya. "Is it really interesting?"

"Yeah, better than food stand, I think," jawab Vio yang masih kesal dengan duo Harris dan Vica sehingga dia mengatakannya dengan volume suara yang cukup keras, sengaja menyindir.

Yang disindir menoleh ke arah Vio secara bersamaan, yang juga memasang ekspresi tidak terima.

"Lo nyindir kami?" tanya Harris tersinggung, sementara Vica tampak terhina.

"Kalo tersinggung berarti lo merasa dong," kilah Vio tidak mau kalah, tampak sangat puas karena berhasil membalaskan dendamnya.

Tamara hanya tertawa kecil menyaksikan mereka, apalagi dia merasa terhibur dengan ekspresi wajah tidak senang dari Harris dan bibir Vica yang dimonyongkan hingga mirip bebek.

"Kalo lo gimana, Van?" tanya Alvian, membuat Tamara refleks memasang telinganya supaya bisa menguping pembicaraan mereka. "Gue yakin kakak lo nggak akan kasih keringanan khusus buat lo. Daripada nilai lo dipertaruhkan, gue rasa ada baiknya lo gabung sama gue. Gue yakin lo bakal berminat."

"Nggak minat," jawab Nevan jutek tanpa niat kepo sama sekali, membuat Alvian memutar matanya dengan kesal.

"Oke kalo lo nolak, yang penting gue udah memenuhi kewajiban gue sebagai sahabat yang menawarkan kesempatan ke elo," kata Alvian jengah, lantas dia mengalihkan tatapannya ke Tamara. "Ra, lo mau gabung sama gue? Gitu-gitu gue mesti dapet banyak dukungan dari siswa-siswi yang punya pengaruh gede di sekolah demi terwujudnya harapan gue jadi Ketua OSIS. Dalam hal ini, lo berada di urutan prioritas berhubung lo anak angkat Kepala Sekolah."

"Emangnya lo mau buka stand apa, sih?" tanya Tamara penasaran.

"Lo bisa baca kartu tarot, kan?"

"Kok lo tau?" tanya Tamara horor, mendadak merasa bulu kuduknya meremang.

Alvian mendecak tidak sabar. "Harris pernah bilang, trus kebetulan gue denger waktu kita kelas X. Bukan itu hal yang penting sekarang. Yang penting, lo mau atau nggak buka stand baca kartu tarot? Gue punya mesin kopi canggih di rumah jadi gue bakal buka stand paling gede biar hasilnya maksimal."

Obrolan mereka terhenti karena salah seorang guru piket melewati kelas mereka untuk menyampaikan kalau guru yang bersangkutan akan telat masuk kelas, yang menjadi sebuah kabar gembira.

"Kayaknya gue denger ada yang mau buka stand kopi," celetuk Vio dari sebelah kanan Tamara. "That sounds great, too. Can I join?"

Telinga Harris yang sepertinya telah diatur menjadi lebih agresif jika ada kesempatan untuk membuli Vio, segera saja menoleh cepat hingga otot lehernya tertarik secara dramatis. "Siapa sih yang tadi bilang nggak minat sama stand kuliner?"

"Gue hanya bilang kalo stand photobooth lebih baik daripada stand makanan. Bukan berarti nggak minat, kan?" kilah Vio tidak terima. "Lagian itu kopi, nggak masuk kategori kuliner."

"Itu kan bagian dari konsumsi! Tentu aja itu termasuk!" Harris ngegas.

"Itu minuman, bukan kuliner!"

"Kok lo nyolot sih?"

"Lo duluan yang cari gara-gara!"

"Lo!!!" seru Harris dengan kekesalan yang memuncak, tetapi berhasil dihalang oleh Tamara yang menepuk mejanya dengan kekuatan penuh sehingga tidak hanya Harris dan Vio dibuat kicep, tetapi juga semua murid di kelas sukses dibuat membeku dan memusatkan perhatian padanya.

"Kalian ini apa-apaan sih?" omel Tamara kesal, meski dia juga tidak bisa menutupi kekagetannya sendiri karena telah menciptakan kesunyian yang canggung. "Semua bebas mau ikut stand mana. Jadi, nggak perlu ada yang bertengkar."

"Tamara bener. Gue nggak masalah kok siapa aja yang mau gabung sama stand gue, yang penting Tamara bersedia jadi pembaca kartu tarotnya. Gue yakin meski banyak yang nggak percaya sama kartu itu, tetap aja nggak sedikit yang berminat."

"Oke. Gue gabung," kata Tamara akhirnya, disambut acungan tangan dari Clarissa dari depan bangkunya.

"Gue juga mau. Gue mau belajar cara buat kopi dari mesinnya. Nggak pernah nyoba soalnya."

"Lo nggak pernah coba tapi mau belajar? Nggak ah, lo nggak ada pengalamannya kalo gitu," tolak Alvian mentah-mentah. "Lagian ogah gue harus berdekatan sama lo terus. Di kelas, duduk sama lo. Lo juga bertetanggaan sama gue. Lah masa gue harus satu stand sama lo juga?"

"Tadi lo bilang siapa aja boleh asal Tamara ikut, kan?" tantang Clarissa, lantas membalikkan tubuhnya ke arah Tamara untuk meminta dukungan. "Gue mau gabung, Ra. Kalo gue nggak boleh ikut, lo tolak Alvian aja. Mungkin kita bisa nyari ide yang lebih bagus."

Tamara memasang seringai pada bibirnya. "Lo bener. Lagian nggak asik nanti gue nggak punya temen."

Alvian memberikan tatapan penuh celaan pada Tamara, sementara Talitha mengintip lagi dari balik tubuh Vio. "Gue ikut dong. Kayaknya seru."

"Kalo Talitha ikut, gue ikut juga." Vio menimpali.

"Oke," kata Alvian akhirnya setelah menghela napas panjang yang terdengar berat. "Jadi gue, Clarissa, Tamara, Vio, sama Talitha. Ada lagi? Harris, lo mau gabung?"

"Ogah gue," sahut Harris ketus dengan tatapan penuh sindiran pada Vio. "Gue udah cukup puas buka stand kebab sama Vica."

Vica jelas bahagia seakan tidak ada ide lain yang lebih baik dari stand kebab.

"Nevan, gue nanya sekali lagi, lo yakin nggak mau gabung?" tanya Alvian dengan tatapan penuh harap pada cowok itu.

Alvian jelas memperhitungkan segalanya. Dia senang bisa merekrut Tamara dan Vio di sisinya yang adalah murid berpengaruh di sekolah. Untuk Clarissa, meski cowok itu sempat menolak, dia juga mempunyai martabat yang bisa dibanggakan karena dia aktif di sekolah. Jika Nevan juga ikut mengambil bagian dalam naungannya, dia yakin Naura pasti akan bangga padanya.

Alvian mulai membayangkan serentetan imajinasi tentang dirinya dilantik menjadi Ketua OSIS.

Nevan tidak langsung menjawab. Cowok itu memandang masing-masing anggota yang telah direkrut oleh Alvian dengan ragu seakan dia sedang memikirkan apakah keputusan yang dia ambil nantinya akan membuatnya menyesal.

Tatapan Nevan berakhir pada Tamara, yang entah kenapa justru membuatnya memberi jawaban tanpa sadar. "Oke, gue mau."

Selagi Alvian tampak bersenang-senang dan anggota lain kembali sibuk sendiri, Nevan mengatupkan bibirnya dengan kesal karena menyesal telah memberikan jawaban yang tidak sinkron dengan jawaban dalam otaknya. Dia segera membuang pandangan ke jendela, mengabaikan ekspresi gagal paham dari Tamara.

Kalo lo nggak suka sama gue, kenapa lo harus tunjukin tatapan seperti itu? Tamara bertanya-tanya dalam hati tetapi dia tidak punya nyali untuk menanyakan langsung pada Nevan.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top